Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil


Kisah Nabi Syamuil (Samuel) dan Permulaan Kisah Nabi Dawud

Ini adalah kisah tentang Nabi Syamuil ‘alaihissalām dan bagaimana lewat dirinya Allah membuka jalan bagi munculnya Nabi Dawud ‘alaihissalām sebagai raja dan nabi bagi Bani Israil. 

Latar Belakang: Bani Israil di Bawah Penindasan

Setelah wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalām dan sesudah masa Nabi Yusya‘ bin Nūn, Bani Israil mengalami masa-masa sulit. Kaum ‘Amāliqah (Amalek) dari wilayah Gaza dan ‘Asqalān menyerang mereka. Banyak orang Bani Israil yang terbunuh, dan banyak anak-anak mereka yang ditawan.

Pada masa itu, kenabian berada di kalangan keturunan Lawi (suku Lēwi). Namun kemudian, menurut riwayat, tidak tersisa seorang nabi pun di suku itu kecuali seorang perempuan yang sedang hamil. Perempuan ini merasakan beratnya penindasan dan kehinaan yang menimpa kaumnya. Ia banyak berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi penolong bagi agama dan kaumnya.

Doanya dikabulkan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki dan menamainya Syamuil (dalam beberapa riwayat disebut juga Asymawil, atau Samuel). Disebutkan bahwa dalam bahasa Ibrani, namanya memiliki makna yang mirip dengan “Ismā‘īl”, yakni “Allah mendengar doaku”.


Masa Kecil Syamuil dan Panggilan Kenabian

Ketika Syamuil tumbuh dan mulai beranjak remaja, ibunya mengirimkannya untuk tinggal di sebuah rumah ibadah (semacam masjid pada masa itu), diserahkan kepada seorang lelaki shalih yang ahli ibadah. Tujuannya agar Syamuil belajar ilmu dan ibadah dari lelaki shalih tersebut.

Syamuil pun tinggal bersama orang shalih itu. Hingga ketika ia beranjak dewasa, terjadilah peristiwa yang menandai awal kenabiannya.

Panggilan di Malam Hari

Suatu malam, Syamuil tertidur di tempat ibadah itu. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggil dari arah masjid. Ia terbangun dalam keadaan kaget. Ia menyangka orang tua yang menjaganya memanggil dirinya. Maka ia mendatangi orang tua itu dan bertanya:

“Apakah engkau memanggilku?”

Orang tua itu, yang tidak ingin membuatnya takut, menjawab, “Ya, (aku memanggilmu). Tidurlah kembali.”

Syamuil pun kembali tidur. Namun suara itu datang lagi untuk kedua kalinya, lalu untuk ketiga kalinya. Pada panggilan yang ketiga, ternyata yang memanggilnya adalah Malaikat Jibril ‘alaihissalām.

Jibril datang kepadanya dan menyampaikan:

“Sesungguhnya Tuhanmu telah mengutusmu kepada kaummu.”

Demikianlah awal kenabian Syamuil. Sejak saat itu, ia menjadi nabi bagi Bani Israil pada masa keterpurukan mereka.


Bani Israil Meminta Seorang Raja

Perang demi perang, kekalahan demi kekalahan, telah melemahkan Bani Israil. Musuh-musuh mereka menguasai negeri mereka dan merendahkan mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka datang kepada Nabi Syamuil dan meminta sesuatu yang besar: mereka ingin mempunyai seorang raja yang memimpin mereka dalam peperangan.

Mereka berkata, kurang lebihnya, “Tetapkanlah bagi kami seorang raja; kami akan berperang di jalan Allah di belakangnya, bersamanya, dan di bawah pimpinannya.”

Permintaan dan peristiwa ini Allah abadikan dalam Al-Qur'an:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖ قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

(QS. البقرة: 246)

Syamuil mengingatkan mereka bahwa bisa jadi ketika Allah benar-benar mewajibkan perang atas mereka, mereka akan mundur. Namun mereka menjawab dengan penuh semangat bahwa mereka siap berperang, karena mereka telah terusir dari negeri dan anak-anak mereka.

Tetapi ketika perintah perang benar-benar datang, mayoritas mereka justru berpaling, dan hanya sedikit yang setia. Inilah sifat manusia: semangat di lisan belum tentu sejalan dengan keteguhan di medan ujian.


Allah Menetapkan Thalut sebagai Raja

Penetapan Thalut

Allah lalu memerintahkan Nabi Syamuil untuk menetapkan seorang laki-laki bernama Thālūt sebagai raja bagi Bani Israil. Syamuil menyampaikan keputusan ini kepada kaumnya.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

(QS. البقرة: 247)

Reaksi Bani Israil tidak menggembirakan. Mereka memprotes:

  • Mereka menganggap diri mereka lebih berhak atas kerajaan daripada Thalut.
  • Mereka menilai Thalut tidak memiliki harta yang banyak.
  • Dalam tradisi mereka, kenabian berada di suku Lāwi, sedangkan kerajaan berada di suku Yahudza. Sementara Thalut berasal dari suku Binyamin, sehingga secara “tradisi politik” ia dianggap tidak pantas.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa Thalut dahulu hanya seorang pengangsu air atau tukang menyamak kulit—pekerjaan rendahan di mata mereka. Namun Allah menilai manusia bukan dari status sosial dan kekayaan, tetapi dari ilmu, fisik yang kuat, dan kesiapannya memikul amanah.

Syamuil menegaskan kepada mereka bahwa:

  • Allah sendiri yang telah memilih Thalut.
  • Allah memberinya kelebihan ilmu dan kekuatan fisik.
  • Kerajaan adalah milik Allah; Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Tanda Kenabian dan Kerajaan Thalut

Untuk menenangkan hati Bani Israil, Allah memberikan sebuah tanda (mu‘jizat) bahwa Thalut benar-benar raja pilihan-Nya:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَن يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَىٰ وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

(QS. البقرة: 248)

Tanda itu adalah kembalinya Tabut, sebuah peti suci yang sangat dihormati Bani Israil. Di dalam Tabut itu terdapat:

  • Sakīnah (ketenangan) dari Tuhan mereka. Ulama berbeda pendapat tentang hakikat sakīnah: ada yang mengatakan semacam benda suci, ada yang mengatakan ketenangan khusus yang Allah turunkan, bahkan ada yang meriwayatkan ia tampak seperti makhluk kecil yang bila suaranya terdengar di medan perang, mereka yakin akan menang.
  • Sisa-sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, seperti serpihan Luh-Luh Taurat, dan sebagian sisa manna yang pernah diturunkan di padang Tih.

Dahulu, Bani Israil selalu mendapatkan kemenangan dengan keberadaan Tabut di tengah-tengah mereka. Namun Tabut itu pernah direbut oleh musuh-musuh mereka, kaum ‘Amāliqah.


Kisah Tabut: Dari Tangan Musuh Kembali ke Bani Israil

Ketika kaum ‘Amāliqah merebut Tabut, mereka membawanya ke negeri mereka dan meletakkannya di bawah sebuah berhala yang mereka sembah.

  • Pada pagi hari, mereka mendapati Tabut itu berada di atas kepala berhala.
  • Mereka menurunkannya lagi dan meletakkannya di bawah berhala.
  • Esoknya, mereka kembali menemukan Tabut itu berada di atas berhala.

Hal ini terulang beberapa kali, sehingga mereka sadar bahwa ini adalah urusan gaib dari Allah Yang Mahakuasa. Mereka pun memindahkan Tabut ke desa lain di negeri mereka. Namun penduduk desa itu kemudian ditimpa penyakit aneh di leher-leher mereka.

Karena ketakutan, mereka memutuskan mengusir Tabut itu:

  • Mereka meletakkannya di atas sebuah kereta.
  • Kereta itu ditarik oleh dua ekor sapi.
  • Mereka melepaskan kedua sapi itu dan membiarkannya pergi.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa para malaikatlah yang menggiring sapi-sapi itu hingga sampai ke tengah-tengah Bani Israil, sementara Bani Israil menyaksikan kembalinya Tabut itu dengan mata kepala mereka. Dengan demikian, janji Nabi Syamuil terbukti: Tabut kembali dengan cara yang luar biasa, menjadi tanda kuat akan kebenaran kenabian Syamuil dan kebenaran kerajaan Thalut.

Cara persis bagaimana malaikat membawa atau menggiring Tabut itu adalah perkara gaib yang hanya diketahui Allah. Yang pasti, Al-Qur'an menyatakan bahwa Tabut itu “dibawa oleh para malaikat”.


Thalut Menguji Pasukan di Tepi Sungai

Setelah Thalut ditetapkan sebagai raja, ia mengumpulkan pasukan Bani Israil untuk menghadapi musuh besar mereka, Jālūt (Goliath) dan bala tentaranya. Namun sebelum sampai ke medan perang, Allah menguji keimanan dan kesabaran mereka dengan sebuah ujian di tepi sungai.

فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُم بِنَهَرٍ ۖ فَمَن شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَن لَّمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّيٓ إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

(QS. البقرة: 249)

Sungai ini menurut banyak mufassir adalah Sungai Yordan (al-Urdun), yang juga dikenal dengan sebutan “asy-Syarī‘ah”.

Thalut berkata kepada pasukannya, berdasar wahyu yang disampaikan melalui Nabi Syamuil:

  • Siapa yang minum dari sungai itu dengan bebas, maka ia tidak boleh ikut bersamanya dalam peperangan.
  • Yang boleh ikut hanya orang yang tidak meminumnya sama sekali, kecuali sebatas satu cidukan dengan tangan.

Mayoritas pasukan tidak tahan menahan haus. Mereka pun minum sepuasnya, kecuali hanya segelintir orang yang taat pada perintah ini. Maka jumlah pasukan Thalut menyusut drastis, tersisa sedikit saja.

Sebagian riwayat menyebutkan angka besar yang tidak mudah dikompromikan dengan kondisi geografis Palestina, sehingga ulama seperti Ibnu Katsir menganggap angka-angka jumlah pasukan itu perlu dikritisi. Namun yang jelas: hanya sedikit yang lulus ujian kesabaran itu.

Bandingan dengan Perang Badar

Para sahabat Nabi Muhammad ﷺ pernah menceritakan bahwa jumlah pasukan yang menyeberangi sungai bersama Thalut—yakni mereka yang benar-benar sabar dan taat—mirip dengan jumlah peserta Perang Badar: sekitar tiga ratus lebih sedikit. Ini menunjukkan bahwa kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah, tetapi oleh iman, kesabaran, dan pertolongan Allah.


Menuju Perang Besar: Menghadapi Jalut

Setelah menyeberangi sungai, pasukan Thalut yang sedikit ini mulai merasa gentar. Mereka melihat besarnya kekuatan Jālūt dan tentaranya. Sebagian berkata:

“Hari ini kami tidak punya kekuatan untuk menghadapi Jālūt dan tentaranya.”

Namun orang-orang beriman yang yakin akan pertemuan dengan Allah menguatkan mereka dengan kalimat yang diabadikan Al-Qur'an:

كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

(QS. البقرة: 249, bagian akhir)

Mereka mengingatkan bahwa seringkali kelompok yang kecil dan lemah di mata manusia, mampu mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah, bila mereka bersabar.

Doa di Medan Perang

Ketika dua pasukan sudah benar-benar berhadap-hadapan, mereka memanjatkan doa yang sangat masyhur:

وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

(QS. البقرة: 250)

Mereka meminta tiga hal:

  1. Agar Allah mencurahkan kesabaran secara penuh kepada mereka.
  2. Agar Allah mengokohkan kaki-kaki mereka di medan perang.
  3. Agar Allah menolong mereka menghadapi kaum yang kafir.

Allah pun mengabulkan doa mereka.

Kemenangan dan Munculnya Dawud

Allah berfirman:

فَهَزَمُوهُم بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

(QS. البقرة: 251)

Dengan izin Allah, pasukan Thalut yang sedikit itu mengalahkan pasukan Jālūt yang besar. Dan di sinilah muncul tokoh penting berikutnya: Dawud ‘alaihissalām.

Dialah yang membunuh Jālūt, raja tiran yang ditakuti itu. Dengan terbunuhnya Jālūt, pasukannya porak poranda. Kemenangan besar diraih, harta rampasan perang melimpah, dan kedudukan kebenaran naik di atas kebatilan.

Allah kemudian menganugerahkan kepada Dawud:

  • Kerajaan – ia kelak menjadi raja Bani Israil.
  • Hikmah – yakni kenabian dan kebijaksanaan.
  • Ilmu – Allah mengajarinya perkara-perkara yang Dia kehendaki.

Dalam ayat lain, Allah mengingatkan kaum muslimin akan pola yang sama dalam sejarah, seperti pada Perang Badar:

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(QS. آل عمران: 123)


Bagaimana Dawud Membunuh Jalut

Dalam sebagian riwayat yang dikutip Ibnu Katsir, diceritakan bahwa Dawud adalah anak bungsu dari tiga belas bersaudara. Sebelumnya ia dikenal sebagai seorang penggembala yang pandai menggunakan ketapel (al-miqlā‘).

Janji Thalut

Diceritakan bahwa Thalut mengobarkan semangat Bani Israil dengan janji:

  • Siapa yang berhasil membunuh Jālūt, akan dinikahkan dengan putrinya.
  • Ia juga akan diikutsertakan dalam urusan kerajaan.

Dawud mendengar seruan ini.

Tiga Batu untuk Satu Raja

Dalam riwayat itu dikisahkan secara indah (meski sebagian ulama menganggap detailnya berasal dari riwayat Israiliyat):

  • Ketika Dawud berjalan bersama Bani Israil menuju medan perang, sebuah batu “memanggil” dirinya: “Ambillah aku, dengan perantaraanku engkau akan membunuh Jālūt.” Dawud pun mengambilnya.
  • Batu kedua dan ketiga juga memanggil dengan kalimat serupa. Dawud mengumpulkan ketiga batu itu dalam tasnya.

Saat kedua pasukan saling berhadapan, Jālūt maju ke depan dan menantang siapa saja yang berani menghadapinya dalam duel. Dawud pun melangkah maju.

Menurut riwayat itu, terjadilah dialog singkat:

  • Jālūt berkata, “Kembalilah, aku tidak suka membunuhmu.”
  • Dawud menjawab, “Tetapi aku suka membunuhmu.”

Dawud lalu mengambil ketiga batu tadi, meletakkannya dalam ketapelnya, dan memutarnya. Tiga batu itu, dengan izin Allah, menjadi satu batu besar yang kemudian meluncur kuat dan menghantam kepala Jālūt hingga retak dan ia pun tewas. Pasukannya lari berantakan, kalah telak.

Thalut pun menepati janjinya:

  • Ia menikahkan putrinya dengan Dawud.
  • Ia memberikan kedudukan yang besar dalam kerajaannya kepada Dawud.

Sejak itu, Dawud menjadi sosok yang sangat dicintai Bani Israil. Mereka condong dan hormat kepadanya, bahkan lebih daripada kepada Thalut sendiri.


Rasa Iri Thalut dan Tobatnya

Melihat besarnya kecintaan rakyat kepada Dawud, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Thalut mulai merasa iri. Ia bahkan berusaha untuk membunuh Dawud, namun selalu gagal. Para ulama dan orang-orang shalih menasihatinya agar tidak melakukannya, tetapi ia justru marah dan—menurut riwayat tersebut—membunuh banyak ulama hingga tersisa hanya sedikit.

Setelah itu, Thalut tersadar. Ia menyesal, banyak menangis, dan sering pergi ke pemakaman. Dikisahkan ia menangis begitu hebat hingga tanah menjadi basah oleh air matanya.

Pertanyaan tentang Tobat

Suatu hari, menurut riwayat itu, terdengar suara dari arah pemakaman berkata:

“Wahai Thalut, engkau telah membunuh kami ketika kami hidup, dan engkau menyakiti kami ketika kami mati.”

Tangisan dan ketakutannya pun semakin menjadi-jadi. Ia ingin tahu, apakah masih ada pintu tobat baginya. Ia mencari seorang alim untuk bertanya, namun orang-orang berkata, “Apakah engkau masih menyisakan seorang alim?”—menyinggung bahwa hampir semua ulama telah ia bunuh.

Akhirnya ia ditunjukkan kepada seorang perempuan ahli ibadah. Perempuan itu mengajaknya pergi ke kubur seorang nabi terdahulu.

  • Dalam sebagian riwayat disebutkan: ke kubur Nabi Yusya‘.
  • Dalam riwayat lain disebutkan: ke kubur Nabi Syamuil sendiri.

Perempuan itu berdoa, lalu—dalam riwayat tersebut—nabi yang telah wafat itu “berbicara” dan ditanyai tentang apakah masih ada kesempatan tobat bagi Thalut. Jawabannya:

  • Ya, ada.
  • Namun syaratnya: Thalut harus melepaskan kerajaannya dan kemudian pergi berperang di jalan Allah sampai terbunuh di medan jihad.

Ibnu Katsir di sini mengkritisi detail riwayat ini dan mengisyaratkan bahwa bangkitnya seorang nabi dari kubur dan berbicara setelah wafat, bila bukan sebagai mukjizat khusus yang diteguhkan Al-Qur'an atau hadits sahih, maka itu termasuk riwayat yang perlu diteliti. Besar kemungkinan yang dimaksud hanyalah sebuah mimpi yang benar yang dialami perempuan itu, bukan kebangkitan hakiki dari kubur.

Akhir Hayat Thalut

Diriwayatkan bahwa Thalut pun memenuhi syarat tobat itu:

  • Ia menyerahkan kerajaan kepada Dawud ‘alaihissalām.
  • Ia keluar berperang di jalan Allah bersama tiga belas orang putranya.
  • Mereka semua gugur sebagai syuhada di medan perang.

Sebagian ahli kitab mengklaim bahwa masa kerajaan Thalut sampai ia terbunuh bersama anak-anaknya berlangsung sekitar empat puluh tahun. Namun yang pasti, setelah itu Allah sempurnakan kerajaan dan kenabian pada diri Dawud ‘alaihissalām.


Pelajaran dari Kisah Ini

Dari rangkaian kisah Syamuil, Thalut, Jālūt, dan Dawud ini, banyak pelajaran yang bisa dipetik, di antaranya:

  • Doa seorang ibu yang tulus dapat melahirkan seorang tokoh besar umat, seperti Syamuil.
  • Kekuasaan sejati adalah milik Allah, dan Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki, bukan semata karena garis keturunan atau kekayaan.
  • Kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah, tetapi oleh iman, kesabaran, dan ketaatan kepada Allah.
  • Tabut dan tanda-tanda gaib lain menunjukkan bahwa pertolongan Allah datang dengan cara yang di luar perhitungan manusia.
  • Rasa iri dan hasad dapat menghancurkan pemimpin dan mengantarkannya pada kezaliman, namun pintu tobat tetap terbuka selama ia kembali kepada Allah dengan sungguh-sungguh.

Sebagian rincian kisah—terutama yang berkaitan dengan batu-batu yang berbicara, bangkitnya seorang nabi dari kubur, dan angka-angka tertentu—termasuk riwayat-riwayat tambahan yang bersumber dari atsar dan Israiliyat. Ibnu Katsir sendiri menandai bahwa di dalamnya ada hal-hal yang lemah dan ganjil. Pokok kisahnya yang pasti adalah yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an.


Sumber Kisah

  • Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, bagian Qashash al-Anbiyā’

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang