Nabi Sulaiman AS: Kerajaan Tak Tertandingi, Jin yang Tunduk, dan Hikmah Keadilan
1. Dua Nabi, Dua Hakim, dan Pujian dari Allah
Allah Ta'ala mengisahkan dengan indah tentang Nabi Dawud dan putranya, Nabi Sulaiman ‘alahimassalam. Keduanya adalah nabi, hakim, sekaligus pemimpin Bani Israil yang diberi ilmu dan hikmah yang luas.
Allah berfirman:
وَدَاوُۥدَ وَسُلَيْمَٰنَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِى ٱلْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ ٱلْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَٰهِدِينَ فَفَهَّمْنَٰهَا سُلَيْمَٰنَ ۚ وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُۥدَ ٱلْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَٱلطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَٰعِلِينَ وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍۢ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ(QS. Al-Anbiyā’: 78–80)“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman ketika keduanya memberi keputusan tentang tanaman, ketika kambing-kambing milik suatu kaum masuk merusakinya pada malam hari. Dan Kami menyaksikan keputusan yang mereka berikan.
Maka Kami memberi pemahaman (yang lebih tepat) tentang (perkara) itu kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.
Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semuanya bertasbih bersama Dawud; dan Kamilah yang melakukannya.
Dan Kami ajarkan kepadanya (Dawud) cara membuat baju besi untuk kalian, agar ia melindungi kalian dalam peperangan kalian. Maka apakah kalian bersyukur?”
Ayat ini menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana Allah memuji putusan Nabi Sulaiman, namun tetap menegaskan bahwa Dawud dan Sulaiman, keduanya diberi hikmah dan ilmu.
2. Sengketa Kebun Anggur dan Kambing
Dikisahkan oleh Syuraih Al-Qadhi dan para ulama salaf, bahwa pernah ada sekelompok orang yang memiliki sebuah kebun anggur yang subur. Pada suatu malam, kambing-kambing milik kaum lain lepas dan masuk ke dalam kebun itu. Kambing-kambing tersebut merumput di dalamnya dan memakan tanaman anggur hingga hancur total.
Kedua pihak lalu datang mengadukan perkara itu kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Setelah mendengar penjelasan dan melihat kerusakan, Dawud memutuskan agar pemilik kebun anggur diberi ganti rugi senilai kebunnya dari kambing-kambing yang telah merusak. Artinya, kambing-kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun sebagai pengganti kerusakan.
Ketika mereka keluar dari majelis Nabi Dawud, mereka bertemu dengan Nabi Sulaiman yang saat itu masih muda. Sulaiman bertanya kepada mereka, “Apa keputusan Nabi Allah untuk kalian?” Mereka pun menyampaikan bahwa Dawud memutuskan kambing-kambing itu menjadi milik pemilik kebun sebagai ganti rugi.
Mendengar itu, Sulaiman berkata, kira-kira dengan makna, “Seandainya aku yang memutuskan, maka aku akan memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik kebun. Mereka boleh memanfaatkan susu dan anak-anak kambing itu. Sementara para pemilik kambing diwajibkan memperbaiki kebun anggur hingga kembali seperti semula. Jika kebun sudah pulih seperti sedia kala, kambing-kambing itu dikembalikan kepada pemilik aslinya.”
Usulan ini menjaga hak pemilik kebun, karena mereka mendapat manfaat dari kambing hingga kebun kembali seperti semula. Pada saat yang sama, pemilik kambing tidak kehilangan harta pokok mereka selamanya. Ketika keputusan Sulaiman ini sampai kepada Nabi Dawud, beliau pun menerimanya dan menetapkannya sebagai keputusan akhir.
Di sinilah firman Allah berlaku:
فَفَهَّمْنَٰهَا سُلَيْمَٰنَ
“Maka Kami memberikan pemahaman (yang lebih tepat) tentang (perkara) itu kepada Sulaiman.”
Namun Allah menutup ayat dengan:
وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“Dan kepada masing-masing (Dawud dan Sulaiman) Kami berikan hikmah dan ilmu.”
Ini menunjukkan bahwa keputusan Dawud masih berada dalam batas syariat yang benar, namun pendapat Sulaiman lebih kuat dan lebih sempurna, sehingga Allah secara khusus memujinya.
3. Dua Ibu dan Seorang Bayi
Ibnu Katsir kemudian menyebutkan kisah lain yang mirip, yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Dua orang wanita berjalan bersama masing-masing anak mereka yang masih kecil. Di tengah perjalanan, seekor serigala datang dan menyambar salah satu anak, sehingga hanya tersisa satu bayi.
Keduanya lalu berselisih tentang siapa yang berhak atas bayi yang tersisa. Wanita yang lebih tua berkata bahwa serigala telah membawa anak wanita yang muda, sehingga bayi yang tinggal adalah anaknya. Sementara wanita yang lebih muda bersikeras bahwa serigala membawa anak wanita yang tua, dan bayi yang tersisa adalah miliknya.
Mereka pun mengadukan masalah itu kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Dawud memutuskan bahwa bayi itu adalah milik wanita yang lebih tua. Setelah keluar dari majelis Dawud, mereka bertemu Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Sulaiman menanyakan kasus mereka, lalu berkata, “Bawakan pisau untukku, akan aku belah bayi ini menjadi dua bagian, masing-masing dari kalian akan mendapat setengahnya.”
Mendengar itu, wanita yang lebih muda langsung berkata, “Jangan, wahai Nabi Allah, serahkan saja bayi itu kepadanya. Dia ibunya.” Ia lebih rela kehilangan haknya asalkan nyawa bayi itu selamat. Sedangkan wanita yang lebih tua tidak menunjukkan reaksi seperti itu.
Maka Sulaiman pun menetapkan bahwa bayi itu adalah milik wanita yang lebih muda. Beliau mengetahui bahwa ibu sejati tak akan rela melihat anaknya terbelah demi mempertahankan hak. Dari sini, tampak kecerdasan Nabi Sulaiman dalam menggali kebenaran di balik sengketa.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa boleh jadi kedua keputusan – keputusan Dawud dan Sulaiman – sama-sama sah dalam syariat mereka. Namun keputusan Sulaiman lebih kuat, sehingga Allah memuji putusan dan ilham yang diberikan kepada beliau.
4. Karunia Besar untuk Nabi Dawud
Allah tidak hanya memuji keadilan Dawud, tetapi juga menyebutkan karunia besar yang diberikan kepadanya. Di antara karunia itu adalah bahwa jika Dawud bertasbih, gunung-gunung dan burung-burung ikut bertasbih bersamanya.
Allah berfirman:
وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُۥدَ ٱلْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَٱلطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَٰعِلِينَ وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍۢ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ(QS. Al-Anbiyā’: 79–80)“Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semuanya bertasbih bersama Dawud; dan Kamilah yang melakukannya.
Dan Kami ajarkan kepadanya cara membuat baju besi untuk kalian, agar ia melindungi kalian dalam peperangan kalian. Maka apakah kalian bersyukur?”
Dari ayat ini, kita memahami bahwa Allah mengajarkan kepada Dawud teknik membuat baju besi yang kuat dan lentur, sehingga menjadi perlindungan dalam peperangan. Ilmu ini adalah nikmat besar yang seharusnya disyukuri.
5. Kerajaan Agung Nabi Sulaiman
Sesudah menyebut nikmat untuk Dawud, Allah lalu menyebut nikmat yang khusus diberikan kepada Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Di antara karunia yang paling menakjubkan adalah ditundukkannya angin dan jin untuk melayani perintahnya.
Angin yang Tunduk pada Perintahnya
Allah berfirman:
وَلِسُلَيْمَٰنَ ٱلرِّيحَ عَاصِفَةًۭ تَجْرِى بِأَمْرِهِۦٓ إِلَى ٱلْأَرْضِ ٱلَّتِى بَٰرَكْنَا فِيهَا ۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَىْءٍ عَٰلِمِينَ وَمِنَ ٱلشَّيَٰطِينِ مَن يَغُوصُونَ لَهُۥ وَيَعْمَلُونَ عَمَلًا دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَكُنَّا لَهُمْ حَٰفِظِينَ
(QS. Al-Anbiyā’: 81–82)
“Dan (Kami tundukkan) bagi Sulaiman angin yang sangat kencang, yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkahinya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dan di antara setan-setan ada yang menyelam untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain itu; dan Kami-lah yang memelihara mereka.”
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
فَسَخَّرْنَا لَهُ ٱلرِّيحَ تَجْرِى بِأَمْرِهِۦ رُخَآءً حَيْثُ أَصَابَ
(QS. Shād: 36)“Maka Kami tundukkan kepadanya angin yang berembus dengan lembut menurut kehendaknya ke mana saja ia tujukan.”
Dari ayat-ayat ini tampak bahwa angin tunduk kepada Sulaiman. Kadang angin berembus dengan lembut untuk perjalanan yang tenang, dan kadang menjadi sangat kencang jika ia menghendaki perjalanan cepat ke negeri-negeri yang diberkahi.
Permadani Raksasa dan Perjalanan Sejauh Sebulan dalam Sehari
Dalam riwayat yang dikumpulkan oleh para ahli tafsir dan dinukil Ibnu Katsir, disebutkan bahwa Sulaiman memiliki semacam hamparan besar dari kayu, seperti permadani raksasa. Di atas hamparan itu ia meletakkan segala yang dibutuhkan: rumah-rumah dan bangunan, istana-istana, tenda-tenda, barang-barang, kuda-kuda, unta-unta, beban-beban berat, manusia dari kalangan manusia dan jin, juga berbagai hewan dan burung.
Jika Sulaiman hendak bepergian, baik untuk rekreasi, perjalanan jauh, atau berperang melawan musuh di negeri manapun, semua itu ia letakkan di atas hamparan tersebut. Setelah siap, ia memerintahkan angin untuk masuk di bawah hamparan. Hamparan itu pun terangkat di antara langit dan bumi. Bila ia menginginkan perjalanan biasa, ia memerintahkan angin yang lembut; bila ia menginginkan kecepatan luar biasa, ia memerintahkan angin yang kencang, hingga ia dan pasukannya sampai di negeri yang jauh dalam waktu yang singkat.
Allah berfirman:
وَلِسُلَيْمَٰنَ ٱلرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌۭ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌۭ
(QS. Saba’: 12)“Dan (Kami tundukkan) bagi Sulaiman angin; perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan.”
Dari sebagian riwayat disebutkan bahwa pada pagi hari ia berangkat dari Baitul Maqdis menuju Istakhr yang berjarak sebulan perjalanan, lalu menetap di sana sampai sore. Kemudian pada sore hari angin membawanya kembali ke Baitul Maqdis. Ada pula riwayat dari Al-Hasan Al-Bashri yang menyebut bahwa ia berangkat pagi dari Damaskus, makan siang di Istakhr, lalu sore harinya berangkat lagi dan bermalam di Kabul. Jarak antara Damaskus dan Istakhr adalah perjalanan sebulan, dan antara Istakhr dan Kabul juga sebulan.
Mata Air Tembaga dan Pekerjaan Para Jin
Selain angin, Allah juga menundukkan tembaga cair untuk Sulaiman. Allah berfirman:
وَأَسَلْنَا لَهُۥ عَيْنَ ٱلْقِطْرِ
(QS. Saba’: 12)“Dan Kami alirkan baginya mata air tembaga.”
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, dan lainnya menjelaskan bahwa “al-qithr” adalah tembaga. Qatadah menyebut bahwa sumber tembaga itu berada di Yaman dan Allah memancarkannya untuk Sulaiman. Dalam satu riwayat dari As-Suddi disebutkan bahwa hanya dalam tiga hari Sulaiman mengambil dari mata air tembaga itu seluruh kebutuhan untuk bangunan dan lainnya.
Jin juga ditundukkan untuk bekerja di hadapan Sulaiman. Mereka membuat apa saja yang beliau kehendaki, seperti bangunan tinggi (mahāriib), hiasan dan patung di dinding (tamaatsil) — yang pada masa mereka dibolehkan — piring-piring besar seperti kolam air (jifān kal-jawāb), dan periuk-periuk besar yang tetap di tempatnya (qudūr rāsiyāt). Jika ada jin yang membangkang dari perintahnya, mereka disiksa dan dibelenggu dalam rantai, berpasang-pasangan.
Semua ini merupakan bagian dari kerajaan sempurna yang Allah sediakan bagi Sulaiman, kerajaan yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun sebelum dan sesudahnya.
6. Doa Nabi Sulaiman untuk Kerajaan yang Tak Tertandingi
Inti dari semua karunia luar biasa ini adalah doa Sulaiman sendiri. Allah mengabadikan doanya dalam Al-Qur’an:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِى وَهَبْ لِى مُلْكًا لَّا يَنبَغِى لِأَحَدٍۢ مِّنۢ بَعْدِىٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ(QS. Shād: 35)“Ia (Sulaiman) berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun setelahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.’”
Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah telah mengabulkan doa ini, berdasarkan hadits-hadits sahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga kerajaan seperti milik Sulaiman tidak akan terulang lagi pada siapapun setelahnya.
7. Rasulullah dan Jin: Menghormati Doa Sulaiman
Beberapa hadits sahih menunjukkan betapa agungnya doa Nabi Sulaiman, sampai-sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri memilih untuk tidak “mengambil” bagian dari bentuk kekuasaan itu, sebagai bentuk penghormatan terhadap doa Sulaiman.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah menceritakan bahwa suatu malam ada seekor ‘ifrit dari kalangan jin yang datang mengganggu shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah memberi kemampuan kepada beliau sehingga beliau bisa menangkapnya. Rasulullah sempat berniat mengikat jin itu di salah satu tiang masjid agar orang-orang dapat melihatnya keesokan harinya. Namun beliau kemudian teringat doa Nabi Sulaiman:
رَبِّ اغْفِرْ لِى وَهَبْ لِى مُلْكًا لَّا يَنبَغِى لِأَحَدٍۢ مِّنۢ بَعْدِىٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ
Akhirnya beliau melepaskan jin itu dalam keadaan hina, agar bentuk penguasaan jin seperti kerajaan Sulaiman tetap menjadi kekhususan baginya.
Dalam riwayat lain, para sahabat mendengar beliau membaca kalimat doa dan laknat dalam shalat. Setelah shalat, beliau menjelaskan bahwa Iblis datang membawa bara api untuk dilempar ke wajah beliau. Beliau memohon perlindungan kepada Allah dan melaknatnya, lalu berkeinginan untuk menangkapnya. Beliau bersabda bahwa, seandainya bukan karena doa saudara beliau, Sulaiman, tentu Iblis itu sudah terikat dan menjadi mainan anak-anak Madinah. Ini kembali menunjukkan betapa Nabi menghormati kekhususan yang Allah berikan kepada Sulaiman.
8. Kuda, Angin, dan Ganti yang Lebih Baik
Dalam beberapa riwayat tafsir disebutkan bahwa Nabi Sulaiman pernah sangat terpesona oleh kuda-kuda perang yang gagah dan cepat, sampai-sampai beliau sempat lalai dari dzikir dalam waktu yang singkat. Ketika menyadari hal itu, ia meninggalkan kecintaan yang berlebihan terhadap kuda-kuda itu demi mengharap wajah Allah.
Sebagai balasan atas ketulusan itu, Allah mengganti kuda-kudanya dengan nikmat yang jauh lebih besar, yaitu angin yang tunduk pada perintahnya. Angin itu lebih cepat daripada kuda, lebih kuat, lebih agung, dan sama sekali tidak menyulitkan beliau. Dengan angin, perjalanan sebulan bisa ditempuh dalam setengah hari.
9. Banyak Istri dan Pelajaran Penting dari “Insya Allah”
Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki banyak istri dan budak perempuan. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa jumlah mereka mencapai seribu wanita. Pada suatu hari, Sulaiman bersumpah bahwa malam itu ia akan menggilir sejumlah istrinya (dalam riwayat berbeda disebut 70, 90, atau 100 wanita), dan bahwa setiap wanita yang ia datangi akan melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah.
Seorang malaikat, atau sahabat dekatnya, berkata kepadanya, “Katakanlah: insya Allah.” Namun Sulaiman tidak mengucapkan kata itu. Ia lalu menggilir para istrinya sebagaimana yang ia niatkan. Tetapi ternyata dari semua istri itu, tidak ada satu pun yang melahirkan kecuali satu wanita saja, itupun hanya melahirkan seorang bayi yang cacat, separuh tubuh manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa seandainya Sulaiman mengucapkan “insya Allah”, niscaya semua istrinya akan melahirkan penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah, dan ia tidak akan dianggap melanggar sumpah. Dari sini kita belajar bahwa ucapan “insya Allah” bukan sekadar formalitas, tetapi pengakuan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak Allah.
10. Nabi Raja dan Hamba Rasul
Tentang Sulaiman, Allah berfirman:
هَٰذَا عَطَآؤُنَا فَٱمْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
(QS. Shād: 39)“Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu) tanpa perhitungan.”
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan sifat seorang nabi yang sekaligus raja. Allah mengizinkan Sulaiman untuk mengelola pemberian-Nya sebagaimana ia kehendaki; ia boleh memberi kepada siapa yang ia mau dan menahan dari siapa yang ia mau, dan ia tidak akan dihisab secara khusus dalam hal itu, karena semuanya telah dihalalkan untuknya.
Berbeda dengan sosok “hamba-rasul” seperti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasul ini sifatnya adalah tidak memberikan sesuatu atau menahannya kecuali dengan izin Allah secara langsung, dan beliau memilih jalan kerendahan hati dan kehambaan. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah ditawari pilihan antara menjadi nabi yang raja atau nabi yang hamba. Beliau meminta pendapat Jibril, dan Jibril memberi isyarat agar beliau merendah. Maka Nabi pun memilih menjadi hamba dan rasul.
Allah kemudian menjadikan khilafah dan kekuasaan setelah beliau berada di tengah umatnya. Akan senantiasa ada sekelompok dari umat Nabi Muhammad yang tampil di atas kebenaran hingga hari Kiamat.
11. Wafatnya Nabi Sulaiman dan Rahasia Tongkat
Allah menyingkap cara wafat Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ ٱلْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَىٰ مَوْتِهِۦٓ إِلَّا دَآبَّةُ ٱلْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُۥ ۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ ٱلْغَيْبَ مَا لَبِثُوا۟ فِى ٱلْعَذَابِ ٱلْمُهِينِ(QS. Saba’: 14)“Maka ketika Kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (jin) kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap (bekerja) dalam siksa yang menghinakan itu.”
Ayat ini menjadi patokan utama. Adapun rincian kejadian, sebagian datang melalui riwayat-riwayat Bani Israil yang dinukil oleh Ibnu Katsir. Selama tidak bertentangan dengan akidah dan syariat, kisah-kisah tersebut boleh disampaikan, namun tidak boleh diyakini secara pasti benar atau salah.
Sebagian riwayat menyebut bahwa Nabi Sulaiman biasa ber-i’tikaf di Baitul Maqdis dalam waktu yang beragam; terkadang setahun, dua tahun, sebulan, dua bulan, lebih ataupun kurang. Pada pengasingan diri yang terakhir, ia masuk ke ruang ibadahnya dengan membawa makanan dan minuman yang cukup. Saat itulah ajalnya tiba.
Riwayat yang dinukil dari Ibnu Abbas dan lainnya menceritakan bahwa setiap hari tumbuh sebuah pohon baru di Baitul Maqdis. Nabi Sulaiman datang ke setiap pohon dan bertanya, “Siapakah namamu, dan untuk apa engkau tumbuh?” Jika pohon itu tumbuh untuk ditanam sebagai pepohonan biasa, ia menanamnya. Jika tumbuh sebagai bahan obat, pohon itu menyebut jenis penyakit yang diobatinya, dan Sulaiman menggunakannya sesuai fungsi itu.
Suatu hari tumbuhlah sebuah pohon bernama Al-Kharrūbah. Saat ditanya, pohon itu menjawab bahwa ia tumbuh untuk meruntuhkan masjid ini, yaitu Baitul Maqdis. Mendengar itu, Sulaiman berkata bahwa Allah tidak akan meruntuhkan masjid tersebut selama ia masih hidup, dan bahwa pada pohon tersebut ada tanda kematiannya dan runtuhnya Baitul Maqdis setelah itu. Ia kemudian menebang pohon itu dan menjadikannya tongkat.
Ketika merasakan bahwa ajal sudah dekat, Sulaiman memohon kepada Allah agar kematiannya disembunyikan dari para jin, supaya manusia mengetahui bahwa jin tidak mengetahui perkara yang gaib. Setelah itu, Nabi Sulaiman berdiri di mihrabnya, mengerjakan shalat sambil bersandar pada tongkat tersebut. Di saat itulah malaikat maut datang dan mencabut ruhnya. Tubuh Sulaiman tetap tegak berdiri, seakan-akan ia masih hidup dan sedang shalat.
Di luar, para jin terus bekerja menjalankan berbagai proyek besar. Mereka menyangka bahwa Sulaiman masih mengawasi mereka, sehingga tidak ada yang berani berhenti. Dalam keadaan itu, Allah mengutus binatang kecil dari bumi, yaitu rayap. Rayap mulai memakan tongkat Sulaiman dari bagian dalam. Hari demi hari, bahkan dalam sebagian riwayat disebut selama satu tahun penuh, rayap terus menggerogoti kayu tersebut. Akhirnya, ketika tongkat itu telah rapuh, berat tubuh Sulaiman menyebabkan tongkat itu patah. Beliau pun jatuh tersungkur di hadapan para jin.
Barulah saat itu para jin sadar bahwa Sulaiman sudah mati sejak lama, dan mereka telah bekerja keras selama itu dalam “adzdzab al-muhīn”, yaitu siksaan yang menghinakan, tanpa mengetahui keadaan sebenarnya. Di sinilah terbukti bahwa mereka tidak tahu perkara gaib. Seandainya mereka mengetahui yang gaib, tentu mereka mengetahui waktu kematian Sulaiman dan tidak akan terus bekerja seperti itu.
Sebagian riwayat Israiliyat menambahkan bahwa setelah itu, jin merasa “berterima kasih” kepada rayap atas jasa rayap menyingkap kematian Sulaiman. Mereka dikatakan selalu mengirim air dan tanah lembap ke tempat rayap berada. Karena itu, di dalam batang kayu yang telah dimakan rayap sering ditemukan tanah dan kelembapan. Riwayat-riwayat seperti ini dinilai oleh Ibnu Katsir sebagai Israiliyat yang tidak boleh dibenarkan ataupun didustakan secara mutlak, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
12. Umur dan Masa Kerajaan Nabi Sulaiman
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang lamanya hidup dan masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebagian riwayat yang dibawakan Ibnu Katsir dari Ishaq bin Bisyr, dari Muhammad bin Ishaq, dan Az-Zuhri menyebut bahwa Sulaiman hidup selama kurang lebih lima puluh dua tahun, dan masa kerajaannya sekitar empat puluh tahun. Riwayat lain dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa masa pemerintahannya adalah dua puluh tahun. Ibnu Jarir Ath-Thabari menyimpulkan bahwa usia Sulaiman secara keseluruhan adalah lebih dari lima puluh tahun.
Setelah Nabi Sulaiman wafat, kerajaan Bani Israil diteruskan oleh putranya yang disebut Rehabeam. Ia memerintah selama kurang lebih tujuh belas tahun. Setelah masa itu, kerajaan Bani Israil mulai terpecah belah dan tidak lagi bersatu dalam satu kekuasaan besar seperti pada masa Dawud dan Sulaiman. Allah-lah yang lebih mengetahui kebenaran pastinya.
13. Penutup: Hikmah dari Kisah Dawud dan Sulaiman
Dari rangkaian kisah ini, tampak jelas bahwa Allah memuliakan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman dengan ilmu, hikmah, dan kerajaan yang luas. Namun yang paling ditekankan dalam Al-Qur’an bukan sekadar kehebatan lahiriah, tetapi pelajaran iman di baliknya. Dari kisah kebun anggur dan kambing kita belajar tentang keadilan dan kesediaan menerima pendapat yang lebih kuat, bahkan jika itu datang dari generasi setelah. Dari kisah dua ibu dan satu bayi, kita melihat bagaimana kecerdasan hukum dapat menyingkap kasih sayang seorang ibu yang sejati.
Dari kerajaan Sulaiman yang menguasai angin, jin, dan tembaga, serta perjalanan jarak jauh dalam sekejap, kita diajak untuk merenungkan betapa besar kekuasaan Allah yang memberi dan mencabut kerajaan sesuai kehendak-Nya. Doa Sulaiman tentang kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun setelahnya mengajarkan bahwa semua kelapangan itu tetap dikembalikan kepada Allah, Sang Al-Wahhab, Maha Pemberi. Sementara kisah terlupakannya ucapan “insya Allah” mengajarkan bahwa rencana sehebat apapun akan kosong tanpa penyandaran kepada kehendak Allah.
Puncaknya, kisah wafatnya Sulaiman yang disembunyikan dari para jin menjadi bukti kuat bahwa jin tidak mengetahui perkara gaib. Mereka tidak lebih tahu tentang masa depan daripada manusia, bahkan mereka pun bisa “ditipu” oleh tampilan lahiriah seorang nabi yang telah wafat. Semuanya ini menjadi ayat-ayat (tanda-tanda) bagi orang-orang yang beriman, agar tawakal mereka tertuju kepada Allah semata.
Sumber Kisah
- Ibnu Katsir, Qashashul Anbiya’ min Al-Bidāyah wan-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar