Pertemuan dengan Rahib Bukhaira
Kisah Rahib Buhairā dan Pertemuan dengan Nabi Muhammad ﷺ
Asal-Usul Rahib Buhairā
Buhairā adalah seorang rahib Nasrani yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran agamanya. Ia berasal dari kabilah ‘Abd al-Qais, dan nama aslinya adalah Sargis.
Ia tinggal di Busra, sebuah daerah di negeri Syam, di sebuah biara tua yang sejak dahulu kala selalu dihuni oleh para rahib.
Setiap generasi mewarisi ilmu dari kitab suci mereka, hingga sampai kepada Buhairā.
Perjalanan Abu Thalib ke Negeri Syam
Ketika Abu Thalib bersiap untuk berangkat bersama rombongan pedagang Quraisy menuju negeri Syam, Rasulullah ﷺ, yang saat itu masih muda, memohon agar diperbolehkan ikut.
Hati Abu Thalib tersentuh. Ia berkata:
“Demi Allah, aku pasti akan membawanya bersamaku. Aku tidak akan meninggalkannya, dan ia pun tidak akan berpisah dariku selamanya.”
Maka berangkatlah Abu Thalib bersama keponakannya tercinta hingga sampai ke daerah Busra di negeri Syam.
Pertemuan yang Tak Terduga
Tahun itu, rombongan Quraisy berhenti di dekat biara milik Rahib Buhairā.
Padahal mereka telah sering melewati tempat itu sebelumnya, namun Buhairā tak pernah berbicara dengan mereka atau mengundang mereka.
Namun kali ini berbeda — ia menyiapkan jamuan besar untuk menyambut mereka.
Dari tempatnya di biara, Buhairā melihat sesuatu yang menakjubkan:
ada seorang pemuda yang berjalan di antara rombongan, dan sebuah awan menaungi dirinya ke mana pun ia pergi.
Ketika rombongan berhenti di bawah sebuah pohon, awan itu pun berhenti di atasnya.
Ranting-ranting pohon menunduk menaungi pemuda itu — Rasulullah ﷺ.
Melihat peristiwa itu, Buhairā turun dari biaranya dan berkata kepada muridnya agar menyiapkan makanan.
Ia lalu mengirim utusan kepada rombongan Quraisy, berkata:
“Wahai kaum Quraisy, aku telah menyiapkan makanan untuk kalian. Aku ingin kalian semua hadir — baik yang tua maupun muda, budak maupun orang merdeka.”
Jamuan Rahib Buhairā
Salah seorang Quraisy heran dan berkata:
“Demi Allah, wahai Buhairā, hari ini engkau benar-benar melakukan sesuatu yang tidak biasa!
Kami sering melewati tempatmu, tapi engkau tak pernah menjamu kami sebelumnya. Apa yang membuatmu berbeda hari ini?”
Buhairā menjawab dengan tenang:
“Benar, sebagaimana katamu. Namun kali ini kalian adalah tamuku, dan aku ingin memuliakan kalian semua.”
Mereka pun berkumpul memenuhi undangan itu.
Namun Rasulullah ﷺ tidak ikut, karena masih muda dan sedang menjaga barang-barang mereka di bawah pohon.
Pencarian Sosok yang Hilang
Buhairā memperhatikan tamunya satu per satu.
Namun ia tidak menemukan tanda-tanda yang ia kenali dari kitab sucinya.
Ia berkata:
“Wahai kaum Quraisy, jangan sampai ada seorang pun yang tidak datang ke jamuanku ini!”
Mereka menjawab:
“Tidak ada yang tertinggal kecuali seorang anak muda yang paling muda di antara kami. Ia sedang menjaga barang-barang kami.”
Buhairā berkata dengan tegas:
“Jangan begitu! Panggillah dia agar ikut makan bersama kalian.”
Salah seorang Quraisy pun berdiri dan berkata:
“Demi Lāt dan ‘Uzzā, sangat tidak pantas bila Muhammad bin ‘Abdullāh bin ‘Abd al-Muthallib tidak ikut makan bersama kita!”
Ia lalu menjemput Rasulullah ﷺ dan membawanya duduk bersama mereka.
Tanda-Tanda Kenabian
Begitu melihat Rasulullah ﷺ, Buhairā terpana.
Ia menatap wajah beliau lekat-lekat, memperhatikan setiap gerak dan tutur katanya.
Setelah rombongan selesai makan, Buhairā mendekati beliau dan berkata lembut:
“Wahai anak muda, aku memohon kepadamu demi Lāt dan ‘Uzzā, jawablah pertanyaanku dengan jujur.”
Rasulullah ﷺ menjawab dengan tegas:
“Janganlah engkau bertanya kepadaku dengan menyebut Lāt dan ‘Uzzā. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci selain keduanya.”
Buhairā tersenyum kagum.
Ia lalu berkata:
“Kalau begitu, demi Allah, beritahulah aku apa yang akan kutanyakan.”
Beliau menjawab:
“Silakan bertanya sesukamu.”
Maka Buhairā menanyai beliau tentang kehidupannya, tidurnya, perilakunya, dan kebiasaannya.
Semua jawaban sesuai dengan tanda-tanda yang ia ketahui dari kitab suci.
Ketika Buhairā melihat tanda kenabian di antara kedua bahu beliau, hatinya bergetar.
Ia yakin, inilah nabi terakhir yang dijanjikan.
Nasihat untuk Abu Thalib
Setelah itu Buhairā memanggil Abu Thalib dan bertanya:
“Anak muda ini, apa hubunganmu dengannya?”
Abu Thalib menjawab:
“Dia anakku.”
Buhairā berkata:
“Ia bukan anakmu. Tidak seharusnya ayahnya masih hidup.”
Abu Thalib menjawab:
“Ia adalah anak saudaraku. Ayahnya telah wafat ketika ibunya masih mengandungnya.”
Buhairā mengangguk:
“Benar katamu. Kembalikanlah anak saudaramu ini ke negerinya.
Lindungilah dia dari orang-orang Yahudi, karena demi Allah,
jika mereka melihatnya dan mengetahui apa yang aku ketahui tentangnya,
niscaya mereka akan mencelakainya.
Sebab anak ini akan memiliki urusan yang sangat besar kelak.”
Kembali ke Makkah
Mendengar peringatan itu, Abu Thalib merasa khawatir.
Ia segera menyelesaikan urusannya di Syam, lalu berangkat pulang ke Makkah bersama keponakannya.
Sejak hari itu, Abu Thalib semakin mencintai dan menjaga Rasulullah ﷺ dengan sepenuh hati.
🌙 Penutup
Pertemuan Rahib Buhairā dengan Rasulullah ﷺ menjadi salah satu tanda awal kenabian beliau, jauh sebelum wahyu pertama turun.
Seorang rahib Nasrani yang jujur dan berilmu mengenali kebenaran dari tanda-tanda yang telah disebutkan dalam kitab sucinya —
tanda yang hanya dimiliki oleh seorang nabi pilihan Allah.
Sumber : al bidayah wannihayah

Komentar
Posting Komentar