Rihlah Ibnu Bathutah #3 : Kota Iskandariah
1. Kisah Perjalanan Ibnu Baṭṭūṭah di Kota Iskandariyyah
Bāb as-Sidrah, yang menjadi jalan menuju negeri Maghrib,
Bāb Rasyd,
Bāb al-Baḥr, dan
Bāb al-Akhdar, yang hanya dibuka setiap hari Jumat.
Pada hari itu, penduduk keluar dari gerbang tersebut untuk menziarahi makam para ulama dan orang saleh.
Kota ini juga terkenal dengan pelabuhannya yang luar biasa besar dan megah — bahkan menurut Ibnu Baṭṭūṭah,
“Aku tidak pernah melihat pelabuhan seindah ini di seluruh dunia, kecuali di Kulam dan Qāliqūṭ di India, Sarandīb di negeri Turki, dan Zaitūn di negeri Cina.”
2. Menara Iskandariyyah: Keagungan yang Mulai Runtuh
Salah satu bangunan paling terkenal di kota ini adalah Menara Iskandariyyah, mercusuar raksasa yang dulu termasuk Tujuh Keajaiban Dunia Kuno.
Ketika Ibnu Baṭṭūṭah berkunjung, salah satu sisinya telah runtuh.
Menara itu berbentuk persegi tinggi menjulang ke langit.
Pintu masuknya tinggi dari permukaan tanah, dan untuk mencapainya digunakan papan-papan kayu yang disusun sebagai jembatan.
Begitu papan itu diangkat, tak ada satu pun jalan untuk masuk ke dalamnya.
Di balik pintu itu terdapat tempat duduk penjaga, dan di dalam menara terdapat banyak ruangan serta lorong sempit.
Menara berdiri di atas bukit tinggi, sekitar satu farsakh (±5 km) dari kota.
Dikelilingi laut dari tiga sisi, menara itu hanya bisa dicapai dari arah kota.
Di sekitar jalannya terdapat pemakaman besar Iskandariyyah.
Ketika Ibnu Baṭṭūṭah kembali dari Maghrib pada tahun 750 H (1349 M),
ia mendapati menara itu telah hancur total dan tak dapat dimasuki lagi.
Raja al-Malik an-Nāṣir sempat memulai pembangunan menara serupa di dekatnya,
namun ia meninggal sebelum sempat menyelesaikannya.
3. Tiang As-Sawārī: Misteri di Tengah Pohon Kurma
Tak jauh dari sana, berdirilah ‘Amūd as-Sawārī, tiang marmer raksasa yang mengagumkan.
Tiang itu berdiri di tengah kebun kurma, menjulang tinggi melebihi pepohonan di sekitarnya.
Terbuat dari satu bongkah marmer utuh dan dipahat dengan sangat halus,
tiang itu berdiri di atas pondasi batu besar berbentuk persegi.
Namun, tidak seorang pun tahu bagaimana cara tiang sebesar itu didirikan di tempat tersebut.
Kisah ini menimbulkan banyak cerita aneh, salah satunya tentang seorang pemanah Alexandria yang dikisahkan berhasil naik ke puncaknya.
4. Sang Pemanah dan Trik Ajaibnya
Ibnu Baṭṭūṭah mengisahkan bahwa suatu hari seorang pemanah membawa busur dan anak panahnya, lalu berhasil mencapai puncak tiang itu.
Beritanya tersebar luas, dan orang-orang datang berbondong-bondong untuk melihatnya.
Semua terheran-heran, sebab tidak ada yang tahu bagaimana cara ia bisa naik.
Rupanya, pemanah itu menggunakan tipu daya yang cerdas.
Ia memanah ke atas, dan di pangkal anak panahnya diikat tali panjang.
Ujung tali itu dihubungkan dengan tambang kuat.
Ketika anak panah melesat, tali itu melintang di puncak tiang, lalu jatuh di sisi lain.
Ia menarik tali tersebut, hingga tambang berada di atas tiang, lalu mengikat ujungnya di tanah dan memanjat naik dari sisi lain.
Dengan cara itulah ia berhasil mencapai puncak tiang.
Orang-orang kagum, namun tak seorang pun mampu meniru caranya.
5. Para Penguasa dan Tokoh Zaman Itu
Saat Ibnu Baṭṭūṭah tiba di Iskandariyyah, penguasanya adalah Ṣalāḥuddīn.
Di kota itu juga tinggal Zakarīyā Abū Yaḥyā bin Muḥammad bin Abī Ḥafṣ, dikenal dengan al-Laḥyānī,
mantan Sultan Afrika yang telah dilengserkan.
Raja al-Malik an-Nāṣir menempatkannya di istana Iskandariyyah dan memberinya tunjangan seratus dirham per hari.
Ia tinggal bersama tiga anaknya — ‘Abdul Wāḥid, Miṣrī, dan Iskandarī — serta para pengikutnya.
Di kota itu, al-Laḥyānī dan putranya Iskandarī meninggal dunia,
sedangkan putranya Miṣrī hidup lama di Mesir.
Ibn Juzayy yang menulis kisah Ibnu Baṭṭūṭah berkata dengan kagum,
“Benarlah firasat dalam nama mereka: Iskandarī meninggal di Iskandariyyah, sedangkan Miṣrī hidup panjang di Mesir.”
Adapun ‘Abdul Wāḥid, ia kemudian pindah ke Andalus, Maghrib, dan Ifriqiyyah,
dan wafat di Pulau Jarbah.
6. Para Ulama dan Orang Saleh di Iskandariyyah
Kota Iskandariyyah pada masa itu menjadi pusat ilmu pengetahuan dan tasawuf.
Banyak ulama dan wali tinggal di sana.
Di antaranya adalah ‘Imāduddīn al-Kindī, seorang imam besar ahli bahasa Arab.
Ia terkenal karena sorban besar yang dikenakannya,
hingga hampir memenuhi seluruh mihrab tempat ia duduk.
Ada juga Fakhruddīn bin ar-Rīghī, seorang hakim alim dan saleh.
Dikisahkan bahwa kakeknya berasal dari kota Rīghah, dan ketika pertama kali tiba di Iskandariyyah,
ia dalam keadaan miskin.
Penjaga gerbang berkata padanya dengan nada mengejek,
“Masuklah, wahai qāḍī!”
Ia menjawab, “Qāḍī, insya Allah.”
Ternyata kata-katanya menjadi doa yang dikabulkan.
Beberapa waktu kemudian, ia benar-benar diangkat menjadi qāḍī Iskandariyyah.
Ia dikenal adil, jujur, dan zuhud, bahkan menjabat selama empat puluh tahun,
sebagaimana diramalkan oleh seorang ahli nujum pada masa itu.


Komentar
Posting Komentar