Tuntutan Quraisy akan Mukjizat Nabi, dan Sikap Abu Thalib Membela Nabi

 

Abu Thalib berdiri di depan Ka'bah memegang kainnya dengan tangan terangkat bersumpah, dikelilingi para lelaki Bani Hasyim bersenjata dengan wajah tegas dan penuh tekad pada senja di Makkah.

Persekusi Awal terhadap Kaum Muslimin Lemah

Ketika dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menyebar di Makkah, para pemuka Quraisy merasa terancam. Mereka kemudian saling bersepakat: setiap kabilah akan menangani orang-orang yang telah masuk Islam dari kalangan mereka sendiri.

Sejak saat itu, setiap kabilah menangkap orang-orang lemah yang beriman, lalu menyiksa dan menekan mereka agar kembali kepada agama nenek moyang. Ada yang dijemur di terik matahari, ada yang diikat, ada yang dipukul dan diancam, semua dengan tujuan agar mereka murtad dan meninggalkan Islam.

Di tengah keadaan itu, Allah Ta‘ala melindungi Rasul-Nya melalui pamannya, Abu Thalib. Ia meskipun tidak masuk Islam, sangat mencintai dan melindungi keponakannya. Ketika ia melihat Quraisy semakin keras menekan Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, Abu Thalib bangkit memanggil keluarga besarnya. Ia mengajak mereka bersikap satu suara: melindungi Muhammad dan berdiri membela beliau, apa pun risikonya.

Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib menyambut ajakan ini dan berdiri di belakang Abu Thalib, kecuali Abu Lahab yang justru berpihak kepada musuh. Untuk menguatkan semangat kaumnya, Abu Thalib menyusun syair yang memuji kehormatan Bani ‘Abd Manaf dan Bani Hasyim, serta mengangkat kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya ia menggambarkan bahwa bila Quraisy berkumpul untuk saling berbangga, maka kemuliaan mereka sesungguhnya berada pada ‘Abd Manaf, dan puncaknya ada pada Bani Hasyim; dan jika mereka berbangga pada suatu hari, maka Muhammad adalah sosok terpilih dan termulia di tengah mereka.

Syair ini sekaligus menjadi seruan halus kepada Quraisy: orang yang sedang kalian perangi sebenarnya adalah sumber kehormatan kalian sendiri.

Permintaan Mukjizat yang Penuh Keangkuhan

Sementara itu, para pembesar musyrikin Makkah tidak berhenti mencari-cari alasan untuk menolak dakwah Nabi. Mereka meminta berbagai macam “tanda” dan mukjizat, namun bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk membantah dan memperolok.

Allah Ta‘ala menggambarkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَتْهُمْ آيَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهَا ۚ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لَا يُؤْمِنُونَ ۝ وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ ۝ وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ﴾
(QS. Al-An‘ām: 109–111)

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh: ‘Sesungguhnya jika datang kepada mereka suatu ayat (mukjizat), pastilah mereka beriman kepadanya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya ayat-ayat itu hanyalah berada di sisi Allah.’ Dan apakah yang membuat kalian mengerti, bahwa bila ayat-ayat itu datang, mereka tidak (juga) akan beriman?
Dan Kami akan membolak-balikkan hati dan penglihatan mereka, sebagaimana mereka dahulu tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kedurhakaan mereka dalam keadaan bingung.
Dan seandainya Kami turunkan malaikat-malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara kepada mereka, dan Kami kumpulkan segala sesuatu berhadap-hadapan di hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman kecuali jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Allah juga menegaskan bahwa ada kelompok yang sudah dipastikan tidak akan beriman, karena keras kepala dan penolakannya:

﴿إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ ۝ وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ﴾
(QS. يونس: 96–97)

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka ketetapan (azab) Tuhanmu, mereka tidak akan beriman,
meskipun datang kepada mereka segala macam ayat, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.”

Karena itulah, banyak permintaan mukjizat mereka yang tidak dikabulkan. Bukan karena Allah tidak mampu memenuhinya, tetapi karena hikmah-Nya: bila mukjizat itu turun lalu tetap didustakan, azab akan disegerakan, sebagaimana yang menimpa kaum-kaum terdahulu.

Pertemuan Besar di Belakang Ka‘bah

Suatu sore, setelah matahari terbenam, sekelompok pembesar Quraisy berkumpul di belakang Ka‘bah. Mereka adalah para pemuka yang berpengaruh. Mereka saling berbicara, lalu sepakat: “Mari kita panggil Muhammad. Kita ajak dia bicara, kita bantah dia, supaya kita punya alasan yang jelas di hadapan manusia tentang sikap kita terhadapnya.”

Mereka kemudian mengirimkan pesan:

“Sesungguhnya para pembesar kaummu telah berkumpul untukmu, untuk berbicara denganmu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dengan segera. Beliau berharap, mungkin kali ini sikap mereka mulai melunak. Beliau sangat ingin kaumnya mendapat hidayah, dan sangat sedih bila mereka menolak kebenaran.

Setelah beliau duduk bersama mereka, mereka mulai berbicara:

“Wahai Muhammad, kami memanggilmu agar kami punya alasan yang jelas tentangmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui ada seorang Arab yang pernah membawa kepada kaumnya seperti yang engkau bawa kepada kaummu.
Engkau telah mencela nenek moyang kami, engkau mencela agama kami, engkau menuduh pikiran orang-orang kami bodoh, engkau mencela tuhan-tuhan kami, dan engkau memecah-belah persatuan kami.
Tidak ada keburukan pun yang tersisa dalam hubungan antara kami dan engkau, kecuali engkau telah membawanya.
Jika yang engkau cari adalah harta, kami akan mengumpulkan untukmu dari harta-harta kami hingga engkau menjadi orang paling kaya di antara kami.
Jika yang engkau inginkan adalah kehormatan, kami akan menjadikanmu sebagai pemimpin kami.
Jika engkau menginginkan kerajaan, kami akan mengangkatmu sebagai raja atas kami.
Jika yang datang kepadamu itu adalah makhluk dari jin yang menguasaimu, kami akan mengeluarkan harta kami untuk mencari tabib, agar engkau disembuhkan atau agar kami punya alasan bahwa kami sudah mengobatimu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan penuh ketegasan dan kejujuran:

“Bukan itu yang ada padaku, sebagaimana yang kalian katakan.
Aku tidak datang kepada kalian membawa apa yang kubawa ini demi mencari harta kalian, bukan pula untuk mencari kehormatan di tengah kalian, dan bukan pula untuk berkuasa atas kalian.
Akan tetapi Allah telah mengutusku kepada kalian sebagai Rasul, menurunkan kepadaku sebuah Kitab, dan memerintahkanku menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan bagi kalian.
Sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian risalah Rabbku, dan aku telah menasihati kalian.
Jika kalian menerima (ajaran) yang kubawa, maka itu adalah bagian (kebaikan) kalian di dunia dan akhirat.
Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar terhadap ketentuan Allah hingga Dia memutuskan (hukum)-Nya antara aku dan kalian.”

Namun mereka belum berhenti. Mereka melanjutkan dengan syarat-syarat baru:

“Jika engkau tidak mau menerima tawaran kami akan harta, kehormatan, dan kerajaan, engkau tahu bahwa negeri kami ini adalah negeri yang paling sempit, paling miskin, dan paling berat kehidupannya.
Maka mintalah kepada Rabbmu yang mengutusmu, agar Dia menggeser gunung-gunung yang menyempitkan wilayah kami, agar Dia melapangkan negeri kami, dan agar Dia mengalirkan sungai-sungai di dalamnya seperti di negeri Syam dan Irak.
Lalu mintalah agar Dia membangkitkan untuk kami sebagian nenek moyang kami yang telah meninggal, dan hendaklah di antara mereka ada Qushay bin Kilab, karena ia dahulu adalah seorang yang jujur. Kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang engkau bawa: apakah itu benar atau batil.
Jika engkau melakukan itu dan mereka membenarkanmu, kami pun akan membenarkanmu dan mengerti kedudukanmu di sisi Allah, dan bahwa Dia telah mengutusmu sebagai Rasul sebagaimana engkau katakan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Bukan dengan hal-hal seperti ini aku diutus.
Aku hanya datang kepada kalian membawa apa yang Allah utuskan kepadaku. Sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa yang aku diutus dengannya.
Jika kalian menerimanya, itu adalah bagian kalian di dunia dan akhirat.
Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar hingga Allah memutuskan (hukum)-Nya antara aku dan kalian.”

Mereka pun mengajukan tuntutan lain, kali ini untuk “menguji” kedudukan Nabi di sisi Allah melalui tanda-tanda duniawi:

“Kalau begitu, bila engkau tidak melakukan hal itu demi kami, lakukanlah untuk dirimu sendiri.
Mintalah kepada Rabbmu agar Dia mengutus kepada kami seorang malaikat yang membenarkanmu atas apa yang engkau katakan, dan yang menjadi penghubung antara kami dan engkau.
Mintalah pula agar Dia menjadikan untukmu kebun-kebun, harta-harta simpanan, dan istana-istana dari emas dan perak, sehingga engkau tidak perlu lagi mencari nafkah di pasar sebagaimana kami.
Jika semua itu terjadi, kami akan mengetahui keutamaan kedudukanmu di sisi Rabbmu, bila engkau benar seorang Rasul sebagaimana pengakuanmu.”

Namun jawaban beliau tetap sama:

“Aku tidak akan melakukan itu. Aku bukanlah orang yang meminta hal-hal seperti itu kepada Rabbku.
Aku tidak diutus kepada kalian dengan membawa (misi) seperti itu, melainkan aku diutus sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan.
Jika kalian menerima apa yang kubawa, itulah bagian kalian di dunia dan akhirat.
Jika kalian menolaknya, aku akan bersabar terhadap ketentuan Allah hingga Dia memutuskan (hukum)-Nya antara aku dan kalian.”

Mereka lalu semakin menantang:

“Kalau begitu, jatuhkanlah langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana engkau katakan bahwa Rabbmu, bila Ia mau, Ia akan melakukan itu. Kami tidak akan beriman kepadamu sampai engkau lakukan itu.”

Beliau menjawab singkat:

“Itu urusan Allah. Jika Dia menghendaki, Dia akan melakukan hal itu atas kalian.”

Di tengah sikap menentang ini, mereka bahkan mencemooh dan berkata:

“Apakah Rabbmu tidak tahu bahwa kita akan duduk bersamamu dan bertanya hal-hal seperti ini, lalu meminta kepadamu apa yang kami minta?
Seharusnya Ia telah mendahului mengabarkan kepadamu apa yang harus engkau jawab dan apa yang akan Ia lakukan kepada kami bila kami tidak menerima ajaranmu.
Telah sampai kabar kepada kami, bahwa yang mengajarkan ajaran ini kepadamu adalah seorang laki-laki di Yamamah yang dipanggil ar-Rahman. Demi Allah, kami tidak akan beriman kepada ar-Rahman itu selamanya.”

Sebagian mereka berkata: “Kami menyembah para malaikat, dan mereka adalah putri-putri Allah.” Yang lain berkata: “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadapan (di hadapan kami).”

Allah Ta‘ala mengabadikan model tuntutan seperti ini dalam firman-Nya:

﴿وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ ۚ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا ۚ وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا﴾
(QS. الإسراء: 59)

“Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda (mukjizat) itu melainkan karena orang-orang terdahulu telah mendustakannya. Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina itu sebagai tanda yang nyata, tetapi mereka menganiayanya. Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.”

Dan:

﴿وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا ۝ أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا ۝ أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا ۝ أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ ۖ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّىٰ تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ ۗ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا﴾
(QS. الإسراء: 90–93)

“Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu hingga engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami.
Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan sungai-sungai di celah-celahnya dengan deras.
Atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping atas kami sebagaimana engkau katakan, atau engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadap-hadapan.
Atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas, atau engkau naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepada kenaikanmu itu hingga engkau turunkan kepada kami sebuah kitab yang kami baca.’ Katakanlah: ‘Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia, seorang rasul?’”

Tantangan Abdullah bin Abi Umayyah

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit meninggalkan majelis itu, sepupunya, ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah — putra ‘Atikah binti ‘Abdil Muththalib — mengikutinya. Ia berkata dengan nada sangat menantang:

“Wahai Muhammad, kaummu telah menawarkan kepadamu apa yang mereka tawarkan, namun engkau tidak menerimanya.
Lalu mereka meminta kepadamu beberapa tanda untuk diri mereka, agar mereka mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, tetapi engkau tidak melakukannya.
Kemudian mereka meminta agar engkau segerakan azab yang engkau ancamkan kepada mereka, dan engkau pun tidak melakukannya.
Demi Allah, aku tidak akan beriman kepadamu selamanya, sampai engkau membuat sebuah tangga ke langit, lalu engkau naik di atasnya sementara aku melihatmu, kemudian engkau datang kembali kepada kami dengan membawa lembaran yang tertulis dan terbuka, bersama empat malaikat yang bersaksi bahwa engkau memang sebagaimana engkau katakan.
Dan demi Allah, sekalipun engkau melakukan itu, aku masih mengira bahwa aku tidak akan membenarkanmu.”

Ucapan ini sangat menusuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali kepada keluarganya dalam keadaan sedih dan susah. Bukan karena hinaan mereka, melainkan karena harapan beliau terhadap hidayah kaumnya seolah pupus, dan karena beliau melihat mereka justru makin menjauh dan menentang.

Majelis para pemuka itu, kata para ulama, adalah majelis kezaliman, permusuhan, dan pembangkangan. Karena itu, hikmah Allah dan rahmat-Nya menuntut agar permintaan-permintaan mereka tidak dikabulkan. Allah mengetahui bahwa sekalipun permintaan mereka dipenuhi, mereka tetap tidak akan beriman. Jika demikian, azab akan segera diturunkan atas mereka.

Shafa Menjadi Emas: Pilihan Nabi Antara Azab dan Rahmat

Dalam riwayat lain diceritakan, penduduk Makkah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

“Berdoalah kepada Rabbmu agar Ia menjadikan bukit Shafa emas bagi kami, dan agar Ia menyingkirkan gunung-gunung dari sekitar kami sehingga kami bisa bercocok tanam. Bila itu terjadi, kami akan beriman kepadamu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

“Apakah kalian benar-benar akan melakukannya, akan beriman bila itu dikabulkan?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Beliau pun berdoa. Kemudian datanglah Jibril membawa pesan dari Allah:

“Sesungguhnya Rabbmu mengucapkan salam kepadamu dan berfirman:
Jika engkau mau, bukit Shafa akan dijadikan emas bagi mereka. Tetapi siapa saja di antara mereka yang tetap kafir setelah itu, niscaya Aku akan mengazabnya dengan azab yang tidak Aku timpakan kepada seorang pun dari seluruh alam.
Dan jika engkau mau, Aku tidak mengabulkan permintaan ini sekarang, melainkan Aku bukakan bagi mereka pintu rahmat dan tobat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hatinya penuh kasih sayang kepada manusia, memilih pilihan kedua. Beliau berkata:

“Aku memilih tobat dan rahmat.”

Maka turunlah firman Allah:

﴿وَمَا مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ ۚ وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا ۚ وَمَا نُرْسِلُ بِالْآيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا﴾
(QS. الإسراء: 59)

“Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda (mukjizat) itu melainkan karena orang-orang terdahulu telah mendustakannya. Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina itu sebagai tanda yang nyata, tetapi mereka menganiayanya. Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menahan turunnya mukjizat sesuai keinginan orang-orang yang membangkang, bukan karena lemah, tetapi karena kasih sayang dan hikmah-Nya. Bila mukjizat besar itu turun, lalu mereka tetap mendustakan, azab akan dipastikan turun, sebagaimana yang terjadi pada kaum Tsamud dengan unta betina mereka.

Tiga Pertanyaan dari Ulama Yahudi

Quraisy tidak berhenti mencari cara untuk menjatuhkan Nabi. Mereka berkata, kira-kira: “Yahudi itu ahli kitab. Mereka punya Taurat dan ilmu tentang kenabian. Mari kita uji Muhammad dengan pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari mereka.”

Maka mereka mengutus an-Nadhr bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith ke Madinah. Keduanya mendatangi para rahib Yahudi dan berkata:

“Kami datang kepada kalian membawa seorang laki-laki dari kami yang mengaku nabi. Kami ingin kalian menjelaskan kepada kami tentang dirinya, karena kalian adalah ahli Taurat dan memiliki ilmu tentang para nabi.”

Para rahib Yahudi menjawab:

“Tanyakan kepadanya tiga perkara yang akan kami sebutkan ini.
Pertama, tentang sekelompok pemuda di zaman dahulu yang meninggalkan kaumnya. Apa yang terjadi dengan mereka? Karena mereka mempunyai kisah yang menakjubkan.
Kedua, tentang seorang lelaki yang menjelajahi timur dan barat bumi. Apa kisahnya?
Ketiga, tentang ruh. Apa hakikat ruh itu?
Jika ia dapat menjawab ketiga hal ini, ia adalah nabi yang benar. Ikutilah dia.
Jika ia tidak menjawab, berarti ia hanyalah lelaki yang mengada-ada. Kalian bebas bersikap terhadapnya apa pun yang kalian inginkan.”

An-Nadhr dan ‘Uqbah kembali ke Makkah dengan penuh percaya diri. Mereka berkata kepada kaumnya kurang lebih: “Wahai Quraisy, sekarang kami datang dengan pemisah (putusan) antara kalian dan Muhammad. Ulama Yahudi menyuruh kami menanyakan tiga hal ini kepadanya.”

Mereka pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan tiga pertanyaan tersebut. Beliau bersabda:

“Aku akan mengabarkan jawabannya kepada kalian besok.”

Namun saat itu beliau tidak mengucapkan “insya Allah”.

Mereka pun beranjak pergi. Hari berikutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu wahyu, tetapi Jibril tidak datang. Satu hari berlalu, dua hari, hingga berlalu lima belas malam. Tidak ada wahyu baru turun. Orang-orang musyrik pun mulai menyebarkan ejekan:

“Muhammad berjanji akan memberi jawaban besok, tetapi sudah berlalu lima belas malam, dan ia belum menjawab sedikit pun tentang apa yang kami tanyakan.”

Hal ini membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersedih. Beliau merindukan turunnya wahyu, dan merasa berat dengan ucapan-ucapan penduduk Makkah.

Akhirnya, Jibril ‘alaihis salam datang membawa Surah Al-Kahf. Di dalam surah ini terdapat teguran lembut dari Allah karena kesedihan beliau yang begitu dalam atas penolakan kaumnya, dan terdapat pula jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mereka: kisah para pemuda penghuni gua, kisah seorang hamba Allah yang menjelajahi timur dan barat bumi (Dzul Qarnain), serta penjelasan tentang ruh yang disebutkan di Surah Al-Isrā’.

Allah berfirman di awal kisah para pemuda itu:

﴿أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا﴾
(QS. الكهف: 9)

“Ataukah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (memiliki) ar-Raqim itu termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang menakjubkan?”

Di tengah surah ini, Allah juga mengajarkan sebuah adab penting: jangan memastikan akan melakukan sesuatu di masa depan tanpa menyertakan “insya Allah”. Allah berfirman:

﴿وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا ۝ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ﴾
(QS. الكهف: 23–24)

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan tentang sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok,’
kecuali (dengan mengatakan): ‘Insya Allah.’ Dan ingatlah Rabbmu bila engkau lupa.”

Tentang Dzul Qarnain, Allah berfirman:

﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُوا عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا﴾
(QS. الكهف: 83)

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzul Qarnain. Katakanlah: ‘Akan kubacakan kepada kalian sedikit kisah tentangnya.’”

Kemudian Al-Qur’an menceritakan bagaimana Allah memberinya kekuasaan, perjalanannya ke barat dan ke timur, serta ke sebuah negeri di antara dua gunung, dan bagaimana ia menolong suatu kaum dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj.

Adapun tentang ruh, Allah menjawabnya dalam Surah Al-Isrā’:

﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي ۖ وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا﴾
(QS. الإسراء: 85)

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.’”

Ruh adalah makhluk Allah yang menakjubkan dari sekian banyak ciptaan-Nya, dan ia termasuk perkara gaib yang rinciannya tidak sepenuhnya dijelaskan kepada manusia. Allah hanya memberi manusia ilmu yang sedikit tentang hakikatnya. Karena itu, upaya untuk menyingkap hakikat ruh secara penuh akan selalu terbatas bila dibandingkan dengan keluasan ilmu, kekuasaan, dan hikmah Allah Ta‘ala.

Dalam hadis sahih disebutkan bahwa orang-orang Yahudi di Madinah juga pernah menanyakan hal ini kepada Nabi, lalu beliau menjawab dengan ayat ini. Bisa jadi ayat ini turun dua kali, atau beliau membacakannya kembali sebagai jawaban sementara turunnya sudah terjadi sebelumnya.

Syair Abu Thalib: Sumpah untuk Melindungi Nabi

Sementara penentangan Quraisy semakin keras, Abu Thalib mulai khawatir akan serangan yang lebih besar dari berbagai kabilah Arab yang mungkin bersatu menyerangnya bersama Bani Hasyim karena membela Nabi. Dalam suasana tertekan itu, ia menyusun sebuah qasidah yang panjang dan sangat kuat.

Dalam qasidah tersebut, Abu Thalib menyebutkan kehormatan Haram Makkah, Ka‘bah, Hajar Aswad, Maqam Ibrahim, sa‘i antara Shafa dan Marwah, serta berbagai manasik haji. Ia menjadikan semua itu semacam “saksi” atas sumpah dan doanya. Ia juga menyindir tajam pengkhianatan dan kebencian sebagian kabilah Quraisy, termasuk nama-nama tokoh yang berpaling atau memusuhi Bani Hasyim.

Dengan bahasa yang puitis, ia menggambarkan bahwa kaumnya telah memutus segala ikatan kasih sayang, menampakkan permusuhan dan gangguan, dan bersekutu dengan orang-orang yang memendam kedengkian terhadap Bani Hasyim. Ia menyatakan bahwa dirinya telah mempersiapkan diri untuk bersabar menghadapi mereka dengan tombak yang tajam dan pedang warisan para leluhur, dan bahwa ia telah mengerahkan kerabat dan saudaranya berdiri di sisi Ka‘bah, memegang kain-kainnya, bersumpah di hadapan Rabb rumah itu.

Pada sebagian bait syairnya, ia menggambarkan sosok Nabi dengan sangat indah. Di antara maknanya:

“Dan seorang lelaki berwajah putih, yang dengan wajahnya awan dimohonkan hujan;
ia adalah tempat berlindung anak-anak yatim, pelindung para janda.”

Inilah gambaran wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mata Abu Thalib: wajah yang penuh cahaya dan keberkahan, sosok yang kehadirannya menjadi rahmat bagi orang-orang lemah.

Di bagian-bagian lain, Abu Thalib menegaskan bahwa mereka tidak akan meninggalkan Makkah dan tidak akan menyerahkan Muhammad, kecuali setelah mereka bertarung mati-matian di sekeliling beliau, sampai para pejuang tersungkur dan lupa terhadap anak-anak serta istri-istri mereka. Ia menggambarkan bagaimana bila perang benar-benar terjadi, pedang-pedang akan berbaur dengan tubuh-tubuh orang-orang yang setara kedudukannya, dan para pemuda pemberani akan bangkit membela, laksana singa-singa buas di atas daging yang empuk.

Di akhir qasidah, Abu Thalib membuka rahasia besar di hatinya. Ia mengakui bahwa dirinya sangat mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, meyakini kejujurannya dan kemuliaan agamanya. Ia mengatakan kurang lebih, bahwa seandainya bukan karena khawatir cela dan aib yang akan menimpa para sesepuh kaumnya di majelis-majelis Arab, niscaya ia akan mengikuti Muhammad dalam setiap keadaan, dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar kata-kata main-main. Ia menegaskan bahwa mereka semua mengetahui, di tengah keluarga Hasyim, bahwa Muhammad tidak didustakan, dan beliau tidak pernah peduli dengan ucapan-ucapan batil.

Ia menutup syairnya dengan menyatakan bahwa ia telah menjadikan dirinya perisai bagi Nabi, melindungi dan membela beliau dengan seluruh kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

Sumber kisah:

Al-Hafizh Ibnu Katsîr, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang