Rihlah Ibnu Bathutah #2 : Dari Qusantinah hingga Iskandariyah

Qusanṭīnah dan Būnah: Pertolongan yang Tak Disangka

Pemandangan kota Qusanṭīnah abad ke-14 dengan jembatan batu melintasi lembah curam, rumah-rumah putih di tebing, dan seorang musafir berpakaian ihram berjalan menuju kota setelah hujan.
Setelah sebelumnya Ibnu Baṭṭūṭah terserang demam berat di Bijāyah, rombongan pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di Qusanṭīnah (Constantine) — sebuah kota berbenteng di wilayah timur Aljazair.

Hari itu hujan turun deras, membasahi seluruh tubuh dan pakaian Ibnu Baṭṭūṭah hingga kotor dan basah kuyup.
Keesokan paginya, gubernur kota, seorang syarif mulia bernama Abū al-Ḥasan, melihat keadaannya.
Dengan penuh kasih, ia memerintahkan agar pakaian Ibnu Baṭṭūṭah dicuci di rumahnya, mengganti ihram yang  usang dengan ihram baru dari kain Ba‘labakk, dan bahkan menyelipkan dua dinar emas di ujung kain itu sebagai hadiah.

Ibnu Baṭṭūṭah menuliskan momen ini dengan penuh haru:

“Itulah karunia pertama yang Allah bukakan bagiku dalam perjalanan ini.”

Dari Qusanṭīnah, ia melanjutkan perjalanan menuju Būnah (Annaba), kota pelabuhan di timur Aljazair, sebelum akhirnya sampai di Tunis — kota ilmu dan keagungan yang akan memberinya banyak pengalaman berharga.


Air Mata di Tunis: Pelajaran Tentang Kesendirian

Ketika tiba di Tunis, suasana kota sangat ramai.
Penduduk berbondong-bondong menyambut kedatangan dua ulama besar — Syaikh Abū ‘Abdillāh al-Zubaydī dan Abū al-Ṭayyib al-Nafzāwī — yang memang telah dikenal dan dihormati masyarakat.

Sementara itu, Ibnu Baṭṭūṭah, seorang pemuda asing dari Ṭanjah (Tangier, Maroko), berdiri di antara kerumunan — sendirian dan tak dikenal siapa pun. Tak ada yang menyalami, tak ada yang menyapa.

Ia menulis dengan jujur dan tulus:

“Aku merasakan kesedihan yang dalam hingga air mataku menetes tanpa mampu kutahan.”

Namun Allah menenangkan hatinya melalui seorang jamaah haji yang melihat kesendiriannya. Orang itu datang, menyalami, dan berbincang dengan ramah hingga hati Ibnu Baṭṭūṭah menjadi tenang.

Beberapa waktu kemudian, ia menetap di Madrasah al-Kuttabiyyīn di Tunis, tempat para penuntut ilmu biasa bermalam dan belajar.


Kisah Serupa dari Andalusia

Ibn Juzayy, sahabat sekaligus penulis kisah perjalanan Ibnu Baṭṭūṭah, menambahkan kisah yang serupa.
Gurunya, Qāḍī Abū al-Barakāt al-Sulamī, pernah mengalami hal yang sama di Balasy (Andalusia).

Ketika menghadiri salat Id di negeri orang, tak seorang pun mengenalnya. Namun seorang syaikh setempat datang menyalaminya sambil berkata lembut:

“Aku melihatmu sendirian, tak ada yang menyalamimu. Maka aku tahu engkau orang asing, dan aku ingin menyapamu agar engkau merasa tidak sendiri.”

Ibn Juzayy menutup kisah ini dengan doa yang indah:

“Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.”

Kisah ini menjadi pengingat bahwa di setiap perjalanan panjang, Allah selalu menghadirkan orang-orang baik di waktu yang tepat, yang menenangkan hati dan menghapus rasa sepi.


Tunis: Negeri Ilmu dan Keagungan

Setelah peristiwa mengharukan itu, Ibnu Baṭṭūṭah mulai mengenal kehidupan kota Tunis. Saat itu, negeri ini diperintah oleh Sultan Abū Yaḥyā, keturunan dari Dinasti Ḥafṣiyyah, penguasa besar Afrika Utara. Tunis menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam di wilayah Maghrib.

Di kota ini hidup para ulama dan hakim besar, seperti:

  • Abū ʿAbdillāh Ibn al-Ghammaz, hakim agung asal Valencia, Andalusia.

  • Abū Isḥāq Ibrāhīm bin Ḥusayn, khatib yang pernah menjadi hakim di lima kerajaan.

  • Abū ʿAlī ʿUmar al-Hawwārī, ulama fikih dan hakim terkemuka Tunis.

Setiap hari Jumat setelah salat, para ulama duduk di Masjid Zaytūnah, menjawab pertanyaan masyarakat.
Jika mereka telah menjawab empat puluh persoalan, majelis pun ditutup hari itu. Tradisi ini menunjukkan betapa hidupnya semangat ilmu dan fatwa di kota Tunis.


🎉 Hari Raya di Tunis

Gambaran kota Tunis abad ke-14 pada masa Dinasti Ḥafṣiyyah, menampilkan Masjid Zaytūnah, Sultan Abū Yaḥyā menunggang kuda diiringi rakyat yang merayakan Idul Fitri dengan pakaian indah di jalan-jalan kota yang ramai dan penuh semangat.
Ibnu Baṭṭūṭah tiba tepat pada hari Idul Fitri. Kota tampak indah, penduduk mengenakan pakaian terbaik, jalanan ramai dengan wajah-wajah gembira.

Sultan Abū Yaḥyā hadir dengan megah, menunggang kuda, diiringi para pembesar dan pelayan yang berjalan kaki dengan tertib dan menakjubkan.
Setelah salat dan khutbah, masyarakat pun kembali ke rumah dengan penuh kebahagiaan.

Suasana itu begitu berkesan bagi Ibnu Baṭṭūṭah — paduan antara kesalehan dan kemegahan dalam satu pemandangan yang menyejukkan hati.


Menjadi Qāḍī Rombongan Haji

Beberapa waktu kemudian, pemerintah menunjuk seorang syekh bernama Abū Yaʿqūb as-Sawmī sebagai pemimpin rombongan haji dari Ifriqiyyah.
Sebagian besar jamaah berasal dari suku Maṣāmidah, suku Berber yang dikenal tangguh.

Ibnu Baṭṭūṭah diangkat menjadi qāḍī (hakim agama) untuk rombongan tersebut — sebuah amanah besar bagi seorang pemuda pengembara.


Menyusuri Pesisir Afrika Utara

Perjalanan pun dimulai. Mereka melewati jalur pesisir Laut Tengah yang indah, singgah di kota-kota besar:

Sūsah (Sousse)

Kota kecil nan indah di tepi laut, berjarak sekitar empat puluh mil dari Tunis.

Ṣafāqis (Sfax)

Tempat peristirahatan Imam Abū al-Ḥasan al-Lakhmī, ulama besar mazhab Mālikī.
Penyair menggambarkannya dengan dua sisi: indah dan keras — seperti kehidupan pelautnya.

Qābis (Gabès)

Kota yang subur di tepi sungai.
Hujan turun sepuluh hari berturut-turut, membuat rombongan beristirahat lebih lama.


Menuju Tripoli

Setelah hujan reda, mereka bergerak ke Tripoli (Libya).
Rombongan besar itu dijaga oleh seratus penunggang kuda bersenjata panah, sehingga suku-suku pengembara tak berani menyerang.

Pemandangan kota Tripoli abad ke-14 di tepi Laut Tengah, dengan pelabuhan ramai, kapal layar Arab, menara masjid, dan suasana pasar yang hidup di bawah langit cerah.
Mereka tiba di Tripoli pada hari-hari Idul Adha. Di sana, Ibnu Baṭṭūṭah menikah dengan putri pejabat Tunis, namun kemudian berpisah karena perselisihan keluarga.

Tak lama kemudian, ia menikah lagi dengan putri seorang penuntut ilmu dari Persia dan mengadakan jamuan besar yang meriah.


Iskandariyah: Permata di Ujung Barat

Akhirnya, pada awal bulan Jumādā al-Ulā, rombongan sampai di Iskandariyah (Alexandria, Mesir) — pelabuhan megah di Laut Tengah.

Ibnu Baṭṭūṭah menulis dengan penuh kekaguman:

“Iskandariyah adalah negeri yang menakjubkan,
bangunannya kokoh, udaranya lembut, dan pemandangannya memesona.
Ia menggabungkan keindahan timur dan barat,
karena letaknya di antara keduanya.”


Penutup: Cahaya di Setiap Langkah

Dari Bijāyah ke Iskandariyah, perjalanan Ibnu Baṭṭūṭah bukan sekadar kisah berpindah tempat, melainkan perjalanan jiwa yang dipenuhi ujian, kasih, dan pelajaran hidup.

Ia belajar bahwa dalam kesendirian ada kasih Allah,
dalam perjalanan ada pelajaran, dan di setiap negeri, ada saudara seiman yang menebar kebaikan.


Peta Interaktif Rihlah Ibnu Bathutah #2

Sumber : Tuḥfat an-Nuẓẓār fī Gharāʾib al-Amṣār wa ʿAjāʾib al-Asfār

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang