Rihlah Ibnu Bathutah #5 : Negeri Tepian Sungai Nil

Kota Fuwah: Negeri Indah di Tepi Sungai

Pemandangan kota Fuwah di tepi Sungai Nil pada masa Ibnu Baṭṭūṭah, dengan zawiyah sufi, kebun hijau, dan para musafir berpakaian tradisional Arab.
Setelah meninggalkan kota Iskandariyah, Ibnu Baṭṭūṭah melanjutkan perjalanan menuju kota Fuwah — sebuah kota yang menakjubkan pemandangannya dan penuh keberkahan. Kota ini terkenal dengan kebun-kebun yang rindang, hasil bumi yang melimpah, serta masyarakatnya yang makmur.

Di kota ini terdapat makam Wali Abu an-Najah, seorang tokoh terkenal yang memahami keadaan negeri-negeri sekitarnya. Tak jauh dari situ, berdiri zawiyah (pondokan sufi) milik Syaikh Abu Abdullah al-Mursyadi, yang dikunjungi oleh Ibnu Baṭṭūṭah. Zawiyah itu berada di tepi selat yang memisahkannya dari kota.

Ketika Ibnu Baṭṭūṭah tiba sebelum waktu Ashar, ia disambut hangat oleh sang Syaikh. Di sisi Syaikh juga hadir Amir Saifuddin Yalamlak, salah satu dari pasukan khusus (Khashshakiyah) yang oleh masyarakat awam disebut “al-Malik”, walau sebenarnya bukan seorang raja. Amir itu sedang berkemah di luar zawiyah bersama para pengikutnya.

Syaikh al-Mursyadi menyambut Ibnu Baṭṭūṭah dengan berdiri dan memeluknya. Mereka pun makan bersama; sang Syaikh mengenakan jubah wol hitam sederhana. Ketika waktu Ashar tiba, ia mempersilakan Ibnu Baṭṭūṭah menjadi imam. Begitulah yang terjadi pada setiap shalat selama Ibnu Baṭṭūṭah tinggal di sisinya.

Malam itu, karena udara musim panas sangat terik, sang Syaikh memintanya untuk tidur di atap zawiyah. Di sana telah disiapkan alas dari anyaman, permadani kulit, serta peralatan wudhu dan air minum. Malam pun berlalu dengan ketenangan.


Mimpi di Atas Atap Zawiyah

Pada malam itu, Ibnu Baṭṭūṭah mengalami mimpi yang luar biasa. Ia merasa seperti berada di atas sayap burung besar yang membawanya terbang menuju kiblat, lalu ke arah timur dan selatan, hingga akhirnya mendarat di tanah hijau gelap yang asing. Ia terheran-heran dan menyimpan harapan agar sang Syaikh menyingkapkan makna mimpinya.

Keesokan harinya, setelah Subuh, Syaikh kembali memintanya menjadi imam. Tak lama kemudian, Amir Yalamlak dan para peziarah berpamitan. Sang Syaikh memberi mereka bekal berupa kue kering kecil-kecil. Ketika matahari naik, Syaikh memanggil Ibnu Baṭṭūṭah dan menyingkapkan makna mimpinya.

“Engkau akan pergi haji dan menziarahi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,” ujar sang Syaikh.
“Engkau akan mengembara ke Yaman, Irak, dan negeri-negeri Turk. Di sana engkau akan tinggal lama dan bertemu dengan DulSyad al-Hindi, yang akan menyelamatkanmu dari kesulitan.”

Syaikh kemudian memberinya bekal kue kering dan beberapa dirham. Ibnu Baṭṭūṭah pun berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Ia mengakui bahwa sejak perpisahan itu, ia selalu merasakan keberkahan dan kebaikan dalam setiap langkahnya. Ia berkata:

“Setelah itu, aku tidak pernah menemukan orang seperti beliau, kecuali Wali Sidi Muhammad al-Maulah di tanah India.”


Kota An-Nahrawariyah: Negeri Baru yang Indah

Ilustrasi kota An-Nahrawariyah yang baru dibangun di tepi Sungai Nil, menampilkan pasar-pasar indah, bangunan bergaya Islam, menara masjid, dan penduduknya yang ramai bergerak di jalanan.
Dari Fuwah, Ibnu Baṭṭūṭah melanjutkan perjalanan menuju kota an-Nahrawariyah. Kota ini baru dibangun, luas halamannya, dan pasar-pasarnya sangat indah. Penguasanya adalah As-Sa‘di, seorang yang terhormat; sementara putranya bekerja pada Raja India.

Qadhi-nya (hakim kota) adalah Shadruddin Sulaiman al-Maliki, ulama besar mazhab Maliki yang pernah diutus ke Irak dan menjabat sebagai hakim di negeri Maghrib. Sedangkan khatibnya adalah Syarafuddin as-Sakhawi, seorang yang dikenal saleh.


Kota Abiyār: Negeri Harum dan Kaya Masjid

Pemandangan kota Abiyār yang tua dan indah di tepi Sungai Nil, dengan masjid-masjid, pasar ramai, bangunan bersejarah, dan penduduk berpakaian tradisional
Perjalanan berlanjut ke kota Abiyār, yang terkenal dengan keharuman udaranya, banyaknya masjid, dan keindahan bangunannya. Kota ini berada di tepi Sungai Nil, berdekatan dengan an-Nahrawariyah.

Abiyār dikenal sebagai pusat pembuatan pakaian mewah yang sangat laku di Syam, Irak, dan Mesir. Anehnya, penduduk setempat justru tidak menyukai hasil buatan mereka sendiri.

Di kota ini, Ibnu Baṭṭūṭah menemui Qadhi ‘Izzuddin al-Maliji asy-Syafi‘i, seorang ulama yang mulia. Ia sempat menyaksikan tradisi Ar-Rukbah, yaitu kebiasaan masyarakat menanti terlihatnya hilal Ramadhan. Pada hari itu, para ulama dan tokoh kota berkumpul di rumah Qadhi setelah Ashar tanggal 29 Sya‘ban.

Mereka kemudian beriringan menuju tempat tinggi di luar kota untuk melihat hilal, dengan diiringi obor, lentera, dan nyala lilin di sepanjang jalan. Setelah Maghrib, mereka kembali ke kota dengan penuh cahaya dan sukacita — suasana religius dan meriah yang menjadi tradisi tahunan penduduk Abiyār.


Kota Al-Maḥallah al-Kubrā dan Sekitarnya

Ilustrasi kota Al-Maḥallah al-Kubrā dengan bangunan tua dan baru, pasar ramai, kebun hijau, masjid, dan Qadhi Agung berbincang di kebunnya, menampilkan suasana abad pertengahan Mesir.
Selanjutnya, Ibnu Baṭṭūṭah tiba di al-Maḥallah al-Kubrā, kota besar yang penting dan makmur. Saat itu, Qadhi Agung ‘Izzuddin bin al-Asymarin sedang sakit di kebun pribadinya, sekitar dua farsakh dari kota. Ibnu Baṭṭūṭah menjenguknya bersama Faqih Abu al-Qasim bin Banun al-Maliki at-Tunisi dan Syarafuddin ad-Damiri, Qadhi Mahallah Manuf.

Dalam perbincangan mereka, sang Qadhi menceritakan bahwa di sekitar kota terdapat negeri al-Burlus dan Nistaru, tempat para wali dan orang saleh, termasuk makam Syaikh Marzuq yang dikenal memiliki kasyaf (penglihatan spiritual).

Ibnu Baṭṭūṭah pun berangkat menuju daerah itu. Ia singgah di zawiyah Syaikh Syamsuddin al-Qalawi di kota Nistaru yang berdekatan dengan danau Buhairat Tanis, tempat pertemuan air Sungai Nil dan laut.

Tanis sendiri dulunya adalah kota besar dan termasyhur, kini tinggal reruntuhan. Dari sinilah penyair Abu al-Fath Ibn Waki‘ pernah menulis syair indah tentang selatnya:

“Berdirilah dan berilah aku minum, sementara selat bergelora,
Angin meliukkan ujung-ujung rumput,
Seakan-akan angin membelainya,
Seorang kekasih yang merundukkan batang tebu hijau segar,
Langit berbalut hitam,
Dihiasi kilat keemasan.”

Di sanalah Ibnu Baṭṭūṭah menutup perjalanannya di kawasan Mesir bagian utara — sebuah perjalanan penuh hikmah, karamah, dan perjumpaan dengan orang-orang saleh.


Peta Perjalanan Ibnu Batutah bagian 5 

📖 Referensi:
Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang