Rihlah Ibnu Bathutah #12 : Menyusuri Negeri Syam
Tripoli, Kota Baru di Tepi Laut
Aku memulai kisah ini ketika sampai di kota Tripoli, salah satu kota besar dan penting di wilayah Syam. Kota ini dikelilingi sungai-sungai yang mengalir jernih, kebun-kebun yang rimbun, dan pepohonan yang menyejukkan pandangan. Dari satu sisi, laut dengan pelabuhannya yang dalam menjaga kota ini, sementara dari sisi lain, daratan yang subur menghampar dengan segala kebaikannya.
Pasar-pasar Tripoli ramai dan tertata. Tempat-tempat hiburannya hidup dan makmur. Laut berjarak sekitar dua mil dari kota. Tripoli yang sekarang ini sebenarnya adalah kota baru. Adapun Tripoli lama berada tepat di tepi laut dan pernah dikuasai oleh kaum Romawi (orang Frank) dalam waktu yang lama. Ketika Sultan al-Zahir berhasil merebutnya kembali, ia meratakan kota lama itu dan membangun Tripoli yang baru ini agak menjauh dari laut.
Di Tripoli tinggal sekitar empat puluh amir Turki. Amir terbesar mereka bernama Thailan al-Hajib, yang dijuluki Malik al-Umara’ (Raja para Amir). Istana kediamannya disebut Dar as-Sa’ada. Setiap hari Senin dan Kamis, ia keluar kota menaiki kuda bersama para amir dan pasukan. Ketika mereka kembali dan hampir sampai di rumahnya, para amir turun dari kuda lalu berjalan kaki di depannya sampai ia masuk ke dalam rumah. Setelah itu barulah mereka bubar.
Setiap hari setelah salat Maghrib, di depan rumah setiap amir ditabuh drum besar (thabl-khana), dan obor-obor dinyalakan, sehingga suasana malam kota menjadi semarak.
Di antara tokoh terhormat di kota ini adalah Katib as-Sirr Bahauddin bin Ghanim, seorang penulis negara yang mulia dan sangat dermawan. Saudaranya, Hisamuddin, adalah seorang syekh di al-Quds asy-Syarif, dan saudara mereka yang lain, Ala’uddin, adalah Katib as-Sirr di Damaskus. Ada juga Qiwamuddin bin Makin, pengelola baitulmal dan seorang pembesar kota, serta Qadi al-Qudhat Syamsuddin bin an-Naqib, salah seorang ulama besar negeri Syam.
Tripoli juga terkenal dengan pemandian-pemandian umumnya yang indah. Di antaranya Hammam al-Qadi al-Qurmi dan Hammam Sandamur. Sandamur adalah salah seorang amir di kota ini, terkenal sangat keras terhadap para pelaku kejahatan.
Salah satu kisah terkenal tentang Sandamur adalah tentang seorang wanita yang datang mengadu. Ia berkata bahwa salah satu mamluk kesayangan Sandamur telah meminum susu dagangannya tanpa membayar, dan ia tidak punya saksi. Sandamur memerintahkan mamluk itu dipukul di bagian perut sampai susu yang diminumnya keluar dari duburnya. Disebutkan bahwa peristiwa serupa juga terjadi pada sebagian amir lain di negeri-negeri berbeda, sebagai bentuk hukuman keras atas kezhaliman.
Setelah beberapa hari di Tripoli, aku melanjutkan perjalanan ke pedalaman Syam.
Hisn al-Akrad, Kota Kecil di Atas Bukit
Dari Tripoli, aku berangkat menuju Hisn al-Akrad, sebuah kota kecil yang terletak di puncak bukit. Kota ini penuh dengan pohon-pohon dan aliran air. Di sana ada sebuah zawiyah yang dikenal dengan nama Zawiyah al-Ibrahimi, dinisbatkan kepada salah seorang amir besar.
Aku menginap di rumah qadi kota itu, namun kini aku telah lupa namanya. Malam di Hisn al-Akrad tenang, udaranya sejuk, dan suara air mengalir terdengar di mana-mana.
Homs, Kota yang Diberkahi
Setelah itu, aku berangkat ke kota Homs. Kota ini sangat indah. Di sekelilingnya terbentang wilayah hijau, pepohonan rimbun, dan sungai-sungai yang deras. Jalan-jalan pasarnya lebar dan hidup.
Masjid Jami’ Homs sangat menawan. Di tengahnya terdapat sebuah kolam air yang menambah kesejukan suasana. Penduduk Homs adalah orang-orang Arab yang terkenal dengan keutamaan dan kemuliaan mereka.
Di luar kota terdapat makam sahabat besar, Khalid bin al-Walid, Pedang Allah dan Rasul-Nya. Di atas makam itu dibangun masjid dan zawiyah. Kain yang menyelubungi kubahnya berwarna hitam. Qadi kota Homs saat aku datang adalah Jamaluddin asy-Syuraishi, seorang yang tampan wajahnya dan mulia akhlaknya.
Hama, Kota Sungai dan Noria
Perjalananku kemudian berlanjut ke Hama, salah satu kota utama di Syam. Kota ini tinggi kedudukannya, indah bangunannya, dan sangat menakjubkan pemandangannya. Di sekelilingnya terbentang kebun-kebun dan taman-taman. Di dalam kota ini, sungai besar yang disebut al-Asi (Orontes) membelahnya, dan di atas sungai itu berdiri norias-norias besar, roda-roda air yang berputar seperti falak di langit, mengangkat air ke saluran-saluran tinggi.
Tak jauh dari kota utama, ada kawasan pinggiran yang disebut al-Mansuriyah. Tempat ini bahkan lebih besar dari kota utamanya. Pasar-pasarnya ramai, pemandian-pemandian umumnya indah, dan kehidupan ekonomi di sana sangat hidup.
Buah-buahan Hama sangat banyak. Di antaranya aprikot jenis luzi. Jika bijinya dibelah, di dalamnya terdapat semacam kacang almond yang manis.
Muridku, Ibnu Juzay, menyisipkan sebuah puisi tentang Hama dari seorang penyair dan musafir terkenal, Nuruddin Abu al-Hasan Ali bin Musa bin Sa’id al-Gharnathi al-Umari. Ia melukiskan Hama, sungainya, norias-norias, dan kebun-kebunnya dengan bait-bait yang panjang dan indah, di antaranya:
Ya Allah, lindungilah dari Hama pemandangan yang indah
yang aku berdirikan baginya pendengaran, pemikiran, dan penglihatan
Ia menggambarkan bagaimana nyanyian burung, gerak ranting, putaran noria, dan aliran sungai seolah-olah mengajak manusia untuk larut dalam keindahan, hiburan, dan nyanyian.
Penyair-penyair lain juga bermain dengan kata al-Asi (nama sungai yang juga berarti “durhaka”) dan noria (yang “menangis” karena bunyi deritannya), menjadikannya kiasan tentang taubat, dosa, dan air mata.
Al-Ma’arra, Kota Para Penyair
Dari Hama, aku menuju kota al-Ma’arra. Di sinilah dinisbatkan nama penyair terkenal Abu al-Ala al-Ma’arri dan banyak penyair lainnya.
Ibnu Juzay menuturkan bahwa kota ini dahulu bernama Dhat al-Qushur. Setelah an-Nu’man bin Bashir al-Anshari, seorang sahabat Rasulullah Saw. dan gubernur Homs, menguburkan salah satu anaknya di sini, kota ini kemudian dikenal dengan nama Ma’arrat an-Nu’man. Ada pula pendapat lain bahwa an-Nu’man adalah nama gunung yang menghadap ke kota.
Al-Ma’arra adalah kota besar yang indah. Pohon tin dan pistachionya sangat banyak, dan hasilnya diekspor ke Mesir dan berbagai kota di Syam.
Sekitar satu farsakh di luar kota terdapat makam Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun, di atas makam itu tidak ada zawiyah ataupun penjaga. Hal ini, kata Ibnu Juzay, karena di wilayah itu terdapat kelompok Rafidhah yang buruk akidahnya. Mereka membenci sejumlah sahabat dan secara khusus sangat membenci nama Umar, terutama Umar bin Abdul Aziz, karena penghormatan beliau yang besar kepada Ali r.a. dan keluarganya.
Sarmin, Kota Sabun dan Angka yang Dihindari
Perjalananku berlanjut ke Sarmin, kota kecil yang indah dengan banyak kebun. Pohon zaitun di sana sangat banyak, dan dari minyak zaitun inilah mereka membuat sabun ajri yang terkenal dan diekspor ke Mesir dan Syam. Di sana juga dibuat sabun wangi untuk mencuci tangan, diwarnai merah dan kuning, serta kain katun yang halus dan dinisbatkan ke kota ini.
Namun ada hal yang aneh dari penduduk Sarmin. Mereka membenci sejumlah sahabat dan karena alasan itu mereka tidak suka menyebut angka "sepuluh". Di pasar, para makelar ketika menghitung barang hanya menyebut sampai sembilan, lalu berkata, “dan satu,” bukan “sepuluh”.
Suatu hari, seorang lelaki Turki mendengar seorang makelar berteriak, “sembilan dan satu!” Ia marah, memukul kepala makelar itu dengan tongkat, sambil berkata, “Katakan sepuluh, wahai si tongkat!”
Masjid Jami’ di Sarmin memiliki sembilan kubah. Mereka sengaja tidak menambah satu kubah lagi agar jumlahnya tidak menjadi sepuluh, tetap dalam mazhab dan kebiasaan mereka yang buruk itu.
Aleppo, Sang Asy-Syahba’
Kemudian aku sampai di kota Halab (Aleppo), sebuah kota besar sekaligus ibu kota penting di Syam. Abu al-Husain Ibnu Jubair pernah menggambarkan Aleppo dengan kata-kata yang panjang dan sangat indah. Ia menyebut kedudukannya yang tinggi, namanya yang dikenal di berbagai zaman, banyaknya surat-menyurat para raja yang datang kepadanya, dan bahwa kota ini selalu menjadi pusat perhatian.
Benteng Aleppo terkenal dengan nama asy-Syahba’. Benteng ini sangat tinggi, sulit ditaklukkan, dan dikelilingi parit-parit yang dalam. Di dalamnya terdapat dua bukit yang mengeluarkan air, sehingga persediaan air di benteng tidak pernah habis. Menara-menara benteng berdiri berdekatan dan dihiasi ukiran-ukiran indah. Setiap menara dihuni dan memiliki fungsinya.
Disebutkan bahwa makanan yang disimpan di dalam benteng ini tidak mudah basi meski disimpan lama. Di dalamnya juga ada tempat suci yang diziarahi orang, dikatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. pernah bertahannuts (menyendiri untuk ibadah) di sana.
Qazan, salah satu pemimpin besar bangsa Tatar, pernah mengepung Aleppo. Ia mengepung benteng asy-Syahba’ ini beberapa hari, tetapi akhirnya menyerah dan mundur dengan kecewa.
Ibnu Juzay menyebutkan bahwa salah seorang penyair istana Saif ad-Daula, yaitu al-Khalidi, memuji benteng ini dalam bait-bait yang mempersonakan. Di antaranya:
Benteng curam yang berdiri menantang siapa saja yang menginginkannya
dengan pengawasannya yang tinggi dan sisinya yang sulit
Tentang nama “Aleppo”, dikatakan bahwa dahulu Nabi Ibrahim a.s. pernah tinggal di sana dan memiliki banyak ternak. Ia biasa memerah susunya untuk fakir miskin, musafir, dan pendatang. Orang-orang pun berkata, “berikan kami susu Ibrahim,” dan dari kata “halaba” (memerah susu) itulah, kata sebagian ulama, nama Halab (Aleppo) muncul.
Aleppo adalah salah satu kota terindah yang pernah kulihat. Tata letaknya rapi, pasar-pasarnya luas dan teratur, dan banyak lorong-lorongnya dinaungi atap kayu, sehingga penduduknya berjalan di bawah naungan yang panjang. Qaisariyah (kompleks pasar beratap) di sana terkenal dengan keindahan dan ukurannya yang besar, mengelilingi Masjid Jami’ kota. Setiap lorong pasar menghadap ke salah satu pintu masjid.
Masjid Jami’ Aleppo termasuk masjid terindah. Di tengah halamannya ada kolam air besar, dikelilingi pelataran yang luas. Mimbarnya sangat indah, dihias dengan gading dan kayu eboni. Dekat masjid terdapat sebuah madrasah yang juga sangat bagus, dinisbatkan kepada amir Bani Hamdan. Selain itu, ada tiga madrasah lain dan sebuah rumah sakit (maristan).
Di luar Aleppo terdapat dataran luas dengan kebun anggur yang tertata dan kebun-kebun yang bertepi sungai. Aku menyangka sungai itu adalah al-Asi yang melewati Hama, namun kemudian diketahui bahwa sungai yang mengalir dekat Aleppo adalah sungai Quweiq, yang melimpah di musim dingin dan kering di musim panas. Inilah kekeliruan yang pernah kusampaikan dan kemudian dicatat oleh para penyalin.
Udara di luar Aleppo sangat menyegarkan jiwa. Menurutku, Aleppo termasuk kota yang pantas menjadi ibu kota khilafah.
Pada masa aku datang, penguasa para amir di Aleppo adalah Arghun ad-Dawadar, amir terbesar Sultan an-Nasir. Ia seorang fakih, adil, namun terkenal kikir. Di Aleppo ada empat qadi untuk empat mazhab fikih. Yang paling terkenal adalah Kamaluddin bin az-Zamalkani, seorang ulama Syafi’i dengan kedudukan tinggi, dermawan, luas ilmunya, dan mulia akhlaknya.
Sultan an-Nasir pernah mengutus utusan untuk mengangkatnya menjadi Qadi al-Qudhat di istananya di Mesir. Namun, Kamaluddin wafat di Bilbais dalam perjalanan ke sana. Ketika ia menjadi qadi di Aleppo, para penyair dari Damaskus dan kota lain datang memujinya.
Yang paling terkenal adalah qasidah panjang karya Syihabuddin Abu Bakr Muhammad bin an-Nabatah al-Fariqi, dimulai dengan:
Azzat Jilliq al-Faiha’ karena kepergianmu
dan asy-Syahba’ gembira dengan kedatanganmu
Ibnu Juzay berkomentar bahwa qasidah ini indah, namun Ibnu Nabatah sebenarnya lebih unggul dalam jenis puisi lain (mukhatthatat), dan di zamannya ia adalah pemuncak sastra Arab di wilayah timur.
Tizin dan Reruntuhan Qinnasrin
Dari Aleppo, aku berangkat menuju kota Tizin, sebuah kota baru yang dibangun oleh orang-orang Turkmen. Kota ini memiliki pasar yang indah dan masjid-masjid yang rapi. Qadinya saat itu adalah Badruddin al-Asqalani.
Tak jauh dari Tizin terdapat Qinnasrin, dahulu sebuah kota besar dan penting. Namun pada zamanku, ia telah menjadi reruntuhan, hanya meninggalkan jejak sejarah.
Antakya, Benteng Tua di Tepi al-Asi
Perjalananku berlanjut ke Antakya, sebuah kota besar dan kuno dengan benteng yang dahulu termasuk yang terkuat di Syam. Ketika Sultan al-Zahir merebutnya dari tangan orang Frank, ia merobohkan sebagian besar temboknya.
Antakya penuh dengan bangunan dan pepohonan. Sungai al-Asi mengalir di luar kota. Di sana terdapat makam sahabat Habib an-Najjar r.a., di atasnya dibangun sebuah zawiyah yang menyediakan makanan bagi para musafir. Syekh yang mengurus zawiyah ini bernama Muhammad bin Ali, berusia lebih dari seratus tahun, namun masih kuat. Aku pernah mengunjunginya di kebunnya. Ia membawa sendiri seikat kayu bakar di punggungnya menuju kota. Sementara anaknya, yang usianya mendekati delapan puluh tahun, sudah bungkuk dan lemah.
Hisn Bughras dan Perbatasan ke Negeri Sis
Dari Antakya, aku menuju Hisn Bughras, sebuah benteng kuat yang dikelilingi kebun dan ladang. Benteng ini menjadi pintu masuk ke wilayah Sis, negeri orang-orang Armenia kafir, tetapi mereka berada di bawah kekuasaan Sultan an-Nasir dan membayar upeti berupa perak murni yang disebut baghliyah.
Di sana juga dibuat kain dabiki, sejenis kain yang terkenal di wilayah-wilayah itu. Amir Hisn Bughras saat itu bernama Sharafuddin ibn asy-Syaibani.
Benteng-benteng Ismailiyah dan Para Fida’i
Perjalananku kemudian melewati beberapa benteng penting: Hisn al-Qusair, Hisn asy-Syughr Bakas, kota Sahyun, dan benteng-benteng kaum Ismailiyah, yaitu: al-Qadmous, al-Maniqa, al-Ullaiqa, Masyaf, dan al-Kahf.
Kaum Ismailiyah ini dikenal di kalangan orang-orang sebagai “Assassin” atau Fida’i. Di masa Sultan an-Nasir, mereka menjadi semacam “panah” yang dipakai untuk membunuh musuh-musuh sultan di Irak dan tempat-tempat lain. Mereka mendapat gaji tetap dari istana.
Jika sultan mengutus salah seorang dari mereka untuk membunuh musuh, ia diberi diyat (uang darah) terlebih dahulu. Jika ia kembali hidup, uang itu menjadi miliknya. Jika ia mati dalam misi, maka uang itu menjadi milik anak-anaknya. Mereka terkenal menggunakan belati beracun, dan keteguhan mereka dalam menjalankan perintah membuat banyak orang gentar.
Salah satu kisah terkenal adalah usaha mereka membunuh amir Qarasunqur, seorang pembesar yang melarikan diri ke Irak. Sultan an-Nasir berkali-kali mengirim Fida’i untuk membunuhnya, tetapi Qarasunqur sangat waspada sehingga upaya mereka selalu gagal. Ia kemudian berlindung ke sisi seorang amir Arab, Mahna bin Isa, lalu harta bendanya disita di Aleppo, dan akhirnya ia pergi ke penguasa Mongol di Irak. Saat ia tahu bahwa sultan Mongol berniat menyerahkannya kepada Sultan an-Nasir, ia meminum racun yang disembunyikan di cincin yang dikenakannya, dan mati sebelum tertangkap.
Jablah dan Kisah Ibrahim bin Adham
Dari benteng-benteng Ismailiyah, aku meneruskan perjalanan ke Jablah, sebuah kota yang memiliki sungai dan pepohonan hijau, terletak hanya sekitar satu mil dari pantai laut.
Di Jablah terdapat makam seorang tokoh zuhud terkenal, Ibrahim bin Adham r.a. Ia dikenal sebagai seorang raja yang meninggalkan kerajaannya karena memilih kezuhudan, meski sebagian ulama menyebut bahwa “kerajaan” yang diwarisinya hanya berupa kekuasaan yang datang dari kakek dari jalur ibunya, bukan kerajaan besar.
Ada kisah masyhur tentang ibunya dan ayahnya, Adham. Diceritakan bahwa suatu hari ayahnya memakan sebuah apel tanpa izin pemiliknya. Karena takut akan hak orang lain, ia pun berangkat jauh ke negeri pemilik kebun itu, meminta maaf dan kehalalan. Dari pertemuan inilah ia akhirnya menikahi putri sang pemilik kebun, perempuan yang juga zuhud dan bertakwa. Dari pasangan inilah lahir Ibrahim bin Adham, yang kelak terkenal sebagai ahli ibadah dan zahid besar.
Di Jablah berdiri sebuah zawiyah indah di atas makamnya. Tempat ini selalu ramai diziarahi, terutama pada malam Nisfu Sya’ban.
Namun, banyak penduduk pesisir di daerah ini adalah kaum Nushairiyah (sekarang dikenal sebagai kelompok Alawi ekstrem). Mereka percaya bahwa Ali r.a. adalah tuhan, tidak melaksanakan salat, tidak bersuci, dan tidak berpuasa. Sultan al-Zahir pernah memaksa mereka membangun masjid di setiap desa. Akan tetapi, masjid-masjid itu sebagian besar dibiarkan kosong, bahkan ada yang dijadikan kandang ternak.
Di daerah ini pernah muncul seorang penipu yang mengaku sebagai “al-Hadi”, yaitu Imam Mahdi. Ia datang kepada mereka dengan tipu daya, membawa daun zaitun dan mengaku daun itu adalah “surat perintah” dari wilayah gaib. Ia memerintahkan mereka menyerang kaum Muslimin, dimulai dari Jablah, dengan senjata berupa tongkat kayu al-as, yang ia janjikan akan berubah menjadi pedang.
Pada suatu hari Jumat, mereka pun menyerbu Jablah, membunuh dan merampas harta penduduk. Namun, tidak lama kemudian pasukan dari Latakia dan Tripoli datang membantu. Terjadi pembantaian besar terhadap para pengikut penipu itu. Diceritakan sekitar dua puluh ribu orang tewas dalam peristiwa itu.
Latakia, Kota Tepi Laut dan Penyair yang Celaka
Dari Jablah, aku menuju Latakia, sebuah kota tua di tepi laut. Aku bermaksud menziarahi seorang syekh shalih bernama Abdul Muhsin al-Iskandari. Namun, ketika aku sampai di sana, ia sedang berada di Hijaz. Sebagai gantinya, aku dipertemukan dengan dua syekh yang baik: Sa’id al-Bajai dan Yahya as-Salawi. Aku bertemu mereka di sebuah masjid yang dibangun oleh Ala’uddin al-Baha, salah seorang pembesar Syam yang terkenal dermawan.
Qadi kota Latakia saat itu adalah Jalaluddin Abdul Haqq al-Mishri, seorang qadi bermadzhab Maliki.
Di Latakia, ada seorang penyair hina bernama Ibnu al-Mu’ayyad. Ia suka menghina orang, dan banyak yang mencurigainya sebagai orang yang murtad. Suatu ketika, ia meminta sesuatu kepada Thailan, Malik al-Umara’ yang pernah menjadi amir besar di Tripoli. Permintaannya ditolak. Ia lalu pergi ke Mesir, melontarkan hinaan-hinaan ke sana, kemudian kembali lagi.
Qadi Jalaluddin, atas perintah Thailan, memenjarakannya. Di dalam penjara, Ibnu al-Mu’ayyad mengucapkan kata-kata kufur secara terang-terangan. Setelah itu, ia dihukum mati.
Ketika Thailan turun dari jabatan, keluarga Ibnu al-Mu’ayyad mengadukan kejadian itu ke penguasa baru. Qadi Jalaluddin dan para saksi hampir saja dihukum mati pula. Namun, para amir memohon agar mereka diampuni, sehingga akhirnya mereka diselamatkan dari hukuman.
Tak jauh dari Latakia terdapat sebuah biara besar bernama Deir al-Farous. Ini adalah salah satu biara terbesar di wilayah Syam dan Mesir dan selalu ramai dikunjungi orang-orang Nasrani. Pelabuhan Latakia memiliki rantai besi besar yang terbentang antara dua menara untuk menutup dan mengamankan pelabuhan.
Hisn al-Marqab dan Puncak Jabal al-Aqra’
Dari Latakia, aku menuju Hisn al-Marqab, sebuah benteng besar yang kokoh, mirip dengan benteng al-Karak yang terkenal. Benteng ini dulu milik orang-orang Frank, lalu direbut oleh Sultan Qalawun. Qadi di sana saat aku datang adalah Burhanuddin al-Mishri.
Perjalananku kemudian berlanjut ke Jabal al-Aqra’, salah satu gunung tertinggi di wilayah Syam. Gunung ini adalah yang pertama kali tampak dari arah laut bagi para pelaut yang mendekati pantai. Di lereng-lerengnya tinggal orang-orang Turkmen.
Gunung Lebanon dan Zahid Misterius
Dari Jabal al-Aqra’, aku melanjutkan perjalanan ke Jabal Lubnan (Gunung Lebanon). Menurutku, ini adalah salah satu gunung paling subur di dunia. Di sana banyak buah-buahan, mata air, air terjun, dan pepohonan rindang yang memanjang sejauh mata memandang. Di gunung ini juga banyak terdapat para zahid dan wali yang tidak terkenal namanya di kalangan orang banyak, namun masyhur di sisi Allah.
Aku mengalami sebuah peristiwa aneh di musim dingin di gunung ini. Saat itu cuaca sangat dingin, dan salju turun dengan lebat. Kami kehabisan bekal dan sangat lapar. Tiba-tiba datang seorang fakir yang kelihatannya remeh dan tidak diperhatikan. Ia berkata bahwa ia mengetahui ada seekor keledai liar yang terperangkap dalam tumpukan salju. Kami lalu mengikutinya.
Ternyata benar, kami menemukan seekor keledai liar yang tak bisa bergerak. Kami pun menangkap dan menyembelihnya, lalu memanggang dagingnya dan memakannya untuk menyambung hidup. Namun, ketika kami hendak berterima kasih, fakir itu telah menghilang begitu saja. Kami semua terheran-heran dan takjub dengan kejadian itu.
Baalbek, Kota Manisan Anggur dan Kayu Ukir
Setelah meninggalkan Gunung Lebanon, aku singgah di Baalbek, kota kuno yang sangat indah. Di sana kebun-kebunnya subur, sungai-sungainya mengalir, dan buah ceri (yang disebut hubb al-malik, “biji sang raja”) termasuk yang terbaik yang pernah kurasakan.
Baalbek juga terkenal dengan dibs Baalbek, yaitu manisan anggur yang sangat kental dan manis. Susu di kota ini melimpah, dan kain-kain serta perkakas kayunya termasuk yang terbaik dan paling halus buatannya.
Aku masuk ke Baalbek pada sore hari dan keluar pagi berikutnya. Bukan karena kotanya buruk, tetapi karena kerinduanku yang sangat besar untuk segera sampai di Damaskus.
Damaskus, Permata Negeri Syam
Akhirnya, pada hari Kamis, 9 Ramadhan 726 H, aku sampai di Damaskus. Aku menginap di sebuah madrasah bernama al-Malikiyah asy-Syarabisyiyah.
Tentang Damaskus, sulit bagiku menulis pujian yang sepadan dengan keindahan dan kemuliaannya. Kota ini mengungguli semua kota yang pernah kulihat dalam hal keindahan, kelapangan, dan keelokan susunannya. Kebun-kebunnya menyelimuti sekeliling kota, sungai-sungainya bercabang ke mana-mana, dan pasar-pasarnya penuh dengan kehidupan.
Ibnu Jubair, musafir besar yang datang sebelumku, memuji Damaskus dengan untaian kata yang panjang dan sangat indah. Ia menyebutnya seakan surga dunia yang mengalir di antara pohon-pohonnya air yang jernih dan udara yang lembut, tempat berkumpulnya ulama, ahli ibadah, dan orang-orang yang mencari ilmu.
Muridku, Ibnu Juzay, juga menambahkan banyak puisi dari para penyair besar yang memuji Damaskus, hingga sulit bagi kami menukil semuanya. Setiap bait menyebutkan sisi lain dari keindahan Damaskus: bentengnya, masjid-masjidnya, pasar-pasarnya, kebun-kebunnya, dan penduduknya yang mulia.
Di antara semua kota yang kulalui dalam perjalananku di negeri Syam, Damaskus-lah yang paling menetap di hati. Di sanalah aku berdiam lebih lama, belajar, bergaul dengan ulama, dan menikmati keindahan yang nyaris tak ada bandingannya di negeri-negeri Islam lainnya.
Peta Perjalanan Ibnu Bathutah #12
Sumber Kisah
Rihlah Ibnu Battuta (judul asli: Tuhfat an-Nuzzar fi Gharaib al-Amsar wa ‘Ajaib al-Asfar)

Komentar
Posting Komentar