Rihlah Ibnu Bathutah #13 :Masjid Umayyah, Mahakarya di Jantung Damaskus
Masjid Umayyah: Mahakarya di Jantung Damaskus
Di tengah kota Damaskus, berdiri sebuah masjid yang sejak berabad-abad lalu membuat para musafir terpesona: Masjid Jami’ Bani Umayyah yang agung.
Ia digambarkan sebagai salah satu masjid terindah di dunia: megah perayaannya, halus pengerjaannya, dan sempurna keindahannya. Hampir tak ada bangunan lain yang menyamainya pada zamannya.
Masjid ini dibangun dan disempurnakan oleh Khalifah al-Walid bin ‘Abdul Malik bin Marwan. Untuk memperindahnya, ia mengirim utusan kepada raja Romawi di Konstantinopel, meminta agar dikirimkan para tukang terbaik. Raja itu memenuhi permintaannya dan mengirim dua belas ribu tukang khusus untuk proyek besar ini.
Dari Gereja Menjadi Masjid Agung
Tempat Masjid Umayyah berdiri dulunya adalah sebuah gereja besar di Damaskus.
Ketika kaum muslimin menaklukkan kota itu, Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu masuk dari salah satu sisi kota dengan kekuatan senjata. Ia terus maju hingga sampai ke separuh bagian gereja. Dari sisi barat kota, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu masuk dengan perjanjian damai, dan juga sampai di separuh bagian gereja.
Akhirnya, gereja itu terbagi dua:
- Bagian yang dikuasai dengan kekuatan senjata dijadikan masjid oleh kaum muslimin.
- Bagian yang diperoleh dengan jalan damai tetap dibiarkan sebagai gereja.
Bertahun-tahun kemudian, ketika al-Walid memutuskan untuk memperluas masjid, ia ingin memasukkan bagian gereja yang tersisa ke dalam kompleks masjid. Ia meminta kepada orang-orang Romawi agar mau menjual gereja itu dengan harga berapa pun yang mereka mau. Mereka menolak.
Al-Walid pun mengambil gereja tersebut dari mereka secara paksa. Orang-orang Romawi memiliki keyakinan: siapa yang berani merobohkan gereja itu, pasti akan menjadi gila. Mereka menyampaikan hal itu kepada al-Walid.
Dengan tenang ia menjawab:
“Kalau begitu, akulah orang pertama yang akan ‘menjadi gila’ di jalan Allah.”
Ia sendiri yang pertama kali mengayunkan kapak, merobohkan bangunan itu dengan tangannya. Melihat keberaniannya, kaum muslimin berbondong-bondong ikut merobohkan gereja tersebut. Dan klaim orang-orang Romawi pun terbukti tidak benar. Di atas tanah itulah kemudian berdiri Masjid Umayyah dengan segala keindahannya.
Keindahan Bangunan dan Kubah Rajawali
Bagian dalam masjid dihiasi mosaik emas yang dikenal dengan nama fusayfisa’. Kepingan-kepingan emas itu dipadukan dengan berbagai warna cat yang indah dan jarang ditemui, sehingga dinding-dindingnya tampak hidup dan bercahaya.
Masjid ini berukuran besar:
- Panjangnya dari timur ke barat sekitar 200 langkah (± 300 hasta).
- Lebarnya dari dinding kiblat hingga bagian utara sekitar 135 langkah (± 200 hasta).
Di dalamnya terdapat 74 jendela kaca berwarna yang memancarkan cahaya lembut ke dalam ruangan. Ruang utamanya terdiri dari tiga lorong panjang yang membujur dari timur ke barat, masing-masing selebar kurang lebih 18 langkah.
Bangunan masjid berdiri di atas 54 tiang dan 8 pilar batu besar. Di antara pilar-pilar itu terdapat 6 pilar marmer yang dihiasi marmer warna-warni dengan ukiran bentuk mihrab dan ragam hias lainnya. Pilar-pilar inilah yang memikul sebuah kubah besar berlapis timah di depan mihrab, yang disebut:
Kubah Rajawali (Qubbah al-Nasr)
Kubah ini seolah-olah adalah kepala seekor rajawali raksasa, sedangkan bangunan masjid adalah tubuhnya yang sedang mengepakkan sayap di angkasa. Kubah Rajawali termasuk salah satu bangunan paling menakjubkan di dunia pada masanya.
Dari arah mana pun seseorang memasuki Damaskus, Kubah Rajawali terlihat menjulang tinggi di atas seluruh bangunan kota, menjadi tanda paling jelas keberadaan Masjid Umayyah.
Halaman Tengah dan Tiga Kubah
Di tengah kompleks masjid terdapat sebuah halaman luas (sahn) yang sangat indah. Di tiga sisinya—timur, barat, dan utara—mengelilingi sahn itu terdapat deretan serambi (lorong beratap) yang masing-masing selebar sekitar 10 langkah. Di serambi-serambi ini berdiri 33 tiang dan 14 pilar.
Luas halaman itu kira-kira 100 hasta. Pemandangannya sangat indah dan menyejukkan mata. Di sinilah penduduk Damaskus biasa berkumpul pada waktu sore hari. Ada yang membaca Al-Qur’an, ada ahli hadis yang menyampaikan riwayat, ada yang duduk berbincang, ada yang sekadar berlalu. Biasanya mereka berpisah setelah shalat Isya.
Ada kebiasaan yang menarik: bila dua orang tokoh, seperti para fuqaha dan ulama besar, bertemu di halaman itu, keduanya segera bergegas saling menghampiri dan masing-masing mencium kepala sahabatnya sebagai bentuk penghormatan.
Di sahn itu terdapat tiga kubah kecil yang masing-masing memiliki cerita tersendiri.
Kubah ‘Aisyah, Penjaga Harta Masjid
Di sisi barat sahn berdiri kubah terbesar di antara ketiganya, disebut:
Kubah ‘Aisyah Ummul Mukminin
Kubah ini berdiri di atas delapan tiang marmer, yang dihias dengan kepingan mosaik dan warna-warna yang indah. Atapnya dilapisi timah.
Diceritakan bahwa dahulu harta wakaf Masjid Umayyah disimpan di bawah kubah ini. Bahkan disebutkan, hasil dari tanah wakaf dan pengelolaan harta masjid menghasilkan sekitar 25.000 dinar emas setiap tahun—jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Kubah Zain al-‘Abidin
Di sisi timur sahn, berdiri kubah lain yang bentuknya mirip dengan Kubah ‘Aisyah, hanya saja ukurannya lebih kecil. Kubah ini juga berdiri di atas delapan tiang marmer dan dikenal dengan nama:
Kubah Zain al-‘Abidin
Kubah Sangkar Air di Tengah Halaman
Di tengah sahn terdapat kubah ketiga yang ukurannya lebih kecil. Bentuknya segi delapan, terbuat dari marmer yang indah dengan sambungan-sambungan yang sangat rapi. Kubah ini berdiri di atas empat tiang marmer putih cemerlang.
Di bawah kubah itu terdapat sebuah bangunan dari besi, dan di tengahnya ada pipa tembaga yang memancarkan air ke atas dengan kuat. Air itu naik tinggi kemudian melengkung jatuh kembali, seperti sebatang tongkat perak yang melengkung. Orang-orang menyebutnya:
“Sangkar Air” (Qafas al-Ma’)
Mereka senang meletakkan mulut di dekat pancuran itu untuk minum airnya yang jernih dan sejuk.
Ruang-Ruang Suci di Dalam dan Sekitar Masjid
Di sisi timur halaman tengah terdapat sebuah pintu yang mengarah ke sebuah ruangan ibadah yang indah tata letaknya. Tempat itu dikenal sebagai:
Mashhad ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
Di sisi barat, pada titik pertemuan serambi barat dan serambi utara, terdapat sebuah tempat yang menurut riwayat, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mendengarkan hadis di sana.
Maqshurah, Mihrab, dan Mushaf ‘Utsman
Di dinding kiblat masjid terdapat sebuah maqshurah besar, yaitu ruang khusus berpagar tempat imam mazhab Syafi’i memimpin shalat.
Di sudut timur maqshurah, sejajar dengan mihrab utama, terdapat sebuah lemari besar. Di dalamnya tersimpan sebuah mushaf agung yang terkenal:
Mushaf yang diutuskan oleh Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu ke negeri Syam
Lemari itu dibuka setiap hari Jumat setelah shalat Jumat. Saat dibuka, orang-orang berdesakan untuk mencium mushaf itu sebagai bentuk penghormatan. Di tempat itu pula biasanya orang-orang mengambil sumpah dari para penanggung utang atau orang-orang yang dituduh memiliki kewajiban tertentu.
Di sebelah kiri maqshurah terdapat:
Mihrab Sahabat (Mihrab al-Shahabah)
Ahli sejarah menyebutkan bahwa inilah mihrab pertama yang dibangun dalam Islam. Di sinilah imam mazhab Maliki mengimami jamaahnya.
Di sebelah kanan maqshurah terdapat mihrab mazhab Hanafi, tempat imam Hanafi mengimami shalat. Di sebelahnya lagi terdapat mihrab mazhab Hanbali dengan fungsi yang sama bagi jamaah Hanbali.
Menara-Menara dan Makam Nabi Zakaria
Masjid Umayyah memiliki tiga menara utama.
- Menara timur adalah peninggalan bangunan Romawi. Pintu masuknya dari dalam masjid. Di lantai bawah menara itu terdapat tempat mandi dan kamar-kamar wudu, tempat orang-orang yang beriktikaf dan berdiam di masjid mandi dan berwudu.
- Menara barat juga merupakan sisa bangunan Romawi.
- Menara utara dibangun oleh kaum muslimin setelahnya.
Jumlah muazin di masjid ini mencapai tujuh puluh orang. Suara azan berkumandang dari berbagai penjuru, menghidupkan langit Damaskus.
Di sebelah timur masjid ada sebuah bangunan tinggi yang di dalamnya terdapat sebuah bak penampung air. Tempat ini dikhususkan untuk sekelompok orang Sudan yang dikenal sebagai kaum Ziyala.
Di tengah-tengah masjid terdapat sebuah makam yang dinisbatkan kepada:
Nabi Zakaria ‘alaihissalam
Di atasnya ada sebuah keranda yang diletakkan melintang di antara dua tiang, diselimuti kain sutra hitam bertuliskan dengan huruf putih:
“Yā Zakariyyā, innā nubasysyiruka bi ghulāmin ismuhu Yahyā”
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak yang namanya Yahya.” (QS Maryam: 7)
Keutamaan Masjid dan Tradisi Ibadah
Masjid Umayyah terkenal dengan keutamaan dan kemuliaannya.
Diriwayatkan dari Sufyan al-Tsauri, bahwa:
“Shalat di Masjid Damaskus bernilai tiga puluh ribu shalat.”
Dalam sebuah atsar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan:
“Allah akan tetap disembah di dalam masjid ini selama empat puluh tahun setelah dunia hancur.”
Ada pula yang mengatakan bahwa dinding selatan masjid dibangun oleh Nabi Hud ‘alaihissalam dan bahwa makam beliau berada di sana. Penulis kisah ini (Ibnu Battutah) menceritakan bahwa ia pernah melihat sebuah bangunan dekat kota Dhufar di Yaman, di daerah bernama al-Ahqaf, di dalamnya terdapat sebuah makam dengan tulisan:
“Ini adalah makam Hud bin ‘Abir, shalawat dan salam Allah atasnya.”
Masjid yang Hampir Tak Pernah Sepi
Salah satu keutamaan Masjid Umayyah adalah:
ia hampir tidak pernah kosong dari bacaan Al-Qur’an dan shalat.
- Setelah shalat Subuh, orang-orang berkumpul untuk membaca seper-tujuh dari Al-Qur’an.
- Setelah shalat Ashar, mereka berkumpul lagi untuk bacaan yang disebut “al-Kautsuriyyah”—karena dimulai dari Surah al-Kautsar hingga akhir Al-Qur’an.
Orang-orang yang senantiasa hadir dalam majelis bacaan ini berjumlah sekitar enam ratus orang. Mereka mendapatkan tunjangan rutin dari harta masjid. Di antara mereka berkeliling seorang pencatat kehadiran. Siapa yang absen, akan dipotong haknya sesuai dengan lamanya ia tidak datang.
Di masjid ini juga tinggal sekelompok besar mujāwir—orang-orang yang mengkhususkan diri berdiam di masjid. Mereka hampir tidak pernah keluar, dan terus-menerus sibuk dengan shalat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir.
Mereka berwudu dari tempat-tempat wudu di menara timur yang telah disebutkan. Penduduk Damaskus membantu mereka dengan makanan dan pakaian tanpa mereka meminta sedikit pun. Inilah bentuk penghormatan penduduk kota kepada para ahli ibadah yang memakmurkan masjid mereka.
Empat Pintu dan Hiruk-Pikuk Pasar di Sekitarnya
Masjid Umayyah memiliki empat pintu utama, masing-masing dengan suasana dan bangunannya sendiri.
Bab al-Ziyadah dan Pasar Tembaga
Pintu selatan dikenal sebagai:
Bab al-Ziyadah
Di bagian atasnya terdapat sepotong tombak yang dahulu menjadi tempat berkibarnya panji Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu.
Pintu ini memiliki lorong besar dan luas. Di kiri-kanan lorong berjajar kios-kios kecil milik para penjual barang-barang ringan dan kebutuhan harian. Dari pintu inilah jalan menuju Dar al-Khalil.
Di sebelah kiri orang yang keluar dari Bab al-Ziyadah, membentang sebuah deretan pasar pandai tembaga, yang dikenal dengan:
Samaṭ al-Ṣaffārīn
Pasar ini memanjang di sepanjang dinding selatan masjid dan merupakan salah satu pasar terindah di Damaskus.
Dahulu, di tempat pasar ini berdiri rumah Mu‘awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu dan rumah-rumah keluarganya. Kawasan itu dulu disebut al-Khadra’. Setelah Bani ‘Abbas berkuasa, bangunan-bangunan itu dirobohkan dan diubah menjadi pasar seperti yang terlihat sekarang.
Bab Jairun, Pelataran Luas, dan Air Mancur Marmer
Pintu timur adalah pintu terbesar masjid, dikenal dengan nama:
Bab Jairun
Pintu ini memiliki lorong besar yang mengarah ke sebuah pelataran panjang yang luas di luar. Di depan pelataran itu terdapat lima pintu lainnya yang berdiri di atas enam tiang tinggi.
Di sebelah kiri pelataran terdapat sebuah mashhad besar. Dahulu, kepala al-Husain radhiyallahu ‘anhu pernah ditempatkan di sana. Di hadapannya ada sebuah masjid kecil yang dinisbatkan kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya mengalir air yang jernih.
Di depan pelataran itu terdapat anak-anak tangga yang menurun menuju sebuah lorong dalam, bagaikan parit besar. Lorong itu tersambung dengan sebuah pintu yang sangat tinggi, di bawahnya berdiri tiang-tiang panjang seperti batang pohon.
Di sisi kanan dan kiri lorong ini berdiri tiang-tiang yang di atasnya dibangun jalan-jalan melingkar. Di sepanjang jalan itu terdapat kios-kios para pedagang kain dan lainnya. Di atasnya lagi terdapat jalan-jalan lurus yang di kiri-kanannya berjajar toko para penjual perhiasan, penjual buku, dan pengrajin kaca dengan aneka bentuk yang menakjubkan.
Di lapangan yang tersambung dengan Bab Jairun terdapat kios-kios khusus para saksi besar (notaris). Salah satu kios dikhususkan untuk kalangan Syafi’iyah, dan kios-kios lainnya untuk penganut mazhab lain. Di setiap kios biasanya ada lima atau enam saksi ‘adl (saksi resmi yang adil), dan seorang petugas akad nikah yang diangkat oleh qadhi. Para saksi lainnya tersebar di berbagai tempat di dalam kota.
Tak jauh dari sana terdapat pasar warraqîn, yaitu para penjual kitab dan alat tulis: kertas, pena, dan tinta.
Di lorong Bab Jairun terdapat sebuah kolam marmer besar berbentuk bundar. Di atasnya berdiri sebuah kubah yang tanpa atap, disangga tiang-tiang marmer. Di tengah kolam terdapat pipa tembaga yang menyemburkan air dengan kuat, sehingga pancurannya naik lebih tinggi dari tinggi badan manusia. Air mancur ini disebut:
al-Fawwârah (si air mancur)
Pandangannya sangat indah dan menyenangkan mata.
Pintu Jam dan Ruang Penunjuk Waktu
Di sebelah kanan orang yang keluar dari Bab Jairun terdapat sebuah ruangan yang dikenal sebagai:
Bab al-Sa‘āt (Pintu Jam)
Ruangan ini berbentuk seperti sebuah lengkungan besar. Di dalamnya terdapat deretan lubang-lubang kecil seperti jendela, masing-masing memiliki pintu yang jumlahnya sama dengan jam dalam satu hari.
Bagian dalam pintu-pintu itu dicat hijau, sedangkan bagian luarnya kuning. Setiap kali satu jam berlalu, pintu tersebut dibalik sehingga warna hijau yang tadinya di dalam menjadi tampak di luar, dan warna kuning sebaliknya berpindah ke dalam.
Orang-orang mengatakan bahwa di dalam ruangan itu ada seorang petugas yang bertugas membalik pintu-pintu itu dengan tangannya setiap kali satu jam berlalu.
Bab al-Barid dan Madrasah Syafi’iyah
Pintu barat dikenal sebagai:
Bab al-Barid (Pintu Pos)
Di sebelah kanan orang yang keluar dari pintu ini terdapat sebuah Madrasah Syafi’iyah. Madrasah tersebut memiliki lorong yang dipenuhi kios-kios penjual lilin dan deretan penjual buah-buahan.
Di atasnya terdapat sebuah pintu yang dapat dicapai dengan menaiki tangga. Pada sisi tangga berdiri tiang-tiang tinggi yang menjulang ke udara. Di bawah tangga terdapat dua tempat minum umum (sabil) berbentuk bundar, satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri.
Bab al-Nutafaniyyin dan Khanqah Syami‘aniyyah
Pintu utara dikenal dengan nama:
Bab al-Nutafaniyyin
Pintu ini juga memiliki lorong yang besar. Di sebelah kanan orang yang keluar darinya terdapat sebuah khanqah (tempat tinggal para sufi) yang dikenal sebagai:
al-Syami‘aniyyah
Di tengah khanqah itu terdapat bak penampung air, dan di sekelilingnya ada saluran-saluran kecil tempat air mengalir. Dikatakan bahwa bangunan ini dahulu merupakan rumah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz radhiyallahu ‘anhu.
Di salah satu dari empat pintu masjid terdapat sebuah rumah wudu besar yang memiliki sekitar seratus kamar, seluruhnya dialiri air yang melimpah. Tempat ini menjadi pusat bersuci bagi banyak jamaah.
Para Imam dan Shalat yang Tak Pernah Terputus
Imam di Masjid Umayyah pada masa itu berjumlah tiga belas orang. Yang paling utama di antara mereka adalah Imam mazhab Syafi’i.
Pada saat Ibnu Battutah memasuki Damaskus, imam utama Syafi’iyah adalah:
Qadhi al-Qudhat Jalaluddin Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Qazwini
Ia adalah seorang faqih besar dan menjadi khatib Masjid Umayyah. Ia tinggal di Dar al-Khitabah, dan menuju masjid melalui Bab al-Hadid yang terletak tepat di depan maqshurah. Pintu ini dulunya adalah pintu yang sering dilalui oleh Mu‘awiyah radhiyallahu ‘anhu.
Beberapa waktu kemudian, Jalaluddin diangkat menjadi Qadhi al-Qudhat di Mesir, setelah Sultan al-Malik al-Nashir melunasi utangnya di Damaskus yang mencapai sekitar seratus ribu dirham.
Setelah Imam Syafi’i selesai memimpin shalat, shalat berikutnya dipimpin secara berurutan oleh:
- Imam Mashhad ‘Ali,
- kemudian Imam Mashhad al-Husain,
- lalu Imam Mashhad al-Kalâsah,
- kemudian Imam Mashhad Abu Bakar,
- lalu Imam Mashhad ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum ajma‘in,
- barulah kemudian Imam mazhab Maliki.
Pada masa itu, imam mazhab Maliki adalah:
al-Faqih Abu ‘Umar bin al-Walid bin al-Hajj al-Tujibi
Ia berasal dari Qurthubah (Cordoba), lahir di Gharnathah (Granada), lalu menetap di Damaskus. Ia bergantian memimpin shalat bersama saudaranya—semoga Allah merahmati keduanya.
Setelah itu, shalat diimami oleh Imam mazhab Hanafi. Pada masa Ibnu Battutah, imam mereka adalah:
al-Faqih ‘Imaduddin al-Hanafi, dikenal dengan Ibn al-Rumi
Ia termasuk tokoh besar kalangan sufi. Ia menjadi syekh di Khanqah al-Khanutiyyah dan memiliki sebuah khanqah lain di daerah al-Syaraf al-A‘la.
Kemudian shalat diimami oleh Imam mazhab Hanbali. Saat itu imam mereka adalah:
Syaikh ‘Abdullah al-Kafif
Beliau adalah salah seorang syekh qira’ah terkemuka di Damaskus, meskipun beliau buta.
Setelah para imam dari empat mazhab ini, masih ada lima imam lain yang khusus bertugas mengqadha shalat-shalat yang tertinggal bagi orang-orang yang ingin menggantinya secara berjamaah.
Dengan pola seperti ini, shalat di Masjid Umayyah hampir tidak pernah berhenti. Dari awal siang hingga sepertiga malam, selalu ada shalat dan bacaan Al-Qur’an yang berkumandang. Inilah salah satu kebanggaan besar Masjid Jami’ yang penuh berkah ini.
Sumber kisah:
al Rihlah

Komentar
Posting Komentar