Perang Fijar dan Perjanjian Al-Fudhul

 Awal Mula Pertikaian

Pada masa jahiliah, sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam, dua kabilah besar di Jazirah Arab — Kinānah dan Qais ‘Ailān — terlibat dalam peperangan yang kelak dikenal sebagai Perang Fijār.

Kata Fijār berarti pelanggaran, sebab perang ini terjadi di bulan-bulan suci, yaitu bulan-bulan yang secara adat Arab dilarang untuk berperang.
Pemimpin pasukan Quraisy dan sekutunya dari Kinānah kala itu adalah Harb bin Umayyah bin ‘Abd Syams.

Di awal pertempuran, Qais ‘Ailān sempat unggul. Namun, menjelang pertengahan hari, Kinānah dan sekutunya berhasil membalikkan keadaan.


Sebab Pecahnya Perang

Asal mula peperangan itu bermula dari sebuah peristiwa tragis.
An-Nu‘mān bin Al-Mundzir, Raja Hirah, mengirim kafilah dagang menuju pasar ‘Ukāzh. Ia ingin seseorang menjamin keamanan kafilahnya.

Di hadapannya duduk dua orang:

  • Al-Barrādh bin Qais Al-Kinānī, dan

  • ‘Urwah bin ‘Utbah Ar-Rahhāl.

Ketika An-Nu‘mān bertanya siapa yang sanggup menjamin kafilahnya, Al-Barrādh berkata,

“Aku menjaminnya atas nama Bani Kinānah!”

Namun ‘Urwah menolak keras dan merendahkan Al-Barrādh:

“Apakah orang sepertimu, yang dikenal sebagai pembuat kerusakan, pantas menjamin?
Aku akan menjaminnya atas nama seluruh penduduk Najd dan Tihamah!”

Ucapan itu membuat Al-Barrādh marah besar.
Saat ‘Urwah berangkat membawa barang dagangan, Al-Barrādh mengikutinya diam-diam, lalu membunuhnya secara khianat di daerah Taimin Dzi Zhilāl, padahal itu terjadi di bulan suci.
Peristiwa inilah yang menyalakan api peperangan dan disebut Fijār, karena melanggar kehormatan waktu yang suci.


Syair-Syair Tentang Peristiwa Itu

Setelah kejadian tersebut, Al-Barrādh menulis syair dengan nada bangga:

“Sebuah malapetaka yang orang-orang sangka aku takkan berani,
Namun dengannya aku robohkan rumah-rumah Bani Kilāb,
Di Dzi Zhilāl aku angkat tanganku kepadanya,
Hingga ia roboh seperti batang kurma yang tumbang.”

Sementara Lubaid bin Rabī‘ah, penyair dari Bani Kilāb, menulis syair duka mengenang ‘Urwah:

“Sampaikanlah pada Bani Kilāb dan Bani ‘Āmir,
Bahwa setiap musibah punya waktunya.
Katakan pada Bani Numair dan Bani Hilāl,
Bahwa sang utusan telah menetap di Taimin Dzi Zhilāl.”


Pecahnya Peperangan

Kabar pembunuhan itu segera sampai ke telinga Quraisy. Mereka marah besar karena darah telah tertumpah di bulan suci, di tengah pasar ‘Ukāzh.
Pasukan Quraisy pun berangkat untuk membalas. Namun, Hawāzin, sekutu Qais, mengejar dan menyusul mereka sebelum Quraisy memasuki tanah haram.

Pertempuran sengit pun terjadi hingga malam tiba, sebelum akhirnya Quraisy berlindung di wilayah Haram dan pertempuran dihentikan.
Beberapa hari kemudian, pertempuran kembali berlanjut di berbagai tempat.
Pemimpin tertinggi pihak Quraisy dan Kinānah adalah Harb bin Umayyah dan saudaranya Sufyān.
Bahkan mereka mengikat diri dengan tali agar tidak melarikan diri dari medan perang — tanda tekad yang kuat meski perang ini sangat melelahkan.


Kehadiran Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam

Dalam perang inilah Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, yang saat itu berusia sekitar empat belas tahun, turut hadir bersama paman-paman beliau.
Beliau tidak ikut berperang, tetapi membantu mengumpulkan anak panah untuk pamannya.

Beliau bersabda kemudian hari:

“Aku hadir di perang itu bersama pamanku. Aku melemparkan beberapa anak panah di sana,
dan aku tidak suka seandainya aku tidak melakukannya.”

Sebuah kenangan kecil yang mencerminkan keberanian, loyalitas, dan rasa tanggung jawab sejak usia muda.


Hari-Hari dalam Perang Fijar

Perang ini berlangsung dalam empat hari besar yang dikenal luas oleh bangsa Arab:

  1. Hari Syamthah

  2. Hari al-‘Ablā’ – keduanya di dekat pasar ‘Ukāzh.

  3. Hari asy-Syarib – hari paling sengit, di mana Nabi turut hadir.

  4. Hari al-Hurairah – terjadi di daerah Nakhlah.

Pada akhirnya, pasukan Qais mengalami kekalahan, kecuali Bani Nadhar yang masih bertahan.


Akhir Perang dan Perdamaian

Setahun kemudian, kedua pihak sepakat bertemu kembali di ‘Ukāzh.
Ketika pasukan sudah berkumpul, ‘Utbah bin Rabī‘ah berdiri dan menyeru:

“Wahai kabilah Mudhar! Untuk apa kalian terus saling membunuh?”

Ia mengajak mereka untuk berdamai, dengan tawaran:

“Kami akan membayar diyat (tebusan) atas korban kalian, menyerahkan sandera sebagai jaminan,
dan memaafkan darah yang telah tertumpah.”

Akhirnya, mereka menerima tawaran itu.
Sebagai tanda kepercayaan, Quraisy mengirim empat puluh orang sandera, di antaranya Hakim bin Hizām.
Ketika Bani ‘Āmir melihat ketulusan mereka, mereka pun memaafkan dan mengakhiri pertikaian.
Maka berakhirlah Perang Fijar dengan damai.


Pelajaran dari Perang Fijar

Perang ini meninggalkan pelajaran berharga:
tentang bahayanya fanatisme kesukuan,
tentang pentingnya menjaga kehormatan bulan-bulan suci,
dan bahwa perdamaian jauh lebih mulia daripada dendam.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menyaksikan semua itu — dan dari pengalaman itulah tumbuh benih kebijaksanaan dan kasih sayang dalam diri beliau.


🤝 Perjanjian Al-Fudhul: Janji Keadilan di Tengah Jahiliyah


Awal Terjadinya

Beberapa bulan setelah Perang Fijar, terjadi peristiwa yang jauh lebih mulia, yaitu Perjanjian Al-Fudhul.
Ini adalah kesepakatan luhur yang dibuat oleh beberapa kabilah Quraisy untuk menegakkan keadilan dan melindungi orang yang terzalimi.

Seorang laki-laki dari kabilah Zubaid (Yaman) datang ke Mekah untuk berdagang.
Barangnya dibeli oleh Al-‘Ash bin Wā’il As-Sahmī, tetapi ia menolak membayar.
Si pedagang meminta bantuan kepada beberapa suku besar sekutu Quraisy, namun tidak ada yang mau menolongnya.

Merasa putus asa, ia naik ke Jabal Abu Qubais saat pagi, lalu menyeru dengan lantang:

“Wahai keluarga Fihr! Tolonglah orang yang terzalimi barang dagangannya!
Ia jauh dari kampung halamannya, dan kehormatan hanya milik orang yang menegakkan kebenaran!”


Berkumpulnya Orang-Orang Mulia

Seruan itu menggugah hati Az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi.
Ia berkata,

“Orang ini tidak boleh dibiarkan!”

Maka berkumpullah Bani HasyimZuhrah, dan Bani Taim bin Murrah di rumah ‘Abdullah bin Jud‘ān.
Di sana mereka bersumpah di bulan Dzulqa‘dah, bulan suci, untuk berdiri bersama orang yang terzalimi melawan kezaliman,
hingga hak-hak dikembalikan kepada pemiliknya.


Hilful Fudhul: Perjanjian Para Luhur

Perjanjian ini dikenal dengan nama Hilful Fudhul, karena mereka masuk dalam urusan yang penuh keutamaan (fadhl).
Ada pula yang mengatakan, dinamakan demikian karena dihadiri oleh beberapa tokoh bernama Al-Fadhl.

Mereka kemudian mendatangi Al-‘Ash bin Wā’il, memaksanya mengembalikan barang milik orang Zubaid,
dan menegakkan keadilan di tengah kota Mekah.


Syair Az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib

“Sesungguhnya orang-orang luhur (Al-Fudhul) telah berjanji dan bersumpah,
Bahwa tak akan ada lagi seorang zalim tinggal di tengah Mekah.
Mereka telah bersatu dalam urusan yang agung,
Sehingga tetangga dan orang asing pun merasa aman di antara mereka.”


Kenangan yang Tak Terlupakan

Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallam juga menghadiri perjanjian mulia ini.
Bertahun-tahun kemudian, beliau mengenangnya dengan rasa bangga dan bersabda:

“Aku telah menyaksikan sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud‘ān.
Aku tidak suka menukarnya dengan unta merah sekalipun.
Seandainya aku diundang untuk hal yang serupa dalam Islam, niscaya aku akan memenuhinya.”


🌟 Penutup

Dua peristiwa besar ini — Perang Fijar dan Perjanjian Al-Fudhul — menjadi saksi perjalanan hidup Nabi sebelum kenabian.
Yang satu mengajarkan bahaya kezaliman dan fanatisme,
sedangkan yang lain menanamkan nilai luhur tentang keadilan dan kemanusiaan.

Keduanya menjadi pondasi akhlak beliau sebagai Rasul pembawa rahmat bagi seluruh alam.


📚 Sumber:

  • «السيرة النبوية في ضوء القرآن والسنة»

  • «البداية والنهاية» 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang