Rihlah Ibnu Batutah #4 : Para Ulama Sufi di Iskandariah
Kisah Para Wali di Kota Iskandariyah
Di kota Iskandariyah, banyak orang saleh dan wali Allah yang terkenal. Salah satunya adalah Syaikh Abū ‘Abdillāh al-Fāsī, seorang wali besar yang selalu dekat dengan Allah Ta‘ālā. Diceritakan, beliau bahkan bisa mendengar jawaban salam setiap kali selesai salat.
Selain itu, ada Syaikh Khalīfah, seorang imam yang berilmu, zuhud, khusyuk, dan wara‘. Ia dikenal sebagai sahabat para ahli kasyf, yaitu orang-orang yang diberi penyingkapan gaib oleh Allah.
Seorang sahabat terpercaya menceritakan bahwa Syaikh Khalīfah pernah melihat Rasulullah ﷺ dalam mimpi. Nabi bersabda kepadanya:
“Wahai Khalīfah, kunjungilah kami.”
Mendengar itu, Syaikh Khalīfah berangkat menuju Madinah al-Munawwarah. Sesampainya di Masjid Nabawi, ia masuk melalui Bāb al-Salām, menyalami masjid, dan memberi salam kepada Rasulullah ﷺ. Ia duduk bersandar pada salah satu tiang masjid dan meletakkan kepalanya di atas lututnya — sebuah praktik sufi yang disebut al-tarfīq (menenangkan diri dalam dzikir).
Ketika mengangkat kepalanya, ia mendapati empat potong roti, sebuah wadah berisi susu, dan piring berisi kurma. Ia dan para sahabatnya memakannya, lalu kembali ke Iskandariyah. Pada tahun itu, ia tidak menunaikan ibadah haji.
Di antara para wali lainnya terdapat Syaikh Burhān al-Dīn al-A‘raj, seorang imam berilmu, zuhud, wara‘, dan khusyuk. Ibnu Batutah pernah tinggal di rumahnya selama tiga hari.
Nasihat dan Doa Para Sufi
Suatu hari, Syaikh Burhān al-Dīn berkata kepada Ibnu Batutah:
“Aku melihat engkau mencintai perjalanan dan pengembaraan ke berbagai negeri.”
Ibnu Batutah menjawab, “Benar, aku memang menyukainya.” Saat itu, ia belum pernah terpikir untuk menjelajah sejauh India dan Cina. Syaikh pun berkata:
“Insya Allah, engkau akan mengunjungi saudaraku Farīd al-Dīn di India, saudaraku Rukn al-Dīn Zakariyā di Sind, dan saudaraku Burhān al-Dīn di Cina. Jika sampai kepada mereka, sampaikan salamku.”
Ibnu Batutah heran mendengar hal itu, tetapi timbul dorongan kuat dalam hatinya untuk menjelajah negeri-negeri tersebut. Akhirnya, ia bertemu ketiganya dan menyampaikan salam Syaikh Burhān al-Dīn. Saat berpisah, Syaikh memberinya sejumlah dirham sebagai bekal, yang ia simpan hingga dirampas oleh perampok di laut oleh orang kafir India.
Selain itu, terdapat juga Syaikh Yāqūt al-Ḥabashī, murid Abū al-‘Abbās al-Mursī. Abū al-‘Abbās al-Mursī sendiri adalah murid Abū al-Ḥasan al-Syādzilī, seorang wali Allah yang memiliki karamah agung dan derajat tinggi di sisi-Nya.
Wafatnya Abū al-Ḥasan al-Syādzilī
Syaikh Yāqūt menceritakan bahwa Abū al-Ḥasan al-Syādzilī setiap tahun menunaikan haji. Ia menempuh perjalanan melalui Hulu Mesir (Ṣa‘īd Miṣr), berdiam di Mekah selama bulan Rajab hingga selesai musim haji, kemudian berziarah ke makam Nabi ﷺ dan kembali ke negerinya melalui jalan besar (al-darb al-kabīr).
Pada tahun terakhir ia berhaji, beliau berkata kepada pelayannya:
“Bawalah kapak, cangkul, kafan, dan perlengkapan pemakaman.”
Pelayannya heran dan bertanya, “Untuk apa, wahai Tuanku?” Beliau menjawab:
“Engkau akan melihatnya nanti di Ḥamīthirā.”
Ḥamīthirā adalah daerah di gurun ‘Aydzāb, Hulu Mesir, dengan mata air yang sangat asin dan dihuni binatang buas seperti serigala. Ketika mereka tiba di sana, Syaikh Abū al-Ḥasan mandi, menunaikan salat dua rakaat, lalu Allah mencabut nyawanya dalam sujud terakhirnya. Beliau dikuburkan di sana.
Ibnu Batutah sendiri pernah mengunjungi makam beliau, yang atasnya tertulis nama dan nasabnya yang bersambung hingga al-Ḥasan bin ‘Alī ra.
Syaikh Abū ‘Abdillāh al-Mursyidī dan Perjalanan ke Damanhūr
Ketika tinggal di Iskandariyah, Ibnu Batutah mendengar tentang Syaikh Abū ‘Abdillāh al-Mursyidī, seorang wali saleh, ahli ibadah yang zuhud dan hidup menyendiri. Beliau tinggal di daerah Maniyyat Banī Murshid, memiliki sebuah zawiyah, dan hidup tanpa pelayan atau sahabat. Para amir, menteri, dan berbagai kalangan datang kepadanya setiap hari untuk memohon doa.
Setiap tamu yang datang berniat makan sesuatu — baik makanan, buah, atau manisan — maka ia selalu mendapatkannya dari Syaikh, meski di luar musimnya. Para ulama juga datang untuk meminta posisi khatib, dan Syaikh yang menentukan siapa yang diangkat atau diberhentikan. Semua hal itu sudah terkenal dan diakui banyak orang. Bahkan Sultan al-Malik al-Nāṣir beberapa kali mendatanginya.
Ibnu Batutah kemudian berangkat menuju tempat Syaikh itu. Dalam perjalanan, ia sampai di desa Turuja yang berjarak setengah hari perjalanan dari Iskandariyah. Desa itu besar, memiliki qāḍī, gubernur, dan pengawas, serta penduduk yang berakhlak mulia dan dermawan.
Ibnu Batutah berteman dengan qāḍī desa, Ṣafī al-Dīn, khatibnya, Fakhr al-Dīn, dan seorang terpelajar bernama Mubārak, bergelar Zayn al-Dīn. Ia tinggal di rumah seorang ahli ibadah bernama ‘Abd al-Wahhāb. Pengawas desa, Zayn al-Dīn bin al-Wā‘iẓ, menjamunya dan bertanya tentang negeri asalnya serta jumlah pajaknya. Ibnu Batutah menjawab bahwa pajak di daerahnya sekitar 12.000 dinar emas. Ia terkejut dan berkata:
“Tahukah engkau, desa ini saja menghasilkan pajak 72.000 dinar emas! Itulah sebabnya pajak di wilayah Mesir besar, karena seluruh tanahnya adalah milik Bayt al-Māl (perbendaharaan negara).”
Setelah itu, Ibnu Batutah meninggalkan desa dan tiba di kota Damanhūr, kota besar dengan pendapatan melimpah dan keindahan luar biasa. Kota ini adalah ibu kota seluruh wilayah al-Buḥayrah dan pusat segala urusannya. Qāḍī kota saat itu adalah Fakhr al-Dīn bin Maskīn, dari kalangan fuqahā’ Syafi‘iyyah. Ia kemudian diangkat menjadi qāḍī Iskandariyah setelah penggantian ‘Imād al-Dīn al-Kindī akibat peristiwa yang pernah dialami Ibnu Batutah.
Seorang yang terpercaya memberitahunya bahwa Ibnu Maskīn membayar 25.000 dirham, setara 1.000 dinar emas, untuk mendapatkan jabatan qāḍī Iskandariyah.
Sumber :
Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār


Komentar
Posting Komentar