Turunnya Wahyu Pertama, Masa Terhentinya Wahyu, dan Terhalangnya Jin dari Langit pada Awal Kenabian Nabi Muhammad ﷺ
Masa Terhentinya Wahyu dan Kegelisahan Nabi
Setelah peristiwa agung di Gua Hira, ketika malaikat Jibril datang membawa firman pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
wahyu kemudian berhenti untuk beberapa waktu. Masa “vakum” wahyu ini dalam riwayat disebut fatratul-wahy.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Dalam sebagian riwayat yang sampai kepada para ulama disebutkan, sampai-sampai beliau pernah keluar menuju puncak-puncak gunung yang tinggi dengan perasaan sangat sedih. Setiap kali beliau naik ke puncak gunung dengan keinginan untuk menjatuhkan diri, tiba-tiba malaikat Jibril tampak di hadapannya dan berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar-benar Rasul Allah.”
Maka hati beliau pun kembali tenang, jiwanya tenteram, dan beliau kembali pulang. Jika masa terhentinya wahyu itu terasa panjang lagi, beliau kembali mengalami kesedihan, lalu keluar hendak melakukan hal yang sama. Setiap kali beliau berada di puncak gunung, Jibril menampakkan diri dan mengulang ucapan yang sama, hingga Allah menguatkan hati Nabi-Nya.
Malaikat di Antara Langit dan Bumi dan Turunnya Surah Al-Muddatsir
Dalam satu hadis sahih, Jabir bin ‘Abdillah menceritakan, melalui Abu Salamah bin ‘Abdirrahman dan az-Zuhri, tentang momen berakhirnya masa terhentinya wahyu itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kira-kira maknanya:
“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit. Aku mengangkat pandanganku, ternyata malaikat yang dahulu datang kepadaku di Hira sedang duduk di atas sebuah kursi di antara langit dan bumi. Aku sangat takut, hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. Aku pulang menemui keluargaku dan berkata: ‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’”
Dalam keadaan berselimut itu, Allah menurunkan firman-Nya:
“Wahai orang yang berselimut (dengan selimutnya).
Bangunlah, lalu berilah peringatan!
Dan Tuhanmu agungkanlah!
Dan pakaianmu bersihkanlah!
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah!”
(QS. Al-Muddatsir: 1–5)
Setelah itu, kata Rasulullah, wahyu kembali turun dengan deras dan terus-menerus.
Para ulama memahami: inilah wahyu pertama yang turun setelah masa terhentinya wahyu, bukan wahyu pertama secara mutlak.
Mana yang Pertama: “Iqra’” atau “Yā ayyuhal-muddatsir”?
Para sahabat pernah membahas: bagian mana dari Al-Qur’an yang paling dahulu turun?
Yahya bin Abi Katsir bertanya kepada Abu Salamah bin ‘Abdirrahman:
“Bagian Al-Qur’an manakah yang turun terlebih dahulu?”
Abu Salamah menjawab, “Yā ayyuhal-muddatsir (Wahai orang yang berselimut).”
Yahya bertanya lagi, “Ataukah Iqra’ bismi rabbikal-ladzī khalaq?”
Abu Salamah menjawab, “Aku juga pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdillah: ‘Bagian Al-Qur’an manakah yang turun lebih dahulu?’ Ia menjawab: ‘Yā ayyuhal-muddatsir.’ Aku ulangi lagi: ‘Bagaimana dengan Iqra’ bismi rabbikal-ladzī khalaq?’”
Riwayat-riwayat ini tampak seolah-olah berbeda, tetapi para ulama menjelaskan: yang pertama kali sekali turun adalah firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”
(QS. Al-‘Alaq: 1)
Inilah awal kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Gua Hira.
Setelah itu terjadi masa terhentinya wahyu. Lalu turun Surah Al-Muddatsir, yang menjadi awal perintah untuk bangkit memberi peringatan kepada manusia. Karena itu, para ulama mengompromikan riwayat-riwayat tadi:
- “Iqra’” adalah wahyu pertama secara mutlak, awal nubuwwah (kenabian).
- “Yā ayyuhal-muddatsir” adalah wahyu pertama yang turun setelah masa terhentinya wahyu, dan menjadi awal risalah (tugas kerasulan: menyampaikan peringatan kepada manusia).
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa surah pertama yang turun setelah masa terhentinya wahyu adalah Surah Ad-Dhuha, dengan alasan konon Nabi bertakbir di awalnya karena sangat gembira. Namun pendapat ini dibantah oleh riwayat-riwayat sahih dari al-Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun setelah masa terhentinya wahyu adalah Surah Al-Muddatsir.
Adapun Surah Ad-Dhuha memang turun setelah terjadi jeda yang lain, tetapi jeda kali ini hanya beberapa malam saja. Dalam sebuah hadis sahih diceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit sehingga beberapa malam tidak bangun untuk shalat malam. Seorang wanita musyrik berkata dengan nada mengejek:
“Aku tidak melihat, kecuali setanmu telah meninggalkanmu.”
Maka Allah menurunkan firman-Nya:
وَالضُّحَى ﴿١﴾ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ﴿٢﴾ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى ﴿٣﴾
“Demi waktu dhuha.
Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).
Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak (pula) membencimu.”
(QS. Ad-Dhuha: 1–3)
Ayat-ayat ini menghapus kegelisahan dan menegaskan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan Nabi-Nya.
Dari Seorang Nabi Menjadi Rasul yang Diutus kepada Manusia
Para ulama menjelaskan: dengan turunnya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi.
Sedangkan dengan turunnya:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ … قُمْ فَأَنذِرْ
beliau diangkat menjadi rasul yang diperintahkan untuk memberi peringatan kepada manusia.
Setelah Surah Al-Muddatsir turun, wahyu datang semakin sering, saling susul-menyusul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri menjalankan tugas risalah dengan sepenuh-penuhnya. Beliau mengerahkan tekad, mengajak manusia kepada Allah, baik yang dekat maupun jauh, yang merdeka maupun yang hamba sahaya.
Pada masa-masa awal itu, orang-orang pertama yang beriman adalah:
- Dari kalangan laki-laki merdeka: Abu Bakar ash-Shiddiq.
- Dari kalangan pemuda: ‘Ali bin Abi Thalib.
- Dari kalangan wanita: Khadijah binti Khuwailid, istri beliau.
- Dari kalangan mawali (budak yang dimerdekakan): Zaid bin Haritsah al-Kalbi, mantan hamba beliau.
Sebelumnya, Waraqah bin Naufal juga telah membenarkan kenabian beliau ketika mendengar cerita tentang wahyu di Hira. Namun ia wafat pada masa terhentinya wahyu.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa masa terhentinya wahyu yang pertama itu berlangsung sekitar dua tahun atau dua setengah tahun. Ada riwayat yang menyatakan bahwa pada sebagian masa itu malaikat Mikail menyertai Nabi, kemudian setelah turunnya Surah Al-Muddatsir, Jibril kembali mendampingi beliau secara tetap, dan wahyu mengalir terus-menerus.
Sebelum Al-Qur’an Diturunkan: Jin Bisa Mencuri Dengar di Langit
Seiring turunnya Al-Qur’an, terjadi perubahan besar di alam gaib. Salah satu perubahan penting adalah: jin dan setan-setan yang durhaka dilarang keras mencuri dengar berita dari langit.
Sebelum itu, jin memiliki tempat-tempat duduk di langit dunia. Mereka naik, mencuri dengar pembicaraan para malaikat tentang perkara-perkara gaib, lalu menyampaikannya kepada para dukun dan tukang sihir di bumi, dicampur dengan berbagai kedustaan. Campuran antara satu bagian benar dan berbagai kebohongan inilah yang menipu manusia.
Tentang keadaan mereka setelah Al-Qur’an mulai turun, Allah mengabadikan pengakuan para jin dalam Al-Qur’an:
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا ﴿٨﴾ وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا ﴿٩﴾ وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَن فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا ﴿١٠﴾
“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mencapai langit,
lalu kami mendapatinya penuh dengan penjaga-penjaga yang kuat dan panah-panah api.
Dan sesungguhnya kami dahulu menempati beberapa tempat di langit itu
untuk mendengarkan (berita-berita).
Tetapi sekarang barang siapa (mencoba) mendengarkan,
niscaya akan mendapatkan panah api yang mengintainya.
Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui
(apakah) keburukan yang dikehendaki bagi orang-orang yang di bumi
ataukah Tuhan mereka menghendaki bagi mereka petunjuk (kebaikan).”
(QS. Al-Jinn: 8–10)
Allah juga menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah bisikan setan:
وَمَا تَنَزَّلَتْ بِهِ الشَّيَاطِينُ ﴿٢١٠﴾ وَمَا يَنبَغِي لَهُمْ وَمَا يَسْتَطِيعُونَ ﴿٢١١﴾ إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ ﴿٢١٢﴾
“Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan.
Dan tidaklah pantas bagi mereka (melakukannya)
dan mereka pun tidak akan mampu.
Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan
dari (mendengar) Al-Qur’an itu.”
(QS. Asy-Syu‘arā’: 210–212)
Ini adalah bentuk rahmat dan penjagaan Allah kepada manusia, agar tidak satu huruf pun dari wahyu tercampur dengan bisikan jin, sehingga kebenaran tidak tertukar dengan kebatilan.
Jin yang Tersesat dan Tersadar: Dari Langit ke Lembah Nakhla
Dalam sebuah riwayat, Ibnu ‘Abbas menjelaskan bagaimana keadaan jin sebelum dan sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Sebelum beliau diutus, jin naik ke langit, mencuri dengar wahyu. Bila mereka menangkap satu kata, mereka menambahinya dengan sembilan kata dusta. Satu kata yang benar itulah yang kemudian menyusup ke ucapan para dukun, bercampur dengan sembilan kebohongan. Maka kadang ucapan dukun “tepat”, padahal hanya satu bagian kecil yang benar.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, jin mendapati bahwa langit dijaga sangat ketat, penuh malaikat penjaga dan panah-panah api. Mereka diusir dari tempat duduk mereka. Bintang-bintang yang tadinya hanya hiasan dan tanda penunjuk arah, kini juga menjadi “peluru” yang mengejar jin-jin pencuri dengar.
Mereka pun kebingungan dan kembali kepada Iblis. Mereka mengabarkan bahwa mereka kini dihalangi dari berita langit dan dilempari panah-panah api. Iblis berkata:
“Ini pasti karena suatu perkara besar yang telah terjadi di bumi.”
Iblis mengirim bala tentaranya menyisir penjuru bumi. Di antara laporan yang mereka bawa, mereka mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri shalat di antara dua gunung, di suatu lembah di wilayah Hijaz. Iblis mengerti: inilah peristiwa besar yang mengubah keadaan langit dan bumi.
Dalam riwayat lain yang sahih, diceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari berangkat bersama para sahabat menuju pasar ‘Ukazh. Pada saat yang sama, setan-setan telah dihalangi dari berita langit dan dihujani panah-panah api. Mereka kembali kepada kaumnya dalam keadaan panik. Kaum mereka bertanya:
“Ada apa dengan kalian?”
Mereka menjawab:
“Antara kami dan berita langit telah dihalangi, dan kami dihujani panah-panah api.”
Mereka sepakat: “Ini pasti karena sesuatu yang baru terjadi. Pergilah, jelajahilah timur dan barat bumi, cari tahu apa yang sedang berlangsung.”
Sekelompok jin berangkat menuju arah Tihamah hingga sampai di sebuah tempat bernama Nakhla. Di sana, saat fajar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat Subuh bersama para sahabat, membacakan Al-Qur’an. Para jin itu mendengar bacaan yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka berhenti, memperhatikan dengan penuh takjub.
Mereka saling berkata:
“Inilah yang telah menghalangi kita dari berita langit!”
Setelah selesai mendengarkan, mereka pulang kepada kaumnya dan memberi kabar:
إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا ﴿١﴾ يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا ﴿٢﴾
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan bacaan (Al-Qur’an) yang menakjubkan.
Yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar;
maka kami beriman kepadanya,
dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan
seorang pun dengan Tuhan kami.”
(QS. Al-Jinn: 1–2)
Allah kemudian mewahyukan kepada Nabi-Nya peristiwa ini dalam firman-Nya:
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ … ﴿١﴾
“Katakanlah (Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya:
telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al-Qur’an)…’”
(QS. Al-Jinn: 1)
Dengan demikian, Al-Qur’an yang turun kepada Nabi terakhir di bumi, juga menjadi petunjuk bagi makhluk gaib dari kalangan jin.
Bagaimana Malaikat Menerima Wahyu dan Disadap Jin
Ibnu ‘Abbas menggambarkan dengan indah bagaimana wahyu turun dan bagaimana jin pernah menyadapnya.
Ketika wahyu hendak turun, para malaikat mendengar suara di langit seperti suara besi yang dilemparkan ke atas batu yang keras. Begitu mendengar suara itu, mereka pun tersungkur bersujud. Mereka tidak mengangkat kepala hingga wahyu selesai disampaikan.
Setelah wahyu selesai, sebagian malaikat bertanya kepada yang lain, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا الْحَقَّ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ ﴿٢٣﴾
“Mereka (malaikat) berkata: ‘Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kalian?’
Mereka menjawab: ‘(Allah telah berfirman) kebenaran.’
Dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”
(QS. Saba’: 23 – bagian akhir ayat)
Jika yang difirmankan berkaitan dengan urusan langit, mereka menyebutkan bahwa itu adalah kebenaran. Jika berkaitan dengan urusan bumi: tentang sesuatu yang akan terjadi, kematian, atau perkara gaib lainnya, mereka membicarakannya di antara mereka.
Pada saat-saat seperti itulah jin dari kalangan setan mencuri dengar. Mereka menangkap sepotong berita, lalu turun dengan cepat menyampaikannya kepada para wali mereka di bumi: para dukun dan tukang sihir. Para dukun itu kemudian mengulang berita itu kepada manusia, ditambah bumbu-bumbu dusta, sehingga tampak seolah-olah “mengetahui” hal gaib.
Ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, jin-jin pencuri dengar ini diusir dengan bintang-bintang. Tempat duduk mereka di langit ditutup.
Kepanikan di Mekah dan Thaif Saat Bintang-Bintang Dilempar
Perubahan besar di langit ini juga dirasakan oleh manusia di bumi. Tiba-tiba, malam-malam di Mekah dan sekitarnya dipenuhi kilatan-kilatan cahaya, bintang-bintang yang melesat seperti panah api. Warga yang terbiasa melihat langit tenang menjadi sangat takut.
Dalam satu riwayat disebutkan, sejak Nabi ‘Isa diangkat ke langit, tidak pernah terlihat bintang-bintang dilemparkan seperti itu, sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Ketika mereka melihat langit penuh cahaya api dan bintang-bintang beterbangan, banyak orang Quraisy dan kabilah Tsaqif mengira itu tanda kiamat. Mereka mulai memerdekakan budak-budak mereka dan melepaskan hewan-hewan ternak sebagai “korban”, menyangka bahwa dunia akan segera berakhir.
Berita tentang kepanikan ini sampai ke seorang tokoh Tsaqif, ‘Abdu Yalil bin ‘Amr. Ia bertanya kepada kaumnya:
“Mengapa kalian melakukan ini?”
Mereka menjawab: “Kami melihat bintang-bintang berjatuhan dari langit. Kami takut ini tanda kebinasaan.”
‘Abdu Yalil yang lebih tenang dan bijak berkata kira-kira demikian:
“Jangan tergesa-gesa menghabiskan harta kalian. Coba perhatikan bintang-bintang yang selama ini kalian kenal sebagai penunjuk arah. Jika bintang-bintang yang kalian kenal itu hilang, mungkin itu tanda kebinasaan manusia. Tapi jika yang kalian lihat adalah bintang-bintang yang tidak kalian kenal, berarti ini tanda sesuatu yang baru terjadi.”
Mereka pun memperhatikan langit. Ternyata bintang-bintang yang biasa mereka kenal tetap ada di tempatnya. Adapun yang berjatuhan adalah bintang-bintang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Mereka kembali kepada ‘Abdu Yalil dan mengabarkan hal ini.
Ia berkata:
“Peristiwa ini masih punya jeda. Ini adalah tanda kemunculan seorang nabi.”
Tidak lama kemudian, datanglah Abu Sufyan bin Harb ke Thaif mengurus harta-hartanya. ‘Abdu Yalil bertanya kepadanya tentang keadaan di Mekah. Abu Sufyan berkata:
“Muhammad bin ‘Abdullah telah muncul. Ia mengaku sebagai nabi yang diutus.”
‘Abdu Yalil pun berkata kurang lebih:
“Inilah peristiwa yang membuat bintang-bintang dilemparkan itu.”
Dalam riwayat-riwayat lain yang serupa, disebut bahwa ketika orang-orang melihat hujan bintang itu, mereka sempat sangat gelisah, melepaskan hewan dan memerdekakan budak. Namun setelah dipastikan bahwa bintang-bintang penunjuk arah masih tetap di tempatnya, mereka menghentikan tindakan itu. Beberapa waktu kemudian, kebenaran tersingkap: ini bukan tanda kiamat, melainkan tanda kerasulan Nabi terakhir.
Penjagaan Langit Antara Nabi ‘Isa dan Nabi Muhammad
Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa langit dunia tidak dijaga dengan penjagaan yang keras pada masa kekosongan rasul antara Nabi ‘Isa dan Nabi Muhammad ‘alaihimas-salatu was-salam. Maksudnya, penjagaan dengan panah-panah api dan pengusiran jin belum seketat masa setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Namun bukan berarti sama sekali tidak ada penjagaan. Dalam hadis lain yang sahih, ketika suatu malam para sahabat melihat sebuah bintang melesat dan menerangi langit, Nabi bertanya:
“Apa yang biasanya kalian katakan jika melihat bintang seperti ini dilempar?”
Mereka menjawab: “Kami biasa berkata: telah meninggal seorang tokoh besar, atau lahir seorang tokoh besar.”
Nabi menjelaskan bahwa lemparan bintang bukan untuk menandai kelahiran atau kematian seseorang, tetapi untuk melempari setan yang berusaha mencuri dengar berita langit. Hadis ini menunjukkan bahwa fungsi “panah api” itu berkaitan erat dengan penjagaan wahyu.
Riwayat As-Suddi: Nabi Terakhir dan Penjagaan Langit
As-Suddi meriwayatkan bahwa langit hanya dijaga dengan ketat bila di bumi ada seorang nabi atau agama Allah yang tampak (berkuasa). Sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, setan-setan telah menyiapkan tempat-tempat duduk di langit dunia untuk mendengarkan apa yang terjadi di langit. Begitu beliau diutus, pada suatu malam mereka dihujani panah-panah api dengan dahsyat.
Penduduk Thaif yang melihat langit terbakar cahaya pun gemetar. Mereka mengira penghuni langit binasa. Mereka memerdekakan budak, melepaskan ternak, karena takut ini tanda kehancuran. ‘Abdu Yalil kembali menenangkan mereka dengan mengajak melihat tanda-tanda bintang. Setelah memastikan bahwa rasi-rasi bintang tetap di tempatnya, ia mengatakan bahwa ini bukan kehancuran langit, melainkan peristiwa yang berkaitan dengan “Ibnu Abi Kabsyah” – sebutan orang-orang musyrik untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu, para setan panik. Mereka menghadap Iblis, mengadu bahwa mereka sudah tidak bisa lagi naik ke langit. Iblis berkata:
“Datangkan kepadaku segenggam tanah dari setiap negeri.”
Mereka pun datang membawa tanah dari berbagai penjuru. Iblis mencium satu per satu tanah itu. Ketika mencium tanah dari wilayah Tihamah (sekitar Mekah), ia berkata:
“Inilah tanahnya. Di sini peristiwanya.”
Ia mengirim tujuh jin dari kota Nashibin. Mereka datang ke Mekah dan menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjidil Haram, sedang membaca Al-Qur’an. Mereka begitu berhasrat mendengarkan hingga hampir saja dada mereka menyentuh beliau. Setelah itu, mereka beriman dan masuk Islam. Allah pun menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya tentang keadaan mereka, sebagaimana diabadikan dalam Surah Al-Jinn.
Runtuhnya Berhala-Berhala dan Kegelisahan Iblis
Dalam riwayat lain yang dinukil al-Waqidi dari Abu Hurairah, dikisahkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, pada pagi harinya semua berhala di muka bumi ditemukan dalam keadaan terjungkal, jatuh tertelungkup.
Para setan kebingungan dan datang kepada Iblis. Mereka berkata:
“Tidak ada satu berhala pun di bumi ini kecuali pagi ini semua terjungkal.”
Iblis berkata:
“Ini adalah tanda seorang nabi telah diutus. Carilah dia di kampung-kampung dan pedalaman.”
Para setan menyisir berbagai wilayah, tetapi tidak menemukannya. Iblis berkata:
“Aku sendiri yang akan mencarinya.”
Ia pun bergerak mencari. Dalam riwayat itu disebut, ia mendengar panggilan:
“Pergilah ke Habbah al-Qalb (biji hati).”
Yang dimaksud adalah Mekah, pusat bumi dan hati negeri-negeri Arab. Iblis pun menuju ke sana dan akhirnya menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebuah tempat bernama Qarn ats-Tsa‘ālib, sedang bersama malaikat Jibril.
Iblis kembali kepada tentaranya dan berkata:
“Aku telah menemukannya, ia bersama Jibril. Apa yang kalian miliki (untuk menyesatkan manusia)?”
Mereka menjawab:
“Kami akan menghiasi syahwat (dunia) di mata para pengikutnya dan menjadikannya indah bagi mereka.”
Iblis berkata:
“Kalau begitu, aku tidak lagi bersedih.”
Ia tahu, selama masih ada hawa nafsu dan kecintaan berlebihan kepada dunia dalam diri manusia, ia masih bisa menjerumuskan banyak orang, meski seorang nabi telah diutus.
Upaya Iblis Mengintai di Syam dan Mekah
Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Amr, juga melalui al-Waqidi, disebutkan bahwa ketika hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi, setan-setan tiba-tiba dihalangi dari langit dan dihujani syihab (bintang-bintang yang melesat).
Mereka mengadu kepada Iblis. Iblis berkata:
“Suatu perkara besar telah terjadi. Ada nabi yang keluar di bumi yang suci, sebagaimana dahulu Nabi Bani Israil diutus di tanah suci (Syam).”
Setan-setan pergi ke Syam, mencari-cari tanda-tanda kenabian, tetapi tidak menemukan siapa pun. Mereka kembali kepada Iblis dan berkata:
“Kami tidak menemukan seorang nabi pun di sana.”
Iblis berkata:
“Aku sendiri yang akan mencarinya.”
Kali ini ia pergi ke Mekah. Di sana, di sekitar Gua Hira, ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang turun dari gunung, ditemani malaikat Jibril. Iblis kembali kepada kaumnya dan berkata:
“Ahmad telah diutus dan bersamanya ada Jibril. Apa yang kalian miliki?”
Para setan menjawab:
“Kami memiliki dunia, kami akan menjadikannya indah di mata manusia.”
Iblis pun merasa inilah jalan mereka untuk terus menyesatkan, meski cahaya wahyu telah menyinari dunia.
Iblis Ditendang Jibril dari Dekat Ka‘bah
Ada lagi riwayat yang menggambarkan upaya Iblis untuk mencelakai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.
Diceritakan bahwa dahulu setan-setan bisa mendengarkan wahyu. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka dihalangi dan tidak lagi bisa naik. Mereka mengadu kepada Iblis. Iblis berkata:
“Pasti ada sesuatu yang terjadi.”
Ia pun naik ke atas Jabal Abi Qubais, salah satu gunung di Mekah yang tinggi. Dari sana, ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di dekat Maqam Ibrahim, di hadapan Ka‘bah.
Iblis berkata:
“Aku akan turun dan mematahkan lehernya.”
Ia pun turun dengan sombong, menuju Nabi. Namun di sisi beliau ada Jibril. Malaikat Jibril menendang Iblis dengan satu tendangan yang sangat kuat sampai melemparkannya jauh, dalam sebagian riwayat disebut sampai ke wilayah ‘Adan (Yaman). Iblis pun lari terbirit-birit.
Ini adalah gambaran bahwa Allah menjaga Rasul-Nya bukan hanya melalui manusia dan mukmin di sekelilingnya, tetapi juga melalui para malaikat yang mengawalnya.
Sumber utama kisah:
Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar