Perjalanan Salman al-Farisi Mencari Kebenaran Hakiki
Sejak kecil, Salman dididik untuk memeluk agama Majusi, agama penyembah api. Setiap hari Salman menjaga api besar agar tidak padam. Ia pun menjadi penjaga api yang paling rajin.
Ayahnya menjadi sangat takut. Ia pun mengurung Salman di rumah dengan rantai agar tidak pergi lagi. Meski dirantai, Salman masih bisa berpesan kepada orang-orang Nasrani: “Jika ada kafilah dari negeri Syam datang, kabarilah aku.” Beberapa waktu kemudian, kafilah datang. Salman segera melepaskan rantai dari kakinya dan ikut bersama mereka menuju Syam.
Salman kecewa. Namun, setelah uskup itu meninggal, orang-orang menemukan tujuh guci penuh emas dan perak di rumahnya. Mereka marah dan tidak mau menguburnya. Salman ikut menyaksikan semuanya.
Setelah itu, seorang pengganti uskup dipilih. Kali ini, ia benar-benar orang baik. Ia rajin beribadah siang malam, tidak cinta dunia, dan sangat zuhud. Salman sangat mencintainya.
Salman pun pergi ke Mosul. Ia belajar kepada lelaki saleh itu hingga ia pun wafat. Sebelum meninggal, lelaki itu berpesan: “Pergilah ke Nusaybin, di sana ada seorang yang setia pada jalan kami.”
Salman pun berangkat ke Nusaybin. Ia tinggal lama bersama orang itu, hingga akhirnya ia pun meninggal.
Sebelum wafat, guru itu berpesan: “Pergilah ke Ammuriyah, di negeri Romawi. Di sana ada seorang lelaki yang masih berada di jalan yang benar.”
Salman pun berangkat lagi, menempuh perjalanan panjang penuh lelah. Di Ammuriyah, ia bertemu dengan orang yang sangat baik. Ia pun tinggal lama di sana, bahkan bekerja hingga memiliki sapi dan kambing.
Ketika gurunya di Ammuriyah sakit keras, Salman kembali bertanya: “Kepada siapa aku harus pergi setelah engkau?”
Guru itu berkata: “Wahai anakku, aku tidak tahu ada orang lagi yang masih di jalan kami. Tetapi, sudah dekat masanya akan datang seorang nabi. Ia akan diutus di tanah Arab, membawa agama Nabi Ibrahim. Tempat hijrahnya adalah negeri dengan dua padang batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Tanda-tandanya jelas: ia tidak makan sedekah, tetapi menerima hadiah, dan di antara kedua bahunya ada tanda kenabian. Jika kau bisa, pergilah ke negeri itu!”
Salman mendengarkan dengan penuh harap. Hatanya bergetar, ia berdoa agar bisa bertemu nabi itu.
Beberapa waktu kemudian, Salman bertemu dengan kafilah pedagang Arab. Ia berkata: “Bawalah aku ke tanah Arab. Aku akan memberikan sapi dan kambingku kepada kalian.”
Meski hatinya sedih, Salman masih menyimpan harapan: “Mungkin di tanah inilah aku akan menemukan Nabi yang dijanjikan.”
Beberapa waktu kemudian, Salman dijual lagi kepada seorang Yahudi dari Bani Quraizhah. Tuannya yang baru ini tinggal di sebuah kota bernama Yatsrib (yang kelak dikenal dengan nama Madinah).
Ketika Salman memasuki Madinah untuk pertama kali, matanya berbinar. Ia melihat dua hamparan padang batu hitam yang luas, dan di antaranya tumbuh pohon-pohon kurma yang menjulang.
Air matanya hampir menetes. “Subhanallah! Inilah negeri yang diceritakan guruku. Tidak salah lagi, inilah tempat Nabi terakhir akan hijrah,” bisiknya penuh haru. Namun, Salman masih harus bersabar. Ia tetap menjadi budak yang harus bekerja keras setiap hari.
Suatu hari, Salman sedang memanjat pohon kurma milik tuannya. Angin sepoi-sepoi bertiup, dan Salman sedang asyik bekerja. Tiba-tiba datanglah sepupu tuannya sambil berteriak dari bawah:
“Wahai Fulan! Tahukah kau, orang-orang sedang berkumpul di Quba? Ada seorang lelaki datang dari Mekah yang mengaku sebagai Nabi!”
Begitu mendengar itu, tubuh Salman bergetar. Buah kurma hampir terlepas dari tangannya. Ia buru-buru turun dari pohon. Dengan wajah penuh semangat, ia bertanya:“Siapakah dia? Apa yang kau katakan barusan?” Tuannya yang marah menatap Salman: “Diam, kembali ke atas! Urus pekerjaanmu!” Hati Salman semakin yakin bahwa yang datang itu adalah Nabi yang selama ini ia cari.
Malam harinya, Salman diam-diam membawa sedikit makanan. Ia mendatangi Nabi Muhammad ﷺ yang baru saja tiba di Quba. Dengan penuh hormat, ia berkata: “Wahai lelaki saleh, aku mendengar engkau adalah orang yang mulia. Ini aku bawakan sedikit makanan, ini sedekah untukmu dan teman-temanmu.”
Rasulullah ﷺ mengambil makanan itu, lalu memberikannya kepada para sahabat. Tetapi beliau tidak menyentuhnya sedikit pun. Salman mengamati dengan saksama, dan hatinya berkata: “Benar! Salah satu tanda Nabi adalah ia tidak memakan sedekah.”
Keesokan harinya, Salman kembali datang dengan membawa makanan. Kali ini ia berkata:“Wahai Muhammad, aku membawakan makanan ini untukmu. Ini hadiah, bukan sedekah.” Rasulullah ﷺ pun tersenyum, lalu memakan makanan itu bersama para sahabat. Salman kembali bergetar:“Inilah tanda kedua! Beliau menerima hadiah.”
Beberapa hari kemudian, Salman memberanikan diri mendekat lebih dekat kepada Rasulullah ﷺ. Ia ingin melihat tanda terakhir: tanda kenabian di punggung beliau.
Saat Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat usai menguburkan salah seorang sahabat yang wafat, Salman perlahan berdiri di belakang beliau. Dengan hati-hati, ia mencoba mengintip punggung Nabi.
Rasulullah yang mulia mengetahui maksudnya. Beliau pun membuka kain dari pundaknya, hingga terlihatlah tanda kenabian: sebuah cap seperti bekas tumbuh daging kecil di antara kedua bahunya.
Begitu melihatnya, Salman tidak bisa menahan tangis. Ia langsung memeluk Nabi Muhammad ﷺ, lalu berkata dengan penuh haru: “Engkau adalah Nabi yang aku cari selama ini! Demi Allah, aku telah menempuh perjalanan jauh, dari negeri Persia hingga ke sini, hanya untuk bertemu denganmu!”
Rasulullah ﷺ tersenyum penuh kasih dan mengusap kepala Salman. Para sahabat pun terharu mendengar kisah perjalanan panjangnya.
Anda ingin melihat rute perjalanan sahabat Nabi yang mulia ini?
Sumber : Qissoh al Hayat

Komentar
Posting Komentar