Turunnya Wahyu Pertama Kepada Nabi Muhammad SAW
Usia Nabi dan Permulaan Tanda-Tanda Wahyu
Ketika wahyu pertama kali turun, usia Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam sekitar empat puluh tahun. Inilah pendapat yang paling masyhur. Ada juga riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Sa‘id bin Al-Musayyab yang menyebutkan bahwa usia beliau saat itu empat puluh tiga tahun.
Pada masa itu, sebelum wahyu turun dalam keadaan sadar, ada tanda awal yang Allah berikan. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā menceritakan bahwa permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah adalah mimpi-mimpi yang benar dalam tidur. Setiap mimpi yang beliau lihat, kejadiannya datang kemudian sejelas terangnya cahaya fajar.
Mimpi-mimpi ini menjadi pembuka, pengantar halus dari Allah sebelum beliau berhadapan dengan wahyu secara langsung dalam keadaan terjaga.
Kecintaan kepada Khalwat di Gua Hira
Setelah itu, Allah menanamkan dalam hati beliau rasa cinta kepada khalwat — menyendiri untuk beribadah, menjauh dari hiruk-pikuk dan keburukan masyarakat Quraisy yang dipenuhi kemusyrikan.
Beliau sering pergi ke Gua Hira, sebuah gua kecil di Jabal Nur, tidak jauh dari Mekah. Di sanalah beliau berkhalwat, beribadah dengan cara yang beliau ketahui, menjauh dari penyembahan berhala dan kebiasaan jahiliah.
Beliau tinggal di sana beberapa malam sekaligus, pulang ke rumah hanya untuk mengambil bekal yang disiapkan oleh istri beliau, Khadijah binti Khuwailid radhiyallāhu ‘anhā. Setelah itu beliau kembali lagi ke Hira, terus demikian berulang, hingga datang hari yang paling agung dalam sejarah manusia: hari turunnya wahyu pertama.
Pertemuan Pertama dengan Malaikat Jibril
Pada suatu hari, ketika beliau berada di Gua Hira, datanglah Malaikat Jibril ‘alaihis-salām. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sebelumnya melihat sesuatu yang serupa.
Malaikat itu berkata kepadanya:
“Bacalah.”
Beliau menjawab dengan jujur dan ketidaktahuan seorang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis):
“Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu lalu memeluk beliau dengan sangat kuat, sampai Nabi merasa sangat kepayahan, hampir tidak sanggup menahannya. Lalu malaikat itu melepaskannya dan kembali berkata:
“Bacalah.”
Beliau menjawab lagi:
“Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu memeluk beliau untuk kedua kalinya, dengan pelukan yang sangat kuat hingga beliau merasa sangat letih, lalu melepaskannya dan berkata lagi:
“Bacalah.”
Beliau kembali menjawab:
“Aku tidak bisa membaca.”
Maka malaikat itu memeluknya untuk ketiga kalinya, lalu melepaskannya dan membacakan ayat-ayat pertama dari Al-Qur’an:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْArtinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS Al-‘Alaq [96]: 1–5)
Ayat-ayat inilah wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Ketakutan Nabi dan Penghiburan Khadijah
Peristiwa besar itu membuat hati beliau bergetar hebat. Beliau turun dari Gua Hira dan segera pulang ke rumah dalam keadaan sangat takut dan gelisah.
Sesampainya di rumah, beliau masuk menemui istrinya, Khadijah radhiyallāhu ‘anhā dan berkata:
“Selimuti aku… selimuti aku…”
Khadijah segera menyelimuti beliau hingga rasa takut itu mulai mereda. Ketika kegelisahan itu sudah agak hilang, beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang baru saja terjadi dan berkata:
“Sungguh, aku khawatir terhadap diriku.”
Khadijah, dengan ketenangan dan keimanan yang tajam, menjawab:
“Tidak, demi Allah. Allah tidak akan sekali-kali menghinakan engkau selamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar menyambung silaturahim, menanggung beban orang lain, memuliakan tamu, memberi kepada orang yang tidak punya, dan menolong dalam menghadapi kesulitan demi kebenaran.”
Dengan kata lain, Khadijah menegaskan bahwa orang sebaik beliau, dengan akhlak seagung itu, tidak mungkin akan dipermalukan oleh Allah. Ini adalah salah satu bentuk keimanan dan kecerdasan Khadijah yang sangat dalam.
Menghadap Waraqah bin Nawfal
Khadijah tidak berhenti pada ucapan penghiburan. Ia ingin memastikan hakikat peristiwa besar yang dialami suaminya. Ia kemudian mengajak Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menemui sepupunya, Waraqah bin Nawfal bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza.
Waraqah adalah seorang lelaki tua yang pada masa jahiliah telah memeluk agama Nasrani. Ia mengenal kitab-kitab samawi dan menulis dengan bahasa Ibrani, menyalin sebagian isi Injil sesuai kehendak Allah. Di masa itu, Waraqah telah sangat tua dan buta.
Khadijah berkata kepadanya:
“Wahai anak pamanku, dengarkanlah dari anak saudaramu ini.”
Waraqah berkata kepada Rasulullah:
“Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?”
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menceritakan seluruh peristiwa yang beliau alami di Gua Hira. Setelah mendengarnya, Waraqah berkata:
“Itulah An-Nāmūs (pembawa wahyu) yang dahulu turun kepada Musa. Andai saja aku masih muda kuat saat ini, dan andai saja aku masih hidup ketika kaummu akan mengusirmu.”
Nabi pun heran dan bertanya:
“Apakah mereka akan mengusirku?”
Waraqah menjawab:
“Ya. Tidak ada seorang pun yang datang membawa sesuatu seperti apa yang engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jika aku sempat hidup di hari itu, niscaya aku akan menolongmu dengan pertolongan yang sungguh-sungguh.”
Tak lama setelah pertemuan itu, Waraqah meninggal dunia. Dan setelah itu, wahyu pun terhenti untuk beberapa waktu.
Terhentinya Wahyu dan Kegelisahan Nabi
Masa terhentinya wahyu ini dikenal dengan istilah fataratul-wahy. Di masa ini Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat bersedih. Dalam sebagian riwayat yang sampai kepada para ulama, disebutkan bahwa kesedihan itu begitu mendalam sehingga terlintas dalam benak beliau untuk naik ke puncak-puncak gunung tinggi, seolah-olah hendak menjatuhkan diri.
Namun, setiap kali beliau telah sampai di puncak sebuah gunung, Malaikat Jibril menampakkan diri dan berkata:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau benar-benar Rasul Allah.”
Ucapan itu menenangkan hati beliau. Beliau pun kembali pulang dengan dada yang lebih lapang.
Jika masa terhentinya wahyu itu terasa lama lagi, beliau kembali gelisah, lalu pergi lagi ke suatu puncak gunung. Dan setiap kali itu terjadi, Jibril kembali menampakkan diri dan menyampaikan kalimat yang sama, hingga hati beliau menjadi tenang.
Turunnya Perintah: “Wahai Orang yang Berselimut”
Dalam satu riwayat yang diceritakan oleh Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshari, diceritakan bahwa setelah masa terhentinya wahyu itu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam berjalan, lalu tiba-tiba mendengar suara dari arah langit.
Beliau mengangkat pandangan, dan ternyata malaikat yang dulu datang di Gua Hira sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi. Pemandangan yang sangat menakjubkan dan menakutkan.
Beliau pun takut dan segera pulang ke rumah seraya berkata:
“Selimuti aku… selimuti aku…”
Saat beliau diselimuti, turunlah wahyu berikutnya:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Artinya:
“Wahai orang yang berselimut,
bangunlah, lalu berilah peringatan.
Dan Tuhanmu agungkanlah.
Dan pakaianmu bersihkanlah.
Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
(QS Al-Muddatstsir [74]: 1–5)
Sejak turunnya ayat-ayat ini, wahyu kembali turun dengan terus-menerus. Saat itulah secara resmi dimulai tugas kerasulan beliau: bangun, memberi peringatan, mengagungkan Allah, membersihkan diri lahir dan batin, dan meninggalkan segala bentuk dosa dan kekotoran.
Permulaan Wahyu dalam Mimpi
Ucapan ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā yang menyebutkan bahwa permulaan wahyu adalah mimpi-mimpi yang benar, sejalan dengan riwayat lain yang menunjukkan bahwa sebelum wahyu turun dalam keadaan terjaga, telah ada “pendahuluan” dalam mimpi.
Di antara riwayat yang menguatkan hal ini adalah kisah yang dibawakan oleh Muhammad bin Ishaq dari ‘Ubaid bin ‘Umair Al-Laitsi. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Jibril datang kepadanya ketika beliau sedang tidur, membawa sehelai kain dari sutra tebal yang di dalamnya terdapat tulisan. Jibril berkata:
“Bacalah.”
Beliau menjawab:
“Apa yang harus aku baca?”
Maka Jibril memeluk beliau hingga beliau mengira bahwa itulah ajalnya, lalu melepaskannya dan menyampaikan wahyu dengan kata-kata yang mirip dengan kisah yang diriwayatkan ‘Aisyah.
Riwayat-riwayat seperti ini menunjukkan bahwa mimpi yang benar menjadi semacam pendahuluan lembut sebelum datangnya wahyu berat dalam keadaan sadar.
Dalam Maghazi karya Musa bin ‘Uqbah, dari Az-Zuhri, disebutkan dengan jelas bahwa Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam pertama kali melihat peristiwa itu dalam mimpi, kemudian malaikat datang kepadanya dalam keadaan terjaga.
Penjelasan Para Ulama tentang Pola Wahyu
Al-Hafizh Abu Nu‘aim Al-Ashbahani, dalam kitabnya Dalā’ilun-Nubuwwah, meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Alqamah bin Qais. Ia berkata:
“Sesungguhnya permulaan (wahyu) yang diberikan kepada para nabi adalah (datang) dalam mimpi, hingga hati mereka menjadi tenang; kemudian barulah wahyu turun setelah itu (dalam keadaan terjaga).”
Ini adalah ucapan dari ‘Alqamah sendiri, namun para ulama menilainya sebagai perkataan yang indah dan selaras dengan hadis-hadis yang datang sebelum dan sesudahnya. Polanya serupa: pertama mimpi yang benar, lalu datang wahyu dengan pertemuan langsung.
Ibnu Katsir rahimahullāh menjelaskan bahwa hadis ‘Aisyah tentang turunnya wahyu pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam beberapa tempat di Shahih-nya, dan beliau (Ibnu Katsir) telah membahasnya secara panjang lebar dalam Syarah Shahih Bukhari, pada Kitab Bad’ul-Wahy — baik dari sisi sanad maupun matannya.
Imam Muslim juga meriwayatkan hadis ini dalam Shahih-nya melalui beberapa jalur, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Bukhari secara mu‘allaq. Ada pula perbedaan kecil dalam sebagian lafaz di jalur Yunus dan Ma‘mar dari Az-Zuhri. Ibnu Katsir menyebut bahwa beliau telah memberi tanda di pinggir kitabnya untuk menunjukkan tambahan-tambahan riwayat dalam Shahih Muslim dibandingkan riwayat Al-Bukhari.
Semua ini menunjukkan betapa kuat dan kokohnya kisah turunnya wahyu pertama ini, ditopang oleh banyak jalur dan penjelasan para ulama hadis.
Sumber Kisah
- Al-Bidāyah wan-Nihāyah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir

Komentar
Posting Komentar