Pengakuan Tersembunyi Pembesar Quraisy terhadap Kebenaran Al‑Qur’an dan Dakwah Nabi

 

Ilustrasi digital sinematik malam hari di Masjidil Haram masa jahiliyah, menampilkan Utbah bin Rabi’ah duduk bersila dengan jubah dan sorban Arab klasik, berwajah takjub dan bimbang, berhadapan dengan sosok berjubah sederhana yang terlihat dari belakang tanpa wajah, seolah membacakan Al-Qur’an, dengan latar Ka’bah yang samar dan cahaya obor keemasan

Mereka Tahu Kebenaran, Tetapi Menentang

Di masa awal dakwah di Makkah, orang‑orang Quraisy sebenarnya tidak buta terhadap kebenaran. Banyak di antara para pemuka mereka yang mengerti betul keelokan bahasa Al‑Qur’an dan kuatnya hujjah (argumen) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, rasa iri, sombong, dan takut kehilangan kedudukan membuat mereka menolak secara terang‑terangan, meskipun di dalam hati mereka mengakui.

Kisah‑kisah berikut menggambarkan bagaimana para pembesar Quraisy berdebat, bermusyawarah, bahkan diam‑diam mendengarkan bacaan Al‑Qur’an. Mereka tahu itu bukan sihir, bukan syair, dan bukan kegilaan. Tapi mereka memilih untuk melawan.


Al‑Walid bin Al‑Mughirah: Mengakui Keindahan Al‑Qur’an, Lalu Menuduh Sihir

Suatu hari, Al‑Walid bin Al‑Mughirah, salah satu pembesar Quraisy yang terpandang dan kaya raya, datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi membacakan Al‑Qur’an kepadanya. Hati Al‑Walid tampak luluh; ia terpengaruh oleh bacaan itu dan merasakan keagungan kata‑katanya.

Kabar itu sampai kepada Abu Jahl. Ia khawatir pengaruh Al‑Qur’an akan merusak barisan mereka. Ia pun segera mendatangi Al‑Walid dan berkata:

“Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.”

Al‑Walid heran dan bertanya, “Untuk apa?”

Abu Jahl menjawab, “Agar mereka berikan kepadamu. Sebab mereka mendengar bahwa engkau telah mendatangi Muhammad, seakan‑akan engkau pergi kepada apa yang ada di sisinya (yaitu agamanya).”

Al‑Walid berkata, “Quraisy tahu bahwa aku adalah orang yang paling banyak hartanya di antara mereka.”

Abu Jahl tidak menyerah. Ia berkata, “Kalau begitu, ucapkanlah tentang Muhammad suatu ucapan yang membuat kaummu tahu bahwa engkau menentangnya.”

Al‑Walid bingung. Ia berkata jujur:

“Lalu apa yang harus aku katakan? Demi Allah, tidak ada di antara kalian yang lebih tahu tentang syair selain aku; aku paling tahu tentang rajaz, qashidah, dan syair‑syair jin. Demi Allah, ucapan yang ia (Muhammad) sampaikan itu tidak mirip sedikit pun dengan semua itu. Demi Allah, pada ucapannya ada sebuah kemanisan. Di atasnya ada keelokan. Bagian atasnya berbuah, dan bagian bawahnya mengalirkan (kebaikan). Sungguh ia akan unggul dan tidak akan pernah dikalahkan; dan sungguh ia menghancurkan apa saja yang berada di bawahnya.”

Namun Abu Jahl terus menekan, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu tentangnya.”

Akhirnya Al‑Walid berkata, “Kalau begitu, biarkan aku berfikir.”

Setelah berpikir, bukan karena mencari kebenaran, tetapi mencari cara untuk menolak kebenaran, ia berkata, “Ini hanyalah sihir yang dipelajari; ia mengambilnya dari orang lain.”

Pada saat itulah Allah menurunkan ayat tentang dirinya:

ذَرۡنِی وَمَنۡ خَلَقۡتُ وَحِیدࣰا
وَجَعَلۡتُ لَهُۥ مَالࣰا مَّمۡدُودࣰا
وَبَنِینَ شُهُودࣰا

“Biarkanlah Aku (saja) yang akan mengurus orang yang Aku ciptakan sendirian.
Dan Aku jadikan baginya harta yang banyak.
Dan anak‑anak yang selalu bersama dia.”

(QS. Al‑Muddatsir [74]: 11–13)

Dalam riwayat lain disebutkan: ketika Nabi membacakan ayat berikut kepadanya, hatinya sangat terpengaruh:

إِنَّ ٱللَّهَ یَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِیتَآىِٔ ذِی ٱلۡقُرۡبَىٰ وَیَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡیِ یَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An‑Nahl [16]: 90)

Namun pengaruh kebenaran itu ia kalahkan sendiri dengan kesombongan.


Musyawarah Besar Quraisy: Mencari Julukan untuk Nabi

Menjelang musim haji, para pembesar Quraisy berkumpul. Para tamu Arab dari berbagai kabilah akan datang ke Makkah, dan mereka telah mendengar tentang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Quraisy takut, para tamu itu akan tertarik dan beriman kepadanya.

Di antara yang hadir adalah Al‑Walid bin Al‑Mughirah, yang paling tua di antara mereka. Ia berkata kepada kaumnya:

“Para delegasi Arab akan datang kepada kalian. Mereka sudah mendengar tentang sahabat kalian ini (Muhammad). Maka sepakatlah pada satu pendapat tentang dia dan jangan berselisih, sehingga sebagian kalian mendustakan sebagian yang lain.”

Mereka berkata, “Wahai Abu ‘Abd Syams (julukan Al‑Walid), berikanlah pendapat untuk kami.”

Ia menjawab, “Tidak, justru kalian dulu yang berbicara, aku akan mendengar.”

Mereka mengusulkan satu per satu.

Sebagian berkata, “Kita katakan: dia dukun.”

Al‑Walid menolak, “Bukan. Aku telah melihat para dukun, dan ucapannya bukan seperti gumaman mereka.”

Sebagian lagi berkata, “Kalau begitu, kita katakan: dia gila.”

Al‑Walid menjawab, “Bukan orang gila. Kita telah melihat dan mengetahui orang‑orang gila, tidak ada dengusan, kejang, ataupun bisikan‑bisikan seperti itu pada dirinya.”

Mereka mengusulkan lagi, “Kalau begitu, kita katakan: dia penyair.”

Al‑Walid kembali membantah, “Dia bukan penyair. Kita sudah tahu berbagai jenis syair: rajaz, hazaj, qashidah, panjang dan pendeknya. Ucapannya bukan syair.”

Mereka berkata, “Kalau begitu, kita katakan: dia tukang sihir.”

Al‑Walid pun berkata, “Dia bukan tukang sihir. Kita sudah melihat para tukang sihir dan sihir mereka; bukan tiupan dan bukan ikatan (mantra) seperti mereka.”

Akhirnya, setelah semua tuduhan dia bantah sendiri, Al‑Walid berkata:

“Demi Allah, pada ucapannya benar‑benar ada kemanisan. Pangkalnya melimpah, cabangnya penuh buah. Apa pun yang kalian katakan untuk menentangnya, akan jelas bahwa itu batil. Ucapan yang paling mendekati (bagi kalian) hanyalah: kalian katakan dia tukang sihir. Katakan: ‘Ia tukang sihir yang memisahkan antara seseorang dengan ayahnya, istrinya, saudaranya, dan kerabatnya.’”

Mereka pun menerima strategi ini. Sejak itu, menjelang dan di musim haji, mereka duduk di jalan‑jalan, memperingatkan setiap orang yang datang agar tidak mendengarkan Muhammad, dan menuduhnya tukang sihir.

Tentang Al‑Walid, Allah kembali menegaskan:

ذَرۡنِی وَمَنۡ خَلَقۡتُ وَحِیدࣰا
وَجَعَلۡتُ لَهُۥ مَالࣰا مَّمۡدُودࣰا
وَبَنِینَ شُهُودࣰا

“Biarkanlah Aku (saja) yang akan mengurus orang yang Aku ciptakan sendirian.
Dan Aku jadikan baginya harta yang banyak.
Dan anak‑anak yang selalu bersama dia.”

(QS. Al‑Muddatsir [74]: 11–13)

Dan tentang rombongan yang memecah‑belah sikap terhadap Al‑Qur’an, Allah berfirman:

ٱلَّذِینَ جَعَلُوا۟ ٱلۡقُرۡءَانَ عِضِینَ
فَوَرَبِّكَ لَنَسۡـَٔلَنَّهُمۡ أَجۡمَعِینَ
عَمَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

“(Yaitu) orang‑orang yang menjadikan Al‑Qur’an itu terbagi‑bagi (sebagian mereka beriman, sebagian mengingkarinya).
Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua
tentang apa yang telah mereka kerjakan itu.”

(QS. Al‑Hijr [15]: 91–93)

Ibn Katsir menjelaskan: mereka benar‑benar bingung. Mereka pernah berkata:

بَلۡ قَالُوٓا۟ أَضۡغَـٰثُ أَحۡلَـٰمِۢ بَلِ ٱفۡتَرَىٰهُ بَلۡ هُوَ شَاعِرࣱۖ فَلۡیَأۡتِنَا بِـَٔایَةࣲ كَمَآ أُرۡسِلَ ٱلۡأَوَّلُونَ

“Bahkan mereka berkata, ‘(Al‑Qur’an itu) hanyalah mimpi‑mimpi yang bercampur aduk, bahkan dia mengada‑adakannya, bahkan dia adalah seorang penyair.’
Hendaklah dia mendatangkan kepada kami suatu tanda (mukjizat), sebagaimana rasul‑rasul yang telah diutus dahulu.”

(QS. Al‑Anbiyā’ [21]: 5)

Karena mereka telah berpaling dari kebenaran, apa pun yang mereka ucapkan menjadi keliru. Allah berfirman:

ٱنظُرۡ كَیۡفَ ضَرَبُوا۟ لَكَ ٱلۡأَمۡثَالَ فَضَلُّوا۟ فَلَا یَسۡتَطِیعُونَ سَبِیلࣰا

“Perhatikanlah bagaimana mereka membuat perumpamaan‑perumpamaan tentangmu, lalu mereka sesat, sehingga mereka tidak dapat menemukan jalan (yang benar).”
(QS. Al‑Furqān [25]: 9)


Utbah bin Rabi’ah: Dari Menantang Menjadi Terdiam

Kaum Quraisy semakin gelisah. Mereka melihat dakwah Nabi semakin kuat, jumlah pengikutnya bertambah, terlebih setelah Hamzah radhiyallahu ‘anhu masuk Islam. Mereka mengatur langkah baru. Suatu hari mereka berkumpul dan berkata:

“Carilah di antara kita orang yang paling tahu tentang sihir, perdukunan, dan syair. Biarlah ia mendatangi Muhammad untuk berbicara dan mematahkan hujjahnya.”

Mereka sepakat memilih Utbah bin Rabi’ah, seorang pembesar yang terkenal pandai bicara. Mereka berkata, “Engkaulah wahai Abu Al‑Walid.”

Utbah pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam satu riwayat, ia berkata dengan nada merendahkan:

“Wahai Muhammad, engkau lebih baik atau Abdullah (ayahmu)? Engkau lebih baik atau ‘Abdul Muththalib?”

Nabi tidak menjawab pertanyaan semacam itu. Utbah lalu mencela: engkau telah memecah belah kami, mencela agama kami, dan membuat kami malu di hadapan bangsa Arab.

Dalam riwayat yang lebih rinci, Utbah datang dengan bahasa yang tampak lembut:

“Wahai anak saudaraku, engkau tahu kedudukanmu di tengah kami, dalam hal nasab dan kabilah. Namun engkau datang kepada kaummu dengan perkara besar: engkau pecah belah persatuan mereka, engkau cela tuhan‑tuhan mereka, dan engkau katakan orang‑orang terdahulu mereka sesat.

Sekarang, dengarkanlah dariku. Aku akan tawarkan beberapa hal, mungkin engkau mau menerima sebagian.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Silakan, wahai Abu Al‑Walid, aku mendengarkan.”

Utbah berkata kurang lebih:

“Jika engkau menginginkan harta, kami akan mengumpulkan untukmu hingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kehormatan, kami akan menjadikanmu pemimpin kami; kami tak akan memutuskan sesuatu tanpa persetujuanmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, kami akan menjadikan engkau raja kami. Jika yang datang kepadamu ini adalah gangguan makhluk gaib yang tidak bisa kau tolak, kami akan carikan pengobatannya dan kami tanggung biayanya sampai engkau sembuh.”

Ia terus bicara sampai selesai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam mendengarkan. Ketika Utbah berhenti, beliau bertanya dengan tenang:

“Apakah engkau sudah selesai, wahai Abu Al‑Walid?”

Utbah menjawab, “Ya.”

Nabi pun berkata, “Kalau begitu, dengarkanlah dariku.” Utbah menjawab, “Baik.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membaca:

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
حم
تَنزِیلࣱ مِّنَ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ
كِتَـٰبࣱ فُصِّلَتۡ ءَایَـٰتُهُۥ قُرۡءَانًا عَرَبِیࣰّا لِّقَوۡمࣲ یَعۡلَمُونَ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Haa Miim.
Kitab yang ayat‑ayatnya dijelaskan satu per satu; (yaitu) bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui,
diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

(QS. Fussilat [41]: 1–3)

Beliau terus membaca ayat demi ayat. Utbah yang awalnya datang sebagai penantang, tiba‑tiba tertegun. Ia meletakkan kedua tangannya ke belakang tubuhnya, bersandar, dan sepenuhnya fokus mendengarkan.

Lalu Nabi sampai kepada ayat ancaman:

فَإِنۡ أَعۡرَضُوا۟ فَقُلۡ أَنذَرۡتُكُمۡ صَـٰعِقَةࣰ مِّثۡلَ صَـٰعِقَةِ عَادࣲ وَثَمُودَ

“Jika mereka berpaling, maka katakanlah, ‘Aku telah memperingatkan kalian akan datangnya petir (azab) seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud.’”
(QS. Fussilat [41]: 13)

Mendengar ancaman itu, Utbah spontan menutup mulut Nabi dengan tangannya, memohon agar beliau berhenti demi hubungan keluarga. Ia sangat takut ancaman itu benar‑benar menimpa kaumnya.

Setelah Nabi selesai, beliau berkata, “Engkau sudah mendengar, wahai Abu Al‑Walid. Sekarang terserah engkau.”

Utbah kembali kepada kaumnya. Mereka melihat raut wajahnya berbeda dari ketika ia berangkat. Mereka segera bertanya, “Apa yang terjadi?”

Utbah menjawab, “Demi Allah, aku telah mendengar ucapan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Demi Allah, itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan perdukunan. Wahai kaum Quraisy, taatilah aku dalam urusan ini dan biarkanlah laki‑laki ini dengan apa yang ia bawa. Jika orang‑orang Arab mengalahkannya, berarti kalian telah selamat darinya melalui tangan selain kalian. Jika ia menang atas orang‑orang Arab, maka kerajaannya adalah kerajaan kalian, kemuliaannya adalah kemuliaan kalian, dan kalian akan menjadi orang yang paling beruntung dengannya.”

Namun, mereka justru menuduh, “Demi Allah, ia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu Al‑Walid.”

Utbah hanya menjawab, “Inilah pendapatku. Lakukanlah apa yang kalian mau.”

Dalam satu riwayat lain, Utbah berkata kepada kaumnya:

“Wahai kaumku, taatilah aku hari ini, dan setelahnya kalian bebas tidak mentaatiku. Demi Allah, aku telah mendengar dari laki‑laki ini suatu perkataan yang kedua telingaku belum pernah mendengar yang semisalnya, dan aku tidak tahu apa yang harus aku jawab kepadanya.”

Namun nasihat itu diabaikan.


Tiga Tokoh Quraisy Menguping Bacaan Malam Nabi

Meskipun terang‑terangan menentang, di malam hari hati sebagian pemuka Quraisy tertarik untuk mendengarkan Al‑Qur’an. Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, tiga tokoh besar Quraisy keluar diam‑diam: Abu Jahl, Abu Sufyan, dan Al‑Akhnas bin Syuraiq. Mereka ingin mendengar bacaan Nabi yang sedang shalat malam di rumahnya.

Masing‑masing mencari tempat bersembunyi di sekitar rumah Nabi, dengan jarak yang cukup dekat untuk mendengar bacaan, namun mereka tidak saling mengetahui posisi satu sama lain. Mereka bermalam di situ, hanyut mendengar bacaan Al‑Qur’an sampai fajar menyingsing.

Ketika pagi tiba, mereka kembali pulang. Di jalan, tanpa sengaja mereka saling bertemu. Mereka saling menegur, “Apa yang kamu lakukan di sana? Bagaimana kalau orang‑orang bodoh dari kaummu melihatmu? Mereka akan mengira engkau cenderung kepada Muhammad!” Mereka pun saling berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu.

Namun keesokan malamnya, masing‑masing kembali mengulangi hal sama, seolah janji malam sebelumnya terlupakan. Lagi‑lagi mereka menguping bacaan Nabi sampai fajar, dan lagi‑lagi mereka bertemu di jalan pulang. Sekali lagi mereka saling mencela dan berjanji tidak akan kembali.

Tapi pada malam ketiga, hal yang sama terulang. Mereka tetap kembali ke tempat menguping masing‑masing. Setelah fajar, ketika bertemu di jalan, barulah mereka bersumpah dengan sungguh‑sungguh untuk tidak lagi mengulanginya.

Pada pagi harinya, Al‑Akhnas bin Syuraiq datang ke rumah Abu Sufyan. Ia bertanya terbuka, “Wahai Abu Hanzhalah, apa pendapatmu tentang apa yang engkau dengar dari Muhammad?”

Abu Sufyan berkata jujur, “Wahai Abu Tsalabah, demi Allah, aku telah mendengar beberapa hal yang aku mengenalnya dan aku tahu apa yang dimaksud dengannya.” (Yakni, ia menyadari bahwa apa yang ia dengar adalah kebenaran.)

Al‑Akhnas berkata, “Demi Allah, demikian pula aku.”

Setelah itu, Al‑Akhnas pergi kepada Abu Jahl. Ia bertanya, “Wahai Abu Al‑Hakam, apa pendapatmu tentang apa yang engkau dengar dari Muhammad?”

Jawaban Abu Jahl membuka hakikat sebenarnya:

“Kami dan Bani ‘Abd Manaf telah lama bersaing dalam kemuliaan. Mereka memberi makan (tamu), kami pun memberi makan. Mereka memikul beban (bantuan), kami pun memikul. Mereka memberi, kami pun memberi. Hingga ketika kami dan mereka seperti dua kuda yang bersaing sejajar, tiba‑tiba mereka berkata, ‘Di antara kami ada seorang nabi yang didatangi wahyu dari langit.’ Maka kapan kami bisa menyamai itu? Demi Allah, kami tidak akan pernah beriman dan tidak akan membenarkannya.”

Saat itu jelaslah bahwa penghalang utamanya adalah kesombongan dan persaingan suku, bukan karena tidak mengenali kebenaran.


Ketika Abu Jahl Sendiri Mengaku: “Aku Tahu Itu Benar, Tapi…”

Dalam kisah lain, Al‑Mughirah bin Syu’bah menceritakan hari pertama ia benar‑benar mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ia berkata, “Aku berjalan bersama Abu Jahl di salah satu gang Makkah. Tiba‑tiba kami berpapasan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi berkata kepada Abu Jahl:

‘Wahai Abu Al‑Hakam, datanglah kepada Allah dan Rasul‑Nya. Aku mengajakmu kepada Allah.’

Abu Jahl menjawab sinis, ‘Wahai Muhammad, maukah engkau berhenti dari mencela tuhan‑tuhan kami? Apakah engkau ingin selain kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah)? Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikannya. Demi Allah, seandainya aku tahu bahwa apa yang engkau katakan itu benar, niscaya aku akan mengikutimu.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi. Setelah itu, dalam riwayat, Abu Jahl mengakui di hadapan orang lain (dengan penuh kesombongan):

“Demi Allah, aku tahu bahwa apa yang ia (Muhammad) katakan adalah benar. Tetapi ada sesuatu yang menahanku. Dahulu Bani Qushay berkata, ‘Pada kami penjagaan Ka’bah.’ Kami berkata, ‘Benar.’ Lalu mereka berkata, ‘Pada kami tugas memberi minum (jamaah haji).’ Kami berkata, ‘Benar.’ Lalu mereka berkata, ‘Pada kami tempat musyawarah (An‑Nadwah).’ Kami berkata, ‘Benar.’ Lalu mereka berkata, ‘Pada kami panji perang.’ Kami berkata, ‘Benar.’

Mereka memberi makan, kami pun memberi makan, hingga ketika kedudukan kami sudah setara, tiba‑tiba mereka berkata, ‘Di antara kami ada nabi.’ Demi Allah, aku tidak akan (menerimanya).”

Dengan kata lain, Abu Jahl tahu kebenaran, tetapi gengsi kesukuan membuatnya menutup pintu hidayah.


Ejekan Terhadap Nabi dan Ancaman untuk Abu Jahl

Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di dekat Abu Jahl dan Abu Sufyan yang sedang duduk bersama. Abu Jahl mengejek dengan berkata kepada Bani ‘Abd Syams, “Inilah nabi kalian.”

Abu Sufyan menjawab dengan nada meremehkan, “Apakah engkau heran bila seorang nabi muncul dari kalangan kami? Bahkan seorang nabi bisa saja muncul dari kaum yang lebih rendah dan lebih hina dari kami.”

Abu Jahl menambahkan, “Sungguh mengherankan, seorang pemuda keluar dari tengah para tetua sebagai seorang nabi.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ucapan mereka. Beliau pun mendatangi keduanya dan bersabda:

“Adapun engkau wahai Abu Sufyan, engkau tidak marah karena Allah dan Rasul‑Nya, tapi engkau hanya membela kehormatan asal usulmu. Adapun engkau wahai Abu Al‑Hakam (Abu Jahl), demi Allah, engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Abu Jahl menjawab, “Buruk sekali apa yang engkau janjikan kepadaku dari kenabianmu, wahai anak saudaraku.”

Perkataan dan sikap seperti inilah yang Allah abadikan dalam firman‑Nya:

وَإِذَا رَءَوۡكَ إِن یَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًاۚ أَهَـٰذَا ٱلَّذِی بَعَثَ ٱللَّهُ رَسُولًا
إِن كَادَ لَیُضِلُّنَا عَنۡ ءَالِهَتِنَا لَوۡلَآ أَن صَبَرۡنَا عَلَیۡهَاۚ وَسَوۡفَ یَعۡلَمُونَ حِینَ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ مَنۡ أَضَلُّ سَبِیلًا

“Dan apabila mereka melihatmu (wahai Muhammad), mereka hanyalah menjadikanmu sebagai bahan ejekan (seraya berkata),
‘Inikah orang yang diutus Allah sebagai rasul?
Hampir saja ia menyesatkan kita dari tuhan‑tuhan kita, kalau bukan karena kita tetap teguh menyembahnya.’
Kelak mereka akan mengetahui, ketika mereka melihat azab, siapa yang lebih sesat jalannya.”

(QS. Al‑Furqān [25]: 41–42)


Turunnya Ayat: Baca Al‑Qur’an dengan Suara Pertengahan

Di tengah penentangan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap membacakan Al‑Qur’an kepada para sahabatnya. Pada awalnya, beliau membaca dengan suara yang cukup keras ketika shalat, sehingga orang‑orang musyrik di sekitar Masjidil Haram mendengarnya.

Namun, ketika mereka mendengar bacaan Al‑Qur’an, mereka tidak hanya menutup telinga, bahkan mencaci Al‑Qur’an, mencaci Allah yang menurunkannya, dan mencaci Rasul yang membawanya.

Di sisi lain, ada orang‑orang yang sebenarnya ingin mendengar Al‑Qur’an. Mereka menguping dari jauh, berusaha mendengar tanpa ketahuan kaumnya. Jika mereka ketahuan, mereka pergi karena takut diganggu dan disakiti. Tetapi jika Nabi melunakkan suara bacaan beliau terlalu pelan, mereka tidak dapat mendengar apa pun.

Dalam kondisi seperti itu, Allah menurunkan firman‑Nya:

قُلِ ٱدۡعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُوا۟ ٱلرَّحۡمَـٰنَۖ أَیࣰّا مَّا تَدۡعُوا۟ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَیۡنَ ذَٟلِكَ سَبِیلࣰا

“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Ar‑Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru, Dia memiliki nama‑nama yang terbaik (Al‑Asmaul Husna).’
Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”

(QS. Al‑Isrā’ [17]: 110)

Para ulama tafsir menjelaskan: maksud “jangan mengeraskan” adalah jangan membaca terlalu keras sehingga orang‑orang musyrik mendengar lalu mencaci Al‑Qur’an dan mencaci Allah. Dan maksud “jangan terlalu merendahkan” adalah jangan sampai bacaan itu tidak terdengar oleh para sahabat hingga mereka tidak dapat mempelajarinya.

Dengan kata lain, Allah memerintahkan Nabi untuk mengambil jalan tengah: suara cukup terdengar oleh orang‑orang yang ingin belajar, namun tidak terlalu keras sehingga memancing caci maki kaum musyrik. Dalam sebagian riwayat, dijelaskan pula bahwa ayat ini merupakan kasih sayang Allah kepada dua kelompok: melindungi Al‑Qur’an dari caci maki orang yang membencinya, dan sekaligus memberi kesempatan kepada orang‑orang yang masih ragu untuk menguping dan merenungkan, barangkali hati mereka akan lembut dan kembali kepada kebenaran.


Penutup: Mereka Tahu, Tapi Takut Kehilangan Dunia

Kisah‑kisah di atas memperlihatkan sisi lain dari penentangan Quraisy. Mereka bukan sekadar tidak mengerti, tetapi lebih banyak karena:

  • merasa tersaingi oleh Bani Hasyim dan Bani ‘Abd Manaf,
  • takut kehilangan kepemimpinan,
  • gengsi suku dan tradisi,
  • dan kesombongan untuk tunduk pada kebenaran yang datang dari seorang “anak yatim” di tengah mereka.

Sebagian mereka, seperti Al‑Walid dan Utbah, mengakui keagungan Al‑Qur’an dengan sangat jelas. Sebagian lain, seperti Abu Jahl, mengakui dalam hati bahwa Nabi benar, namun menolaknya terang‑terangan.

Dengan itu, hujjah Allah atas mereka menjadi sempurna: mereka bukan menolak karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau tunduk.


Sumber Kisah

Ibnu Katsir, Al‑Bidāyah wan‑Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang