Perjuangan Dakwah Nabi Muhammad: Dari Bukit Shafa hingga Permusuhan Abu Lahab dan Abu Jahl

 

Ilustrasi dakwah Nabi Muhammad di Bukit Shafa, beliau berdiri di puncak bukit menghadap kaum Quraisy, dengan wajah tidak ditampilkan.

Perintah Allah untuk Menyampaikan Risalah

Sejak awal, Allah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menyampaikan risalah kepada semua orang, baik kalangan dekat maupun jauh. Beliau juga diperintahkan untuk bersabar, menanggung gangguan, dan berpaling dari orang‑orang bodoh yang keras kepala setelah hujjah ditegakkan atas mereka.

Salah satu perintah besar itu turun dalam firman-Nya:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat‑kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah sayapmu (bersikaplah lemah lembut) terhadap orang‑orang mukmin yang mengikutimu. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan.’ Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang, yang melihatmu ketika engkau berdiri, dan (melihat) perubahan gerakmu di tengah orang‑orang yang bersujud. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. asy-Syu‘arā’ [26]: 214–220)

Dan Dia berfirman:

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
“Maka sungguh Kami akan menanyai orang‑orang yang telah diutus kepada mereka, dan sungguh Kami akan menanyai para rasul.”
(QS. al-A‘rāf [7]: 6)

Semua ini menunjukkan betapa agung dan beratnya amanah yang dipikul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seruan di Atas Bukit Shafa

Ketika turun perintah untuk memperingatkan kerabat terdekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai melaksanakan perintah itu secara terbuka.

Beliau naik ke atas bukit Shafā, lalu berseru dengan suara khas seruan bahaya di pagi hari: “Yā shabāhāh!” Orang‑orang Quraisy pun berkumpul. Ada yang datang sendiri, ada yang mengutus orang untuk mewakili mereka.

Beliau memanggil mereka berdasarkan kabilah:

“Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ayy…”

Kemudian beliau bertanya:

“Bagaimana pendapat kalian jika aku beritakan bahwa ada pasukan berkuda di lembah gunung ini hendak menyerang kalian, apakah kalian akan membenarkanku?”

Mereka menjawab, “Ya, kami tidak pernah mendapati engkau berdusta.”

Beliau pun berkata dengan tegas:

“Kalau begitu, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian sebelum (datangnya) azab yang sangat keras.”

Saat itu, bukannya tunduk, paman beliau sendiri, Abu Lahab, justru berkata kasar:

“Celaka engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengundang kami?”

Sebagai jawaban atas sikap Abu Lahab, turunlah surat khusus tentang dirinya:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar‑benar binasalah dia.”
(QS. al-Masad [111]: 1)

Surat ini akan dibaca hingga hari kiamat, di mimbar-mimbar dan dalam khutbah, sebagai tanda kehinaan abadi bagi Abu Lahab dan istrinya.

Peringatan Keras kepada Quraisy dan Keluarga Sendiri

Sesudah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Quraisy secara lebih luas, sesuai perintah ayat tadi. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa beliau berdiri dan menyeru:

“Wahai kaum Quraisy, selamatkanlah diri kalian dari neraka!
Wahai Bani Ka‘b, selamatkanlah diri kalian dari neraka!
Wahai Bani Hāsyim, selamatkanlah diri kalian dari neraka!
Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, selamatkanlah diri kalian dari neraka!

Wahai Fāthimah binti Muhammad, selamatkanlah dirimu dari neraka. Karena demi Allah, aku tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk kalian di hadapan Allah, kecuali bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan yang akan aku sambung sebaik‑baiknya.”

Dalam riwayat lain, beliau memanggil secara khusus:

“Wahai Fāthimah binti Muhammad, wahai Shafiyyah binti ‘Abdul Muththalib, wahai Bani ‘Abdul Muththalib, aku tidak memiliki (kekuasaan) sedikit pun bagi kalian di sisi Allah. Mintalah kepadaku dari hartaku apa saja yang kalian inginkan.”

Dengan kata lain, kedudukan dekat kepada Nabi tidak menjamin keselamatan tanpa iman dan amal. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya di hadapan Allah.

Jamuan untuk Bani ‘Abdul Muththalib

Setelah perintah “peringatkanlah kerabatmu yang terdekat” turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengumpulkan keluarga besarnya dari Bani ‘Abdul Muththalib.

Beliau memanggil ‘Ali dan bersabda kurang lebih:

“Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk memperingatkan keluarga terdekatku. Buatkanlah untuk kami seekor kambing dengan satu sha‘ makanan, dan siapkan untuk kami sebuah bejana susu. Lalu kumpulkan untukku Bani ‘Abdul Muththalib.”

‘Ali melaksanakan perintah itu. Keluarga besar itu pun berkumpul; sekitar empat puluh orang laki‑laki, termasuk paman‑paman Nabi: Abu Thalib, Hamzah, al‑‘Abbas, dan Abu Lahab.

Makanan yang disajikan sebenarnya sedikit untuk ukuran mereka. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sepotong, menggigitnya, lalu meletakkannya di tepi bejana sambil berkata:

“Makanlah dengan menyebut nama Allah.”

Mereka makan hingga semua kenyang, padahal biasanya satu orang di antara mereka bisa menghabiskan hidangan sebesar itu sendirian. Kemudian mereka minum susu dari satu bejana sampai puas seluruhnya.

Inilah salah satu mukjizat yang Allah tampakkan melalui tangan Nabi-Nya.

Namun ketika beliau hendak berbicara, Abu Lahab buru‑buru memotong pembicaraan dan berkata dengan nada mengejek:

“Celaka, sungguh sahabat kalian ini telah menyihir kalian!”

Orang‑orang pun bubar sebelum Nabi sempat menyampaikan maksud utama: seruan tauhid dan peringatan.

Keesokan harinya, Nabi meminta ‘Ali menyiapkan jamuan lagi seperti sebelumnya dan mengumpulkan mereka sekali lagi. Keajaiban yang sama terjadi: makanan sedikit, tapi cukup untuk semuanya. Namun Abu Lahab kembali mengacau dan membuat mereka bubar.

Pada pertemuan lain yang sejenis, ketika akhirnya Nabi sempat bicara, beliau berkata kepada keluarga besarnya:

“Wahai Bani ‘Abdul Muththalib, demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seorang pemuda dari kalangan Arab yang datang kepada kaumnya dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang aku bawa kepada kalian. Sesungguhnya aku datang kepada kalian dengan (urusan) dunia dan akhirat.”

Dalam sebagian riwayat – yang dinilai lemah oleh para ulama, namun sering disebut dalam buku-buku sejarah – disebutkan bahwa di majelis itu beliau juga berkata:

“Siapakah di antara kalian yang akan membantuku dalam perkara ini, sehingga ia menjadi saudaraku…?”

Semua diam. Hanya ‘Ali – yang saat itu masih sangat muda dan secara fisik bukan yang paling menonjol – yang berkata:

“Aku, wahai Nabi Allah, aku akan menjadi pembantumu.”

Maka beliau memegang leher ‘Ali dan berkata di hadapan mereka:

“Sesungguhnya dia ini saudaraku…”

Riwayat ini lemah dari sisi sanad, namun menggambarkan besarnya keberanian dan kesiapan ‘Ali sejak kecil untuk mendukung dakwah.

Dalam riwayat lain yang lebih kuat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata di hadapan keluarga:

“Siapakah di antara kalian yang akan melunasi hutangku dan menjadi penggantiku di tengah keluargaku jika aku wafat?”

Sebagian menafsirkan, seakan-akan beliau mengantisipasi kemungkinan dibunuh oleh kaum musyrik jika dakwah beliau semakin keras. Namun Allah menenangkan beliau dengan ayat yang sangat tegas:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika engkau tidak melakukannya, berarti engkau tidak menyampaikan risalah‑Nya. Dan Allah akan memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.”
(QS. al-Mā’idah [5]: 67)

Dakwah Terbuka: Siang Malam, Terang-Terangan dan Sembunyi

Sejak itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berhenti mengajak manusia kepada Allah. Siang dan malam, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, beliau terus berdakwah. Tidak ada ancaman, tekanan, ejekan, atau gangguan yang mampu menghentikan beliau.

Beliau mendatangi manusia di majelis-majelis mereka, di pasar-pasar, di tempat pertemuan, di musim-musim dagang, dan di musim haji. Beliau menyampaikan seruan tauhid kepada setiap orang yang beliau temui: orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, yang lemah maupun kuat, yang kaya maupun miskin.

Di mata beliau, semua manusia setara dalam hak untuk diajak kepada kebenaran.

Dua Paman: Abu Lahab Musuh, Abu Thalib Pelindung

Di tengah dakwah itu, dua paman Nabi menonjol dengan sikap yang sangat bertolak belakang.

Yang pertama adalah Abu Lahab – nama aslinya ‘Abd al-‘Uzza bin ‘Abdul Muththalib. Istrinya adalah Ummu Jamil, Arwā binti Harb bin Umayyah, saudari Abu Sufyan. Keduanya menjadi musuh yang sangat keras bagi Nabi. Perilaku buruk dan penentangan mereka abadikan dalam surat al‑Masad:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar‑benar binasalah dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”
(QS. al-Masad [111]: 1–5)

Yang kedua adalah Abu Thalib. Ia tidak masuk Islam, tetap berada di atas agama nenek moyangnya. Namun ia sangat mencintai Nabi secara tabiat. Baginya, Muhammad adalah keponakan paling mulia, paling jujur, dan paling lembut. Ia menyayangi, melindungi, dan membela beliau, meski berbeda keyakinan.

Secara hikmah, para ulama menjelaskan: kalau Abu Thalib masuk Islam sejak awal, kemungkinan besar kedudukannya di mata para pemuka musyrik Quraisy akan jatuh; mereka tidak lagi segan kepadanya, sehingga mereka lebih berani melukai Nabi. Justru dengan tetapnya ia di atas agama kaumnya, namun cinta dan melindungi Nabi, Allah menjadikan dirinya sebagai “tameng duniawi” bagi Rasul-Nya.

Abu Lahab Menghalangi Dakwah di Pasar Dzu al-Majaz

Suatu ketika, sebelum hijrah, seorang lelaki dari Bani ad‑Dīl bernama Rabi‘ah bin ‘Abbad – yang saat itu masih musyrik lalu kemudian masuk Islam – menceritakan pengalamannya.

Ia berkata kurang lebih:

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa Jahiliyah, di pasar Dzu al‑Majaz. Beliau berjalan di antara manusia dan berseru:

‘Wahai manusia, ucapkanlah: Lā ilāha illallāh, niscaya kalian akan beruntung.’

Orang‑orang berkumpul di sekeliling beliau. Di belakang beliau ada seorang laki-laki berwajah tampan, bermata agak juling, rambutnya dikepang dua. Dia berteriak:

‘Jangan dengarkan orang ini! Sesungguhnya dia telah keluar dari agama nenek moyangnya dan dia pendusta!’

Ia mengikuti Nabi kemanapun beliau pergi. Aku bertanya, ‘Siapa orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Itu pamannya, Abu Lahab.’”

Dalam riwayat lain, seorang sahabat lain bernama Rabi‘ah ad‑Dīli juga berkata bahwa ia melihat Nabi di pasar Dzu al‑Majaz, mendatangi manusia di kemah-kemah mereka sambil mengajak kepada Allah. Di belakang beliau ada laki‑laki juling dengan pipi kemerahan, berteriak:

“Wahai manusia, jangan sampai kalian tertipu oleh orang ini sehingga meninggalkan agama kalian dan agama bapak‑bapak kalian.”

Ketika ia bertanya, “Siapa itu?”, dijawab, “Itu Abu Lahab.”

Ada riwayat lain yang menyebut Abu Jahl melakukan hal serupa, menaburkan tanah ke arah beliau sambil berteriak agar orang tidak meninggalkan al‑Lāt dan al‑‘Uzzā. Ibnu Katsir menguatkan bahwa sosok yang paling sering melakukan ini adalah Abu Lahab, meski Abu Jahl pun termasuk di antara penentang utama.

Keluh Kesah Quraisy kepada Abu Thalib

Gangguan Quraisy semakin berat. Mereka merasa terusik dengan dakwah tauhid yang Nabi bawa. Suatu hari, beberapa pemuka Quraisy datang kepada Abu Thalib dan berkata:

“Sesungguhnya anak saudaramu ini telah mengganggu kami di majelis kami dan di masjid kami. Laranglah dia dari (mengganggu) kami.”

Abu Thalib memanggil keponakannya. ‘Aqil bin Abi Thalib menceritakan bahwa ia diminta menjemput Nabi dari sebuah rumah kecil. Hari itu sangat panas. Nabi datang menemui mereka.

Abu Thalib berkata:

“Wahai anak saudaraku, sesungguhnya anak-anak pamanmu ini mengaku bahwa engkau telah mengganggu mereka di majelis dan masjid mereka. Maka hentikanlah dari mereka apa yang mereka benci.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menjawab. Beliau mengangkat pandangan ke langit, lalu bersabda:

“Apakah kalian melihat matahari ini?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Beliau berkata:

“Demi Allah, aku tidak lebih mampu meninggalkan apa yang aku serukan ini daripada kemampuan kalian menyalakan seberkas nyala api dari matahari itu.”

Abu Thalib pun berkata penuh keyakinan:

“Demi Allah, anak saudaraku ini tidak pernah berdusta sedikit pun. Pergilah kalian.”

Ini adalah bentuk pembelaannya yang pertama.

Dalam peristiwa lain, ketika tekanan Quraisy semakin keras, mereka kembali menemui Abu Thalib. Mereka mengancam: bila Abu Thalib tidak menghentikan Nabi, mereka akan bertindak lebih keras. Abu Thalib memanggil Nabi lagi dan mengatakan:

“Wahai anak saudaraku, kaummu telah datang kepadaku dan berkata begini dan begitu. Maka kasihanilah diriku dan dirimu. Jangan engkau bebankan kepadaku urusan yang tak mampu kupikul, aku dan engkau.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengira bahwa pamannya mulai goyah dan siap meninggalkannya. Beliau pun mengucapkan kalimat yang sangat terkenal:

“Wahai Paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”

Beliau kemudian meneteskan air mata dan bangkit pergi. Saat Abu Thalib melihat betapa berat urusan ini di hati keponakannya, ia memanggil lagi:

“Wahai anak saudaraku, kembalilah.”

Ketika Nabi kembali menghadap, Abu Thalib berkata:

“Laksanakanlah urusanmu dan lakukanlah apa yang engkau sukai. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapa pun selamanya.”

Lalu ia menggubah beberapa bait syair yang masyhur, antara lain:

واللهِ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ بِجَمْعِهِمْ حَتَّى أُوَسَّدَ فِي التُّرَابِ دَفِينَا

“Demi Allah, mereka takkan sampai kepadamu dengan seluruh kumpulan mereka,
hingga aku sendiri dibaringkan dalam tanah sebagai mayat.”

فَامْضِ لِأَمْرِكَ مَا عَلَيْكَ غَضَاضَةٌ أَبْشِرْ وَقَرَّ بِذَاكَ مِنْكَ عُيُونَا

“Maka teruskanlah urusanmu; engkau tidak tercela karenanya sedikit pun.
Bergembiralah, dan tenangkanlah matamu (hatimu) dengan (janji) itu.”

وَعَرَضْتَ دِينًا قَدْ عَرَفْتُ بِأَنَّهُ مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِينَا

“Engkau telah menawarkan suatu agama yang aku tahu
bahwa itu adalah sebaik‑baik agama di antara semua agama makhluk.”

لَوْلَا الْمَلَامَةُ أَوْ حَذَارِيَ سُبَّةً لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِينَا

“Kalau bukan karena celaan atau takut hinaan,
niscaya engkau dapati aku menerimanya dengan lapang dan terang‑terangan.”

Syair ini menunjukkan bahwa Abu Thalib sebenarnya mengakui kebenaran Islam, namun lebih memilih keselamatan kedudukan dan adat kaumnya. Namun meski tidak beriman, ia tetap menjadi pelindung duniawi yang sangat besar bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ancaman Abu Jahl dan Perlindungan Malaikat

Musuh besar lainnya adalah Abu Jahl bin Hisyām. Ia sering memprovokasi Quraisy dan bersumpah akan melukai Nabi.

Dalam satu kisah, setelah sebuah perdebatan panjang antara Nabi dan para pemuka Quraisy, Abu Jahl berkata di hadapan kaumnya:

“Wahai kaum Quraisy, Muhammad tidak mau kecuali terus mencela agama kita, mencaci maki bapak‑bapak kita, merendahkan akal kita, dan mencela sesembahan kita. Aku bersumpah kepada Allah, esok hari aku akan duduk mengintainya dengan membawa batu. Jika ia sujud dalam shalatnya, aku akan menghantamkan batu itu ke kepalanya. Setelah itu, biarlah Bani ‘Abd Manāf berbuat terhadapku sesuka mereka.”

Pagi harinya, Abu Jahl mengambil batu dan menunggu Nabi di sekitar Ka‘bah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan shalat seperti biasa. Beliau sujud di antara dua rukun, menjadikan Ka‘bah sebagai penghalang antara beliau dan arah Syam.

Ketika Nabi sujud, Abu Jahl bangkit membawa batu, mendekat untuk menghantam. Namun tiba‑tiba ia berbalik lari dengan wajah pucat ketakutan, kedua tangannya gemetar hingga batu terjatuh. Orang‑orang Quraisy bertanya, “Ada apa denganmu, wahai Abu al‑Hakam?”

Ia berkata:

“Saat aku mendekatinya, tiba‑tiba muncul di hadapanku seekor unta jantan yang sangat besar. Demi Allah, aku belum pernah melihat kepala, leher, dan taring unta jantan seperti itu. Ia hendak menerkamku.”

Dalam riwayat lain, Nabi menjelaskan:

“Itu adalah Jibril. Seandainya ia (Abu Jahl) mendekat, niscaya Jibril akan menangkapnya.”

Pada kesempatan lain, Abu Jahl bersumpah:

“Jika aku melihat Muhammad sujud dekat Ka‘bah, sungguh aku akan menginjak lehernya.”

Ucapan ini sampai kepada Nabi. Beliau bersabda:

“Seandainya dia melakukannya, pasti para malaikat akan menangkapnya di hadapan mata (manusia).”

Dalam satu riwayat yang panjang, al‑‘Abbas – paman Nabi – mendengar sumpah Abu Jahl. Ia segera pergi menemui Nabi dan mengabarkan ancaman itu. Nabi lalu pergi ke masjid dalam keadaan marah, memanjat tembok masjid dan masuk, kemudian membaca permulaan surat al‑‘Alaq di hadapan mereka:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
(QS. al-‘Alaq [96]: 1–2)

Saat membaca surat itu, beliau sampai pada bagian yang menyindir Abu Jahl dan orang-orang sepertinya:

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى
“Sekali‑kali tidak! Sesungguhnya manusia benar‑benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya dan kuat).”
(QS. al-‘Alaq [96]: 6–7)

Ketika ada orang berkata kepada Abu Jahl, “Wahai Abu al‑Hakam, itu Muhammad,” ia berkata:

“Tidakkah kalian melihat apa yang aku lihat? Demi Allah, ufuk langit telah tertutup bagiku.”

Dalam riwayat lain, ketika ia hendak menginjak leher Nabi di saat sujud, tiba‑tiba ia mundur ketakutan sambil menutupi wajah dengan tangannya. Ia berkata:

“Di antara aku dan dia ada parit dari api, dan sesuatu yang menakutkan, serta sayap-sayap (malaikat).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seandainya ia mendekat kepadaku, niscaya para malaikat akan mencabik-cabiknya anggota demi anggota.”

Terkait ancaman Abu Jahl ini, turun pula lanjutan surat al‑‘Alaq:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى عَبْدًا إِذَا صَلَّى أَرَأَيْتَ إِن كَانَ عَلَى الْهُدَى
أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى أَرَأَيْتَ إِن كَذَّبَ وَتَوَلَّى أَلَمْ يَعْلَم بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
كَلَّا لَئِن لَّمْ يَنتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran, atau menyuruh bertakwa? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Sekali‑kali tidak! Sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya. Kelak Kami akan memanggil malaikat penjaga neraka. Sekali-kali janganlah kamu patuhi dia; dan sujudlah serta dekatkanlah dirimu (kepada Allah).”
(QS. al-‘Alaq [96]: 9–19)

Ayat “Maka biarlah dia memanggil golongannya; kelak Kami akan memanggil malaikat penjaga neraka” benar‑benar terwujud. Seandainya Abu Jahl berani memanggil kelompoknya dan menyerang Nabi, para malaikat penjaga azab akan menangkapnya di depan mata manusia.

Penghinaan di Dekat Ka‘bah dan Doa Keburukan atas Para Pemuka Quraisy

Gangguan bukan hanya ancaman, tetapi juga penghinaan fisik. ‘Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan kisah yang sangat menyedihkan sekaligus menggetarkan.

Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di dekat Ka‘bah. Di tidak jauh dari situ ada isi perut dan kotoran unta betina (sallā jazūr) yang baru saja disembelih. Beberapa pemuka Quraisy duduk mengawasi beliau.

Mereka berbisik-bisik:

“Siapa yang mau mengambil kotoran itu dan meletakkannya di punggung Muhammad ketika ia sujud?”

‘Uqbah bin Abi Mu‘ith, salah seorang dari mereka, berkata, “Aku yang akan melakukannya.”

Ketika Nabi sujud, ‘Uqbah membawa isi perut dan kotoran unta itu lalu meletakkannya di punggung beliau. Kotoran itu berat dan menjijikkan. Nabi tetap sujud, tidak bangkit, hingga putri beliau, Fāthimah – yang saat itu masih muda – datang, menangis, lalu membersihkan punggung ayahnya.

Setelah selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, mengangkat tangan, dan berdoa:

“Ya Allah, timpakanlah (azab)-Mu atas para pemuka Quraisy ini.
Ya Allah, timpakanlah atas ‘Utbah bin Rabi‘ah.
Ya Allah, timpakanlah atas Syaibah bin Rabi‘ah.
Ya Allah, timpakanlah atas Abu Jahl bin Hisyām.
Ya Allah, timpakanlah atas ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith.
Ya Allah, timpakanlah atas Umayyah bin Khalaf…”

Para perawi menyebut sekitar enam atau tujuh nama. Dalam beberapa riwayat lain, disebut pula ‘Umārah bin al‑Walid sebagai salah satu dari mereka.

Awalnya, ketika mereka melihat Nabi sujud lama dan kotoran di punggungnya, mereka tertawa terbahak-bahak hingga saling rebah satu sama lain. Namun ketika mereka melihat beliau bangkit, mengangkat tangan dan menyebut nama-nama mereka satu per satu dalam doa keburukan, tawa mereka tiba-tiba berhenti. Wajah-wajah mereka berubah; mereka takut doa Nabi akan dikabulkan.

Beberapa tahun kemudian, pada perang Badar, ‘Abdullah bin Mas‘ud berkata:

“Sungguh aku telah melihat orang-orang yang Nabi sebut namanya itu terbunuh pada hari Badar, lalu mereka diseret dan dilemparkan ke dalam sumur (qalīb) di Badar.”

Demikianlah, doa Nabi tidak pernah sia-sia. Azab dunia mendahului mereka, dan azab akhirat lebih dahsyat lagi.

Adapun Umayyah bin Khalaf – yang tubuhnya sangat besar – dikabarkan tubuhnya terpotong-potong di medan perang, sehingga tak bisa diseret seperti yang lain. Saudaranya, Ubay bin Khalaf, terbunuh kemudian pada perang Uhud, dengan cara yang juga sangat menghinakan baginya.


Sumber Kisah

  • Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang