Rihlah Ibnu Bathutah #9 : Kisah Tentang Raja al Nashir, Sultan Mesir
Kisah Tentang Raja al-Nāshir, Sultan Mesir
(dalam catatan perjalanan Ibnu Bathutah)
Ketika Ibnu Bathutah tiba di negeri Mesir, yang memerintah saat itu adalah Raja al-Nāshir Abu al-Fath Muhammad bin al-Manshur Saifuddin Qalawun al-Shalihi. Ia terkenal dengan sebutan al-Alfi, karena dahulu dibeli oleh Raja al-Shalih seharga seribu dinar emas. Asalnya dari negeri Qifjaq, dan Allah telah menganugerahinya akhlak yang mulia serta keutamaan yang besar.
Raja al-Nāshir dikenal sebagai penguasa yang dermawan dan berhati lembut. Ia sangat memperhatikan para jamaah haji. Setiap tahun ia mengirimkan unta-unta pembawa air dan makanan untuk membantu mereka yang kehabisan bekal di perjalanan menuju Tanah Suci. Bahkan ia menyediakan unta untuk mengangkut orang-orang yang lemah agar dapat mencapai tujuan mereka di jalur Mesir maupun Syam.
Selain itu, ia juga membangun zawiyah (semacam surau dan tempat ibadah) di daerah Suraqus, di luar Kota Kairo. Keindahan bangunan itu membuat siapa pun takjub. Namun, menurut Ibnu Bathutah, zawiyah yang dibangun oleh Amirul Mukminin Abu ‘Inan Faris di kota Fes jauh lebih indah, baik dari segi tata letak maupun ukirannya, hingga tak ada tandingannya di dunia Timur.
Para Amir di Negeri Mesir
Ibnu Bathutah juga mencatat banyak amir (bangsawan dan panglima) yang hidup pada masa Raja al-Nāshir.
Di antaranya:
Amir Baktamur, dahulu adalah penyaji minuman sang raja, namun akhirnya dibunuh dengan racun.
Arghun al-Dawadar, wakil raja yang kedudukannya tepat di bawah Baktamur.
Tasyth atau Homs Akhdhar, salah seorang amir terbaik. Ia dikenal karena sedekahnya yang besar untuk anak-anak yatim dan keberaniannya menolong kaum lemah.
Tasyth pernah dipenjara oleh Raja al-Nāshir. Ketika itu, ribuan orang dari kalangan al-Harafisy—sekelompok rakyat yang keras dan pemberani—berkumpul di bawah benteng dan berteriak, “Wahai si pincang sial! Keluarkan dia!” Karena desakan rakyat itu, Raja al-Nāshir pun melepaskannya. Ketika Tasyth dipenjara lagi, kali ini anak-anak yatim yang menuntut kebebasannya, sehingga sang raja kembali membebaskannya.
Selain mereka, terdapat pula:
al-Jamali, wazir (menteri utama) Raja al-Nāshir.
Badruddin bin al-Babah, Jamaluddin Nayib al-Karak, Tuquz Dumur, Bahadir al-Hijazi, serta Qausun dan Basytak, para amir yang berlomba-lomba dalam membangun masjid dan zawiyah.
Fakhruddin al-Qibthi, seorang pengawas pasukan dan sekretaris kerajaan. Dahulunya ia seorang Nasrani dari bangsa Qibthi, namun kemudian masuk Islam dan menjadi sangat mulia di sisi Raja al-Nāshir.
Setiap sore, Fakhruddin biasa duduk di majelis di tepi Sungai Nil, dekat rumah dan masjidnya. Setelah shalat Maghrib, makanan dihidangkan untuk semua orang tanpa terkecuali. Siapa pun boleh masuk dan menyampaikan keperluannya. Bila ada yang meminta sedekah, Fakhruddin memerintahkan budaknya bernama Badruddin Lulu untuk memberinya sejumlah uang dari bendahara.
Di majelisnya, para ulama dan fuqaha membaca Shahih al-Bukhari hingga waktu Isya, setelah itu mereka pun bubar dengan hati yang lapang.
Para Qadi dan Sidang Keadilan di Mesir
Pada masa itu, Raja al-Nāshir sangat memperhatikan keadilan. Setiap Senin dan Kamis, ia mengadakan sidang khusus untuk mendengarkan pengaduan rakyat (mazhalim). Di sisinya duduk empat Qadi al-Qudhat (hakim agung) dari empat mazhab:
Badruddin bin Jama’ah (Syafi‘i) – hakim paling tinggi kedudukannya.
Taqiyuddin al-Akhna‘i (Maliki).
Syamsuddin al-Hariri (Hanafi) – seorang yang tegas dan pemberani, bahkan Raja al-Nāshir sendiri mengaku hanya takut kepadanya.
‘Izzuddin (Hanbali).
Ibnu Bathutah menuturkan bahwa Raja al-Nāshir sendiri sering mendengarkan langsung pengaduan rakyat, menunjukkan sifatnya yang rendah hati dan adil.
Ulama dan Tokoh-Tokoh Mesir
Mesir pada masa itu juga menjadi tempat berkumpulnya ulama besar dan ahli ilmu.
Syamsuddin al-Ashbahani, dikenal sebagai imam dalam ilmu rasional dan filsafat.
Atsiruddin Abu Hayyan al-Gharnathi, pakar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) yang paling alim.
Baha’uddin bin ‘Aqil, seorang ahli fikih besar.
Qawamuddin al-Kirmani, tinggal di atap Masjid al-Azhar, hidup zuhud dengan pakaian wol kasar dan sorban hitam.
Setiap sore ia berjalan sendiri ke tempat-tempat yang tenang dan bersih untuk merenung dan beribadah.Syamsuddin Ibnu Bint Shahib Tajuddin Ibnu Hanna’, guru besar para qari di Mesir.
Badruddin al-Husaini, seorang sayyid yang mulia dan saleh.
Najmuddin al-Saharti, pengawas pasar (muhtasib) yang terkenal tegas dan berilmu.
Mereka semua menunjukkan betapa Mesir adalah negeri ilmu dan kebajikan, di mana para penguasa, amir, dan ulama hidup berdampingan dalam kemuliaan.
📖 Sumber:
Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār

Komentar
Posting Komentar