Rihlah Ibnu Bathutah #14 di Damaskus: Ulama, Wakaf, dan Kafilah Haji
Seorang Musafir Memasuki Damaskus
Aku, Ibnu Battuta, tiba di Damaskus pada abad ke-8 Hijriah. Di hadapanku tersaji sebuah kota yang tidak hanya indah secara lahiriah, tetapi juga penuh cahaya ilmu, ibadah, dan kebaikan. Sungai-sungainya mengalir di antara kebun-kebun hijau, dan di tengah kota berdiri Jami‘ Umayyah yang agung, laksana jantung yang memompa kehidupan ruhani ke seluruh penjuru Damaskus.
Kisah ini adalah catatan perjalananku: tentang masjid dan madrasah, tentang ulama dan qadhi, tentang makam para sahabat dan wali, tentang wakaf, tradisi sosial, sampai akhirnya aku berangkat bersama kafilah haji meninggalkan kota yang menakjubkan ini.
Halaqah Ilmu di Jami‘ Umayyah
Masjid utama Damaskus bagaikan universitas besar. Di dalamnya ada banyak halaqah, masing-masing khusus membahas satu cabang ilmu.
Para ahli hadis duduk di atas kursi-kursi tinggi, membacakan kitab-kitab hadis dengan suara yang jelas. Di sisi lain, para qari’ Al-Qur’an membaca ayat-ayat Allah dengan suara yang indah, pagi dan petang, memenuhi masjid dengan lantunan yang menyentuh hati.
Yang membuatku kagum, ada beberapa guru yang khusus mengajar anak-anak Al-Qur’an. Masing-masing bersandar di tiang masjid, mengajarkan bacaan kepada murid-murid kecilnya. Anak-anak itu tidak menulis Al-Qur’an di papan; mereka hanya membaca dan menghafal secara talaqqi, sebagai bentuk pengagungan kepada Kitab Allah.
Guru tulisan (khat) dipisahkan dari guru Al-Qur’an. Guru khat tidak mengajar Al-Qur’an; ia mengajar lewat buku-buku syair dan bacaan lainnya. Setelah selesai belajar Al-Qur’an, anak-anak berpindah ke pelajaran menulis. Karena guru tulisan fokus hanya pada khat, tulisan anak-anak itu menjadi sangat rapi dan indah.
Di antara para guru yang terkenal di masjid ini adalah:
- Burhanuddin ibn al-Farkah, seorang alim besar mazhab Syafi‘i yang juga dikenal kesalihannya.
- Nuruddin Abu al-Yusr ibn ash-Shani‘, ulama saleh yang terkenal keutamaan dan kesuciannya. Suatu ketika, ketika Qadhi agung di Mesir, Jalaluddin al-Qazwini, mengirimkan pakaian kehormatan dan surat pengangkatan qadhi Damaskus kepadanya, ia menolak jabatan itu.
- Syihabuddin ibn Juhail, seorang alim besar yang sampai harus melarikan diri dari Damaskus karena takut dipaksa menjadi qadhi.
Berita penolakan mereka sampai kepada al-Malik an-Nashir, penguasa saat itu. Akhirnya ia mengangkat seorang tokoh besar dari Mesir, Syaikh al-Masyayikh, Quthb al-‘Arifin, ‘Alauddin al-Qunawi, sebagai Qadhi Damaskus. Ia adalah salah seorang ahli fikih terkemuka. Di antara para ulama lain yang mengajar di masjid ini adalah Badruddin Ali as-Sakhawi – semoga Allah merahmati mereka semuanya.
Para Qadhi dan Ulama Besar Damaskus
Damaskus pada zamanku adalah ibu kota ilmu dan peradilan empat mazhab.
Qadhi al-Qudhat mazhab Syafi‘i adalah Jalaluddin Muhammad bin Abdurrahman al-Qazwini. Qadhi mazhab Maliki adalah Syarfuddin, khatib kota Fayyum di Mesir, seorang yang tampan dan berwibawa, termasuk para pemimpin besar; ia juga Syaikh al-Masyayikh kaum sufi. Wakilnya dalam tugas peradilan ialah Syamsuddin ibn al-Qafshi, yang memimpin majelis pengadilan di Madrasah ash-Shamshamiyah.
Qadhi al-Qudhat mazhab Hanafi adalah ‘Imaduddin al-Hawrani. Ia terkenal sangat berwibawa dan tegas. Banyak perkara rumah tangga—perselisihan antara suami dan istri—diselesaikan di hadapannya. Orang-orang berkata, “Seorang lelaki, bila hanya mendengar nama qadhi Hanafi ini saja, sudah akan berlaku adil pada dirinya sebelum sampai ke majelisnya.”
Adapun qadhi mazhab Hanbali adalah ‘Izzuddin ibn Muslim, seorang imam yang saleh, termasuk qadhi terbaik yang pernah kulihat. Ia berjalan dengan menunggang keledainya, hidup sederhana. Ia wafat di Kota Rasulullah ﷺ ketika sedang menuju Tanah Hijaz.
Di Damaskus juga hidup seorang tokoh besar mazhab Hanbali, Taqiyyuddin Ibn Taimiyah. Ia alim besar, berbicara dalam banyak cabang ilmu, dan masyarakat Damaskus mengagungkannya. Ia sering memberi nasihat di atas mimbar, dan orang-orang datang berbondong-bondong mendengarkannya.
Tentang beliau, terjadi peristiwa-peristiwa besar: beberapa fuqaha mengingkari sebagian pendapatnya, kasusnya dibawa kepada al-Malik an-Nashir di Kairo, para qadhi dan ulama dikumpulkan, sampai akhirnya beliau dipenjara bertahun-tahun, menulis sebuah tafsir besar di balik jeruji. Kemudian dibebaskan, lalu dipenjara lagi di Qal‘ah (benteng) Damaskus sampai wafat di sana.
Sejumlah sejarawan setelah zamanku mengkritik sebagian detail cerita yang sampai kepadaku, terutama tentang masa penjara terakhir beliau dan apa yang dikatakan terjadi di atas mimbar. Namun di masaku, yang tampak jelas adalah bahwa beliau sangat dihormati penduduk Damaskus, sekaligus sangat diperselisihkan oleh para ulama.
Madrasah-Madrasah di Kota
Kaum Syafi‘iyah memiliki banyak madrasah di Damaskus. Yang paling besar adalah Madrasah al-‘Adiliyyah. Di sinilah Qadhi al-Qudhat mazhab Syafi‘i biasanya duduk untuk mengadili perkara. Berhadapan dengannya ada Madrasah azh-Zhahiriya, tempat dimakamkannya al-Malik azh-Zhahir, dan di sana pula para wakil qadhi berkantor.
Di Damaskus hidup seorang syaikh saleh bernama Zhahiruddin al-Ajami. Malik al-Umara (pemimpin para amir) Saifuddin Tankiz sangat mengagungkannya dan belajar kepadanya. Suatu hari, Zhahiruddin menghadiri majelis di Dar al-‘Adl bersama Malik al-Umara dan empat qadhi mazhab.
Qadhi al-Qudhat, Jamaluddin ibn Juml, ketika itu menceritakan sebuah kisah. Zhahiruddin tiba-tiba berkata kepadanya, “Engkau berdusta.” Sang qadhi tersinggung lalu mengadukannya kepada amir. Malik al-Umara menjawab, “Hukumlah dia dan uruslah sendiri,” dengan sangka baik bahwa syaikh akan dimaafkan tanpa hukuman berat.
Namun Jamaluddin memanggil Zhahiruddin ke Madrasah al-‘Adiliyyah, memerintahkan agar ia dicambuk dua ratus kali, lalu diarak keliling Damaskus di atas keledai dengan juru seru berteriak di belakangnya. Setiap kali teriakan selesai, algojo memukulnya sekali. Demikianlah kebiasaan hukuman ta‘zir mereka.
Peristiwa ini sampai kepada Malik al-Umara. Ia memanggil para qadhi dan fuqaha. Mereka semua sepakat bahwa hukuman yang dijatuhkan adalah salah dan tidak sesuai mazhab Syafi‘i, karena dalam mazhab Syafi‘i hukuman ta‘zir tidak boleh menyamai kadar hukuman had. Qadhi mazhab Maliki, Syarfuddin, bahkan berkata, “Engkau secara tidak langsung telah memvonisnya sebagai fasik.”
Akhirnya Malik al-Umara menulis surat kepada al-Malik an-Nashir di Mesir untuk memberitahukan peristiwa tersebut, dan Qadhi Jamaluddin pun diberhentikan dari jabatannya.
Kaum Hanafi memiliki banyak madrasah, yang paling besar adalah Madrasah Sultan Nuruddin, tempat qadhi mazhab Hanafi memimpin pengadilan. Kaum Maliki memiliki tiga madrasah utama: ash-Shamshamiyah, tempat tinggal dan pengadilan Qadhi Maliki; an-Nuriyyah yang dibangun oleh Sultan Nuruddin Mahmud bin Zanki; dan Madrasah asy-Syarabshi, yang dibangun oleh seorang saudagar kaya. Kaum Hanbali juga memiliki banyak madrasah, yang terbesar adalah an-Najmiyyah.
Gerbang-Gerbang Kota Damaskus
Damaskus dikelilingi tembok yang kokoh dengan delapan gerbang utama. Di antaranya:
- Bab al-Faradis
- Bab al-Jabiyah
- Bab ash-Shaghir
Di antara Bab al-Jabiyah dan Bab ash-Shaghir terdapat sebuah pekuburan besar, tempat dimakamkannya banyak sahabat, para syuhada, dan generasi setelah mereka.
Seorang penyair Damaskus dari generasi setelahku pernah menggambarkan kotanya dengan indah:
“Damaskus, dalam sifat-sifatnya,
laksana surga kekal yang diridhai.
Tidakkah kau lihat bahwa pintu-pintunya,
telah dijadikan berjumlah delapan?”
Seakan-akan delapan gerbang itu sengaja dibuat untuk menyesuaikan jumlah pintu-pintu surga.
Makam Para Sahabat dan Wali di Sekitar Damaskus
Di pemakaman antara Bab al-Jabiyah dan Bab ash-Shaghir, terdapat makam-makam mulia:
- Ummu Habibah binti Abu Sufyan, istri Rasulullah ﷺ, Ummul Mukminin.
- Saudaranya, Amirul Mukminin Mu‘awiyah bin Abi Sufyan.
- Bilal bin Rabah, muazin Rasulullah ﷺ.
- Uwais al-Qarani.
- Ka‘b al-Ahbar.
Tentang Uwais al-Qarani, aku membaca dalam sebuah kitab syarah Shahih Muslim bahwa sekelompok sahabat pernah bepergian dari Madinah ke Syam bersama beliau. Di tengah perjalanan, di padang tandus tanpa air dan penduduk, Uwais wafat. Mereka kebingungan: bagaimana memandikan, mengkafani, dan menguburkannya?
Tiba-tiba mereka menemukan wewangian kafan, kain kafan, dan air. Mereka memandikannya, mengafani, menshalati, lalu menguburkannya. Saat mereka pergi, salah seorang berkata, “Bagaimana kita tinggalkan kuburnya tanpa tanda?” Mereka kembali ke tempat tadi, namun bekas kubur itu sama sekali tidak ditemukan.
Sebagian ulama lain, seperti yang disebut Ibn Juzayy, berpendapat bahwa yang lebih kuat adalah pendapat bahwa Uwais gugur syahid dalam perang Shiffin di pihak Ali – semoga Allah memuliakannya. Allah-lah yang paling mengetahui kebenaran dalam hal ini.
Di dekat Bab Syarqi terdapat lagi sebuah tempat suci. Di sana ada kubur Ubayy bin Ka‘b, sahabat ahli Al-Qur’an, dan kubur seorang wali besar, Arslan yang dikenal dengan julukan al-Baz al-Asyhab (rajawali abu-abu).
Dikisahkan bahwa Syaikh Ahmad ar-Rifa‘i di Irak dan Syaikh Abu Madyan di Maghrib terikat persaudaraan ruhani. Mereka saling mengirim salam setiap pagi dan petang, walau berjauhan. Suatu tahun, Syaikh Ahmad memanen kurma dari pohon-pohon di zawiyahnya dan menyisakan satu tandan:
“Ini untuk saudaraku Syu‘ayb (Abu Madyan),” katanya.
Pada tahun yang sama, Abu Madyan menunaikan haji dan keduanya bertemu di padang Arafah. Bersama Ahmad ada seorang khadim bernama Arslan. Saat Syaikh Ahmad bercerita tentang tandan kurma yang ia sisihkan, Arslan berkata:
“Demi perintahmu, wahai tuanku, aku akan membawakannya ke sini untukmu.”
Syaikh mengizinkannya. Saat itu juga Arslan menghilang, lalu kembali membawa tandan kurma itu dan meletakkannya di depan kedua wali besar tersebut.
Penduduk zawiyah di Irak bersumpah bahwa pada sore hari Arafah mereka melihat seekor rajawali abu-abu menyambar dari langit, memotong satu tandan kurma dari pohon di zawiyah, lalu terbang membawanya di udara. Karena itulah Arslan dikenal dengan julukan al-Baz al-Asyhab dan dimakamkan di Damaskus.
Di sebelah barat kota terdapat pekuburan lain yang dikenal dengan Qubur asy-Syuhada. Di sana dimakamkan:
- Abu ad-Darda’ dan istrinya Umm ad-Darda’.
- Fadhalah bin ‘Ubaid.
- Watsilah bin al-Asqa‘.
- Sahl bin Hanzhalah, salah satu sahabat yang ikut dalam Bai‘at Ridwan di bawah pohon.
Di sebuah desa bernama al-Munaihah, sekitar empat mil di timur Damaskus, terdapat kubur Sa‘d bin ‘Ubadah, pemuka kaum Khazraj. Di atasnya ada masjid kecil yang indah. Di nisannya tertulis: “Ini kubur Sa‘d bin ‘Ubadah, pemuka Khazraj, sahabat Rasulullah ﷺ.”
Di sebuah desa di selatan kota, berjarak satu farsakh, terdapat sebuah maqam yang oleh penduduk Damaskus disebut Qabr as-Sitt Ummu Kultsum. Mereka meyakini bahwa di sanalah dimakamkan Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib dan Fathimah – semoga Allah memuliakan mereka. Disebutkan bahwa nama aslinya Zainab, dan Nabi ﷺ memberinya kun-yah “Ummu Kultsum” karena kemiripannya dengan bibi beliau, Ummu Kultsum binti Rasulullah ﷺ. Di sana ada masjid besar dan bangunan-bangunan di sekelilingnya, dengan harta wakaf yang menghidupkannya. Tak jauh dari situ ada kubur lain yang dinisbatkan kepada Sakinah binti al-Husain.
Di desa an-Nayrab, yang termasuk wilayah Damaskus, terdapat sebuah rumah di bagian timur masjidnya; di situ ada kubur yang dikatakan sebagai kubur ibunda Maryam ‘alaihassalam. Di desa Darayya, empat mil di barat Damaskus, terdapat kubur Abu Muslim al-Khawlani dan Abu Sulaiman ad-Darani, dua orang wali besar dari generasi tabi‘in.
Masjid al-Aqdam dan Wabah Besar
Salah satu tempat yang sangat dimuliakan penduduk Damaskus adalah Masjid al-Aqdam, di sebelah selatan kota, sekitar dua mil dari pusat kota. Masjid ini terletak di pinggir jalan utama yang mengarah ke Tanah Hijaz, Baitul Maqdis, dan Mesir.
Masjid itu besar, banyak berkah, dan memiliki harta wakaf yang melimpah. Orang-orang menisbatkannya kepada “jejak-jejak kaki” yang terpahat di batu di sana; dikatakan bahwa itu bekas telapak kaki Nabi Musa ‘alaihissalam.
Di dalamnya ada sebuah ruangan kecil dengan sebuah batu. Di batu itu tertulis bahwa seorang hamba saleh pernah bermimpi melihat Nabi Muhammad ﷺ. Dalam mimpi itu, Nabi bersabda kepadanya:
“Di sinilah kubur saudaraku Musa ‘alaihissalam.”
Di dekat masjid ini terdapat sebuah bukit kecil bernama al-Katsib al-Akhdhar (Bukit Hijau). Dekat Baitul Maqdis dan kota Ariha (Yerikho), ada bukit lain bernama al-Katsib al-Ahmar (Bukit Merah) yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi.
Pada tahun 749 H, sebuah wabah pes besar melanda Damaskus. Di akhir bulan Rabi‘ul Akhir aku menyaksikan sendiri bagaimana penduduk Damaskus mencari perlindungan kepada Allah di Masjid al-Aqdam.
Wakil Sultan, Malik al-Umara Arghun Syah, memerintahkan seorang juru seru mengumumkan agar seluruh penduduk berpuasa tiga hari dan memasak makanan di pasar. Masyarakat pun berpuasa tiga hari berturut-turut, hari terakhirnya hari Kamis.
Malam Jumat, para amir, para syarif, para qadhi, fuqaha, dan seluruh lapisan masyarakat memenuhi Jami‘ Umayyah hingga penuh sesak. Mereka bermalam di sana: ada yang shalat, ada yang berdzikir, ada yang berdoa sambil menangis.
Setelah shalat Subuh, mereka keluar semua dengan berjalan kaki, membawa mushaf di tangan. Para amir pun berjalan tanpa alas kaki. Seluruh penduduk kota, lelaki dan perempuan, tua dan muda, ikut keluar. Orang-orang Yahudi membawa Taurat mereka, orang-orang Nasrani membawa Injil mereka, bersama para wanita dan anak-anak. Semua menangis, merendahkan diri di hadapan Allah dengan perantaraan kitab-kitab suci dan para nabi.
Mereka berjalan menuju Masjid al-Aqdam dan berdoa di sana hingga menjelang zawal (tergelincir matahari). Setelah itu mereka kembali ke kota, menunaikan shalat Jumat. Setelah peristiwa itu, Allah meringankan musibah pes dari mereka. Padahal saat puncaknya, jumlah orang yang wafat di Damaskus mencapai dua ribu orang per hari. Di Kairo dan Fusthath, pernah mencapai dua puluh empat ribu dalam satu hari.
Di Bab Syarqi Damaskus terdapat sebuah menara putih. Dikatakan bahwa di situlah Nabi Isa ‘alaihissalam kelak turun, sebagaimana disebut dalam hadis sahih.
Pinggiran Kota dan Madrasah-Madrasah Qur’an
Selain kota utamanya, Damaskus dikelilingi pinggiran (rabadh) yang luas dari segala sisi kecuali timur. Di pinggiran ini rumah-rumah lebih lapang, jalan-jalan lebih lega, dan pemandangannya terkadang lebih indah dari dalam kota yang sempit dan padat.
Di sebelah utara terdapat ash-Shalihiyyah, sebuah kota kecil sendiri, dengan pasar yang sangat indah, sebuah masjid jami‘, dan rumah sakit (maristan). Di sana ada Madrasah Ibn ‘Umar, wakaf khusus untuk orang-orang tua yang ingin belajar Al-Qur’an. Para syaikh dan orang sepuh yang menghafal atau memperbaiki bacaan tinggal di sana; bagi mereka dan para pengajarnya disediakan makan dan pakaian dari hasil wakaf.
Di dalam kota Damaskus sendiri ada madrasah serupa, yakni Madrasah Ibn Munja. Menariknya, hampir semua penduduk ash-Shalihiyyah bermazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Jabal Qasiyun dan Gua-Gua Para Nabi
Di utara Damaskus berdiri Jabal Qasiyun, dengan permukiman ash-Shalihiyyah di lerengnya. Gunung ini sangat masyhur di kalangan penduduk sebagai tempat yang penuh berkah, karena dikaitkan dengan banyak kisah para nabi.
Di salah satu lerengnya ada sebuah gua yang dikatakan sebagai tempat kelahiran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Gua itu panjang dan sempit; di atasnya kini dibangun sebuah masjid besar dengan menara yang tinggi. Dari gua inilah, menurut kisah yang beredar, beliau melihat bintang, bulan, dan matahari sebagaimana yang Allah ceritakan dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
(سورة الأنعام: ٧٦–٧٨)
Artinya:
“Maka ketika malam telah gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang, lalu dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi ketika bintang itu terbenam, dia berkata, ‘Aku tidak suka kepada yang tenggelam.’
Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’
Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah Tuhanku, ini lebih besar.’ Tetapi ketika matahari itu terbenam, dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan (dengan Allah).’” (QS. Al-An‘am: 76–78)
Di bagian belakang gua itu terdapat sebuah tempat yang dikatakan sebagai maqam tempat beliau biasa duduk.
Aku juga pernah melihat di Irak sebuah desa bernama Burs, antara al-Hillah dan Baghdad. Ada yang berpendapat desa itulah yang dahulu menjadi tempat tinggal Ibrahim ‘alaihissalam. Di dekatnya ada kota yang dinisbatkan kepada Nabi Dzul-Kifl, dan di sanalah letak kuburnya menurut sebagian ahli sejarah.
Naik sedikit dari gua Ibrahim, di sisi barat gunung, terdapat Gua Darah. Di atasnya, pada batu-batu gunung, tampak bekas merah yang dikatakan sebagai darah Habil bin Adam ‘alaihissalam, yang dibunuh oleh saudaranya di tempat itu, lalu diseret ke dalam gua.
Diceritakan bahwa di gua itu para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa, Ayyub, dan Luth ‘alaihimussalam pernah shalat. Di atasnya berdiri sebuah masjid yang bangunannya rapi, dengan tangga untuk naik, kamar-kamar, dan fasilitas bagi orang yang ingin tinggal beribadah. Masjid ini hanya dibuka setiap Senin dan Kamis; di dalam gua dinyalakan lilin dan pelita.
Lebih ke atas lagi terdapat sebuah gua yang dinisbatkan kepada Nabi Adam ‘alaihissalam, dengan bangunan di atasnya. Di bawahnya ada gua lain bernama Gua Lapar, diyakini sebagai tempat tujuh puluh nabi yang pernah berteduh bersama. Mereka hanya memiliki sepotong roti. Roti itu terus berputar dari tangan ke tangan, dan masing-masing mengutamakan saudaranya sampai akhirnya semua wafat. Di atas gua ini juga berdiri sebuah masjid; lampu-lampu di dalamnya menyala siang dan malam.
Orang-orang Damaskus bahkan menyebutkan bahwa di antara Bab al-Faradis dan Jami‘ Qasiyun terdapat kuburan sekitar tujuh ratus nabi; sebagian mengklaim sampai tujuh puluh ribu. Di luar kota terdapat pemakaman tua, tempat dimakamkannya para nabi dan orang saleh menurut anggapan mereka. Di sisi yang dekat dengan kebun-kebun, ada tanah cekung yang digenangi air; mereka menyebutnya tempat dikuburkannya tujuh puluh nabi, tetapi kini daerah itu telah berubah menjadi semacam rawa dan tidak lagi digunakan untuk pemakaman.
Sebagian ulama yang datang setelah zamanku mengkritik keras banyaknya klaim semacam ini. Mereka menegaskan bahwa kelahiran Ibrahim a.s. secara kuat dinisbatkan ke wilayah Irak, bukan Damaskus; dan bahwa klaim ribuan nabi dimakamkan di sekitar Qasiyun adalah cerita rakyat yang tidak berdasar. Mereka mengingatkan agar penulis perjalanan tidak menukil setiap cerita yang didengar tanpa seleksi dan kajian. Allah-lah yang Maha Mengetahui kebenaran segala perkara.
Rabwah yang Diberkahi
Di ujung Jabal Qasiyun terdapat sebuah dataran tinggi hijau yang oleh penduduk disebut ar-Rabwah. Tempat ini masyhur dan mereka kaitkan dengan firman Allah Ta‘ala:
وَجَعَلْنَا ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ آيَةً وَآوَيْنَاهُمَا إِلَىٰ رَبْوَةٍ ذَاتِ قَرَارٍ وَمَعِينٍ
(سورة المؤمنون: ٥٠)
Artinya:
“Dan Kami jadikan putra Maryam (Isa) dan ibunya suatu tanda (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padanya tempat tinggal dan sumber mata air.” (QS. Al-Mu’minun: 50)
Penduduk Damaskus meyakini bahwa Rabwah ini adalah tempat yang dimaksud, yakni tempat tinggal Nabi Isa dan ibunya Maryam ‘alaihimassalam.
Rabwah adalah salah satu pemandangan terindah yang pernah kulihat. Di sana berdiri rumah-rumah dan bangunan megah, kebun-kebun dan mata air. Di tengahnya ada sebuah gua kecil, di dalamnya seperti sebuah rumah mungil, yang disebut sebagai al-Ma’wa (tempat bernaung).
Di hadapan gua ini ada sebuah ruangan yang dikatakan sebagai tempat shalat Nabi Khidhir ‘alaihissalam. Orang-orang berebut untuk shalat di sana. Pintu kecil dari besi menutup gua. Masjid mengelilingi tempat ini, dengan serambi-serambi yang mengitari bangunan, dan sebuah saluran air yang mengalir dari ketinggian turun ke dalam syadzarwan (relung air) di dinding, lalu jatuh ke kolam marmer yang indah. Pemandangan air yang mengalir di situ sangat memikat.
Di sampingnya terdapat tempat-tempat wudhu yang rapi. Dari Rabwah inilah sumber-sumber air Damaskus bermula. Air yang keluar di sana terbagi menjadi tujuh sungai; setiap sungai mengalir ke arah yang berbeda. Tempat pembagiannya dikenal dengan nama al-Maqasim (pembagian air).
Sungai terbesar disebut Tura, mengalir di bawah Rabwah. Untuknya dipahat saluran di batu keras seperti sebuah gua besar. Ada sebagian orang awam yang nekat menyelam dari bagian atas saluran ini, lalu terbawa arus deras menembus terowongan batu sampai keluar di bawah rabwah. Ini sangat berbahaya, tetapi ada saja yang melakukannya.
Dari Rabwah, mata dapat memandang kebun-kebun yang mengelilingi Damaskus. Di kejauhan tampak tujuh sungai yang berpencar ke berbagai arah. Airnya berkilau di antara pepohonan, membuat mata terpesona oleh indahnya aliran air yang berkumpul dan berpisah.
Rabwah memiliki banyak harta wakaf: sawah, kebun, dan rumah. Dari wakaf itu dibayar gaji imam, muazin, dan kebutuhan orang-orang yang singgah di sana.
Di kaki Rabwah terletak desa an-Nayrab. Kebun-kebunnya rimbun dan rapat; pepohonannya saling berdekatan sehingga tidak tampak bangunan desa kecuali bagian atasnya. Di situ ada pemandian (hammam) yang indah dan sebuah masjid jami‘ yang pelatarannya dilapisi marmer. Di sampingnya ada tempat minum umum dan tempat wudhu dengan banyak bilik berair mengalir.
Ke arah selatan terdapat desa al-Mazzah, yang dikenal dengan nama Mazzah Kalb, dinisbatkan kepada kabilah Kalb bin Wabarah bin Tsalabah bin Hulwan bin Imran bin al-Haf bin Qudha‘ah. Desa ini dahulu menjadi tanah iqtha‘ (tanah pemberian) bagi kabilah tersebut. Di sinilah dinisbatkan seorang hafizh besar, Jamaluddin Yusuf al-Mizzi, dan banyak ulama lain. Mazzah termasuk desa terbesar di sekitar Damaskus; memiliki masjid besar yang menakjubkan dan tempat minum umum yang terus mengalir.
Di sebelah timur Damaskus ada desa bernama Bayt al-Ahabbah. Dahulu di sana berdiri sebuah gereja. Diceritakan—berdasarkan riwayat-riwayat populer—bahwa Azar, ayah Nabi Ibrahim, biasa membawa berhala ke sana untuk diperdagangkan, lalu Ibrahim memecahkannya. Kini gereja itu telah diubah menjadi masjid jami‘ yang indah; lantai dan dindingnya dihiasi potongan marmer berwarna dengan susunan yang sangat memikat.
Wakaf-Wakaf Ajaib dan Kedermawanan Penduduk
Di Damaskus, aku melihat sesuatu yang belum pernah kulihat di kota lain: ragam wakaf yang tak terhitung banyaknya.
Ada wakaf khusus untuk orang yang lemah fisiknya tapi ingin menunaikan haji. Wakaf ini membiayai orang yang akan menghajikan mereka, dengan bekal yang mencukupi.
Ada wakaf untuk membekali gadis-gadis yang hendak menikah, tetapi keluarganya miskin dan tidak mampu menyiapkan perlengkapan pengantin. Mereka diberi sesuai kebutuhan.
Ada wakaf untuk menebus tawanan. Ada wakaf untuk ibnu sabil—para musafir yang kehabisan bekal—yang darinya mereka diberi makanan, pakaian, dan ongkos pulang.
Ada wakaf untuk memperbaiki dan meratakan jalan-jalan. Di Damaskus, setiap gang memiliki dua trotoar di kanan-kiri untuk pejalan kaki, sementara penunggang kuda dan kendaraan lewat di tengah. Wakaf khusus ini membiayai perbaikan trotoar dan jalan.
Dan masih banyak lagi wakaf lain untuk berbagai bentuk kebajikan yang sulit disebut satu per satu.
Suatu hari aku lewat di sebuah gang di Damaskus dan menyaksikan peristiwa yang sangat menyentuh. Ada seorang budak kecil menjatuhkan sebuah piring dari tembikar Tiongkok—orang Damaskus menyebutnya ash-shahn—dan piring itu pecah berkeping-keping. Orang-orang berkumpul. Seorang lelaki berkata kepada sang budak:
“Kumpulkan pecahannya dan bawalah kepada pengelola wakaf peralatan makan.”
Budak itu mengumpulkan pecahan-pecahan piring; lelaki tersebut mengantarkannya menemui pengelola wakaf. Sang pengelola melihat pecahan-pecahan piring itu, lalu memberikan uang yang cukup untuk membeli piring baru yang serupa.
Bayangkan: seandainya tidak ada wakaf seperti ini, tuan budak pasti akan memarahinya, mungkin memukulnya; dan hati anak itu akan hancur ketakutan. Namun wakaf ini menjadi pengobat luka di hatinya. Alangkah mulianya orang yang ide kebaikannya sampai pada tingkat seperti itu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang besar.
Penduduk Damaskus sangat gemar membangun masjid, zawiyah, madrasah, dan tempat-tempat ziarah. Mereka juga berbaik sangka kepada para pendatang dari negeri Maghrib (Barat, termasuk Maroko), percaya kepada mereka dalam urusan harta, keluarga, dan anak-anak.
Para Pendatang, Ilmu, dan Pekerjaan Mulia
Siapa pun yang datang dan tinggal di salah satu sudut Damaskus hampir selalu menemukan jalan rezeki yang mulia.
Sebagian menjadi imam masjid, sebagian menjadi qari’ di madrasah atau masjid, sebagian menjaga salah satu tempat ziarah, sebagian bergabung dengan para sufi di khanqah-khanqah; mereka mendapat nafkah dan pakaian dari wakaf.
Seorang pendatang yang memiliki akhlak baik biasanya terjaga dari kehinaan meminta-minta; ia dapat hidup dengan tetap menjaga wibawa dan harga dirinya.
Orang-orang yang terbiasa bekerja pun mendapatkan banyak peluang: menjadi penjaga kebun, mengurus kincir air, menjaga anak-anak dan mengantar mereka ke tempat belajar, serta pekerjaan-pekerjaan lain yang terhormat.
Siapa yang ingin menuntut ilmu atau mengkhususkan diri untuk ibadah, akan mendapati Damaskus sebagai kota yang sangat mendukung.
Ramadhan di Damaskus: Tak Ada yang Berbuka Sendirian
Satu hal yang membuatku sangat kagum: di Damaskus, hampir tidak ada orang yang berbuka puasa sendirian pada malam-malam Ramadhan.
Para amir, qadhi, dan para pembesar mengundang sahabat-sahabat dan para fakir untuk berbuka di rumah mereka. Para pedagang dan pemuka pasar pun melakukan hal serupa, meski dalam skala lebih kecil.
Orang-orang miskin dan penduduk Badui biasanya berkumpul di rumah salah seorang dari mereka, atau di masjid, membawa apa pun yang mereka miliki, lalu berbuka bersama.
Ketika aku berada di Damaskus, aku menjalin persahabatan dengan Nuruddin as-Sakhawi, pengajar mazhab Maliki. Ia sangat ingin aku berbuka di rumahnya. Aku pun menghadiri undangannya empat malam pertama Ramadhan. Lalu aku jatuh sakit demam dan tidak datang lagi.
Ia mengutus seseorang mencariku. Aku mengirim kabar bahwa aku sakit. Namun ia tidak menerima uzur itu. Aku pun kembali ke rumahnya dan bermalam di sana.
Ketika besoknya aku hendak pamit, ia menahanku dan berkata:
“Anggaplah rumahku ini seperti rumahmu sendiri, atau seperti rumah ayahmu atau saudaramu.”
Ia memanggil tabib, lalu memerintahkan agar semua yang dianjurkan tabib—baik obat maupun makanan—disiapkan untukku di rumahnya. Aku tinggal di sana hingga hari raya, lalu menghadiri shalat ‘Id bersama kaum Muslimin. Allah pun menyembuhkanku.
Saat itu bekal perjalananku sudah habis. Nuruddin mengetahuinya. Ia menyewakan unta untukku, membekaliku dengan makanan dan perlengkapan perjalanan, bahkan memberiku beberapa dirham sambil berkata:
“Ini untuk keperluan mendadak yang mungkin menimpamu.”
Semoga Allah membalas semua kebaikannya.
Para Dermawan Pecinta Pendatang
Di Damaskus ada seorang cendekia bernama ‘Imaduddin al-Qaysarani, termasuk para penulis (sekretaris) istana al-Malik an-Nashir. Kebiasaannya, setiap kali mendengar ada orang Maghrib datang ke Damaskus, ia segera mencarinya, menjamunya, dan berbuat baik kepadanya. Jika ia melihat pendatang itu memiliki agama yang baik dan ilmu yang bermanfaat, ia memintanya tetap tinggal di dekatnya, menjadikannya sahabat dekat.
Demikian pula Khatib as-Sirr (sekretaris rahasia) yang mulia, ‘Alauddin bin Ghanim, dan banyak tokoh lainnya. Mereka sama-sama dikenal sebagai pelindung para pendatang dan thalibul ilmi.
Ada pula seorang pembesar besar, ash-Shahib ‘Izzuddin al-Qalansi. Ia kaya raya, terkenal keutamaan, kemuliaan, dan sifat mengutamakan orang lain. Diceritakan bahwa ketika al-Malik an-Nashir tiba di Damaskus, ia menjamunya beserta seluruh orang istana, para mamluk, dan orang-orang kepercayaannya selama tiga hari penuh. Sejak itulah ia diberi gelar “ash-Shahib”.
Salah satu raja lama Damaskus, menjelang wafat, berwasiat agar dikuburkan di arah kiblat Jami‘ Umayyah, namun kuburnya disembunyikan agar tidak tampak. Ia juga mewakafkan harta yang besar untuk menggaji para qari’ yang akan membaca tujuh bagian Al-Qur’an setiap hari setelah Subuh di sisi timur maqshurah para sahabat di masjid itu, tepat di tempat kuburnya.
Sejak itu, bacaan Al-Qur’an di atas kuburnya tidak pernah berhenti; tradisi mulia ini berlangsung terus dari generasi ke generasi.
Hari Arafah bagi Mereka yang Tidak Berhaji
Di Damaskus dan kota-kota Syam lain, aku menyaksikan tradisi yang sangat indah pada hari Arafah.
Setelah shalat Ashar, penduduk keluar ke pelataran masjid-masjid besar seperti Baitul Maqdis, Jami‘ Bani Umayyah, dan yang lainnya. Para imam mereka berdiri di depan jamaah dengan kepala terbuka, berdoa dengan penuh kekhusyukan dan kerendahan.
Mereka sengaja memilih waktu yang sama dengan saat para hujjaj wukuf di Arafah. Mereka memanjatkan doa, tangisan, dan permohonan kepada Allah Ta‘ala sampai matahari terbenam. Lalu mereka bubar dari pelataran masjid seperti hujjaj turun dari Arafah, dengan hati penuh harap dan mata basah air mata.
Mereka menangis karena merasa kehilangan kesempatan berada langsung di Arafah, namun di saat yang sama berharap Allah memberi mereka bagian dari rahmat yang tercurah pada hari itu dan kelak memberi mereka kesempatan untuk berhaji.
Adab Mengiringi Jenazah di Damaskus dan di India
Penduduk Damaskus punya cara khusus dalam mengiringi jenazah. Mereka berjalan di depan keranda, sementara para qari’ membaca Al-Qur’an dengan suara merdu dan nada yang menyentuh hati. Kadang-kadang, bacaan mereka begitu menyentuh hingga orang yang mendengar merasa jiwanya seakan akan melayang.
Jenazah-jenazah biasanya dishalatkan di Jami‘ Umayyah, tepat di depan maqshurah. Jika yang meninggal adalah salah satu imam, muazin, atau pelayan tetap masjid, para qari’ tetap membaca Al-Qur’an hingga jenazah masuk ke tempat shalat. Jika bukan, bacaan dihentikan di pintu masjid, lalu jenazah dibawa masuk.
Sebagian kelompok lain biasa berkumpul di pelataran barat masjid, dekat Bab al-Barid. Mereka duduk dengan mushaf-mushaf kecil (ruba‘) terbuka di hadapan. Ketika para pembesar kota datang melayat, mereka mengangkat suara seraya menyebut nama-nama gelar kehormatan:
“Bismillah, Fulanuddin, Kamiluddin, Jamaluddin, Syamsuddin…”
Ketika bacaan selesai, para muazin berdiri dan berkata:
“Ingatlah dan ambillah pelajaran! Marilah kalian menshalatkan Fulan, seorang lelaki saleh, alim…”
Mereka menyebut kebaikan-kebaikannya, lalu jenazah dishalatkan dan dibawa ke kubur.
Di India, aku melihat tradisi yang serupa namun lebih meriah. Tiga hari setelah pemakaman, keluarga mayit menggelar majelis ziarah di kubur. Makam dihias dengan kain-kain halus dan bunga; kubur ditutup kain indah. Para qari’ membaca Al-Qur’an bersama, lalu qadhi atau wakilnya berdiri menyampaikan kata-kata nasihat, meratapi mayit dengan syair, mendoakan keluarga, lalu mendoakan sultan. Pada saat nama sultan disebut, semua hadirin berdiri dan menunduk ke arah kota tempat sultan berada.
Setelah doa, air mawar disiramkan ke hadirin, dimulai dari qadhi. Kemudian mereka diberi minum minuman manis dari gula yang dilarutkan (jallab), dan dibagikan pula daun sirih (tanbul), yang sangat mereka muliakan sampai dianggap lebih berharga dari pemberian emas jika datang dari tangan sultan.
Demikianlah, setiap negeri punya cara sendiri untuk memuliakan jenazah dan mendoakan orang yang telah pergi.
Majelis Shahih al-Bukhari di Jami‘ Umayyah
Salah satu nikmat besar yang Allah berikan kepadaku di Damaskus adalah kesempatan untuk menyimak pembacaan lengkap Shahih al-Bukhari di Jami‘ Bani Umayyah.
Kitab itu dibacakan oleh seorang syaikh lanjut usia, pengembara ulung, Syihabuddin Ahmad bin Abi Thalib, yang dikenal dengan nama Ibn asy-Syihnah al-Hijjar. Ia seorang qari’ dari ash-Shalihiyyah. Kami menyelesaikan kitab itu dalam empat belas majelis, dimulai hari Selasa pertengahan Ramadhan tahun 726 H, dan selesai hari Senin tanggal 28 bulan yang sama.
Yang membacakan kitab di hadapan syaikh pada saat itu adalah seorang hafizh besar dan sejarawan Syam, ‘Alamuddin al-Barzali, disaksikan jamaah besar. Nama-nama yang hadir ditulis dalam catatan khusus, sebagai bukti periwayatan.
Rantai sanad yang kusaksikan bersambung terus hingga ke Imam al-Bukhari sendiri, bahkan sampai kepada beliau dengan dua kali periwayatan: sekali pada tahun 248 H, dan kedua kalinya pada tahun 253 H, di kota Farabr. Sungguh, berada di tengah-tengah mata rantai emas ilmu seperti ini adalah karunia yang tidak ternilai.
Selain menghadiri majelis hadis, aku juga mendapat ijazah umum dari banyak ulama Damaskus: di antaranya Ibn asy-Syihnah, Syihabuddin al-Maqdisi, Abdurrahman an-Najdi, Jamaluddin al-Mizzi sang hafizh besar, dan beberapa syaikhah (ulama perempuan) yang salehah seperti Zainab binti Kamaluddin al-Maqdisiyyah. Semuanya ini terjadi pada tahun 726 H.
Berangkat Bersama Kafilah Haji Syam
Ketika bulan Syawwal tiba, kafilah haji Syam keluar dari Damaskus dan singgah di sebuah desa bernama al-Kiswah. Aku memutuskan untuk ikut berangkat bersama mereka menuju Tanah Suci.
Amir kafilah waktu itu adalah Saifuddin al-Juban, salah satu amir besar. Qadhi kafilah adalah Syarfuddin al-Adhra‘i al-Hawrani. Pada tahun yang sama, pengajar mazhab Maliki, Shadruddin al-‘Umari, juga ikut berhaji.
Aku sendiri bergabung dengan sekelompok Arab dari kabilah al-‘Ajarimah, dipimpin oleh amir mereka, Muhammad bin Rafi‘, seorang amir yang sangat disegani.
Dari al-Kiswah kami berangkat ke desa ash-Shanamayn, desa yang besar. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke kota kecil Zar‘ah di wilayah Hawran, lalu berkemah di dekatnya.
Perhentian besar berikutnya adalah kota Busra. Kafilah biasanya tinggal di sini empat hari, memberi kesempatan bagi orang-orang Damaskus yang tertinggal—karena urusan atau persiapan—untuk menyusul. Di kota inilah dahulu Rasulullah ﷺ singgah, sebelum diutus menjadi nabi, ketika bepergian membawa dagangan milik Khadijah. Di tempat unta beliau dahulu duduk, kini dibangun sebuah masjid besar.
Penduduk Hawran biasa berkumpul di Busra; para hujjaj membeli bekal perjalanan dari pasar-pasar di kota itu.
Dari Busra kami melanjutkan perjalanan ke Birkat Zizya, sebuah kolam besar di wilayah al-Balqa‘, lalu singgah sehari di sana. Setelah itu kami tiba di al-Lajjun, sebuah tempat yang dialiri air, sebelum akhirnya sampai di benteng besar al-Karak.
Benteng al-Karak begitu kokoh dan menakjubkan. Ia dikenal sebagai Qal‘at al-Ghurab (Benteng Gagak) karena letaknya yang tinggi di atas lembah yang mengelilinginya dari segala sisi. Benteng itu hanya memiliki satu pintu, dan jalan masuknya dipahat di batu cadas yang keras, begitu pula lorongnya.
Di benteng inilah para raja Syam biasa berlindung ketika terjadi fitnah besar. Di sinilah pula al-Malik an-Nashir pernah mengasingkan diri ketika masih muda, setelah kekuasaan praktis dikuasai mamluknya, Salar. Ia menyatakan akan berhaji, dan para amir menyetujui. Namun ketika sampai di tanjakan Aylah, ia berbelok menuju al-Karak dan berlindung di sana bertahun-tahun, sampai para amir Syam dan para mamluk bersatu kembali di bawah panjinya.
Pada masa itu, raja di Mesir adalah Baybars al-Jasyankir, bergelar al-Malik al-Muzaffar. Dialah yang membangun Khanqah al-Baybarsiyyah di Kairo. Akhirnya al-Malik an-Nashir menyerangnya dengan pasukan. Baybars lari ke padang pasir, dikejar, tertangkap, lalu dibawa menghadap. Al-Malik an-Nashir memerintahkan agar ia dieksekusi. Salar dijebloskan ke dalam sumur gelap, dibiarkan sampai mati kelaparan. Dikisahkan bahwa ia sampai memakan bangkai karena lapar yang amat sangat. Kami berlindung kepada Allah dari akhir yang buruk seperti itu.
Kafilah haji tinggal di luar al-Karak selama empat hari, di sebuah tempat bernama ats-Tsaniyyah, untuk mempersiapkan diri memasuki padang pasir luas.
Menyusuri Padang Pasir Menuju Tanah Suci
Dari al-Karak kami bergerak menuju Ma‘an, kota terakhir di wilayah Syam. Di sana tanah mulai menurun, memasuki wilayah padang pasir. Kami menyusuri tanjakan ash-Shawwan, lalu masuk ke gurun luas yang terkenal dengan peribahasa:
“Yang masuk ke dalamnya, hilang; yang keluar darinya, lahir kembali.”
Setelah dua hari perjalanan, kami singgah di Dzatu Hajj, tempat beberapa sumur yang telah diperbaiki. Dari sana kami sampai di Wadi Baldah, lembah tanpa air, sebelum akhirnya tiba di Tabuk.
Tabuk adalah tempat yang pernah diserang Rasulullah ﷺ dalam Perang Tabuk. Di sana terdapat sebuah mata air yang dahulu hanya memancar sedikit air. Namun ketika Rasulullah ﷺ singgah di sana dan berwudhu dengannya, mata air itu memancarkan air yang banyak, dan kondisinya tetap demikian hingga zamanku, sebagai berkah dari beliau.
Di Tabuk, tradisi para hujjaj Syam adalah: ketika memasuki kota ini, mereka mengambil senjata, menghunus pedang, lalu berlari seakan-akan menyerbu, memukul batang kurma dengan pedang sambil berkata:
“Beginilah Rasulullah ﷺ memasuki Tabuk!”
Kafilah besar singgah di mata air ini selama empat hari. Para penimba air mengelilingi mata air, menyiapkan kolam-kolam besar dari kulit kerbau, seperti bak air. Dari kolam itu mereka memberi minum unta-unta dan mengisi geriba skin. Setiap amir punya kolam khusus untuk unta-unta dan pengikutnya. Musafir lainnya membuat perjanjian dengan para penimba air untuk mendapatkan jatah minum dan pengisian geriba, dengan imbalan sejumlah dirham.
Dari Tabuk, kami bergerak cepat siang dan malam karena takut akan beratnya padang pasir di depan. Di tengah-tengahnya terdapat Wadi al-Akhḍar, lembah yang menakutkan. Di salah satu tahun sebelum kedatanganku, angin samum yang sangat panas bertiup di lembah itu; air menguap, harga seteguk air mencapai seribu dinar emas, dan baik si penjual maupun si pembeli mati kehausan. Peristiwa itu diabadikan dalam tulisan di salah satu batu di lembah tersebut.
Setelah melewati lembah itu, kami tiba di Birkat al-Mu‘azzham, kolam besar yang dinisbatkan kepada seorang raja bernama al-Malik al-Mu‘azzham dari keturunan Ayyub. Kolam ini menampung air hujan pada sebagian tahun, namun pada tahun-tahun lain bisa mengering.
Lima hari setelah meninggalkan Tabuk, kami sampai di sumur-sumur al-Hijr, negeri kaum Tsamud. Airnya banyak, namun kami tidak mengambilnya untuk minum, meski sangat haus, mengikuti larangan Rasulullah ﷺ yang, ketika melewati tempat ini dalam Perang Tabuk, mempercepat laju untanya dan memerintahkan agar tidak mengambil airnya. Adonan roti yang sudah terlanjur dibuat dengan air itu pun beliau perintahkan untuk diberikan kepada unta.
Di sekitar sumur-sumur itu tampak rumah-rumah kaum Tsamud yang terpahat di batu merah. Pintu-pintunya memiliki ambang yang dipahat halus, seolah-olah baru saja dikerjakan. Di dalamnya ada tulang-tulang manusia yang sudah lapuk. Di antara dua gunung tampak sebuah lapangan yang disebut sebagai tempat duduk unta Nabi Shalih ‘alaihissalam, dan di sana ada bekas sebuah masjid kecil. Orang-orang suka shalat di situ.
Antara al-Hijr dan desa besar al-‘Ula jaraknya setengah hari perjalanan. Al-‘Ula memiliki kebun kurma dan air yang mengalir; para hujjaj singgah di sana empat hari. Mereka mencuci pakaian, membeli bekal, dan menitipkan barang-barang yang tidak mereka perlukan dalam perjalanan. Penduduk al-‘Ula terkenal jujur dan amanah; para pedagang Nasrani dari Syam biasanya berhenti hanya sampai di sini untuk menjual bekal kepada para hujjaj.
Dari al-‘Ula, keesokan harinya kami singgah di lembah al-‘Uthas, lembah yang sangat panas dan sering tertiup angin samum yang mematikan. Pada salah satu tahun, angin ini menyerang kafilah dan hanya sedikit yang selamat. Tahun itu terkenal dengan nama “Tahun Amir al-Halqi”.
Perhentian berikutnya adalah Hudayyah, beberapa sumur di sebuah lembah. Airnya diperoleh dengan menggali tanah, namun rasanya pahit lagi asin. Pada hari ketiga setelah Hudayyah, akhirnya kami tiba di pinggiran Tanah Suci yang mulia dan agung—Mekah al-Mukarramah.
Perjalananku dari Damaskus ke Tanah Suci berakhir di sini; tetapi kenangan tentang Damaskus—masjid-masjidnya, para ulama, para dermawan, makam-makam mulia, dan sungai-sungai yang mengalir di antara kebun-kebunnya—tetap hidup di dalam hatiku sepanjang usia.
Peta Perjalanan Ibnu Bathutah #14Sumber kisah:
Rihlah Ibnu Battutah

Komentar
Posting Komentar