Nabi Zakariya dan Nabi Yahya : Doa di Usia Senja, Kelahiran Ajaib, dan Syahid Membela Kebenaran

Ilustrasi simbolis kisah Nabi Zakariya dan Nabi Yahya: mihrab Baitul Maqdis, buaian bayi bercahaya, padang belantara zuhud, dan siluet istana zalim di kejauhan.

Kisah Nabi Zakariya dan Nabi Yahya ‘Alaihimas Salam

Pendahuluan

Kisah Nabi Zakariya dan Nabi Yahya ‘alaihimas salam adalah kisah tentang harapan di usia senja, doa yang lirih namun penuh keyakinan, kelahiran seorang anak saleh di luar kebiasaan, serta kehidupan zuhud dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran sampai berujung pada syahid.

Al-Qur’an mengisahkan mereka di beberapa surah: terutama di Surah MaryamAli ‘ImranAl-Anbiya’, dan Al-An‘am. Para ulama seperti Ibnu Katsir dan Ibnu ‘Asakir kemudian menjelaskan ayat-ayat ini dengan berbagai riwayat dari sahabat, tabi‘in, dan ahli sejarah.

Berikut rangkaian kisahnya, disusun dengan bahasa sederhana dan mengalir, disertai ayat-ayat Al-Qur’an dalam teks Arab dan terjemahnya.


Nasab dan Kedudukan Nabi Zakariya

Para ulama sejarah, seperti Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir, menyebut beberapa pendapat rinci tentang nasab Nabi Zakariya, tetapi semuanya sepakat bahwa beliau adalah seorang nabi dari kalangan Bani Israil yang hidup di wilayah Syam (sekitar Palestina–Syam sekarang). Beliau dikenal sebagai seorang nabi, ulama dan imam di Baitul Maqdis, dan dialah ayah dari Nabi Yahya ‘alaihissalam.

Zakariya juga memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga ‘Imran, ayah Maryam. Karena itu, ketika Maryam diserahkan untuk beribadah di Baitul Maqdis, Allah menjadikan Zakariya sebagai pengasuhnya, sehingga ia sering masuk ke mihrab tempat ibadah Maryam.

Allah memuji Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyas dalam satu ayat:

وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَىٰ وَعِيسَىٰ وَإِلْيَاسَ ۖ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ
“Dan (Kami beri petunjuk kepada) Zakariya, Yahya, Isa dan Ilyas; semuanya termasuk golongan orang-orang yang shalih.”
(QS. Al-An‘am [6]: 85)


Zakariya dan Maryam: Awal Munculnya Harapan

Zakariya menjadi pengasuh Maryam binti ‘Imran. Maryam menyerahkan diri sepenuhnya untuk beribadah di mihrab Baitul Maqdis. Di tempat itulah Zakariya mendapati tanda-tanda luar biasa yang menggugah harapannya kepada Allah.

Al-Qur’an menceritakan bahwa setiap kali Zakariya masuk menemui Maryam di mihrab, ia selalu mendapati rezeki yang ajaib di sisinya, berupa makanan dan buah-buahan di luar musimnya.

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Maka Tuhannya menerimanya (Maryam) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.
Setiap kali Zakariya masuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisinya. Zakariya berkata, ‘Wahai Maryam, dari mana engkau memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘(Makanan itu) dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 37)

Melihat peristiwa itu berulang-ulang, Zakariya menyadari bahwa Dzat yang mampu memberi rezeki di luar musim dan di luar kebiasaan, tentu juga mampu menganugerahkan anak di luar kebiasaan, meski secara lahiriah semua sebab telah hilang: usia sudah sangat tua dan istrinya mandul. Di saat itulah harapan di usia senja tumbuh kuat di dalam hatinya.


Doa Lirih di Usia Senja

Zakariya lalu mengadu kepada Tuhannya. Ia tidak mengangkat suara keras, tetapi berdoa dengan suara yang lirih, penuh penghayatan. Al-Qur’an menggambarkan suasana doanya dalam Surah Maryam:

كهيعص ۝ ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا ۝ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا ۝ قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا ۝
“Kaf Ha Ya ‘Ain Shad.
(Inilah) penyebutan rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakariya.
(Yaitu) ketika ia berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang lirih.
Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, dan kepalaku telah memutih beruban, namun aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku.’”
(QS. Maryam [19]: 1–4)

Ia mengakui kelemahannya: tulang-tulangnya sudah rapuh, kekuatannya melemah, rambutnya memutih karena usia. Namun dalam waktu yang sama ia bersaksi bahwa selama hidupnya, ia tidak pernah kecewa dengan doa kepada Allah. Setiap kali ia memohon, Allah selalu memberinya jawaban terbaik.

Ia pun menyampaikan kegelisahannya tentang masa depan umat, sekaligus harapannya memiliki keturunan yang saleh:

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا ۝ يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا ۝
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap para kerabatku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Maka anugerahkanlah kepadaku, dari sisi-Mu, seorang wali,
yang akan mewarisi (kedudukanku) dan mewarisi dari keluarga Ya‘qub. Dan jadikanlah ia, wahai Tuhanku, seorang yang Engkau ridhai.”
(QS. Maryam [19]: 5–6)

Yang dimintanya bukan sekadar anak sebagai penerus nasab, melainkan seorang penerus yang akan memegang amanah kenabian, ilmu, dan kepemimpinan agama di tengah Bani Israil, mengikuti jejak para leluhur dari keluarga Ya‘qub. Ia memohon agar anak ini menjadi hamba yang diridhai Allah dalam akidah, amal, dan akhlaknya.

Di Surah Al-Anbiya’, doa Zakariya diringkas dengan kalimat yang sangat menyentuh:

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah) Zakariya, ketika ia berdoa kepada Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), dan Engkau adalah sebaik-baik ahli waris.’”
(QS. Al-Anbiya’ [21]: 89)

Doa itu pun dikabulkan dengan cara yang luar biasa:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Maka Kami kabulkan doanya dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami perbaiki istrinya (sehingga dapat mengandung).
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiya’ [21]: 90)

“Memperbaiki istrinya” di sini dijelaskan para mufassir sebagai perubahan keadaan dari sebelumnya mandul dan tidak haid, menjadi mampu mengandung.


Saat Malaikat Menyampaikan Kabar Gembira

Doa Zakariya tidak sia-sia. Di tempat ia biasa beribadah, di tengah shalatnya, datang kabar gembira melalui para malaikat.

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ ۝ فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِّنَ الصَّالِحِينَ ۝
“Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya; ia berkata, ‘Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.’
Maka para malaikat memanggilnya, sedang ia berdiri melaksanakan shalat di mihrab, (dengan berkata), ‘Sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan (kelahiran) Yahya, yang membenarkan kalimat dari Allah (Nabi Isa), seorang pemimpin, penjaga diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi dari golongan orang-orang shalih.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 38–39)

Di Surah Maryam, kabar itu digambarkan dengan panggilan yang sangat lembut:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami menggembirakan engkau dengan seorang anak laki-laki bernama Yahya, yang sebelumnya belum pernah Kami berikan nama seperti dia kepada seorang pun.”
(QS. Maryam [19]: 7)

Nama “Yahya” sendiri merupakan nama baru yang belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya; ini menunjukkan keistimewaan dan kemuliaan anak yang akan lahir ini.


Kekagetan Seorang Nabi Tua

Mendengar kabar itu, Zakariya yang imannya kuat justru merasa takjub. Ia tidak ragu terhadap janji Allah, tetapi heran bagaimana hal itu akan terjadi, karena bila dilihat dari sebab-sebab lahiriah, hal itu tampak mustahil.

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا ۝
“Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai seorang anak laki-laki, padahal istriku mandul dan aku sendiri telah mencapai usia yang sangat tua?’”
(QS. Maryam [19]: 8)

Dalam Surah Ali ‘Imran pertanyaannya diulang dengan redaksi yang mirip:

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكَ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Ia (Zakariya) berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana aku akan mempunyai seorang anak laki-laki, padahal usia sudah sangat tua menimpaku dan istriku seorang yang mandul?’
(Allah) berfirman, ‘Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 40)

Jawaban Allah dalam Surah Maryam memberikan ketenangan yang mendalam:

قَالَ كَذَٰلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِن قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا ۝
“Allah berfirman, ‘Demikianlah.’ (Yaitu) Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu mudah bagi-Ku, dan sungguh Aku telah menciptakanmu dahulu, padahal engkau belum merupakan sesuatu pun.’”
(QS. Maryam [19]: 9)

Seakan-akan Allah berfirman, “Menciptakanmu dari ketiadaan saja mudah bagi-Ku, apalagi menciptakan seorang anak darimu meski engkau sudah tua.” Dengan demikian, hati Zakariya diteguhkan untuk menerima kabar gembira ini dengan penuh keyakinan.


Tanda Kehamilan: Lidah yang Terkunci

Zakariya kemudian meminta kepada Allah sebuah tanda, untuk mengetahui kapan janji ini benar-benar mulai terwujud, yakni saat istrinya mulai mengandung.

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّي آيَةً ۚ قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا ۝
“Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.’ Allah berfirman, ‘Tandamu adalah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat.’”
(QS. Maryam [19]: 10)

Dalam Surah Ali ‘Imran Allah menjelaskan lebih rinci:

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّي آيَةً ۖ قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا ۗ وَاذْكُر رَّبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ
“Ia berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.’ Allah berfirman, ‘Tandamu adalah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga hari kecuali dengan isyarat. Dan ingatlah Tuhanmu sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 41)

Para mufasir menjelaskan bahwa Zakariya tiba-tiba tidak mampu berbicara kepada manusia dengan lisan, tetapi tetap mampu membaca, bertasbih, dan berzikir kepada Allah. Inilah tanda bahwa istrinya telah mulai mengandung Yahya.

Dalam keadaan gembira, Zakariya keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dengan isyarat ia mengajak mereka untuk memperbanyak tasbih di pagi dan petang.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَىٰ إِلَيْهِمْ أَن سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, ‘Bertasbihlah kalian pada waktu pagi dan petang.’”
(QS. Maryam [19]: 11)


Nabi Zakariya: Seorang Nabi yang Bekerja dengan Tangan Sendiri

Dalam hadis shahih disebutkan bahwa Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu yang bekerja dengan tangannya sendiri dan makan dari hasil kerjanya. Hal ini menunjukkan kezuhudan para nabi. Mereka tidak menjadikan dunia sebagai tujuan, tidak menumpuk harta untuk diwariskan, melainkan menjadikannya sekadar sarana untuk taat kepada Allah.

Karena itu, ketika Zakariya berdoa agar dianugerahi anak yang “mewarisi”, para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah warisan kenabian, ilmu, dan kepemimpinan agama, bukan warisan harta. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa para nabi tidak diwarisi hartanya; apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah. Ini semakin menguatkan bahwa permohonan Zakariya tertuju pada warisan rohani, bukan materi.


Kelahiran Nabi Yahya dan Keistimewaannya

Akhirnya janji Allah itu terwujud. Seorang bayi laki-laki lahir dari pasangan yang sebelumnya secara lahiriah mustahil memiliki anak: seorang lelaki yang sudah sangat tua dan seorang istri yang selama ini mandul. Anak itu diberi nama Yahya.

Al-Qur’an menggambarkan keistimewaan Yahya sejak kecil:

يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ ۖ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا ۝ وَحَنَانًا مِّن لَّدُنَّا وَزَكَاةً ۖ وَكَانَ تَقِيًّا ۝ وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُن جَبَّارًا عَصِيًّا ۝ وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا ۝
“(Kami berfirman), ‘Wahai Yahya, ambillah Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.’ Dan Kami telah memberinya hikmah selagi ia masih kanak-kanak,
dan (Kami jadikan ia) penuh kasih sayang dari sisi Kami dan (penuh) kesucian; dan ia adalah seorang yang bertakwa,
dan berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.
Dan kesejahteraan (keselamatan) dilimpahkan atasnya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.”
(QS. Maryam [19]: 12–15)

Ayat ini menunjukkan bahwa sejak kecil Yahya telah diberi “al-hukm”, yaitu kebijaksanaan, pemahaman agama dan kedewasaan dalam mengambil keputusan. Ia juga dianugerahi “hanân” (kasih sayang) dari sisi Allah, baik berupa rahmat yang Allah curahkan kepadanya maupun sifat lembut dan belas kasih dalam dirinya terhadap manusia, terutama kepada kedua orang tuanya.

Sifat “zakah” yang disematkan kepadanya menggambarkan kesucian jiwa dan akhlaknya, yang bersih dari sifat-sifat tercela. Ia adalah hamba yang sangat bertakwa, selalu taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ia juga sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, tidak sombong dan tidak durhaka dalam ucapan maupun perbuatan.

Keistimewaan lain yang sangat agung adalah salam khusus dari Allah kepadanya di tiga keadaan yang paling genting dalam kehidupan manusia, yaitu ketika lahir, ketika mati, dan ketika dibangkitkan. Pada tiga saat penuh kecemasan ini, Allah sendiri menjamin keselamatan bagi Yahya.

Dalam sebagian riwayat lemah disebutkan bahwa Yahya tidak pernah melakukan dosa atau bahkan berniat melakukan dosa, menunjukkan betapa besar kehati-hatiannya dalam ketaatan. Walaupun hadis-hadis tersebut diperselisihkan oleh para ahli hadis, gambaran umum tentang kesalehan dan kezuhudan Yahya tetap sangat jelas dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang kuat.


Zuhud dan Ibadah Nabi Yahya

Banyak riwayat dari kalangan salaf menceritakan kezuhudan dan ibadah Nabi Yahya. Dikisahkan bahwa makanan utamanya adalah rumput, daun-daunan, dan pada sebagian waktu ia hanya makan belalang. Ia sering meninggalkan keramaian kota untuk menyendiri di padang belantara, merasa lebih tenteram berada di alam terbuka dan bersama binatang-binatang liar, karena ia enggan terlalu larut bercampur dengan manusia dalam urusan dunia dan penghidupan mereka.

Kecintaan dan takutnya kepada Allah begitu besar sehingga ia banyak menghabiskan waktu dengan menangis. Mujahid meriwayatkan bahwa Yahya menangis karena takut kepada Allah sampai-sampai jika dituangkan ter di kedua matanya, air matanya sanggup melubanginya karena begitu deras dan seringnya mengalir. Bekas air matanya bahkan meninggalkan jejak yang dalam di kedua pipinya.

Ada sebuah kisah yang masyhur di kalangan ahli tafsir dan sejarah, bahwa suatu hari Zakariya kehilangan putranya selama tiga hari. Ia keluar mencarinya di padang pasir dan akhirnya mendapati Yahya telah menggali sebuah kubur, lalu berdiri di dalamnya sambil menangisi dirinya sendiri.

Zakariya berkata, “Wahai anakku, aku telah mencarimu selama tiga hari, sementara engkau berada di dalam kubur yang engkau gali sendiri, berdiri dan menangis di dalamnya?” Yahya menjawab, “Wahai ayahku, bukankah engkau telah mengabarkan kepadaku bahwa di antara surga dan neraka ada sebuah padang luas yang tidak dapat dilintasi kecuali dengan air mata orang-orang yang banyak menangis (karena takut kepada Allah)?” Mendengar itu, Zakariya berkata, “Menangislah, wahai anakku.” Lalu keduanya pun menangis bersama.

Riwayat-riwayat seperti ini umumnya termasuk dalam kategori kisah Bani Israil yang disampaikan oleh para ulama salaf. Selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ia boleh diceritakan sebagai pelajaran, namun kita tidak menetapkan kebenarannya secara pasti sebagaimana nash Al-Qur’an yang qath‘i.


Nabi Yahya dan Nabi Isa: Dua Sepupu yang Saleh

Dalam hadis shahih tentang kisah Isra’ Mi‘raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa beliau melewati dua orang nabi di salah satu lapisan langit, yaitu Yahya dan Isa, dan beliau menyebut keduanya sebagai “ibnay al-khalah”, dua anak dari dua bibi, yakni sepupu dari pihak ibu.

Mayoritas ulama memahami bahwa ibu Yahya dan ibu Isa (Maryam) adalah dua saudari, sehingga kedua nabi ini adalah sepupu. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa istri Zakariya (ibu Yahya) adalah saudari ibu Maryam, sehingga keduanya tetap memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat.

Ada sejumlah riwayat (sebagian sanadnya lemah) yang menggambarkan kedekatan mereka. Diceritakan bahwa Yahya dan Isa pernah bertemu, lalu Isa berkata, “Mintakan ampunan untukku, karena engkau lebih baik dariku.” Yahya menjawab, “Mintakan ampunan untukku, karena engkau lebih baik dariku.” Isa berkata, “Engkau lebih baik dariku. Aku mengucapkan salam untuk diriku sendiri (‘Dan salam atas diriku pada hari aku dilahirkan…’), sedangkan Allah-lah yang mengucapkan salam kepadamu (‘Dan salam atasnya pada hari ia dilahirkan…’).”

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa keduanya berjalan bersama. Di tengah perjalanan Yahya tanpa sengaja menabrak seorang wanita. Isa menegurnya bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, sedangkan Yahya menjawab bahwa ia bahkan tidak menyadari keberadaan wanita itu, karena hatinya sedang “tergantung di bawah Arsy” – sebuah ungkapan untuk menggambarkan betapa kuatnya konsentrasi hati kepada Allah, sampai tidak lagi memperhatikan hal-hal di sekitarnya. Riwayat-riwayat seperti ini dinilai para ulama sebagai gharaib dan banyak yang termasuk dalam kategori Isra’iliyyat, namun tetap bisa diambil ibrahnya tentang kedalaman kekhusyukan para nabi.

Ada pula kisah bahwa sebelum berpisah, Yahya meminta wasiat kepada Isa. Isa mewasiatkannya agar tidak marah. Yahya mengaku sulit menahan diri untuk tidak marah sama sekali. Maka Isa mewasiatkannya agar tidak mengumpulkan harta. Mendengar wasiat kedua ini, Yahya menyatakan mudah-mudahan ia sanggup melakukannya. Kisah ini menggambarkan betapa keduanya menaruh perhatian besar terhadap bahaya amarah dan ketertarikan berlebihan kepada harta dunia.


Lima Wasiat Besar Nabi Yahya kepada Bani Israil

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beberapa imam lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa Allah memerintahkan Yahya bin Zakariya dengan lima kalimat. Perintah itu mencakup dua kewajiban: pertama, Yahya sendiri harus mengamalkannya; kedua, ia harus memerintahkan Bani Israil untuk mengamalkannya.

Yahya sempat menunda menyampaikan perintah itu kepada kaumnya. Ketika melihat hal itu, Nabi Isa mengingatkannya dan berkata bahwa ia juga diperintahkan menyampaikan lima kalimat ini kepada Bani Israil. Isa menawarkan, bila Yahya tidak segera menyampaikannya, ia khawatir akan didahului dalam menyampai- kan risalah tersebut. Yahya menyatakan kekhawatirannya bahwa bila Isa mendahuluinya, sementara ia yang pertama kali diberi amanah, ia takut akan diazab atau dibenamkan ke dalam bumi.

Akhirnya Yahya mengumpulkan Bani Israil di Baitul Maqdis sampai masjid itu penuh sesak. Ia duduk di atas tempat yang tinggi, memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata kurang lebih, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkanku dengan lima kalimat, agar aku mengamalkannya dan aku memerintahkan kalian untuk mengamalkannya pula.”

Kelima kalimat itu adalah sebagai berikut.

Wasiat Pertama: Tauhid, Menyembah Hanya Allah dan Tidak Berbuat Syirik

Yahya menjelaskan bahwa perintah pertama adalah beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Untuk menggambarkan hal ini, ia memberikan perumpamaan seorang yang membeli seorang budak dari hartanya yang murni, dengan perak atau emas. Namun setelah menjadi miliknya, budak itu justru bekerja dan menyerahkan seluruh hasil kerjanya kepada orang lain bukan kepada tuannya. Yahya bertanya, adakah seorang di antara mereka yang senang bila budaknya berbuat seperti itu?

Begitu pula dengan manusia: Allah-lah yang menciptakan, memberi rezeki dan mengatur mereka. Karena itu, hanya kepada-Nyalah ibadah, doa dan penghambaan dipersembahkan, tanpa menyekutukan-Nya dengan makhluk apa pun.

Wasiat Kedua: Shalat dengan Khusyuk dan Tidak Menoleh

Wasiat berikutnya adalah tentang shalat. Yahya menjelaskan bahwa ketika seorang hamba berdiri mengerjakan shalat, Allah menghadapnya selama hamba itu tidak menoleh. Oleh sebab itu, ketika seorang hamba sedang shalat, hendaklah ia menjaga pandangan dan hatinya, tidak menoleh ke kiri dan kanan dengan badan, mata, atau hati. Dengan demikian, shalat menjadi perjumpaan yang penuh adab dan khusyuk antara hamba dan Rabbnya.

Wasiat Ketiga: Puasa dan Keistimewaan Bau Mulut Orang yang Berpuasa

Wasiat ketiga adalah perintah berpuasa. Yahya menggambarkan puasa dengan perumpamaan seorang yang membawa sekantong minyak wangi kasturi di tengah-tengah sekelompok orang. Seluruh orang di sekitarnya dapat mencium aroma kasturi tersebut dan merasakan keharumannya. Demikian pula puasa: ia menyebarkan kebaikan yang tidak hanya dirasakan oleh pelakunya, tetapi juga mengharumkan suasana di sekelilingnya.

Yahya menegaskan bahwa bau mulut orang yang berpuasa – yang di mata manusia terkesan tidak menyenangkan – justru lebih harum di sisi Allah daripada wangi minyak kasturi. Ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan ibadah puasa di sisi Allah.

Wasiat Keempat: Sedekah, Tebusan dari Tawanan

Wasiat keempat berkaitan dengan sedekah. Yahya menjelaskan bahwa yang bersedekah ibarat seorang laki-laki yang ditawan musuh, lalu kedua tangannya diikat di lehernya dan ia diseret untuk dipenggal lehernya. Dalam keadaan genting itu, ia memohon kepada para penawannya, “Izinkan aku menebus diriku dari kalian.” Lalu ia mulai menebus dirinya dengan apa saja yang ia miliki, baik sedikit maupun banyak, hingga akhirnya ia bebas.

Demikianlah sedekah. Seorang hamba mengeluarkan hartanya untuk menyelamatkan dirinya dari azab, musibah dan kesempitan. Setiap sedekah yang diberikan karena Allah menjadi sebab terbukanya jalan keselamatan, sebagaimana tebusan menjadi jalan pembebasan dari tawanan.

Wasiat Kelima: Zikir, Benteng Terkuat dari Setan

Wasiat kelima adalah memperbanyak zikir kepada Allah. Yahya menggambarkan zikir dengan perumpamaan seorang yang dikejar musuh-musuh yang bergerak cepat di belakangnya, ingin membunuh atau menawannya. Dalam keadaan terdesak, ia menemukan sebuah benteng yang kokoh, lalu ia masuk dan berlindung di dalamnya. Musuh-musuhnya pun tidak mampu menjangkaunya.

Demikian pula seorang hamba yang berdzikir kepada Allah. Ketika lisannya senantiasa basah dengan zikir, hatinya sibuk mengingat Allah, dan anggota tubuhnya taat, pada saat itulah ia berada dalam benteng pertahanan yang sangat kuat dari godaan setan.

Setelah menyebutkan lima wasiat Yahya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan bahwa beliau sendiri juga diperintahkan Allah dengan lima perkara yang agung, yaitu berjamaah, mendengar dan taat kepada pemimpin, berhijrah di jalan Allah, serta berjihad di jalan-Nya. Beliau mengingatkan bahwa keluar dari jamaah kaum Muslimin sejauh satu jengkal saja berarti melepaskan tali Islam dari leher, kecuali jika ia kembali. Beliau juga menegaskan bahwa siapa pun yang menyeru dengan seruan jahiliyah – meskipun shalat dan puasa – termasuk bagian dari bahan bakar Jahannam, selama ia bangga dengan seruan itu dan meninggalkan identitas yang Allah berikan, yaitu sebagai Muslim, Mukmin, dan hamba-hamba Allah.


Akhir Hayat Nabi Yahya: Syahid karena Kebenaran

Para ulama sejarah menyebut beberapa versi tentang sebab terbunuhnya Nabi Yahya ‘alaihissalam. Inti dari kisah-kisah itu sama, yaitu bahwa Yahya dibunuh secara zalim karena keberaniannya menegakkan hukum Allah di hadapan penguasa yang durhaka.

Raja yang Ingin Menikahi Wanita yang Haram Baginya

Salah satu kisah yang paling terkenal menyebutkan bahwa seorang raja di wilayah Syam atau Damaskus pada masa itu ingin menikahi seorang wanita yang haram dinikahinya. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu adalah salah satu mahramnya, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah wanita lain yang jelas tidak halal dinikahi menurut syariat pada saat itu.

Yahya sebagai nabi yang diutus kepada Bani Israil menentang dengan tegas rencana pernikahan tersebut. Ia menyatakan bahwa pernikahan itu tidak halal dan bertentangan dengan hukum Allah. Ucapan Yahya ini menyakiti hati wanita yang terlibat dalam rencana itu. Maka kebencian pun bersemayam di dalam dirinya.

Suatu ketika antara wanita itu dan sang raja terjadi suasana mesra, sehingga raja sangat ingin menyenangkannya. Dalam suasana tersebut, raja bersumpah bahwa ia akan memenuhi apa pun permintaan wanita itu. Wanita yang penuh tipu daya ini lalu meminta sesuatu yang mengerikan, yaitu darah Yahya bin Zakariya.

Pada awalnya sang raja menolak. Namun karena dikuasai hawa nafsu dan kecintaan yang berlebihan, akhirnya ia mengabulkan permintaan itu. Ia mengutus orang-orang suruhan untuk membunuh Yahya. Ketika itu Yahya sedang berada di mihrabnya, sibuk dalam shalat dan ibadah. Ia pun dibunuh, kemudian kepalanya dipisahkan dari tubuhnya dan diletakkan di atas sebuah talam bersama darahnya, lalu dihadapkan kepada wanita tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa wanita itu langsung ditimpa azab dan binasa pada saat itu juga.

Versi Lain: Cinta Terlarang Sang Ratu

Versi lain menceritakan bahwa istri raja secara pribadi jatuh cinta kepada Yahya. Ia mengirimkan utusan dan sinyal-sinyal kepada Yahya, tetapi Yahya yang suci menolaknya mentah-mentah, karena ia seorang nabi yang menjaga kehormatan dan sama sekali tidak membutuhkan wanita. Ketika perempuan itu putus asa, ia mencari jalan licik lain, yaitu dengan meminta Yahya sebagai “hadiah” dari sang raja.

Pada mulanya raja enggan melakukannya. Namun desakan perempuan tersebut, ditambah kelemahannya di hadapan hawa nafsu, akhirnya membuat ia setuju. Ia mengutus seseorang untuk membunuh Yahya dan membawa kepalanya dalam sebidang talam. Kepala itu dihadapkan di depan perempuan itu sebagai pemenuhan keinginan syahwat dan dendamnya.

Dalam beberapa riwayat yang panjang (sanadnya lemah) digambarkan bahwa kepala Yahya yang terpenggal itu tetap berbicara, berulang kali mengingatkan bahwa pernikahan haram itu tetap tidak halal, meski telah dilakukan berbagai tipu daya untuk melegalkannya. Disebutkan pula bahwa perempuan tersebut akhirnya tertelan bumi sedikit demi sedikit ketika membawa talam berisi kepala Yahya kepada ibunya, hingga tubuhnya tenggelam; sementara darah Yahya terus mendidih, seakan tidak menerima kezhaliman yang terjadi.

Riwayat-riwayat tersebut tergolong ganjil dan banyak yang tidak kuat sanadnya. Namun semuanya sepakat pada satu hal: Nabi Yahya terbunuh dalam keadaan mempertahankan hukum Allah, sehingga ia mati syahid karena kebenaran.


Darah yang Mendidih dan Pembalasan Bukhtanashar

Dalam sebuah riwayat yang shahih dari Sa‘id bin Al-Musayyib, dikisahkan bahwa setelah pembunuhan Yahya, terjadi peristiwa besar. Seorang raja besar dari Babilonia, yaitu Bukhtanashar (Nebukadnezar), datang ke Damaskus.

Ketika ia masuk ke kota itu, ia mendapati darah Yahya bin Zakariya masih mendidih di tanah, tidak juga berhenti walaupun waktu sudah berlalu. Ia bertanya kepada penduduk tentang darah apakah itu. Mereka menjelaskan bahwa itu adalah darah seorang nabi yang dibunuh secara zalim oleh mereka.

Mendengar hal itu, Bukhtanashar murka. Ia berkata kurang lebih, bahwa ia tidak akan berhenti membunuh mereka di atas darah itu sampai darah tersebut berhenti mendidih. Maka ia pun memerintahkan pembunuhan massal sampai jumlah orang yang dibunuh mencapai puluhan ribu; dalam sebagian riwayat disebut angka 70.000 atau 75.000 orang, hingga akhirnya darah itu tenang.

Sebagian ulama menyebut bahwa darah yang mendidih itu bukan hanya darah Yahya seorang, tetapi gabungan darah para nabi lain yang juga dibunuh di tempat itu, dan darah Yahya termasuk di dalamnya. Riwayat lain menyebut bahwa setelah sekian lama darah itu tetap mengalir, datanglah Nabi Armiya (Yeremia), lalu berkata kepada darah tersebut, “Wahai darah, engkau telah membinasakan Bani Israil; tenanglah dengan izin Allah.” Maka darah itu pun berhenti, dan pembantaian pun berakhir.

Riwayat ini menunjukkan betapa beratnya dosa menumpahkan darah para nabi dan orang-orang saleh, sampai-sampai bumi dan sejarah tidak pernah benar-benar tenang sebelum kezaliman itu mendapatkan balasan yang setimpal.


Di Mana Nabi Yahya Dibunuh?

Dalam hal lokasi terbunuhnya Yahya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa ia dibunuh di Baitul Maqdis, tepatnya di atas batu besar (Ash-Shakhrah) yang kemudian menjadi salah satu tempat suci di kompleks Masjid Al-Aqsha. Ada pula yang mengaitkan tempat ini dengan lokasi terbunuhnya banyak nabi Bani Israil lainnya.

Namun riwayat yang kuat dari Sa‘id bin Al-Musayyib – dengan sanad yang shahih – menunjukkan bahwa peristiwa darah Yahya yang mendidih itu terjadi di Damaskus, ketika Bukhtanashar masuk ke kota tersebut. Ini memberi isyarat bahwa lokasi pembunuhan Yahya berada di sana.

Para ulama Damaskus juga mengaitkan kisah ini dengan pembangunan Masjid Umayyah di Damaskus. Disebutkan bahwa ketika para pekerja menggali fondasi masjid, mereka menemukan sebuah kepala manusia di bawah salah satu sudut tembok kiblat, pada sisi timur dekat mihrab. Anehnya, kulit dan rambut kepala tersebut masih utuh, seakan-akan baru saja dibunuh. Sebagian ulama setempat meyakini bahwa kepala tersebut adalah kepala Nabi Yahya, lalu mereka mengembalikannya ke tempat semula dan membangunnya di bawah sebuah tiang yang kemudian dikenal dengan nama “Tiang As-Sakasikah”.

Semua ini adalah berita sejarah yang bercampur antara riwayat kuat dan riwayat lemah. Kepastian mutlak tentang hal-hal semacam ini dikembalikan kepada Allah. Namun yang pasti, nama Yahya tetap harum sebagai nabi yang mulia yang gugur di jalan kebenaran.


Tentang Akhir Hayat Nabi Zakariya

Tentang bagaimana akhir hayat Nabi Zakariya sendiri, para ulama juga berbeda pendapat.

Sebagian riwayat, yang banyak bersumber dari berita-berita Bani Israil dan kisah Wahb bin Munabbih, menyebut bahwa Zakariya juga dibunuh secara tragis. Menurut kisah itu, ketika ia dikejar oleh kaumnya yang hendak membunuhnya, tiba-tiba tampak sebuah pohon besar. Pohon itu seakan-akan memanggilnya untuk berlindung. Pohon tersebut terbelah, Zakariya masuk ke dalamnya, lalu pohon itu menutup kembali. Namun setan datang dan menunjukkan letak persembunyiannya dengan cara menarik ujung pakaian Zakariya yang masih tersisa di luar. Orang-orang lalu menggergaji pohon itu bersama tubuh Zakariya hingga terbelah dua.

Kisah ini juga dikaitkan dengan peristiwa Isra’ Mi‘raj dalam satu riwayat sangat panjang yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun para ahli hadis, seperti Ibnu Katsir, menilai bahwa penyandaran kisah ini sebagai hadis Nabi adalah munkar, dan di dalamnya terdapat hal-hal yang diingkari. Karena itu ia tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat.

Riwayat lain dari Wahb bin Munabbih menyatakan bahwa yang terbelah bersama pohon itu bukan Zakariya, melainkan seorang nabi lain dari kalangan Bani Israil, yaitu Nabi Sya‘ya (Isaiah). Menurut riwayat ini, Zakariya wafat dengan kematian biasa.

Karena tidak ada dalil yang kuat dan tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis shahih tentang cara wafatnya Zakariya, para ulama menyerahkan kepastian masalah ini kepada Allah. Yang penting bagi kita adalah meneladani kesabaran, keteguhan doa, dan keberanian beliau dalam memegang amanah risalah.


Pelajaran dari Salam Allah untuk Yahya

Salah satu ayat yang paling menyentuh dalam kisah ini adalah firman Allah:

وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan (keselamatan) dilimpahkan atasnya pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.”
(QS. Maryam [19]: 15)

Tiga waktu yang disebutkan dalam ayat ini merupakan saat-saat yang paling genting dan menakutkan bagi manusia. Pada hari kelahiran, seorang bayi keluar dari rahim yang sempit namun hangat menuju dunia luas yang penuh suara, dingin, dan ujian; karena itu ia menangis keras. Pada hari kematian, seseorang meninggalkan kehidupan yang ia kenal menuju alam barzakh yang asing, di mana ia menanti kebangkitan. Pada hari dibangkitkan, manusia bangun dari kubur menuju padang mahsyar untuk dihisab dan ditentukan nasib akhirnya.

Dalam tiga keadaan yang sangat menegangkan inilah Allah sendiri memberikan salam keselamatan kepada Yahya. Ini menunjukkan betapa mulianya ia di sisi Allah. Seorang penyair menggambarkan hakikat hidup ini dengan ungkapan: ibumu melahirkanmu dalam keadaan menangis, sementara orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira; maka berusahalah agar ketika mereka menangis pada hari kematianmu, engkau justru tertawa gembira karena rahmat Allah.

Demikianlah kehidupan Yahya. Di dunia ia banyak menangis karena takut kepada Allah, sehingga di akhirat ia disambut dengan salam dan senyuman ridha-Nya.


Penutup

Kisah Nabi Zakariya dan Nabi Yahya ‘alaihimas salam sarat dengan pelajaran penting. Dari Zakariya kita belajar bahwa harapan tidak boleh padam meski semua sebab lahiriah tampak hilang. Doa yang lirih di malam sunyi tetap didengar oleh Allah Yang Maha Mendengar suara paling lembut. Kita juga belajar bahwa anak yang saleh bukan sekadar pelanjut nasab, tetapi pelanjut iman, ilmu, dan pengabdian.

Dari Yahya kita belajar tentang kezuhudan, kesucian jiwa, keberanian berkata benar di hadapan penguasa zalim, serta betapa tinggi kedudukan air mata yang mengalir karena takut kepada Allah. Wasiat-wasiatnya tentang tauhid, shalat yang khusyuk, puasa, sedekah, dan zikir adalah pesan abadi yang selalu relevan, begitu pula wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pentingnya berjamaah, taat kepada pemimpin yang sah, hijrah, dan jihad di jalan Allah.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang meneladani keteguhan doa Zakariya, kesucian hidup Yahya, dan mengikuti bimbingan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh aspek kehidupan.


Sumber Kisah

Al Bidayah Wa an Nihayah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang