Nabi Muhammad ﷺ Dalam Asuhan Ibunya, Kakeknya, dan Pamannya

Tempat menggembala kambing di padang pasir Makkah di bawah langit cerah, dikelilingi perbukitan dan suasana damai penuh renungan.

Masa Kanak-Kanak Bersama Ibunda Tercinta

Setelah peristiwa luar biasa pembelahan dada di usia lima tahun, Nabi Muhammad ﷺ kembali bersama ibu susunya, Halimah As-Sa‘diyah. Sejak itu, beliau tumbuh menjadi anak yang kuat, sehat, dan penuh keceriaan. Tubuhnya tegap, wajahnya bercahaya, dan perilakunya menawan.

Tak lama kemudian, beliau diserahkan kembali kepada ibunya, Aminah binti Wahb. Sejak itu, Nabi kecil hidup di bawah naungan kasih sayang seorang ibu yang lembut, penuh cinta, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada sang buah hati satu-satunya.

Aminah sangat mencintai putranya. Dialah pelipur lara setelah kepergian suaminya, Abdullah, yang meninggal dunia ketika Nabi masih dalam kandungan. Segala cinta dan perhatian tertuju hanya pada Muhammad kecil.


Perjalanan ke Madinah — Jejak Cinta dan Duka

Ketika Nabi ﷺ berusia enam tahun, Aminah memutuskan melakukan perjalanan dari Makkah ke Madinah. Tujuan perjalanan itu ada dua:

  1. Untuk menjalin silaturahmi dengan keluarga suaminya dari Bani Najjar, keturunan Abdul Muththalib yang tinggal di sana.

  2. Untuk menziarahi makam Abdullah, suami tercinta yang dimakamkan di tanah Madinah.

Aminah mengajak Nabi kecil dan juga Ummu Aiman (Barakah Al-Habasyiyyah), pelayan yang dahulu diwariskan oleh Abdullah. Perjalanan jauh itu mereka tempuh dengan penuh harapan dan rindu.

Setibanya di Madinah, mereka menetap di rumah An-Nabighah, seorang kerabat dari Bani Najjar. Di sana, mereka tinggal selama sebulan. Nabi kecil mengenal keluarga ayahnya, mendengar kisah tentang ayahanda yang tak sempat ia jumpai, dan mungkin menziarahi makam beliau dengan perasaan haru.

Dalam masa tinggal itu, makna yatim mulai tumbuh dalam diri Nabi kecil. Ia mulai menyadari bahwa ayah yang selalu disebut ibunya sudah tiada. Hatinya lembut dan mudah tersentuh, bahkan sejak usia dini.


Perpisahan di Al-Abwā’

Setelah sebulan di Madinah, rombongan kecil itu bersiap kembali ke Makkah. Namun, di tengah perjalanan, Aminah jatuh sakit di sebuah desa bernama Al-Abwā’, yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Sakitnya semakin parah, hingga akhirnya takdir Allah pun tiba. Aminah wafat di pelukan putranya tercinta. Nabi kecil yang baru berusia enam tahun menangis di sisi pusara ibunya — menangis karena kehilangan sosok yang selama ini menjadi satu-satunya pelindung dan penghiburnya.

Beliau kini benar-benar yatim: tanpa ayah, tanpa ibu. Hanya Allah yang menjadi pelindung dan penjaganya.

Ummu Aiman kemudian membawa Nabi kecil pulang ke Makkah, dengan hati penuh iba dan kasih. Sejak saat itu, dialah yang merawat Nabi hingga beliau dewasa. Nabi ﷺ bahkan kelak berkata tentangnya:

“Dia adalah ibuku setelah ibuku.”


Kasih Sayang Kakek yang Mulia

Sesampainya di Makkah, Abdul Muththalib, kakek Nabi, menyambut cucunya dengan hati yang penuh kasih. Ia telah berusia lanjut, namun kasihnya kepada Muhammad kecil jauh melebihi kasihnya kepada anak-anaknya sendiri.

Abdul Muththalib adalah tokoh terhormat di kalangan Quraisy. Ia memiliki sebuah dipan khusus yang diletakkan di bawah naungan Ka‘bah. Setiap kali ia datang, anak-anaknya duduk di sekitar dipan itu dengan penuh hormat. Tak seorang pun berani duduk di atasnya.

Namun, Muhammad kecil, dengan polosnya, datang dan duduk di atas dipan itu. Paman-pamannya hendak menariknya turun, tetapi Abdul Muththalib menahan mereka sambil berkata dengan bangga:

“Biarkan anakku! Demi Allah, dia memiliki kedudukan yang agung.”

Sang kakek kemudian memeluknya, mengusap punggungnya, dan menatapnya dengan penuh kasih dan keyakinan bahwa cucunya ini akan menjadi seseorang yang besar.

Abdul Muththalib sering berkata kepada pengasuh Nabi:

“Wahai Barakah, jagalah anakku ini baik-baik. Aku pernah melihatnya duduk di bawah pohon Sidrah bersama anak-anak lain, dan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab berkata bahwa anak ini akan menjadi nabi umat ini.”

Ketika usia Nabi mencapai delapan tahun, Abdul Muththalib jatuh sakit. Ia tahu ajalnya sudah dekat. Dengan hati berat, ia berwasiat kepada putranya, Abu Thalib, agar menjaga dan merawat Muhammad seperti anaknya sendiri.
Beberapa waktu kemudian, sang kakek wafat dan dimakamkan di Al-Hajun, meninggalkan kesedihan mendalam di hati Nabi kecil.


Dalam Asuhan Pamannya, Abu Thalib

Setelah kakeknya wafat, Nabi ﷺ hidup bersama Abu Thalib, pamannya yang amat penyayang. Abu Thalib bukanlah orang kaya, namun ia memiliki kehormatan dan wibawa besar di kalangan Quraisy. Ia mencintai keponakannya itu lebih dari anak-anaknya sendiri.

Ia selalu berusaha agar Nabi kecil berada di sisinya. Jika akan makan, Abu Thalib berkata kepada keluarganya:

“Tunggulah sampai anakku datang.”

Jika Nabi ikut makan, makanan yang sedikit itu menjadi cukup untuk semua. Namun, jika beliau tidak hadir, mereka merasa tidak kenyang. Abu Thalib kagum, dan berkata:

“Sungguh engkau adalah anak yang diberkahi.”

Abu Thalib juga sering memperhatikan keanehan yang indah pada diri keponakannya. Anak-anak lain biasanya bangun dengan rambut kusut dan wajah kotor, sedangkan Muhammad kecil bangun dengan rambut rapi dan wajah bersih seolah telah dicelak.
Semakin hari, semakin besar rasa sayangnya. Ia melihat bahwa anak ini memiliki akhlak dan ketenangan yang tak biasa, penuh adab dan kebaikan sejak kecil.


Menggembala Kambing – Latihan Jiwa dan Kepemimpinan

Ketika beranjak remaja, Nabi ﷺ mulai bekerja menggembala kambing milik keluarganya dan sebagian penduduk Makkah. Beliau melakukan pekerjaan itu dengan kesungguhan dan keikhlasan.

Kelak, Nabi mengenang masa itu dengan bangga dan bersabda:

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.”
Para sahabat bertanya, “Engkau juga, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Ya, aku menggembalanya dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.”

Menggembala kambing bukan sekadar pekerjaan sederhana. Di sanalah para Nabi belajar tentang kesabaran, kelembutan, kepedulian, dan tanggung jawab. Mereka belajar mengarahkan yang lemah, menuntun yang tersesat, melindungi dari bahaya, dan menjaga kebersamaan kawanan mereka — pelatihan nyata sebelum kelak menjadi pemimpin umat manusia.

Dalam kesendirian di padang pasir, Nabi ﷺ banyak merenung. Ia menatap langit yang bertabur bintang, merasakan hembusan angin padang, dan memikirkan ciptaan Allah. Di sanalah tumbuh benih tafakkur — kebiasaan berpikir mendalam yang kelak menjadi ciri khas beliau sebagai seorang Rasul.


Penutup — Kasih, Kehilangan, dan Persiapan Ilahi

Demikianlah masa kecil Rasulullah ﷺ: masa yang penuh kasih, ujian, dan pelajaran.
Beliau tumbuh tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa harta, namun tidak pernah tanpa kasih dan perlindungan Allah.

Dari setiap kehilangan, Allah menggantinya dengan cinta:

  • Cinta seorang ibu yang lembut,

  • Kasih sayang seorang kakek yang bangga,

  • Perlindungan seorang paman yang setia,

  • Dan bimbingan Ilahi yang tak pernah berhenti.

Semua itu adalah persiapan dari Allah untuk menjadikannya manusia paling sempurna, pemimpin bagi umat, dan rahmat bagi seluruh alam.


📚 Sumber:
«السيرة النبوية في ضوء القرآن والسنة»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang