Rihlah Ibnu Bathutah #6 : Kota Dimyath dan Orang-Orang Sholeh
Kisah di Kota Dimyath dan Orang-Orang Saleh di Sekitarnya
Suara Misterius di Tepi Sungai Nil
Di antara peristiwa menakjubkan yang pernah didengar Ibnu Bathutah, adalah kisah yang disampaikan oleh Abu Abdullah ar-Razi dari ayahnya, seorang qadhi saleh di kota al-Burlus.
Pada suatu malam yang tenang, sang qadhi keluar menuju tepi Sungai Nil untuk berwudu dan menunaikan salat malam. Saat ia sedang tenggelam dalam kekhusyukan ibadah, tiba-tiba terdengar suara lantang yang tidak diketahui asalnya:
“Seandainya bukan karena para lelaki yang rajin berpuasa,
dan orang-orang yang tekun dalam salat malam,
niscaya akan Kami goncangkan bumi dari bawah kalian pada waktu sahur,
karena kalian adalah kaum yang buruk, yang tak mengindahkan Kami.”
Sang qadhi tertegun. Ia segera menyelesaikan salatnya dengan singkat, menoleh ke sekeliling, tetapi tak ada siapa pun di sana. Suara itu lenyap, hanya meninggalkan getar ketakutan di hatinya. Maka ia pun sadar, itu adalah teguran langsung dari Allah Ta‘ala bagi manusia yang lalai.
Perjalanan ke Kota Dimyath
Setelah beberapa waktu, Ibnu Bathutah melanjutkan perjalanan melewati padang pasir menuju kota Dimyath. Kota ini menakjubkan — wilayahnya luas, penuh pepohonan dan buah-buahan yang beragam. Tata kotanya indah dan tertata rapi, seolah setiap sudutnya menyimpan kebaikan.
Kehidupan di Kota Dimyath
Dimyath terletak di tepi Sungai Nil. Banyak rumah yang memiliki undakan langsung menuju sungai, sehingga penduduknya bisa mengambil air dengan mudah menggunakan ember. Pohon pisang tumbuh subur di mana-mana, dan buahnya dikirim dengan perahu ke berbagai daerah di Mesir.
Menariknya, di sana domba-domba dibiarkan berkeliaran tanpa gembala, siang maupun malam. Karena itu, orang-orang bersenda gurau tentang kota ini dengan pepatah:
“Bentengnya adalah madu, dan anjing-anjingnya adalah domba.”
Setiap orang yang masuk ke kota ini harus mendapatkan stempel izin dari penguasa. Bagi kalangan terhormat, stempel itu diberikan di atas secarik kertas; sedangkan bagi rakyat biasa, dicapkan langsung di lengan mereka.
Burung-burung laut beterbangan dalam jumlah besar di langit Dimyath. Tubuh mereka gemuk dan dagingnya lezat. Dari kota ini pula dihasilkan susu kerbau terbaik di Mesir — lembut, manis, dan berlemak — serta ikan al-Buri yang terkenal hingga ke negeri Syam dan Romawi.
Pulau Barzakh dan Para Sufi
Tak jauh dari kota, ada sebuah pulau di antara dua laut dan Sungai Nil, disebut Barzakh. Di sana berdiri sebuah masjid dan zawiyah tempat para fakir dan ahli ibadah berkumpul.
Ibnu Bathutah sempat menghadiri malam Jumat bersama seorang syaikh saleh bernama Ibn Qafil. Malam itu mereka isi dengan salat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir hingga fajar. Suasana khusyuk itu meninggalkan kesan mendalam di hatinya.
Kisah Aneh Syaikh Jamaluddin as-Sawi
Kota Dimyath yang dikunjungi Ibnu Bathutah merupakan kota baru, sebab kota lamanya pernah dihancurkan oleh pasukan Frank pada masa Raja ash-Shalih. Di antara tempat ibadah yang terkenal di sana adalah zawiyah Syaikh Jamaluddin as-Sawi, pemimpin kelompok al-Qalandariyah — orang-orang yang mencukur kepala, jenggot, dan alis mereka.
Ada kisah menarik tentang mengapa Syaikh Jamaluddin mencukur jenggotnya. Dulu, ia dikenal berwajah tampan dan bercahaya. Seorang wanita jatuh cinta padanya, terus menggodanya dengan surat dan bujukan, tapi ia selalu menolak.
Suatu hari, wanita itu menyusun tipu daya. Ia menyuruh seorang wanita tua mendekati sang Syaikh dengan berpura-pura meminta tolong membacakan surat dari “anaknya.” Ketika Syaikh bersedia dan masuk ke rumah itu, pintu dikunci, dan wanita muda itu muncul bersama pelayannya, mencoba memaksanya berbuat dosa.
Melihat dirinya tak mungkin melarikan diri, Syaikh berpura-pura menyerah dan meminta izin untuk pergi ke kamar kecil. Di sana, ia membawa air dan sebilah pisau cukur. Lalu ia mencukur jenggot dan alisnya hingga habis. Saat keluar, wanita itu merasa jijik dan membatalkan niat buruknya, lalu mengusirnya.
Sejak hari itu, Syaikh Jamaluddin bertekad untuk tidak lagi memelihara jenggotnya sebagai bentuk pelajaran dan simbol kehati-hatian dari godaan dunia.
Karamah di Hadapan Seorang Qadhi
Ketika Syaikh Jamaluddin tinggal di Dimyath, ia sempat ditegur oleh seorang qadhi bernama Ibn al-‘Amid, yang menuduhnya sebagai ahli bid‘ah karena mencukur jenggot.
Namun sang Syaikh menjawab dengan tegas, “Dan engkau adalah qadhi yang bodoh! Engkau menunggangi hewanmu melewati kuburan orang-orang mulia, padahal kemuliaan mereka setelah mati sama seperti ketika hidup.”
Qadhi itu tak terima dan membalas, “Yang lebih besar dari itu adalah engkau mencukur jenggotmu!”
Maka Syaikh berteriak, dan tiba-tiba tumbuh jenggot hitam yang lebat di wajahnya. Semua yang hadir terkejut. Ia berteriak lagi, jenggotnya berubah menjadi putih berkilau. Ketika ia berteriak untuk ketiga kalinya, jenggot itu hilang, wajahnya kembali seperti semula.
Qadhi itu pun tersungkur, mencium tangan sang Syaikh, dan menjadi muridnya. Ia membangun sebuah zawiyah indah untuk Syaikh Jamaluddin dan menemaninya hingga wafat. Saat qadhi itu sendiri menjelang ajal, ia berwasiat agar dimakamkan di pintu zawiyah Syaikh, supaya setiap orang yang datang berziarah akan menginjak kuburnya — sebagai tanda tawadhu‘ dan penghormatan bagi gurunya.
Tempat Ziarah Syatha
Tak jauh dari Dimyath, terdapat sebuah tempat ziarah yang dikenal dengan nama Syatha. Penduduk Mesir sering mengunjunginya, terutama pada hari-hari tertentu yang dianggap penuh keberkahan. Tempat itu terkenal karena karamah dan keberkahannya yang nyata, menjadi tujuan banyak peziarah dari berbagai penjuru negeri.
Peta Perjalanan Ibnu Bathutah Bagian 6
📖 Referensi:
Ibnu Bathutah, Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār




Komentar
Posting Komentar