Rihlah Ibnu Bathutah #10 : Dari Kairo Hingga Al Quds
Hari Mahmal di Kairo
Pada bulan Rajab di Kairo ada satu hari yang selalu ditunggu orang: hari keluarnya mahmal, tandu kehormatan yang diarak menuju tanah suci.
Hari itu, para qadhi dari empat mazhab, wakil Baitul Mal, muhtasib, para ulama besar, pejabat, dan tokoh masyarakat semuanya berkumpul. Mereka berkendara menuju gerbang benteng, istana Sultan al-Malik an-Nashir.
Tak lama kemudian, mahmal dibawa keluar di atas seekor unta. Di depannya berjalan seorang amir yang khusus ditunjuk untuk memimpin rombongan haji ke Hijaz tahun itu, bersama tentaranya dan para pengangkut air di atas unta-unta mereka.
Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, memadati jalanan. Rombongan mengelilingi kota Kairo dan Fusthat (Mesir lama) sambil para penggiring unta melantunkan nyanyian perjalanan.
Suasana bulan Rajab membuat hati orang-orang bergetar. Tekad berhaji tumbuh, rindu ke Baitullah bangkit. Allah menanamkan keinginan haji di hati siapa saja yang Dia kehendaki. Orang-orang pun mulai menyiapkan bekal dan persiapan.
Di tengah suasana itulah aku, Ibn Battuta, memutuskan memulai perjalananku dari Mesir menuju Hijaz, melalui jalur Mesir Hulu (ash-Sha‘īd).
Malam Terakhir di Kairo dan Ribat Peninggalan Nabi
Malam sebelum meninggalkan wilayah Kairo, aku bermalam di sebuah ribat (semacam rumah singgah dan tempat ibadah) di Dayr ath-Thin. Ribat itu dibangun oleh seorang pejabat besar, ash-Shahib Tajuddin ibn Hanna.
Bangunannya megah, dibangun dengan penuh perhatian dan kehormatan. Di dalamnya disimpan peninggalan-peninggalan mulia yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad:
- Selembar pecahan dari mangkuk yang dinisbatkan kepada beliau.
- Batang celak yang dikatakan digunakan untuk bercelak.
- Alat kecil untuk menjahit sandal.
- Sebuah mushaf yang dinisbatkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib, dikatakan ditulis dengan tangan beliau sendiri.
Disebutkan bahwa Tajuddin membeli peninggalan-peninggalan mulia itu dengan harga seratus ribu dirham. Ia lalu membangun ribat, menyediakan makanan bagi setiap tamu yang datang dan pergi, serta menggaji para pelayan yang menjaga peninggalan-peninggalan tersebut.
Malam itu aku bermalam di sana, lalu keesokan harinya berangkat menyusuri sungai Nil menuju Mesir Hulu.
Menyusuri Kota-Kota di Tepi Nil
Perhentian pertamaku adalah Minyat al-Qa’id, sebuah kota kecil di tepi Nil. Dari sana aku menuju kota Būsh, kota yang terkenal sebagai penghasil lenan terbanyak di Mesir. Dari sinilah kain lenan dikirim ke seluruh penjuru Mesir dan sampai ke Afrika Utara.
Dari Būsh aku datang ke kota Dilas, yang juga kaya akan hasil lenan. Sama seperti Būsh, lenan di sini pun dikirim ke berbagai wilayah.
Setelah itu aku singgah di kota Bibā, lalu ke kota al-Bahnasa, kota yang cukup besar dengan banyak kebun. Di al-Bahnasa dibuat pakaian wol yang bagus kualitasnya.
Di sana aku bertemu seorang qadhi alim bernama Syarfuddin, orangnya santun dan dermawan. Aku juga berkenalan dengan seorang syekh saleh, Abu Bakar al-‘Ajami, dan menginap di rumahnya. Ia menjamuku dengan baik.
Kota Minya dan Kisah Al-Khashib
Dari al-Bahnasa aku melanjutkan perjalanan ke Minyat Ibn Khashib, kota besar di tepi Nil. Sekarang kota ini dikenal dengan nama Minya.
Kota ini luas, ramai, dan dihiasi banyak madrasah, zawiyah, masjid, dan tempat-tempat ziarah. Dahulu, kota ini adalah tempat tinggal seorang gubernur Mesir bernama al-Khashib.
Di sinilah aku mendengar kisah menarik tentang al-Khashib.
Diceritakan bahwa suatu ketika seorang khalifah Abbasiyah marah kepada penduduk Mesir. Dalam kemarahannya, ia bersumpah akan mengangkat penguasa paling hina dan paling rendah derajatnya di antara para budaknya, untuk menghinakan penduduk Mesir.
Saat itu, budak yang paling rendah kedudukannya bernama al-Khashib. Tugasnya hanya memanaskan air di pemandian. Khalifah memakaikannya jubah kehormatan dan mengangkatnya sebagai penguasa Mesir, dengan sangka bahwa ia akan berbuat sewenang-wenang dan menyakiti rakyat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Ketika al-Khashib memerintah di Mesir, ia memperlakukan penduduk dengan sangat baik. Ia terkenal dermawan dan suka mengutamakan orang lain. Kerabat khalifah dan orang-orang penting lain sering datang kepadanya dan selalu pulang dengan hadiah besar. Mereka kembali ke Baghdad sambil memuji-muji kebaikannya.
Suatu hari, khalifah merasa kehilangan salah satu kerabatnya dari Bani Abbas. Setelah beberapa waktu, orang itu muncul. Ketika ditanya ke mana ia pergi, ia menjawab, “Aku pergi menemui al-Khashib di Mesir,” lalu menceritakan banyaknya pemberian yang ia dapat.
Khalifah marah. Ia merasa al-Khashib terlalu bebas menghamburkan harta. Ia pun memerintahkan agar kedua mata al-Khashib dibutakan, ia dicopot dari jabatannya, dibawa ke Baghdad, dan dilemparkan di pasar-pasar sebagai bentuk penghinaan.
Ketika perintah penangkapan itu datang, al-Khashib tidak sempat kembali ke rumah. Di tangannya kala itu ada sebuah batu yakut yang sangat besar dan berharga. Ia menyembunyikan batu itu pada istrinya dan menyuruhnya menjahit batu itu di salah satu pakaiannya pada malam hari.
Esoknya, kedua mata al-Khashib dibutakan dan ia dibawa ke Baghdad, lalu dibiarkan tergeletak di salah satu pasar.
Seorang penyair lewat dan berkata:
“Wahai al-Khashib, dulu aku datang dari Baghdad ke Mesir untuk memujimu dengan sebuah qashidah. Tapi aku datang tepat saat engkau diusir dari sana. Aku ingin engkau tetap mendengarnya.”
Al-Khashib menjawab, “Bagaimana aku akan mendengarnya, sedang engkau melihat keadaanku sekarang?”
Penyair berkata, “Tujuanku hanya agar engkau mendengarnya. Tentang hadiah, engkau sudah banyak memberi orang. Semoga Allah membalasmu.”
Al-Khashib berkata, “Bacakanlah.”
Penyair pun melantunkan syair yang pada intinya memuji al-Khashib dan menyamakan kedermawanannya dengan lautan, diakhiri bait yang terkenal:
“Engkaulah al-Khashib, dan inilah Mesir,
maka limpahkanlah (kebaikan), sebab kalian berdua adalah lautan.”
Setelah penyair selesai, al-Khashib berkata, “Buka jahitan itu.” Penyair pun membuka jahitan pada pakaian istrinya dan menemukan batu yakut yang disembunyikan tadi.
“Ambillah yakut ini,” kata al-Khashib.
Penyair menolak, tetapi al-Khashib memaksanya hingga ia terpaksa menerimanya. Penyair kemudian pergi ke pasar permata. Ketika para pedagang melihat batu tersebut, mereka berkata, “Batu ini hanya pantas untuk khalifah.”
Berita itu sampai ke khalifah. Ia memerintahkan agar penyair dihadapkan kepadanya dan menanyainya tentang asal-usul batu itu. Penyair pun menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir.
Khalifah sangat menyesal telah memperlakukan al-Khashib dengan kejam. Ia memerintahkan agar al-Khashib dibawa menghadap, memberinya hadiah besar, lalu berkata, “Pilih apa yang kau inginkan.”
Al-Khashib memilih agar kota Minya diberikan kepadanya. Pilihan itu dikabulkan. Ia tinggal di Minya sampai wafat, dan kota itu diwariskan kepada keturunannya sampai mereka punah.
Saat aku memasuki Minyat Ibn Khashib, qadhi kota itu adalah Fakhruddin an-Nuwayri al-Maliki, dan gubernurnya seorang amir dermawan bernama Syamsuddin.
Menjaga Adab di Pemandian Umum
Ada satu peristiwa yang kuat teringat di kota ini.
Suatu hari aku masuk ke pemandian umum (hammam) di Minya. Aku melihat orang-orang mandi tanpa menutup aurat mereka dengan kain. Pemandangan itu membuatku sangat tidak nyaman.
Aku lalu datang kepada gubernur Syamsuddin dan menceritakan apa yang kulihat. Ia langsung memerintahkan agar aku tetap tinggal sebentar, lalu memanggil para penyewa pemandian.
Di hadapan mereka ditulis perjanjian: siapa pun yang masuk ke pemandian tanpa mengenakan kain penutup (izar), maka pemilik pemandian akan dimintai pertanggungjawaban dan dikenai hukuman.
Gubernur menekankan aturan itu dengan sangat keras, sampai para pemilik pemandian benar-benar takut melanggarnya. Setelah itu, barulah aku pamit melanjutkan perjalanan.
Manlawi, Gula, dan Kebaikan Penduduknya
Dari Minya aku berangkat ke Manlawi, kota kecil yang letaknya sekitar dua mil dari tepi Nil. Qadhi di sana adalah seorang ulama Syafi‘i bernama Syarfuddin ad-Damiri.
Tokoh terbesar kota itu adalah keluarga Bani Fudhail. Salah satu dari mereka membangun sebuah masjid jami‘ dan menghabiskan seluruh hartanya yang terbaik untuk pembangunan itu.
Kota ini terkenal dengan sebelas pabrik pemerasan gula. Ada satu kebiasaan mulia di sana: mereka tidak melarang orang miskin masuk ke pabrik-pabrik itu.
Seorang fakir datang membawa roti panas. Ia melemparkan rotinya ke dalam kuali besar tempat gula dimasak. Ketika diangkat kembali, roti itu sudah terlapisi gula cair dan menjadi manisan. Ia pun pulang membawa roti manis hasil olahan sendiri, tanpa ada yang melarangnya.
Manfalut dan Mimbar yang Enggan Bergerak
Dari Manlawi, aku menuju Manfalut, kota yang hawanya sejuk, bangunannya indah di tepi Nil, dan terkenal penuh keberkahan.
Penduduk bercerita bahwa Sultan al-Malik an-Nashir pernah memerintahkan pembuatan sebuah mimbar besar dengan ukiran yang sangat indah, diperuntukkan bagi Masjidil Haram di Makkah.
Setelah selesai, mimbar itu dinaikkan ke sebuah kapal di sungai Nil. Rencananya, mimbar dibawa melalui Nil, lalu dilanjutkan lewat laut menuju Jeddah, kemudian ke Makkah.
Namun ketika kapal itu sampai di Manfalut dan tepat sejajar dengan masjid jami‘ kota tersebut, kapal tiba-tiba berhenti. Padahal angin sedang baik dan mendukung perjalanan.
Orang-orang heran. Berhari-hari mereka berusaha menggerakkan kapal, namun kapal seolah “enggan” maju.
Akhirnya, mereka menulis surat kepada Sultan al-Malik an-Nashir. Setelah mendapat kabar itu, Sultan memerintahkan agar mimbar tersebut diturunkan dan ditempatkan saja di masjid jami‘ Manfalut.
Perintah itu dilaksanakan. Saat aku datang ke Manfalut, aku melihat sendiri mimbar yang indah itu di dalam masjid.
Di kota ini juga dibuat sejenis manisan dari gandum, rasanya manis mirip madu, mereka menyebutnya nida. Manisan itu dijual sampai ke pasar-pasar di Mesir.
Asyuth dan Qadhi “Hasilnya Sudah Habis”
Perjalanan kulanjutkan ke kota Asyuth, kota besar dengan pasar-pasar yang tertata rapi dan indah.
Qadhi di kota ini bernama Syarfuddin bin ‘Abdurrahim. Orang-orang memanggilnya dengan julukan unik: “Hasil Ma Tham” (kurang lebih artinya: “Hasilnya sudah habis”).
Julukan itu muncul dari kebiasaan para qadhi di Mesir dan Syam yang memegang dana wakaf dan sedekah untuk para musafir miskin. Bila seorang fakir datang ke sebuah kota, ia akan menemui qadhi, dan qadhi akan memberinya bagian sesuai ketentuan.
Adapun qadhi Asyuth ini, bila didatangi fakir, ia sering berkata, “Hasil yang ada di sini sudah habis,” maksudnya, “Tidak ada lagi dana yang tersisa.” Ucapan itu begitu sering diulang, sampai akhirnya menjadi julukan yang menempel pada dirinya.
Di Asyuth aku juga bertemu seorang syekh saleh bernama Syihabuddin Ibn ash-Shabbagh, yang menjamuku di zawiyahnya.
Akhmim dan Peninggalan Bangsa-Bangsa Terdahulu
Dari Asyuth aku pergi ke Akhmim, kota tua yang besar dan kokoh bangunannya. Di sana terdapat bangunan kuno yang disebut barabi, semacam kuil batu peninggalan bangsa terdahulu.
Dinding-dindingnya penuh ukiran dan tulisan dengan huruf-huruf aneh yang pada masa kami sudah tak dipahami lagi. Di sana juga terdapat gambar-gambar langit, bintang-bintang, serta berbagai hewan. Banyak orang mengaitkan gambar-gambar itu dengan kisah-kisah ajaib, namun kebanyakan hanya dongeng yang tak layak dipercaya.
Di Akhmim ada seorang lelaki kaya yang disebut al-Khatib. Ia pernah merobohkan sebagian bangunan kuno itu dan membangun sebuah madrasah dengan batu-batunya. Karena ia kaya raya, sebagian orang iri dan menuduh bahwa harta yang ia miliki didapatkan dari “memanfaatkan” bangunan kuno tersebut.
Di kota ini aku menginap di sebuah zawiyah milik para syekh Abu al-‘Abbas, Majduddin, dan Wahiduddin. Ada tradisi yang indah di sana: setiap selesai shalat Jumat, para ulama, qadhi, khatib, dan penduduk berkumpul di zawiyah. Mereka membaca Al-Qur’an dan berzikir sampai waktu Ashar. Setelah shalat Ashar, mereka membaca Surah al-Kahfi, lalu berpisah.
Kota Hu dan Ramalan Sang Sayyid
Perjalanan kemudian membawaku ke kota Hu, kota besar di tepi Nil. Aku menginap di madrasah Taqiyuddin Ibn as-Siraj. Di sana, setiap hari setelah Subuh, para penuntut ilmu membaca satu bagian dari Al-Qur’an, lalu membaca wirid-wirid Syaikh Abu al-Hasan asy-Syadzili dan Hizb al-Bahr.
Di kota Hu ada seorang sayyid mulia, Abu Muhammad Abdullah al-Hasani, dikenal sebagai salah satu orang saleh yang besar kedudukannya. Aku datang kepadanya untuk bersilaturahmi dan meminta doa.
Ia bertanya, “Engkau hendak ke mana?”
Aku menjawab, “Aku ingin pergi ke Baitullah di Makkah, lewat jalur Jeddah.”
Beliau berkata dengan tenang, “Bukan sekarang jalannya bagimu. Pulanglah. Haji pertamamu kelak akan lewat jalur Syam.”
Dalam hati aku tidak terlalu mempedulikan ucapannya. Aku tetap melanjutkan perjalanan menuju Aydhab agar bisa menyeberang ke Jeddah. Namun ternyata, apa yang beliau katakan benar.
Aydhab Pertama: Hyena dan Makam Abu al-Hasan asy-Syadzili
Dari Hu aku berangkat ke Qina, menziarahi makam seorang wali besar, ‘Abdurrahim al-Qinawi, lalu meneruskan perjalanan ke Qus yang makmur dan ramai, lalu ke Luxor (al-Aqshur), Armant, dan Isna yang besar dan penuh madrasah serta zawiyah.
Dari Isna aku menuju Edfu. Di antara Isna dan Edfu terbentang padang pasir sehari semalam jauhnya, tanpa pemukiman, namun jalannya aman.
Di salah satu tempat perhentian, kami singgah di Humaythira, tempat dimakamkannya wali besar Abu al-Hasan asy-Syadzili. Sebelumnya ia pernah mengabarkan bahwa ia akan wafat di tempat ini, dan ternyata demikianlah yang terjadi.
Malam di Humaythira, kami kerepotan menghadapi serigala-serigala gurun (ḍibā‘) yang banyak berkeliaran. Salah satu dari mereka nekat mendekati barang-barangku, mengoyak karung yang berisi kurma, dan menyeretnya pergi. Pagi hari, kami menemukan karung itu sudah koyak, dan hampir semua kurmanya habis dimakan.
Kota Pelabuhan Aydhab dan Suku Bajah
Setelah menempuh perjalanan lima belas hari, kami akhirnya tiba di Aydhab, sebuah kota pelabuhan besar di tepi Laut Merah.
Kota ini banyak ikannya dan susu. Dari Mesir Hulu dikirim ke sini biji-bijian dan buah-buahan. Penduduknya kebanyakan dari suku Bajah. Kulit mereka hitam, mereka memakai kain kuning yang dililitkan ke tubuh dan mengikat kepala dengan selendang sempit selebar jari. Mereka tidak memberi warisan kepada anak perempuan. Makanan pokok mereka adalah susu unta.
Mereka juga terkenal mahir menunggang unta-unta cepat yang mereka sebut ash-shuhb. Secara politik, sepertiga kota ini berada di bawah kekuasaan Sultan Mesir al-Malik an-Nashir, sementara dua pertiganya dikuasai oleh raja Bajah yang disebut al-Hadhrabi.
Di Aydhab ada sebuah masjid yang dinisbatkan pada al-Qasthalani, terkenal akan keberkahannya. Aku masuk ke dalamnya dan berdoa di sana. Aku juga bertemu dua syekh saleh: Syekh Musa dan seorang syekh tua bernama Muhammad al-Marrakushi yang mengaku putra al-Murtadha, raja Marrakesh, dan menyatakan bahwa usianya sudah sembilan puluh lima tahun.
Gagal Menyeberang ke Jeddah dan Kembali ke Mesir
Ketika kami sampai di Aydhab, keadaan sedang genting. Raja Bajah, al-Hadhrabi, sedang berperang dengan orang-orang Turki. Kapal-kapal banyak yang dirusak. Orang-orang Turki melarikan diri. Akibatnya, perjalanan laut ke arah Jeddah menjadi tidak mungkin dilakukan.
Kami terpaksa menjual bekal yang sudah kami siapkan untuk perjalanan laut. Lalu kami kembali bersama orang-orang Arab pemilik unta yang kami sewa, menyusuri jalan kembali ke Mesir Hulu.
Kami sampai lagi di kota Qus, lalu naik perahu menyusuri sungai Nil ke arah utara. Saat itu air Nil sedang pasang, sehingga perjalanan lebih cepat. Setelah delapan hari perjalanan dari Qus, aku tiba lagi di Mesir (Kairo).
Aku hanya bermalam satu malam di Kairo. Keesokan harinya, aku memutuskan menuju negeri Syam. Saat itu pertengahan bulan Sya’ban tahun 726 H.
Bilbis, Ash-Shalihiyyah, dan Masuk Ke Gurun Sinai
Dari Kairo aku menuju kota Bilbis, kota besar dengan banyak kebun, namun di sana aku tidak bertemu tokoh yang perlu kucatat secara khusus.
Dari Bilbis aku menuju ash-Shalihiyyah, lalu dari sana masuk ke wilayah gurun pasir—kini dikenal sebagai wilayah Sinai.
Dalam perjalanan melintasi pasir, kami singgah di beberapa tempat: as-Sawadah, al-Waridah, al-Mutaylib, al-‘Arish, dan al-Khurubah. Di setiap tempat persinggahan itu ada sebuah khan (penginapan) tempat para musafir menginap bersama hewan tunggangan mereka. Di luar setiap khan terdapat sebuah kincir air untuk minum para pelintas, dan sebuah warung kecil tempat membeli kebutuhan dasar.
Qatya dan Jalan Pasir yang Dijaga
Salah satu tempat persinggahan yang paling terkenal adalah Qatya.
Di sinilah barang-barang para pedagang diperiksa dan zakat (bea) dipungut. Di Qatya terdapat kantor-kantor administrasi, para petugas, juru tulis, dan para saksi resmi. Dikatakan bahwa pemasukan hariannya mencapai seribu dinar emas.
Setiap orang yang hendak melanjutkan perjalanan dari Mesir ke Syam harus memiliki surat izin (barā’ah) dari Mesir. Sebaliknya, yang datang dari Syam ke Mesir pun harus memiliki barā’ah dari Syam. Ini dilakukan untuk melindungi harta para pedagang dan mencegah mata-mata.
Jalan pasir ini berada di bawah jaminan kabilah-kabilah Arab yang ditugaskan menjaganya. Mereka memiliki cara unik: setiap malam mereka meratakan pasir hingga tak terlihat lagi jejak langkah. Pagi harinya, amir setempat datang memeriksa. Jika ia melihat ada jejak baru yang tidak diketahui, ia memerintahkan kabilah penjaga untuk mencari pemilik jejak itu. Biasanya, orang itu akan ditemukan dan dihadapkan kepadanya untuk diinterogasi dan dihukum bila perlu.
Pada masa kedatanganku, amir di Qatya adalah seorang bangsawan bernama ‘Izzuddin Ustadz al-Dar Qamari, seorang yang baik dan dermawan. Ia menjamuku dan memudahkan perjalanan rombonganku.
Di hadapannya ada seorang lelaki bernama ‘Abdul-Jalil al-Maghribi, seorang yang hafal betul keadaan negeri-negeri Maghrib dan penduduknya. Ia bertugas menanyai setiap orang yang mengaku dari wilayah Maghrib, untuk memastikan asal mereka dan agar tidak terjadi penipuan. Orang-orang Maghrib memang biasanya mendapat kemudahan di perbatasan ini.
Gaza, Pintu Masuk Negeri Syam
Dari Qatya kami melanjutkan perjalanan sampai ke Gaza, kota pertama di wilayah Syam dari arah Mesir.
Gaza adalah kota yang besar, bangunannya padat dan tersambung, pasar-pasarnya ramai dan tertata. Banyak masjid dan tembok-tembok pertahanan di sana.
Ada sebuah masjid jami‘ yang indah. Masjid yang sekarang digunakan untuk shalat Jumat dibangun oleh seorang amir yang gagah, al-Mu‘azzham al-Jauli. Bangunannya kokoh dan artistik, mimbarnya dibuat dari marmer putih.
Qadhi Gaza pada masa itu adalah Badruddin as-Salakhiti al-Hawrani. Guru besar di kota itu bernama ‘Ilmuddin Ibn Salim. Keluarga Ibn Salim adalah keluarga terpandang di Gaza; salah seorang dari mereka, Syamsuddin, menjadi qadhi di al-Quds (Yerusalem).
Kota Nabi Ibrahim: Al-Khalil (Hebron)
Dari Gaza aku berangkat menuju al-Khalil, kota Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam.
Al-Khalil adalah kota kecil bila dilihat dari luas wilayahnya, tapi sangat besar kedudukannya. Kota itu berada di lembah, dikelilingi bukit. Pemandangannya indah, ceritanya menakjubkan.
Di sana berdiri sebuah masjid besar yang diyakini sebagai kompleks makam Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub ‘alaihimus-salam. Masjid itu dibangun dari batu-batu besar yang dipahat rapi. Di salah satu sudutnya ada sebongkah batu raksasa, panjang salah satu sisinya sekitar tiga puluh tujuh jengkal. Diceritakan bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihis-salam pernah memerintahkan para jin membangun bagian bangunan ini.
Di bagian dalam masjid ada sebuah gua suci. Di situlah, menurut keyakinan para ulama dan penduduk, terletak makam Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Di seberangnya terdapat tiga makam lain yang dinisbatkan kepada istri-istri mereka.
Di samping mimbar, menempel dinding kiblat, ada sebuah tangga marmer yang turun ke lorong sempit. Lorong itu berujung di sebuah pelataran kecil berlapis marmer, di mana terdapat tiga replika kubur yang diyakini sejajar dengan letak kubur di bawah tanah. Dahulu ada jalan menuju gua tempat makam yang sebenarnya, tetapi pada masa kami sudah ditutup. Aku sendiri beberapa kali turun sampai pelataran itu.
Para ulama menyebut banyak dalil yang menguatkan bahwa makam Nabi Ibrahim dan putra-putranya berada di tempat itu. Di antaranya pendapat para imam besar yang turun-temurun saling meriwayatkan hal ini dari generasi ke generasi.
Aku sendiri bertanya kepada seorang imam besar di kota itu, seorang syekh yang terkenal saleh dan ahli ilmu, yaitu Burhanuddin al-Ja‘bari. Beliau mengatakan bahwa semua ulama yang beliau jumpai sepakat bahwa itulah makam Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub, serta istri-istri mereka. “Tidak ada yang meragukannya kecuali orang-orang ahli bid’ah,” kata beliau.
Kisah Tiga Orang yang Menunjuk Makam yang Sama
Disebutkan sebuah kisah menarik. Suatu hari seorang imam masuk ke dalam gua dan berdiri dekat makam yang dinisbatkan kepada Sarah, istri Nabi Ibrahim.
Masuklah seorang lelaki tua. Ia bertanya, “Yang mana makam Nabi Ibrahim?”
Imam itu menunjuk ke salah satu kubur.
Kemudian datang seorang pemuda dan mengajukan pertanyaan yang sama. Ia pun diberi jawaban yang sama, menunjuk kubur itu juga.
Beberapa saat kemudian masuk seorang anak kecil. Ia pun bertanya, “Yang mana makam Nabi Ibrahim?” Imam itu kembali menunjuk ke kubur yang sama.
Imam itu lalu berkata, “Aku bersaksi, ini memang makam Ibrahim ‘alaihis-salam.”
Makam Nabi Yusuf dan Nabi Luth
Di dalam kompleks masjid al-Khalil juga terdapat makam yang dinisbatkan kepada Nabi Yusuf ‘alaihis-salam.
Sementara itu, di sebelah timur kompleks, di atas sebuah bukit yang menghadap ke Lembah Yordan (Ghur asy-Syam), terdapat sebuah bangunan indah yang dikenal sebagai makam Nabi Luth ‘alaihis-salam.
Tidak jauh dari situ terbentang sebuah danau yang airnya sangat asin, sehingga hampir tak ada makhluk hidup yang bisa hidup di dalamnya. Orang-orang menyebutnya Danau Luth, dan meyakini bahwa tempat itu adalah bekas wilayah kaum Nabi Luth yang dihancurkan.
Masjid Yaqin dan Makam Fatimah binti al-Husain
Di dekat makam Nabi Luth ada sebuah masjid yang bernama Masjid al-Yaqin, berdiri di puncak sebuah bukit. Masjid ini memiliki suasana yang berbeda; seolah-olah cahayanya lebih lembut dan tenang dibanding tempat lain di sekitarnya.
Di dekat pintu masjid ada sebuah lekukan kecil pada batu, menyerupai mihrab yang hanya muat satu orang untuk sujud. Menurut kisah setempat, di situlah Nabi Ibrahim pernah sujud sebagai tanda syukur ketika kabar kebinasaan kaum Luth datang kepadanya.
Tak jauh dari masjid itu ada sebuah gua kecil. Di dalamnya ada sebuah makam yang dinisbatkan kepada Fatimah binti al-Husain, cucu dari Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra.
Di atas dan bawah makam itu terdapat dua lempeng marmer dengan tulisan. Salah satunya berisi keterangan bahwa ini adalah makam “Ummu Salamah Fathimah binti al-Husain,” disertai kalimat-kalimat pengingat tentang kefanaan hidup.
Lempeng lainnya berisi tulisan nama pembuat ukirannya, serta beberapa bait puisi yang isinya memuji kesalehan, kehormatan, dan kemuliaan Fatimah binti al-Husain.
Dari Hebron ke Baitul Maqdis
Dari al-Khalil aku melanjutkan perjalanan menuju al-Quds (Yerusalem).
Dalam perjalanan, aku singgah di makam Nabi Yunus ‘alaihis-salam. Di atasnya terdapat bangunan besar dan sebuah masjid. Aku juga menziarahi Bait Lahm (Betlehem), tempat kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salam.
Di sana ada bekas batang pohon kurma yang diyakini sebagai pohon yang disebut dalam kisah kelahiran beliau. Di sekelilingnya dibangun banyak bangunan. Kaum Nasrani sangat memuliakan tempat itu dan biasa menjamu para pelancong yang datang.
Baitul Maqdis di Masa Ibn Battuta
Akhirnya, aku tiba di Baitul Maqdis, kota suci yang dimuliakan Allah, tempat berdirinya Masjid al-Aqsha dan Batu Suci (ash-Shakhrah) yang menjadi titik mi’raj Rasulullah ke langit.
Baitul Maqdis adalah masjid ketiga yang paling utama setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Kotanya besar, bangunannya banyak yang terbuat dari batu pahat. Setelah kota ini dibebaskan dari tangan Tentara Salib oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, sebagian tembok kotanya sengaja diruntuhkan, agar musuh tak mudah menjadikannya benteng bila suatu saat berhasil menguasainya lagi.
Kemudian, seorang sultan lain, al-Malik azh-Zhahir Baybars, menyempurnakan peruntuhan sebagian tembok itu dengan alasan yang sama: agar bangsa Eropa (Romawi/Salib) tak bisa dengan mudah bertahan di dalamnya bila berhasil menyerbu.
Dahulu, kota ini tidak memiliki sungai. Pada masa kedatanganku, seorang amir besar bernama Saifuddin Tankiz, penguasa Damaskus, mendatangkan air ke kota ini dengan sistem saluran sehingga penduduk bisa mendapatkan air dengan lebih mudah.
Di kota suci inilah perjalananku di bagian ini berakhir, sebelum aku kemudian melanjutkan langkah ke kota-kota lain di negeri Syam dan sekitarnya.
Peta Perjalanan Ibnu Bathutah #10
Sumber Kisah:
Rihlah Ibnu Batutah (Tuhfat al-Nazzar fi Ghara'ib al-Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar)

Komentar
Posting Komentar