Permulaan Kenabian Rasulullah ﷺ
Usia Rasulullah SAW Saat Diutus Menjadi Nabi
Para ulama meriwayatkan bahwa Allah mulai menurunkan wahyu kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau berusia sekitar empat puluh tahun.
Dalam satu riwayat disebutkan, setelah usia itu Malaikat Israfil menyertai beliau selama kurang lebih tiga tahun. Israfil mengajarkan beberapa kalimat dan doa, namun saat itu Al-Qur’an belum diturunkan. Masa ini seperti masa latihan dan persiapan batin untuk menerima amanah besar kenabian.
Setelah itu barulah Malaikat Jibril datang membawa wahyu Al-Qur’an. Wahyu turun melalui Jibril selama kira-kira dua puluh tahun: sebagian di Makkah dan sebagian di Madinah, sampai Rasulullah ﷺ wafat pada usia enam puluh tiga tahun.
Ada riwayat lain dari Ibnu Abbas yang mengitung lama tinggal di Makkah dan Madinah dengan cara sedikit berbeda; ada yang menyebut di Makkah sepuluh tahun, ada yang menyebut tiga belas, ada juga yang menghitung lima belas tahun dengan penjelasan: beberapa tahun pertama hanya melihat cahaya dan mendengar suara, baru kemudian wahyu turun secara resmi. Namun, yang paling masyhur di kalangan ulama adalah: wahyu pertama turun saat beliau berusia empat puluh tahun, beliau tinggal di Makkah sekitar tiga belas tahun setelah diutus, lalu berhijrah ke Madinah dan tinggal di sana sepuluh tahun, lalu wafat pada usia enam puluh tiga tahun.
Sebagian ulama juga berusaha menggabungkan riwayat-riwayat ini: permulaan “sentuhan” kenabian berupa mimpi yang benar dan suara-suara gaib, lalu masa bimbingan oleh Israfil ketika beliau berkhalwat di Gua Hira, kemudian puncaknya adalah kedatangan Malaikat Jibril dengan wahyu pertama dari Al-Qur’an.
Kecintaan Rasulullah SAW kepada Khalwah di Gua Hira
Sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah ﷺ sudah sangat membenci kesyirikan dan kegelapan yang dilakukan kaumnya: menyembah berhala, sujud kepada patung, serta kezaliman dan kebodohan lainnya. Karena itu, beliau mulai menyukai khalwah, menyendiri untuk beribadah dan merenung jauh dari keramaian Makkah.
Beliau sering pergi ke Gua Hira, sebuah gua di sebuah gunung tidak jauh dari Makkah, kira-kira tiga mil jaraknya, ke arah yang sejalan dengan jalan menuju Mina. Puncak gunungnya menghadap ke arah Ka'bah, dan guanya berada di cekungan puncak itu. Dari sana, beliau dapat memandang ke arah Makkah dan seolah-olah memandang dunia dari kejauhan.
Dalam satu riwayat disebutkan, setiap tahun Rasulullah ﷺ berdiam di Hira selama satu bulan untuk beribadah. Beliau bertahan di sana dengan membawa bekal, beribadah kepada Allah sesuai fitrah tauhid yang beliau yakini, dan di antara bentuk ibadahnya adalah memberi makan orang-orang miskin yang datang kepadanya.
Setelah selesai masa mujawarah (berdiam untuk ibadah) itu, beliau tidak langsung pulang ke rumahnya. Beliau terlebih dahulu turun ke Makkah dan bertawaf mengelilingi Ka'bah, baru kemudian kembali ke rumah.
Kebiasaan ini bukan hanya dilakukan oleh beliau, tetapi juga oleh sebagian ahli ibadah Quraisy di masa Jahiliyah yang masih mempertahankan sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim. Hal ini bahkan disinggung dalam syair terkenal Abu Thalib yang memuji orang yang “naik ke Hira untuk kebaikan”.
Makna “Tahannuts” di Gua Hira
Dalam hadits tentang permulaan wahyu, digunakan istilah at-tahannuts di Gua Hira. Para ulama bahasa menjelaskan bahwa tahannuts dalam konteks ini artinya adalah at-ta’abbud — beribadah dengan khusyuk.
Sebagian ahli bahasa menjelaskan dari sisi asal katanya, tahannuts bermakna “keluar dari dosa” atau membersihkan diri darinya, sebagaimana kata-kata lain seperti taharruj (melepaskan diri dari kesempitan/dosa) dan tahajjud (meninggalkan tidur demi shalat malam). Ada pula yang mengatakan bentuk asalnya adalah yatahannaf dari kata al-Hanafiyyah, yaitu agama lurus Nabi Ibrahim عليه السلام, kemudian diucapkan oleh orang Arab menjadi yatahannuts karena kebiasaan mereka mengganti sebagian huruf.
Intinya, Rasulullah ﷺ berada di Gua Hira untuk beribadah kepada Allah dengan hati yang suci dan berpaling dari dosa-dosa dan kebiasaan buruk kaumnya.
Ibadah Rasulullah SAW Sebelum Diutus
Para ulama berbeda pendapat: sebelum resmi diutus menjadi Nabi, apakah Rasulullah ﷺ mengikuti suatu syariat Nabi tertentu?
Ada yang berpendapat beliau mengikuti syariat Nuh, ada yang mengatakan syariat Musa, ada yang mengatakan syariat Isa, dan yang paling kuat: beliau berada di atas agama Nabi Ibrahim عليه السلام — agama tauhid yang lurus, menjauh dari kemusyrikan dan penyembahan berhala.
Ada juga pendapat bahwa beliau mengamalkan setiap syariat para nabi sebelumnya yang sampai dan terbukti kebenarannya bagi beliau. Namun secara praktis, yang tampak jelas adalah: beliau hidup di atas tauhid, menjauhi berhala, menjaga amanah, berkata benar, dan berakhlak mulia jauh sebelum diangkat menjadi Rasul.
Tanda-Tanda Kenabian Sebelum Wahyu
Sebelum turunnya wahyu Al-Qur’an, Rasulullah ﷺ telah melihat berbagai kejadian aneh yang menjadi pertanda kenabian.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Makkah yang dahulu memberi salam kepadaku sebelum aku diutus. Sungguh aku masih mengenalinya sekarang."
Ibnu Ishaq juga meriwayatkan bahwa ketika Allah hendak memuliakan beliau dengan kenabian, setiap kali beliau keluar ke lembah-lembah sekitar Makkah untuk membuang hajat, dan sudah jauh dari rumah-rumah, tidaklah beliau melewati batu atau pohon melainkan benda itu berkata:
"Assalāmu ‘alaika yā Rasūlallāh."
Beliau menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang, namun tidak melihat siapa pun selain pohon dan batu. Keadaan ini berlanjut selama masa yang dikehendaki Allah, hingga tibalah malam yang agung ketika wahyu pertama turun di Gua Hira.
Kapan Wahyu Pertama Turun?
Ada beberapa riwayat tentang waktu tepatnya wahyu pertama:
Rasulullah ﷺ sendiri menyebutkan bahwa wahyu pertama turun pada hari Senin. Dalam Shahih Muslim, ketika beliau ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab bahwa hari itu adalah hari beliau dilahirkan dan hari diturunkan wahyu kepadanya.
Ibnu Abbas dan beberapa ulama lain mengatakan: Nabi Muhammad ﷺ dilahirkan pada hari Senin, tanggal dua belas Rabiul Awal, dan pada hari seperti itu pula beliau diutus dan di-mi’raj-kan.
Namun, yang lebih masyhur di kalangan ahli sejarah dan ahli tafsir adalah bahwa turunnya wahyu pertama terjadi pada bulan Ramadan. Ibnu Ishaq berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ﴾
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Ada riwayat yang menyebutkan wahyu pertama turun pada tanggal dua belas Ramadan, ada yang mengatakan malam ketujuh belas, dan ada pula yang mengatakan malam kedua puluh empat Ramadan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa suhuf (lembaran) Ibrahim diturunkan di awal malam bulan Ramadan, Taurat setelah enam hari Ramadan berlalu, Injil setelah tiga belas hari, dan Al-Qur’an setelah dua puluh empat hari berlalu. Dari sinilah sebagian sahabat dan tabi'in berpendapat bahwa Lailatul Qadar berada pada malam kedua puluh empat.
Walau perinciannya berbeda, semua riwayat sepakat bahwa wahyu pertama turun pada hari Senin dan mayoritas ulama menguatkan bahwa itu terjadi di bulan Ramadan.
Turunnya Wahyu Pertama di Gua Hira
Setelah masa mimpi-mimpi yang benar dan khalwah di Gua Hira, tibalah saat yang paling agung dalam sejarah manusia. Pada suatu malam di bulan Ramadan, ketika Rasulullah ﷺ sedang beribadah di Gua Hira, tiba-tiba datanglah Malaikat Jibril.
Beliau melihat sosok yang tidak dikenal sebelumnya. Malaikat itu datang membawa lembaran atau seperti bejana dari sutra yang berisi tulisan. Jibril memeluk beliau dengan sangat kuat hingga beliau merasa sesak dan tidak berdaya, lalu melepaskannya dan berkata:
"Iqra’" — “Bacalah!”
Rasulullah ﷺ menjawab dengan jujur dari keadaan beliau:
"Mā ana bi qāri’."
“Aku bukan orang yang bisa membaca.”
Malaikat itu kembali memeluknya dengan sangat kuat, lalu melepaskannya lagi dan mengucapkan perintah yang sama. Setiap kali beliau menjawab bahwa beliau tidak bisa membaca, malaikat itu memeluknya begitu kuat hingga beliau merasa seolah-olah batas kemampuannya telah habis.
Pada akhirnya, Malaikat Jibril membacakan ayat-ayat pertama dari Surah Al-‘Alaq, dan Rasulullah ﷺ mengikutinya:
﴿اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ﴾
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Ayat inilah —menurut jumhur ulama— wahyu pertama yang turun dari Al-Qur’an.
Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah ﷺ “Mā ana bi qāri’” adalah pernyataan bahwa beliau tidak pandai membaca, bukan pertanyaan “apa yang harus aku baca?”. Ini menegaskan sifat beliau sebagai nabi yang ummi: tidak menulis dan tidak membaca, sehingga jelas bahwa Al-Qur’an bukan hasil rekayasa manusia.
Beratnya Wahyu yang Turun
Turunnya wahyu bukanlah sesuatu yang ringan. Allah sendiri berfirman:
﴿إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا﴾
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”
(QS. Al-Muzzammil: 5)
Para ulama menjelaskan, di antara hikmah Jibril memeluk Rasulullah ﷺ dengan sangat kuat adalah agar beliau benar-benar sadar dan siap menghadapi tugas besar kenabian. Setiap kali wahyu turun, sering kali wajah beliau memerah, nafas beliau sesak, beliau berkeringat deras meski cuaca dingin, bahkan tunggangan beliau bisa terasa sangat berat hingga hampir tak mampu menahan beban. Semua itu menunjukkan betapa agung dan beratnya wahyu yang beliau terima.
Rasulullah SAW Pulang dalam Keadaan Gemetar
Setelah peristiwa itu, Rasulullah ﷺ turun dari Hira. Beliau sangat ketakutan dan kebingungan—belum pernah mengalami kejadian seperti itu sebelumnya. Ketika sampai di rumah, beliau menemui istrinya, Khadijah binti Khuwailid raḍiyallāhu ‘anhā, dan berkata:
“Zammilūnī, zammilūnī.”
“Selimuti aku, selimuti aku.”
Beliau diselimuti hingga rasa takutnya mulai mereda. Lalu beliau menceritakan kepada Khadijah apa yang terjadi di Gua Hira dan berkata:
“Aku takut sesuatu menimpa diriku.”
Beliau belum mengerti hakikat apa yang terjadi, hanya merasakan sesuatu yang sangat besar dan di luar kebiasaan.
Penghiburan dan Keteguhan Khadijah
Mendengar itu, Khadijah raḍiyallāhu ‘anhā tidak ikut panik. Ia menenangkan suaminya dan menegaskan keyakinannya:
“Bergembiralah. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.”
Ia kemudian menyebutkan sifat-sifat mulia Rasulullah ﷺ yang ia kenal sejak lama:
Beliau menyambung silaturahmi, selalu berkata jujur, menunaikan amanah, membantu orang yang lemah dan menanggung beban mereka, memberi kepada orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong siapa pun yang terkena musibah dalam kebaikan.
Khadijah memahami bahwa seseorang yang sedemikian baik akhlaknya tidak mungkin dipermalukan oleh Allah dan tidak mungkin dikuasai oleh setan. Ucapan dan keyakinannya ini menjadi penguat pertama bagi Rasulullah ﷺ setelah peristiwa wahyu yang mengguncang itu.
Ujian Khadijah untuk Memastikan Itu Malaikat
Karena sangat hati-hati dalam urusan agama, Khadijah ingin semakin yakin bahwa yang datang kepada Rasulullah ﷺ adalah malaikat, bukan makhluk jahat.
Dalam satu riwayat disebutkan: ia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Jika temanmu (yakni malaikat) datang lagi, beritahu aku.”
Ketika Jibril datang, Rasulullah ﷺ memberitahunya. Khadijah lalu meminta beliau duduk di pangkuannya. Ia menutup dirinya dengan jilbab. Lalu ia bertanya, “Apakah engkau masih melihatnya?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.”
Kemudian Khadijah membuka penutup kepalanya, sehingga sebagian aurat rambutnya terlihat, lalu bertanya lagi, “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Maka Khadijah berkata, “Ini bukan setan, tetapi malaikat. Wahai anak pamanku, teguhkanlah hatimu dan bergembiralah.” Dalam riwayat lain, ia bahkan memasukkan Rasulullah ﷺ ke dalam selubung bajunya; ketika itu Jibril pun menghilang.
Para ulama menjelaskan, yang dilakukan Khadijah semata-mata sebagai cara untuk memastikan, karena setan tidak akan menahan diri dari melihat aurat, sedangkan malaikat tidak akan tetap hadir dalam keadaan seperti itu.
Pergi kepada Waraqah bin Nawfal
Setelah menenangkan suaminya, Khadijah mengajak Rasulullah ﷺ menemui sepupunya, Waraqah bin Nawfal. Waraqah adalah seorang tua yang telah buta, namun dikenal suka membaca kitab-kitab terdahulu. Ia memeluk agama Nasrani di masa Jahiliyah setelah meneliti agama-agama, dan berusaha mengikuti ajaran nabi-nabi sebelumnya sejauh yang ia ketahui.
Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai sepupu, dengarlah penjelasan dari anak saudaramu ini.”
Rasulullah ﷺ lalu menceritakan kepadanya apa yang beliau alami di Gua Hira. Mendengar kisah itu, Waraqah berkata dengan penuh takzim:
“Subbūhun, Quddūs (Mahasuci Allah)…
Itu adalah an-Nāmūs (Malaikat pembawa wahyu) yang pernah diturunkan kepada Musa.”
Ia tidak menyebut Nabi Isa secara khusus, meski ia adalah penganut Nasrani, karena ia tahu bahwa syariat Isa datang sebagai penyempurna dan pelengkap syariat Musa عليهما السلام.
Kemudian Waraqah berkata dengan penuh penyesalan atas usia tuanya:
“Duhai, seandainya aku masih muda kala itu.
Duhai, seandainya aku masih hidup saat kaummu mengusirmu.”
Rasulullah ﷺ terkejut dan bertanya:
“Apakah mereka akan mengusirku?”
Berpisah dari tanah air sangat berat bagi jiwa, dan beliau belum membayangkan bahwa dakwah akan menimbulkan penolakan sebesar itu.
Waraqah menjawab:
“Ya. Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi.
Jika aku masih hidup saat hari-harimu (masa dakwahmu) itu datang, pasti aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.”
Tak lama setelah peristiwa itu, Waraqah meninggal dunia. Namun para ulama menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa ia meninggal dalam keadaan beriman, membenarkan kenabian Rasulullah ﷺ, dan mendapatkan kedudukan yang baik di surga. Di antaranya riwayat yang menyebut Nabi ﷺ melihat Waraqah memakai pakaian putih atau sutra surga, dan melarang para sahabat mencelanya.
Mimpi, Pembelahan Dada, dan Bentuk-Bentuk Wahyu
Riwayat Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā menjelaskan bahwa permulaan wahyu kepada Rasulullah ﷺ adalah berupa mimpi yang benar dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi sesuatu kecuali datang seperti cahaya fajar — nyata, jelas, dan benar terjadi.
Disebutkan pula dalam riwayat lain bahwa beliau pernah melihat dalam mimpi seakan-akan perut atau dada beliau dibelah, dibersihkan, dan kemudian dikembalikan seperti semula. Ini mirip dengan peristiwa pembelahan dada yang terjadi ketika beliau masih kecil di rumah Halimah as-Sa’diyah.
Sebagian ulama memahami bahwa kisah pembelahan dada yang diriwayatkan dalam konteks awal kenabian bisa jadi adalah beliau menceritakan kembali apa yang terjadi saat kecil, atau bisa juga terjadi beberapa kali: di masa kecil, di awal kenabian, dan saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Apa pun perinciannya, intinya adalah: Allah membersihkan hati beliau, mengisinya dengan iman dan hikmah, lalu mempersiapkannya untuk menerima risalah yang agung.
Jibril Menampakkan Diri di Ufuk
Setelah wahyu pertama “Iqra’” turun, ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa Jibril datang lagi dalam bentuk yang tampak di cakrawala. Rasulullah ﷺ mendengar suara dari langit:
“Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, dan aku adalah Jibril.”
Beliau mengangkat pandangan dan melihat sosok Jibril dalam rupa seorang laki-laki memenuhi ufuk langit. Ke mana pun beliau memandang, ke kanan, ke kiri, ke depan, Jibril tampak di sana. Beliau terpaku, tidak sanggup maju maupun mundur karena dahsyatnya pemandangan itu.
Setelah Jibril pergi, barulah beliau pulang kepada Khadijah dan menceritakan semuanya. Sekali lagi, Khadijah menguatkan bahwa ini adalah tanda kenabian. Ia kemudian mendatangi lagi Waraqah bin Nawfal dan beberapa orang Nasrani yang dikenal seperti rahib Bahira dan seorang budak Nasrani bernama ‘Addas.
Ketika Khadijah menyebut nama Jibril, ‘Addas, yang berasal dari lingkungan Nasrani, terkejut mendengar nama itu di tengah masyarakat yang menyembah berhala. Ia menjelaskan bahwa Jibril adalah Amīnullah — pembawa wahyu yang amanah antara Allah dan para Nabi. Hal ini semakin menambah keyakinan Khadijah akan kebenaran kenabian suaminya.
Salam dari Batu dan Pohon Setelah Diutus
Setelah beliau menerima risalah dan mulai berdakwah, kejadian-kejadian luar biasa terus tampak.
Ali bin Abi Thalib raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa ia pernah berjalan bersama Rasulullah ﷺ di Makkah. Setiap kali mereka melewati sebuah gunung atau pepohonan, semuanya memberi salam:
“Assalāmu ‘alaika yā Rasūlallāh.”
Demikian pula hadits Jabir bin Samurah dalam Shahih Muslim yang telah disebutkan, bahwa beliau masih ingat sebuah batu di Makkah yang sejak sebelum beliau diutus sudah memberi salam kepadanya.
Ini semua adalah tanda-tanda yang menguatkan bahwa beliau adalah utusan Allah, bahkan alam pun mengenal dan memuliakannya.
Terputusnya Wahyu Sementara (Fatrah al-Wahy)
Setelah wahyu pertama turun, terjadi masa terputusnya wahyu untuk beberapa waktu. Para ulama menyebut masa ini sebagai fatrah al-wahy. Pada masa ini, Rasulullah ﷺ merasakan kerinduan dan kecemasan: apakah Allah murka kepadanya?
Kaum musyrik pun mulai mencela: “Tuhannya Muhammad telah meninggalkan dan membencinya.”
Kemudian Allah menurunkan beberapa surat yang menghibur dan meneguhkan beliau, di antaranya Surah Ad-Dhuha dan Al-Insyirah. Di dalamnya Allah menegaskan bahwa Dia tidak meninggalkan dan tidak membenci Rasul-Nya, dan bahwa masa depan Rasulullah ﷺ lebih baik daripada masa sebelumnya.
Dengan turunnya surat-surat ini, Rasulullah ﷺ memperoleh ketenangan baru. Wahyu kembali turun secara rutin: terkadang turun dalam keadaan beliau sedang tidur, terkadang dalam keadaan terjaga, kadang melalui Jibril dalam rupa manusia, dan kadang Jibril datang dalam bentuk aslinya (yang besar memenuhi ufuk langit).
Sumber Kisah
- Ibn Katsir, Al-Bidāyah wan-Nihāyah.

Komentar
Posting Komentar