Rihlah Ibnu Bathutah #7 : Menuju Jantung Mesir

Di Tepi Dimyath

Di luar kota Dimyath, di antara kebun-kebun hijau yang menenangkan, terdapat sebuah tempat yang dikenal dengan nama al-Munyah. Di sanalah tinggal seorang syaikh terpandang bernama Ibnu an-Nu‘man.
Ibnu Bathutah singgah di zawiyah milik sang syaikh dan bermalam di sana. Dalam masa tinggalnya di Dimyath, ia juga berkenalan dengan seorang tokoh yang dikenal karena kebaikan dan keutamaannya, yaitu Amir al-Muhsini.
Al-Muhsini membangun sebuah madrasah di tepi Sungai Nil, tempat Ibnu Bathutah menghabiskan beberapa hari. Persahabatan antara keduanya pun terjalin dengan erat.


Dari Faraskur ke Asymun ar-Rummān

Pemandangan kota Faraskur di tepi Sungai Nil pada masa Ibnu Bathutah, dengan perahu-perahu kayu berlayar, padang hijau, dan seorang utusan berkuda membawa pesan di bawah cahaya sore yang keemasan.
Setelah beberapa waktu, Ibnu Bathutah melanjutkan perjalanan menuju Faraskur, sebuah kota yang terletak di pesisir Sungai Nil. Ia belum lama beristirahat ketika datang seorang penunggang kuda membawa pesan dan hadiah dari Amir al-Muhsini.
“Amir menanyakanmu,” kata utusan itu sambil menyerahkan sekantong dirham. “Ia mendengar kabar perjalananmu dan mengirimkan bekal ini untukmu.”
Ibnu Bathutah pun memanjatkan doa agar Allah membalas kebaikan sang Amir dengan pahala berlipat.

Pemandangan kota kuno Asymun ar-Rummān di tepi Sungai Nil pada masa Ibnu Bathutah, dengan jembatan kayu, perahu-perahu berlayar, serta pohon-pohon delima berbuah merah di antara rumah-rumah bergaya Mesir klasik.
Dari Faraskur, ia menuju Asymun ar-Rummān, kota yang dinamai karena banyaknya pohon delima. Delima dari tempat ini bahkan dikirim ke berbagai daerah Mesir.
Kota itu besar dan kuno, terletak di sebuah teluk Sungai Nil. Sebuah jembatan kayu menghubungkan dua sisinya; pada sore hari, papan-papan jembatan itu diangkat agar perahu dapat berlalu dari arah hulu dan hilir sungai.
Di kota ini pula berkedudukan qāḍī al-quḍāt (hakim agung) dan walī al-wulāt (penguasa tertinggi).


Singgah di Samanud

Perjalanan berlanjut menuju Samanud, kota di tepi Sungai Nil yang ramai oleh pasar dan perahu. Jarak antara Samanud dan al-Maḥallah al-Kubrā hanyalah tiga farsakh.
Dari Samanud inilah Ibnu Bathutah menaiki perahu menyusuri Sungai Nil menuju Kairo.
Ia menceritakan bahwa seorang musafir di Nil hampir tak perlu membawa bekal: kapan pun ingin berhenti, ia bisa turun di tepi sungai untuk berwudhu, shalat, membeli makanan, atau sekadar beristirahat.
Pasar-pasar terbentang tanpa henti dari Iskandariyah hingga Kairo, dan dari Kairo hingga Aswan, di wilayah Mesir Hulu. Semuanya hidup oleh denyut perdagangan dan aktivitas manusia.


Menyaksikan Keagungan Kairo

Pemandangan kota Kairo abad ke-14 di tepi Sungai Nil, dengan perahu kayu berlayar, pasar-pasar ramai, menara Masjid ‘Amr bin al-‘Āsh, madrasah bergaya Islam klasik, serta taman ar-Raudhah yang hijau dan tenang di bawah langit cerah.
Akhirnya, tibalah Ibnu Bathutah di Kairo, ibu kota negeri yang agung, pusat kekuasaan para penguasa Mesir.
Ia menggambarkan Kairo sebagai kota yang luas, subur, dan indah, tempat bertemunya orang-orang dari segala penjuru: alim dan bodoh, kaya dan miskin, serius dan bergurau.
Penduduknya ramai bagaikan ombak lautan, hingga tanah yang luas pun terasa sempit menampung mereka.
Kairo, katanya, seolah selalu muda dan beruntung, tak pernah kehilangan semangat hidupnya.

Kota ini dikaruniai Sungai Nil, yang mengangkat martabat Mesir dan menjadikannya tak bergantung pada hujan. Wilayahnya terbentang sejauh perjalanan sebulan bagi seorang musafir cepat — tanahnya subur dan menenangkan hati para perantau.

"Demi umurmu, Mesir bukan sekadar Mesir,
melainkan surga dunia bagi yang mau memperhatikan.
Anak-anaknya laksana bidadari, mata airnya sebening kaca,
taman-tamannya laksana Firdaus, dan Nil-nya bak sungai Kautsar."
— Syair yang dikutip oleh Ibnu Juzay tentang Mesir.


Sungai Nil dan Kehidupan yang Makmur

Ibnu Bathutah juga mencatat bahwa di Mesir terdapat dua belas ribu penuntun untatiga puluh ribu tukang sampah, dan tiga puluh enam ribu perahu yang berlayar di Sungai Nil — sebagian milik Sultan, sebagian milik rakyat.
Perahu-perahu itu membawa barang dagangan dari Iskandariyah hingga Sa‘īd (Aswan).

Pemandangan taman ar-Raudhah pada abad ke-14 di tepi Sungai Nil, dengan pepohonan rindang, bunga bermekaran, dan perahu kayu berlayar di sungai. Penduduk Mesir tampak bersantai dan bercengkerama di bawah langit cerah dekat kota Kairo.
Di seberang Kairo, di tepi Nil, terdapat taman rekreasi yang indah bernama ar-Raudhah. Di sana penduduk Mesir suka bersantai, bergembira, dan berpesta.
Ibnu Bathutah bahkan sempat menyaksikan perayaan besar untuk merayakan kesembuhan Raja an-Nāṣir dari patah tangan. Selama beberapa hari, pemilik pasar menghias toko mereka dengan kain sutra, pakaian indah, dan perhiasan gemerlap. Kota Kairo pun berseri-seri dalam warna dan cahaya.


Masjid dan Madrasah yang Megah

Di antara bangunan yang paling mulia di Kairo adalah Masjid ‘Amr bin al-‘Āṣ, masjid pertama yang dibangun di Mesir oleh penakluknya yang agung.
Masjid ini luas dan termasyhur, menjadi tempat diselenggarakannya shalat Jumat.
Di sisi timurnya berdiri sebuah zawiyah tempat Imam asy-Syafi‘i pernah mengajar.
Selain itu, Mesir memiliki madrasah dan rumah sakit dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya, menjadi bukti betapa negeri ini benar-benar menjadi pusat ilmu dan peradaban pada masanya.


Maristan Qalawun yang Menakjubkan

Di antara bangunan paling mengagumkan di Kairo adalah maristan (rumah sakit) yang berdiri di antara dua istana, dekat makam Raja al-Manshur Qalawun.

Ibnu Bathutah kagum dengan arsitektur dan kelengkapannya — fasilitasnya lengkap, obat-obatannya melimpah, dan pelayanannya tertata dengan sangat baik.

Dikatakan bahwa anggaran harian maristan itu mencapai seribu dinar, jumlah yang luar biasa besar pada masanya.

Kehidupan Spiritual di Zawiyah

Selain rumah sakit, Ibnu Bathutah juga mengamati kehidupan para sufi di zawiyah-zawiyah (yang di Mesir disebut khanqah).

Para bangsawan Mesir berlomba-lomba membangun zawiyah untuk para faqir dan ahli tasawuf, kebanyakan dari mereka berasal dari bangsa non-Arab.

Mereka hidup tertib dan beradab: setiap zawiyah memiliki syaikh pembimbing dan penjaga tetap.

Setiap pagi, pelayan zawiyah mendatangi para faqir untuk menanyakan makanan yang mereka inginkan.

Mereka makan dua kali sehari, masing-masing mendapatkan roti dan kuah dalam wadah terpisah.

Mereka juga memperoleh pakaian musim panas dan dingin, tunjangan bulanan 20–30 dirham, sabun untuk mencuci, minyak untuk penerangan, serta hidangan manisan setiap malam Jumat.

Para penghuni zawiyah ini biasanya belum menikah, sementara mereka yang sudah menikah disediakan zawiyah khusus.

Ibadah dan Kebersamaan Para Faqir

Setiap hari, mereka wajib shalat berjamaah lima waktu, bermalam di zawiyah, dan duduk di ruang berkubah sambil berdzikir.

Setelah shalat Subuh, mereka membaca Surah Al-Fath, Al-Mulk, dan ‘Amma (An-Naba’).

Kemudian mereka membuka mushaf dan membaca Al-Qur’an secara bergiliran hingga khatam, dilanjutkan dzikir dan tilawah dengan suara merdu seperti kebiasaan para qari‘ dari Timur.

Kegiatan serupa mereka lakukan pula setiap sore setelah shalat ‘Ashar.

Menyambut Tamu dan Hari Jumat

Apabila datang seorang musafir, ia akan datang ke pintu zawiyah dengan sajadah di pundak, tongkat di tangan kanan, dan bejana air di tangan kiri.

Penjaga pintu memanggil pelayan zawiyah, lalu menanyai tamu itu tentang asalnya, guru sufinya, dan zawiyah tempat ia pernah singgah.

Jika keterangannya benar, ia dipersilakan masuk, berwudhu, shalat dua rakaat, lalu bersalaman dengan syaikh dan para penghuni zawiyah.

Setiap hari Jumat, pelayan zawiyah mengumpulkan sajadah mereka, membawanya ke masjid, dan membentangkannya untuk masing-masing faqir.

Mereka pergi bersama syaikh mereka menuju masjid, shalat di atas sajadah masing-masing, membaca Al-Qur’an, lalu kembali bersama-sama ke zawiyah dengan hati tenang dan wajah berseri.

Peta Perjalanan Ibnu Bathutah 7

📜 Sumber :
Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang