Rihlah Ibnu Bathutah #11 : Mesjid Al Aqsa

Panorama kompleks Masjid Al-Aqsha dan Kubah Batu berlapis emas di Yerusalem pada senja hari, dengan beberapa peziarah muslim abad ke-14 di halaman marmer yang luas.

Di Masjid Suci al-Quds

Aku memasuki al-Quds (Jerusalem) dengan hati bergetar. Di hadapanku terbentang salah satu masjid terindah yang pernah kulihat sepanjang hidup: Masjid Suci yang luasnya menakjubkan.

Orang-orang di sana mengatakan, tidak ada masjid di muka bumi yang lebih besar darinya. Panjangnya dari timur ke barat lebih dari tujuh ratus lima puluh hasta, dan lebarnya dari arah kiblat hingga bagian tengah lebih dari empat ratus tiga puluh hasta.

Masjid ini terbuka tanpa atap, lapang memandang langit. Hanya satu bangunan di dalamnya yang benar-benar beratap dengan kokoh dan sangat indah pengerjaannya: Masjid al-Aqsha.

Bangunan al-Aqsha itu dikerjakan dengan sangat teliti, dihiasi warna-warni nan lembut, dan disepuh dengan emas yang berkilauan. Di beberapa sudut lain dalam kawasan masjid juga ada ruangan-ruangan beratap, namun al-Aqsha adalah permata utamanya.

Di tiga sisi masjid terdapat banyak pintu. Sedangkan di sisi kiblat, aku hanya mengetahui satu pintu, yaitu pintu yang dimasuki oleh imam.

Keagungan Kubah Batu

Di tengah kompleks ini berdiri satu bangunan yang membuat siapa pun terdiam kagum: Qubah ash-Shakhrah, Kubah Batu.

Bangunan ini termasuk yang paling menakjubkan yang pernah kulihat. Bentuknya unik, pengerjaannya sangat rapi, dan hampir di setiap sudutnya tampak sentuhan keindahan yang langka. Seakan-akan ia mengumpulkan sedikit dari setiap keindahan yang ada di dunia.

Kubah ini berdiri di atas sebuah dataran yang agak tinggi di tengah masjid. Untuk mencapainya, orang harus menaiki anak-anak tangga dari marmer. Di sekeliling kubah, lantainya juga dipenuhi marmer yang dipasang dengan sangat rapi, demikian pula bagian dalamnya.

Dinding luar dan dalamnya penuh dengan hiasan: ukiran, cat berwarna, dan ornamen yang begitu halus, sebagian besar disepuh emas. Ketika matahari menyentuhnya, kubah itu berkilau seperti cahaya, berpendar bagaikan kilat.

Orang yang memandangnya lama-lama akan dibuat bingung oleh banyaknya detail keindahan, dan lidah yang ingin menceritakannya terasa pendek untuk menggambarkan semuanya.

Batu dari Mana Rasulullah Diangkat ke Langit

Di tengah bangunan inilah terdapat Batu yang mulia, yang disebut dalam riwayat-riwayat: dari batu inilah Nabi Muhammad di mi‘raj-kan ke langit.

Batu itu utuh dan padat, tingginya kira-kira setinggi seorang lelaki berdiri. Di bawahnya ada sebuah gua sebesar ruangan rumah kecil, tingginya juga kira-kira seukuran tinggi badan manusia. Untuk turun ke situ, dibuat beberapa anak tangga. Di dalamnya ada bentuk mihrab, tempat orang salat dan berdoa.

Pada batu tersebut terdapat dua jeruji penutup yang dibuat sangat kokoh. Jeruji pertama, yang paling dekat dengan batu, terbuat dari besi dan dihias dengan sangat indah. Jeruji kedua terbuat dari kayu.

Di dalam kubah juga tergantung sebuah perisai besar dari besi. Penduduk setempat meyakini bahwa itu adalah perisai milik Hamzah bin ‘Abd al-Muththalib, paman Nabi, semoga Allah meridhainya.

Jejak Nabi Isa dan Maryam di Sekitar al-Quds

Tak jauh dari kota, di timur al-Quds, terbentang sebuah lembah yang dikenal dengan nama Wadi Jahannam. Di tepi lembah itu, di atas bukit yang tinggi, berdiri sebuah bangunan. Masyarakat di sana mengatakan, itulah tempat Nabi Isa diangkat ke langit.

Di tempat lain, terdapat sebuah makam yang mereka nisbatkan kepada Rabi‘ah al-Badawiyyah—berbeda dengan Rabi‘ah al-‘Adawiyyah yang lebih terkenal.

Di dasar lembah itu ada sebuah gereja yang sangat dimuliakan orang Nasrani. Mereka meyakini bahwa makam Maryam, ibu Nabi Isa, berada di dalamnya.

Tak jauh dari situ, ada lagi sebuah gereja besar yang dihormati dan diziarahi umat Nasrani dari berbagai negeri. Di situlah mereka mengklaim—tanpa dasar yang benar—bahwa makam Nabi Isa berada.

Di sekitar sana juga ada sebuah tempat yang diyakini sebagai lokasi buaian Nabi Isa ketika masih bayi. Orang-orang mencari keberkahan dengan mengunjunginya.

Ulama dan Orang Saleh di al-Quds

Al-Quds bukan hanya kaya bangunan suci, tetapi juga dipenuhi para ulama dan orang-orang saleh.

Di antara mereka adalah Qadhi kota, seorang alim besar bernama Syamsuddin Muhammad bin Salim al-Ghazzi, seorang terhormat dari Gaza.

Ada pula khatib al-Quds yang saleh dan berbudi, Imaduddin an-Nabulusi. Di sana juga tinggal ahli hadis dan mufti bernama Syihabuddin ath-Thabari.

Pengajar mazhab Maliki di sana adalah Abu ‘Abdillah bin Mutsabbit al-Ghirnathi, seorang dari Granada yang menetap di al-Quds.

Di antara para ahli ibadahnya, ada seorang zahid bernama Abu ‘Ali Hasan, dikenal dengan sebutan al-Hajub, termasuk di antara tokoh besar kalangan orang-orang saleh. Ada pula Kamiluddin al-Maraghi, seorang ahli ibadah yang terkenal.

Seorang lainnya adalah Abu ‘Abd ar-Rahim ‘Abd ar-Rahman bin Mushthafa, berasal dari Arz ar-Rum. Ia murid dari Tajuddin ar-Rifa‘i. Aku sendiri pernah menyertainya dan dari beliaulah aku mengenakan khirqah (jubah) tasawuf.

Menuju ‘Asqalan: Pelabuhan yang Pernah Jaya

Setelah beberapa waktu di al-Quds, aku meninggalkan kota suci itu dengan niat menziarahi kota pelabuhan ‘Asqalan.

Ketika aku tiba di sana, ‘Asqalan sudah menjadi kota yang hancur. Yang tampak hanya sisa-sisa reruntuhan, bekas dinding yang terhapus dan bangunan yang telah rata dengan tanah.

Padahal, orang-orang bercerita bahwa dahulu jarang ada negeri yang bisa menyamai ‘Asqalan dalam hal keindahan: bangunannya kokoh, tata letaknya indah, letaknya sangat strategis, dan ia menggabungkan manfaat darat dan laut sekaligus.

Di sana terdapat sebuah masjid besar yang tinggi dan megah, di dalamnya ada sebuah sumur yang dibangun atas perintah seorang budak. Kisah pembangunan sumur itu masih tertulis di pintunya.

Di arah kiblat masjid tersebut berdiri masjid lain yang dikenal dengan Masjid ‘Umar. Yang tersisa kini hanya dinding-dindingnya, tetapi di dalamnya masih terdapat tiang-tiang marmer yang sangat indah, sebagian masih tegak, sebagian sudah roboh. Ada satu pilar marmer berwarna merah yang sangat menakjubkan. Orang-orang mengatakan bahwa dulu kaum Nasrani pernah membawanya ke negeri mereka, lalu entah bagaimana pilar itu hilang dan kemudian ditemukan kembali di tempat semula di ‘Asqalan.

Di arah kiblat masjid itu juga terdapat sebuah sumur yang dikenal sebagai Sumur Ibrahim. Untuk turun ke dalamnya, dibuat tangga yang lebar, dan dari dalam sumur bisa masuk ke beberapa ruangan. Dari tiap sisi, di empat arah, keluar terowongan yang disusun dari batu. Air dalam sumur itu tidak terlalu banyak, tetapi tawar dan enak, dan orang-orang menyebutkan banyak sekali keutamaannya.

Di luar ‘Asqalan terbentang sebuah lembah yang dikenal sebagai Wadi an-Naml, Lembah Semut. Mereka mengatakan, inilah lembah yang disebut dalam al-Qur’an saat menceritakan kisah Nabi Sulaiman.

Di pemakaman ‘Asqalan terdapat banyak sekali makam para syuhada dan para wali. Jumlahnya sangat besar hingga sulit dihitung. Maqam yang pernah kusebut berada di tengah-tengah mereka; penguasa Mesir menetapkan jatah nafkah khusus untuknya, ditambah sedekah-sedekah dari para peziarah yang datang.

Ramla, Kota Putih Palestina

Dari ‘Asqalan aku melanjutkan perjalanan menuju kota ar-Ramla, sebuah kota besar di wilayah Palestina.

Ramla adalah kota yang makmur, pasar-pasarnya hidup, dan hasil buminya banyak. Di sana terdapat sebuah masjid besar yang dikenal dengan nama al-Jami‘ al-Abyadh, Masjid Jami‘ Putih. Orang-orang mengatakan di arah kiblat masjid itu dimakamkan tiga ratus nabi. Hanya Allah yang lebih mengetahui hakikatnya.

Di kota ini juga tinggal seorang ahli fikih besar, Majduddin an-Nabulusi.

Nablus, Negeri Zaitun dan Manisan Khurub

Dari Ramla aku menuju kota Nablus. Kota ini besar, penuh pepohonan, dan dialiri sungai-sungai kecil.

Nablus termasuk wilayah Syam yang paling banyak pohon zaitunnya. Dari sini minyak zaitun dikirim ke Mesir dan Damaskus.

Di Nablus dibuat juga manisan dari buah khurub (carob). Caranya: khurub direbus, lalu airnya diperas dan diambil sarinya yang kental. Dari sari ini dibuat manisan, lalu dikirim ke Damaskus dan negeri-negeri lain. Sari tersebut juga dikirim ke Mesir dan berbagai kota di Syam.

Di sana pun ada buah semangka yang dinisbatkan pada kota ini—semangka Nablus—yang lezat dan sangat terkenal.

Masjid jami‘ Nablus dikerjakan dengan sangat rapi dan indah. Di tengahnya terdapat kolam berisi air tawar untuk berwudu dan menyegarkan diri.

‘Ajlun dan Lembah al-Ghawr

Perjalanan kulanjutkan menuju kota ‘Ajlun. Kota ini indah, pasar-pasarnya ramai, dan di sana ada sebuah benteng besar yang sangat kokoh. Sebuah sungai kecil berair jernih membelah kota ini, memberi kehidupan bagi penduduknya.

Kemudian, dengan tujuan menuju kota pelabuhan al-Ladhiqiyyah (Latakia), aku melewati sebuah lembah yang dikenal dengan al-Ghawr. Lembah ini berada di antara bukit-bukit, suasananya tenang dan udara di sana sejuk.

Ziarah ke Makam Abu ‘Ubaidah dan Mu‘adz bin Jabal

Di lembah al-Ghawr itu, terdapat makam sahabat besar Nabi, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, penjaga amanah umat ini. Semoga Allah meridhainya.

Kami menziarahi makamnya. Di sisinya ada sebuah zawiyah yang menyediakan makanan untuk para musafir. Kami bermalam di sana semalam, menikmati ketenangan dan keberkahan tempat itu.

Perjalanan berlanjut ke sebuah tempat bernama al-Qusayr. Di sana terdapat makam sahabat mulia lainnya, Mu‘adz bin Jabal. Aku juga menziarahi makamnya dan memohon berkah dari Allah dengan kunjungan itu.

‘Akka, Gerbang Laut Bangsa Frank

Dari al-Qusayr, aku bergerak menyusuri garis pantai hingga sampai ke kota ‘Akka.

Saat aku tiba, ‘Akka sudah hancur. Padahal dahulu kota ini adalah ibu kota negeri-negeri bangsa Frank di wilayah Syam, dan pelabuhan utama kapal-kapal mereka. Kekuatannya dulu digambarkan seperti keagungan Konstantinopel.

Di sebelah timur kota terdapat sebuah mata air yang dikenal dengan nama ‘Ain al-Baqr, “Mata Air Sapi”. Orang-orang bercerita bahwa Allah pernah mengeluarkan hewan ternak untuk Nabi Adam dari mata air ini. Untuk turun ke sumber air, dibuat anak tangga yang menurun ke dalam.

Dulu di atas mata air itu ada sebuah masjid. Kini yang tersisa hanya mihrabnya. Di kota ini juga terdapat makam Nabi Shalih, menurut penuturan penduduk setempat.

Sekarang, ‘Akka dikenal dengan nama ‘Akka (Acre). Ia adalah salah satu pelabuhan penting di Palestina yang kini berada di bawah penjajahan. Semoga Allah membebaskannya dan mengembalikannya kepada kaum Muslimin.

Shur, Kota Benteng di Tengah Laut

Dari ‘Akka aku melanjutkan perjalanan ke kota Shur (Tirus), yang sebagian besar kini hanya tersisa sebagai reruntuhan.

Di luar kota itu ada sebuah desa yang masih dihuni. Kebanyakan penduduknya bermazhab Rafidhah.

Pernah suatu ketika aku singgah di tepi salah satu sumber air di desa itu, hendak berwudu. Datanglah seorang penduduk desa, juga hendak berwudu. Ia memulai dengan membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu membasuh wajahnya tanpa berkumur dan tanpa menghirup air ke hidung, kemudian mengusap sebagian kepalanya saja.

Aku menegurnya, karena urutan wudunya tidak sesuai dengan yang kami ketahui dari sunnah. Ia menjawab enteng, “Bangunan itu dimulai dari fondasinya.”

Kota Shur sendiri sangat terkenal karena kekokohan bentengnya. Laut mengelilinginya dari tiga sisi. Kota itu memiliki dua pintu gerbang: satu menghadap darat, satu lagi menghadap laut.

Gerbang daratnya memiliki empat lapis pintu yang semuanya terlindungi oleh dinding-dinding dan tirai. Gerbang yang menghadap laut berada di antara dua menara besar.

Keadaan bangunan di sana sangat unik: laut mengelilinginya dari tiga sisi, sedangkan di sisi keempat dibangun tembok. Kapal-kapal masuk dari sisi laut, melewati bawah bagian benteng, dan berlabuh di sisi dalam tembok.

Dahulu, di antara dua menara di pelabuhan itu terbentang sebuah rantai besi yang besar. Tak seorang pun bisa masuk atau keluar dengan kapal kecuali setelah rantai itu diturunkan. Para penjaga dan petugas keamanan selalu mengawasi; tak ada kapal yang lewat tanpa sepengetahuan mereka.

‘Akka juga pernah memiliki pelabuhan dengan sistem yang hampir serupa, hanya saja ia hanya mampu menampung kapal-kapal yang lebih kecil.

Sidon, Kota Buah-Buahan di Tepi Laut

Dari Shur, aku berangkat ke kota Shida (Sidon), sebuah kota di tepi laut yang indah dan subur.

Buah-buahan tumbuh di sekitarnya dengan lebat. Dari Sidon banyak dikirim buah tin, kismis, dan minyak ke Mesir.

Di sini aku menginap di rumah qadhi kota, seorang alim dari Mesir bernama Kamaluddin al-Asymauni. Ia adalah orang yang berakhlak mulia dan berhati dermawan.

Tiberias dan Danau Air Panasnya

Perjalanan berikutnya membawaku ke kota Thabariyyah (Tiberias). Dahulu kota ini sangat besar dan penting, namun ketika aku datang, yang tersisa hanya bekas-bekas bangunan yang menunjukkan betapa besar dan megahnya kota itu pada masa lalu.

Di Tiberias terdapat pemandian air panas yang sangat masyhur. Ada dua bangunan terpisah: satu untuk laki-laki, satu untuk perempuan. Air yang memancar di sana sangat panas, dan orang-orang menggunakannya untuk berendam dan berobat.

Di dekat kota, terbentang sebuah danau yang terkenal. Panjangnya kurang lebih enam farsakh dan lebarnya lebih dari tiga farsakh. Air danau itu menjadi sumber kehidupan bagi banyak penduduk di sekitarnya.

Di Tiberias juga ada sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid al-Anbiya, Masjid Para Nabi. Di dalamnya, menurut penduduk setempat, terdapat makam Nabi Syu‘aib; juga makam putrinya yang dinikahi Nabi Musa, serta makam Nabi Sulaiman, Yahudza, dan Rubil. Shalawat dan salam Allah tercurah atas Nabi kami dan atas mereka semua.

Sumur Nabi Yusuf

Dari Tiberias, kami melanjutkan perjalanan untuk menziarahi sebuah sumur yang terkenal dalam kisah para nabi: sumur yang dikatakan sebagai tempat Nabi Yusuf pernah dilemparkan oleh saudara-saudaranya.

Sumur ini berada di halaman sebuah masjid kecil. Di sampingnya ada sebuah zawiyah yang menjadi tempat singgah kaum musafir.

Sumur itu besar dan dalam. Air di dalamnya terkumpul dari air hujan, dan kami sempat meminum airnya. Penjaga sumur bercerita bahwa air bukan hanya berasal dari hujan, tetapi juga memancar dari dasar sumur.

Beirut dan Ziarah ke Kark Nuh

Dari sana, kami meneruskan perjalanan ke kota Bairut (Beirut). Kota ini tidak begitu besar, tetapi pasar-pasarnya indah dan masjid jami‘-nya elok dipandang.

Dari Beirut, banyak buah-buahan dikirim ke Mesir.

Setelah itu, kami berniat menziarahi seorang tokoh yang disebut orang-orang sebagai Abu Ya‘qub Yusuf, yang mereka klaim dahulu adalah salah satu raja di negeri Maghrib.

Makamnya berada di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Kark Nuh, termasuk wilayah al-‘Aziz. Di sana ada sebuah zawiyah yang menyediakan makanan bagi siapa saja yang datang.

Dikatakan bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi mewakafkan sejumlah harta untuk tempat itu, dan ada pula yang mengatakan bahwa yang mewakafkannya adalah Sultan Nuruddin. Keduanya dikenal sebagai penguasa yang saleh.

Mengenai Abu Ya‘qub sendiri, diceritakan bahwa dahulu ia menenun tikar dengan tangannya dan hidup dari hasil penjualannya. Begitulah, kemuliaan di sisi Allah sering kali berpadu dengan kesederhanaan hidup di mata manusia.

Peta Perjalanan Ibnu Bathutah #11

Sumber kisah:
Ibn Battutah, Rihlah Ibn Battutah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang