Nabi Isa ‘Alaihissalam dan Perjalanan Umatnya

 

Ilustrasi Damaskus kuno menjelang fajar dengan menara putih dan hewan buas hidup damai bersama, melambangkan turunnya rahmat dan kedamaian akhir zaman

Sifat, Gelar, dan Kedudukan Nabi Isa

Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam adalah manusia, seorang nabi dan rasul, dan bahwa ibunya Maryam adalah wanita yang sangat jujur imannya.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ﴾
(المائدة: ٧٥)

“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang sangat benar (shiddīqah)…”
(QS. Al-Ma’idah [5]: 75)

Beliau dikenal dengan gelar al-Masih. Sebagian ulama menjelaskan bahwa beliau dinamai demikian karena banyak berjalan (berkelana) di muka bumi, berpindah-pindah untuk berdakwah, menjauh dari fitnah dan kezaliman kaumnya, dan menghindari gangguan orang-orang Yahudi yang mendustakan dan memfitnah beliau dan ibunya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau dinamai al-Masih karena kedua telapak kakinya halus dan rata.

Allah juga mengabarkan bahwa Isa diutus sebagai penerus para nabi sebelumnya, dengan membawa kitab Injil yang memuat petunjuk dan cahaya.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَىٰٓ ءَاثٰرِهِم بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَءَاتَيْنَٰهُ ٱلْإِنجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ﴾
(الحديد: ٢٧)

“Kemudian Kami iringi jejak mereka dengan (mengutus) rasul‑rasul Kami, dan Kami iringi (mereka) dengan ‘Isa putra Maryam; Kami berikan kepadanya Injil, yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya…”
(QS. Al-Hadid [57]: 27)

Isa juga diberi banyak mukjizat dan diperkuat dengan Ruhul Qudus, yaitu malaikat Jibril ‘alaihissalam.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ﴾
(البقرة: من الآية ٨٧)

“…dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (Jibril).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 87, juga 2:253)


Kelahiran yang Dijaga dari Gangguan Setan

Dalam hadis sahih disebutkan bahwa setiap bayi yang lahir akan disentuh oleh setan hingga ia menangis keras karena tusukan itu, kecuali Maryam dan putranya Isa. Setan hendak menusuk, tetapi terhalang oleh hijab yang Allah jadikan sebagai pelindung bagi keduanya. Ini adalah salah satu bentuk pemuliaan Allah kepada Maryam dan Isa sejak awal kehidupan mereka di dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menerangkan keutamaan orang yang mengakui secara benar hak Allah, hak Nabi Muhammad, dan hak Nabi Isa. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa beliau bersabda kira-kira artinya:

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya; bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya; bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya; serta bersaksi bahwa surga itu benar adanya dan neraka itu benar adanya; maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga berdasarkan amal apa pun yang ia kerjakan.”

Hadis ini menegaskan letak kedudukan Isa secara benar dalam Islam: beliau adalah hamba Allah, rasul-Nya, kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya; bukan Tuhan, bukan anak Tuhan.


Dua Pahala bagi yang Beriman kepada Isa dan Muhammad

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut adanya beberapa golongan yang mendapat dua pahala. Beliau menggambarkan misalnya seorang hamba sahaya perempuan yang dididik dan diajari dengan baik oleh tuannya, lalu dimerdekakan dan dinikahi; atau seorang hamba sahaya yang bertakwa kepada Tuhannya dan taat kepada tuannya. Termasuk di antara mereka adalah orang yang beriman kepada Isa bin Maryam sebagai rasul Allah, kemudian ketika Nabi Muhammad diutus, ia beriman pula kepada beliau. Rasulullah bersabda bahwa orang seperti ini mendapatkan dua pahala, karena ia beriman kepada dua rasul di zamannya masing-masing dengan keimanan yang benar.

Ini merupakan kabar gembira bagi siapa saja dari Ahlul Kitab yang tulus mencari kebenaran, menerima Isa sebagai rasul, lalu beriman kepada Nabi terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Perjumpaan Nabi Muhammad dengan Isa dalam Isra’ Mi’raj

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan para nabi. Beliau menggambarkan bentuk fisik Musa dan Isa secara khusus, sehingga kita mengetahui bahwa para nabi adalah manusia biasa dari sisi fisik.

Musa ‘alaihissalam digambarkan sebagai seorang lelaki berkulit coklat kehitaman, bertubuh kuat, rambutnya agak terurai, dan menurut Rasulullah, seakan-akan beliau berasal dari kaum Syanu’ah, yaitu kabilah Arab yang dikenal. Adapun Isa ‘alaihissalam digambarkan sebagai lelaki berpostur sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, berkulit putih kemerahan, seolah-olah baru keluar dari kamar mandi; tubuh dan rambutnya tampak bersih dan segar. Dalam riwayat lain disebut bahwa rambutnya agak ikal dan dadanya bidang.

Rasulullah juga melihat Ibrahim ‘alaihissalam, dan menyatakan bahwa di antara seluruh keturunan Ibrahim, beliaulah (Nabi Muhammad) yang paling mirip dengan Ibrahim. Semua ini menguatkan bahwa para nabi adalah manusia pilihan, dengan bentuk-bentuk yang wajar sebagai manusia, namun dimuliakan oleh Allah dengan wahyu dan tugas kenabian.


Membedakan al-Masih Petunjuk dan al-Masih Kesesatan

Dalam sebuah mimpi yang benar pada malam Isra’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Isa bin Maryam dan al-Masih ad-Dajjal. Beliau menyaksikan Isa sedang thawaf di sekitar Ka’bah, berkulit coklat yang indah, rambutnya lurus sampai ke pundak, kepalanya seolah meneteskan air, dan beliau berjalan sambil meletakkan dua tangannya di atas pundak dua orang laki-laki di sisinya.

Setelah itu, beliau melihat sosok lain di belakang Isa: rambutnya keriting sangat keriwil, bermata satu pada mata kanannya, dan dalam penglihatan Rasulullah, ia sangat mirip dengan seorang laki-laki bernama Ibnu Qathn. Ia juga thawaf sambil memegang pundak seorang lelaki. Kepada Rasulullah dijelaskan bahwa yang pertama adalah al-Masih putra Maryam, sedangkan yang kedua adalah al-Masih ad-Dajjal.

Dengan demikian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan kepada umatnya perbedaan antara dua al-Masih: al-Masih yang membawa hidayah, yaitu Isa bin Maryam, dan al-Masih yang membawa kesesatan, yaitu Dajjal. Penjelasan ini agar ketika Isa benar-benar turun di akhir zaman dan Dajjal muncul, orang-orang beriman bisa mengenali siapa yang harus diikuti dan siapa yang harus diwaspadai.


Kehalusan Akhlak Nabi Isa

Ada sebuah kisah yang indah tentang kelembutan hati Isa ‘alaihissalam. Suatu ketika, beliau melihat seorang lelaki mencuri. Isa bertanya kepadanya, “Apakah engkau mencuri?” Lelaki itu segera mengingkari dan bersumpah, “Tidak, demi Dzat yang tidak ada ilah selain Dia.”

Secara lahir, Isa menyaksikan sendiri perbuatan mencuri itu. Namun karena laki-laki tersebut bersumpah dengan nama Allah, Isa lebih memilih mengagungkan nama Allah dan menghormati sumpah yang diucapkan atas nama-Nya. Beliau berkata, “Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan kedua mataku.”

Maksudnya, beliau siap menganggap bahwa yang salah adalah penglihatannya sendiri, sementara ia membenarkan ucapan orang yang bersumpah demi Allah, karena beliau mengira seorang mukallaf takkan berani bersumpah atas nama Allah dalam keadaan berdusta. Ini menunjukkan betapa suci prasangka beliau terhadap sesama, dan betapa besarnya penghormatan beliau terhadap nama Allah.


Tiga Bayi yang Dapat Berbicara

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hanya beberapa bayi saja yang bisa berbicara sejak dalam buaian, sebagai mukjizat yang Allah tampakkan di muka bumi.

Yang pertama adalah Isa bin Maryam, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an ketika beliau membela kehormatan ibunya di hadapan kaumnya, padahal saat itu beliau masih bayi.

Yang kedua adalah bayi dalam kisah Juraij. Juraij adalah seorang ahli ibadah Bani Israil yang tinggal di sebuah biara. Saat ia sedang shalat, ibunya datang memanggilnya. Dalam kebingungan, ia bertanya dalam hati apakah harus menjawab panggilan ibunya atau meneruskan shalatnya. Ia memilih meneruskan ibadahnya, sehingga ibunya marah dan berdoa agar Allah tidak mematikannya sebelum ia diperlihatkan wajah-wajah para pelacur (artinya: ujian dan fitnah dari mereka).

Beberapa waktu kemudian, seorang wanita pezina datang menggoda Juraij, namun ia menolak. Wanita itu lalu mendatangi seorang penggembala, berzina dengannya, dan ketika melahirkan seorang anak, ia menuduh bahwa anak itu adalah anak Juraij. Masyarakat yang marah datang merobohkan biaranya, menjatuhkannya, dan mencaci makinya. Juraij berwudhu, shalat, lalu mendekati bayi tersebut dan bertanya, “Siapa ayahmu, wahai bocah?” Dengan izin Allah, bayi itu menjawab, “Ayahku adalah si Fulan, sang penggembala.” Seketika itu pula fitnah atas nama Juraij tersingkap dan kehormatannya kembali.

Yang ketiga adalah seorang bayi yang sedang disusui ibunya. Ketika lewat seorang lelaki berkuda dengan penampilan gagah dan disegani, sang ibu berdoa, “Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.” Tiba-tiba bayi itu melepaskan susunya dan memandang lelaki itu, lalu berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau jadikan aku seperti dia.” Setelah itu ia kembali menyusu. Tidak lama kemudian lewat seorang budak perempuan yang dituduh berzina dan mencuri, sehingga orang-orang mencelanya. Sang ibu spontan berdoa, “Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti perempuan ini.” Bayi itu kembali menoleh dan berkata, “Ya Allah, jadikan aku seperti dia.”

Ketika ibunya keheranan dan bertanya alasannya, bayi itu menjelaskan bahwa lelaki yang tampak mulia itu adalah penguasa yang zalim, sedangkan budak perempuan yang dihina dan difitnah itu sebenarnya tidak bersalah, hanya sabar menanggung tuduhan. Dengan kisah ini, Allah menunjukkan bahwa penilaian manusia sering kali terbalik dengan penilaian Allah, dan bahwa kehormatan di sisi-Nya bergantung pada iman dan ketakwaan, bukan pada penampilan lahiriah.


Nabi Isa dan Umat Islam pada Hari Kiamat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa pada Hari Kiamat manusia akan dibangkitkan dalam keadaan tanpa alas kaki, tanpa pakaian, dan belum dikhitan. Beliau kemudian membaca firman Allah:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ ۖ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ﴾
(الأنبياء: ١٠٤)

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya; itulah suatu janji yang pasti atas (tanggungan) Kami. Sesungguhnya Kami benar-benar akan melaksanakannya.”
(QS. Al-Anbiya’ [21]: 104)

Beliau menjelaskan bahwa makhluk yang pertama kali diberi pakaian pada hari itu adalah Ibrahim ‘alaihissalam. Setelah itu, sekelompok orang dari umat Nabi Muhammad digiring ke arah kanan dan kiri, dipisahkan dari jalan yang menuju kepada beliau di telaga. Rasulullah terkejut dan berkata, “Mereka sahabat-sahabatku!” Namun dikatakan kepada beliau bahwa mereka terus-menerus murtad dan berpaling setelah beliau wafat.

Menghadapi kenyataan ini, Rasulullah meneladani ucapan Nabi Isa ‘alaihissalam yang diabadikan dalam Al-Qur’an:

قَوْلُ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَام:

﴿وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَّا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِى كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ * إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ﴾
(المائدة: ١١٧–١١٨)

“‘Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di tengah‑tengah mereka; maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.’”
(QS. Al-Ma’idah [5]: 117–118)

Ini menunjukkan kerendahan hati para nabi dan penyerahan mutlak mereka kepada keputusan Allah terhadap umat-umat mereka.


Nabi Isa dan Nabi Muhammad: Saudara Dekat di Antara Para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa para nabi itu seperti saudara-saudara seayah: bapak (pokok ajaran) mereka sama, yakni tauhid dan penghambaan hanya kepada Allah, tetapi ibu (detail syariat) mereka berbeda-beda. Oleh karena itu, ajaran pokok mereka berkesinambungan dan saling membenarkan.

Beliau menegaskan bahwa di antara semua nabi, beliaulah yang paling dekat dengan Isa bin Maryam, karena tidak ada nabi di antara Isa dan Muhammad. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus di sela-sela masa keduanya. Inilah sebabnya mengapa dalam banyak hadis tentang akhir zaman, Isa digambarkan akan turun di tengah umat Muhammad dan menjadi bagian dari rombongan orang-orang beriman yang menegakkan Islam, bukan datang membawa agama baru.

Rasulullah juga memperingatkan agar umatnya tidak berlebih-lebihan memuji dirinya. Beliau bersabda bahwa kaum muslimin tidak boleh memujinya secara berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji Isa bin Maryam sampai mengangkatnya ke derajat ketuhanan. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.”


Turunnya Nabi Isa di Akhir Zaman

Ibnu Katsir mengumpulkan banyak hadis sahih tentang turunnya Isa di akhir zaman. Dari hadis-hadis tersebut tergambar bahwa kelak, di penghujung sejarah dunia, Isa akan kembali turun sebagai tanda dekatnya Hari Kiamat.

Beliau akan turun di menara putih di Damaskus bagian timur, ketika shalat Subuh sudah ditegakkan. Rambutnya lurus, seolah meneteskan air meski tidak terkena basah. Kulitnya putih kemerahan, posturnya sedang, diapit oleh dua orang malaikat. Imam kaum muslimin ketika itu akan mempersilakan Isa untuk maju menjadi imam. Namun Isa menolak dan memuliakan umat Muhammad seraya menyatakan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Dalam riwayat lain ia berkata, “Sesungguhnya shalat ini didirikan untukmu,” lalu Isa shalat di belakang imam kaum muslimin tersebut.

Setelah shalat, Isa memimpin kaum muslimin mengejar al-Masih ad-Dajjal. Allah menakdirkan bahwa Isa akan menyusul Dajjal di dekat gerbang kota Ludd (di Palestina sekarang). Di sanalah Isa membunuh Dajjal dengan tangannya sendiri. Dengan kematian Dajjal, fitnah terbesar dalam sejarah umat manusia berakhir.

Pada masa kepemimpinan Isa ini, Islam menjadi satu-satunya agama yang diterima. Ia mematahkan salib, membunuh babi, dan menghapuskan jizyah, karena tidak ada lagi ahli kitab yang bertahan dengan keyakinan lamanya; semua yang selamat akan masuk Islam. Semua agama batil yang tersisa pun runtuh, dan hanya Islam yang tegak di muka bumi.

Allah juga menebarkan keamanan di muka bumi pada masa itu. Binatang buas tidak lagi menerkam, sehingga unta bisa merumput bersama singa, harimau bersama sapi, serigala dengan domba, dan anak-anak kecil bisa bermain-main dengan ular tanpa saling membahayakan. Isa akan tinggal di bumi selama masa yang Allah kehendaki, yang dalam beberapa riwayat disebut sekitar empat puluh tahun. Setelah itu beliau wafat, kaum muslimin menshalatinya dan menguburkannya.

Sebagian riwayat yang lemah menyebutkan bahwa Isa akan dimakamkan di kamar Nabi (hujrah nabawiyyah) di Madinah, di samping makam Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar. Namun Ibnu Katsir menegaskan bahwa sanad riwayat tersebut tidak sahih, meski kisahnya masyhur di sebagian kitab.

Tentang turunnya Isa ini, Ibnu Katsir mengaitkannya dengan beberapa ayat, di antaranya:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿وَإِن مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا﴾
(النساء: ١٥٩)

“Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali pasti akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum kematiannya. Dan pada hari Kiamat, dia akan menjadi saksi terhadap mereka.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 159)

Dan firman-Nya:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَةِ﴾
(الزخرف: من الآية ٦١)

“Dan sesungguhnya dia (‘Isa) benar-benar menjadi pengetahuan tentang (dekatnya) Hari Kiamat…”
(QS. Az-Zukhruf [43]: 61, menurut salah satu tafsirnya)


Masa Fatrah antara Isa dan Muhammad

Para ulama berbeda pendapat tentang lamanya masa fatrah, yaitu masa kekosongan rasul, antara diangkatnya Isa ke langit dan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat Salman al-Farisi meriwayatkan bahwa jarak antara keduanya sekitar enam ratus tahun. Qatadah menyebut angka lima ratus enam puluh tahun. Ada pula yang mengatakan lima ratus empat puluh tahun, dan ada riwayat lain yang menyebut sekitar empat ratus tiga puluh sekian tahun. Pendapat yang paling masyhur adalah enam ratus tahun. Sebagian ulama menjelaskan bahwa perbedaan angka ini bisa jadi karena perbedaan cara menghitung tahun, apakah dengan kalender qamariyah (bulan) atau syamsiyah (matahari).

Dalam sebuah hadis gharib yang dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, disebutkan bahwa para sahabat Isa tetap berada di atas sunnah dan petunjuk beliau selama dua ratus tahun, sebelum kemudian mulai muncul perubahan-perubahan dan penyimpangan yang besar dalam ajaran mereka.


Para Hawariyyin dan Penyebaran Dakwah Isa

Menurut riwayat yang dinukil dari Muhammad bin Ishaq, sebelum diangkat ke langit, Isa ‘alaihissalam mewasiatkan kepada para hawariyyin (murid-murid setia beliau) agar mereka mengajak manusia untuk menyembah Allah semata, tanpa sekutu. Setiap hawari diberi tugas khusus ke suatu wilayah: ada yang ke negeri Syam, ada yang ke kawasan timur, dan ada pula yang ke negeri-negeri barat.

Allah memudahkan tugas mereka dengan sebuah karamah. Dikisahkan bahwa pada pagi hari ketika mereka hendak berangkat berdakwah ke wilayah masing-masing, setiap hawari mendapati dirinya mampu berbicara dengan bahasa kaum yang akan didatanginya. Dengan demikian dakwah kepada tauhid bisa tersampaikan dengan jelas di berbagai negeri.


Empat Injil dan Perbedaan di Dalamnya

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ajaran Isa kemudian dibukukan dalam bentuk Injil-Injil yang disandarkan kepada empat tokoh, yaitu Lukas, Matius, Markus, dan Yohanes. Di antara mereka, menurut sebagian ulama, hanya dua orang yang sempat bertemu dan mengikuti Isa secara langsung, yaitu Matius dan Yohanes. Adapun Markus dan Lukas adalah murid dari para murid Isa (sahabat para hawari).

Di antara keempat Injil ini sendiri terdapat banyak perbedaan. Naskah-naskahnya saling berbeda dari satu salinan ke salinan lain. Ada penambahan dan pengurangan, serta perbedaan dalam susunan dan kandungan, jika dibandingkan antara satu dengan yang lain. Menurut Ibnu Katsir, di sinilah mulai tampak jejak perubahan, penakwilan dan penggantian yang kemudian semakin besar dari masa ke masa.


Kisah Seorang Mukmin Damaskus dan Paulus Sang Yahudi

Di Damaskus, pada masa awal penyebaran ajaran Isa, ada seorang lelaki beriman yang membenarkan risalah beliau, bernama Dhīnā. Ia bersembunyi di sebuah gua di dalam Bab asy-Syarqi (Pintu Timur Damaskus), dekat sebuah gereja, karena takut kepada seorang Yahudi bernama Paulus. Paulus digambarkan sebagai seorang yang sangat membenci Isa dan apa yang beliau bawa. Ia menindas orang-orang yang beriman kepada Isa. Bahkan ia pernah menggunduli kepala anak saudaranya sendiri ketika pemuda itu beriman kepada Isa, lalu mengaraknya keliling kota untuk dipermalukan dan merajamnya hingga mati.

Ketika Paulus mendengar bahwa Isa menuju Damaskus, ia menyiapkan kendaraannya dan berangkat dengan niat membunuh beliau. Di suatu tempat bernama Kaukabā, ia bertemu dengan rombongan para sahabat Isa. Saat itu datanglah seorang malaikat yang memukul wajah Paulus dengan ujung sayapnya, sehingga ia menjadi buta. Kejadian ini mengguncang hatinya. Ia sadar bahwa Isa berada di atas kebenaran. Paulus lalu mendatangi Isa, meminta maaf atas perbuatannya yang lampau, dan menyatakan beriman kepada beliau. Isa menerima tobatnya. Ketika Paulus meminta agar Isa mendoakannya supaya kembali melihat, Isa menyuruhnya pergi kepada Dhīnā di Damaskus dan memintanya berdoa untuknya. Dhīnā pun berdoa, dan Allah mengembalikan penglihatannya.

Setelah kejadian itu, keimanan Paulus dikisahkan menjadi baik, bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Sebuah gereja kemudian dibangun di Damaskus dan dinisbatkan kepada Paulus; dikenal sebagai Gereja Paulus. Gereja ini disebut masih ada sejak kota itu ditaklukkan oleh para sahabat Nabi hingga kemudian hancur.

Riwayat seperti ini termasuk kisah sejarah yang dikutip Ibnu Katsir dari sumber-sumber terdahulu. Rinciannya bukan bagian pokok akidah, namun menggambarkan bagaimana para ulama klasik memandang fase awal sejarah pengikut Isa.


Perselisihan Besar Tentang Hakikat Isa Setelah Diangkat

Setelah Isa diangkat ke langit, para pengikutnya berselisih paham tentang dirinya. Ibnu Katsir mengutip penjelasan Ibnu Abbas dan ulama salaf lainnya. Sebagian dari mereka berkata bahwa di tengah-tengah mereka dahulu ada hamba Allah dan Rasul-Nya, lalu ia diangkat ke langit. Inilah pendapat yang benar dan sesuai dengan ajaran para nabi. Sebagian lain mengatakan bahwa Isa adalah Allah. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia adalah anak Allah. Dua pendapat terakhir inilah yang dinilai sebagai kekufuran besar, karena menyalahi tauhid dan mengangkat hamba menjadi Tuhan.

Allah menggambarkan perselisihan ini dalam Al-Qur’an:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿فَاخْتَلَفَ الْأَحْزَابُ مِنۢ بَيْنِهِمْ ۖ فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ كَفَرُوا مِن مَّشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾
(مريم: ٣٧)

“Maka golongan-golongan (yang ada) di antara mereka berselisih. Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar (Hari Kiamat).”
(QS. Maryam [19]: 37)

Seiring waktu, perbedaan ini semakin melebar. Empat Injil yang beredar pun mengalami banyak variasi dan penafsiran; unsur penambahan, pengurangan, dan perubahan isi kian kuat. Hingga akhirnya, tiga abad setelah Isa, terjadilah peristiwa besar yang sangat menentukan arah ajaran Nasrani seterusnya.


Konsili Konstantin dan Lahirnya Aliran-Aliran Besar Nasrani

Sekitar tiga ratus tahun setelah Isa, para pemimpin agama Nasrani – para patriark, uskup, pendeta, diakon, dan rahib – berbeda sangat tajam dalam masalah siapakah Isa sebenarnya. Perbedaan ini tidak lagi sebatas cabang, tetapi menyentuh inti akidah: apakah Isa hamba dan rasul Allah, apakah ia Tuhan, ataukah anak Tuhan?

Untuk mencari penyelesaian, mereka berkumpul di hadapan Kaisar Konstantin, pendiri kota Konstantinopel. Inilah konsili besar yang pertama. Dalam pertemuan itu, berbagai pendapat dan kelompok saling berdebat. Pada akhirnya, sang kaisar memihak pendapat yang dianut mayoritas, dan menjadikannya sebagai akidah resmi kerajaan. Kelompok yang ajarannya didukung kekuasaan ini kemudian dikenal sebagai kaum Melkiyah (kaum kerajaan). Pendapat-pendapat lain dianggap sesat, ditolak, dan para penganutnya disingkirkan.

Namun ada satu kelompok yang tetap teguh berpendapat bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Mereka terdiri dari pengikut seorang tokoh yang dalam literatur Islam disebut ‘Abdullah bin Arius (Arius). Mereka memilih menjauh dari hiruk pikuk kekuasaan, pergi ke pedalaman dan lembah-lembah, membangun biara-biara dan tempat-tempat ibadah sederhana, hidup dalam kezuhudan dan kesederhanaan, enggan bergaul dengan kelompok-kelompok lain yang dianggap telah menyimpang.

Di sisi lain, kelompok Melkiyah yang menjadi agama resmi kerajaan membangun gereja-gereja besar dan megah. Mereka memanfaatkan bangunan-bangunan bergaya Yunani dengan memindahkan arah mihrabnya ke timur, padahal sebelumnya menghadap ke arah utara (bintang Kutub). Di tanah suci, Kaisar Konstantin membangun Bait Lahm (Bethlehem) di atas tempat yang diyakini sebagai lokasi kelahiran Isa, dan ibunya Helena membangun gereja besar di tempat yang diklaim sebagai kubur orang yang disalib, yang dikenal dalam literatur Islam sebagai al-Qumamah (yang oleh orang Kristen disebut Gereja Makam Suci). Yang menarik, mereka menerima begitu saja klaim orang-orang Yahudi bahwa yang disalib itu adalah al-Masih, sementara dalam pandangan Islam, yang disalib bukanlah Isa, melainkan seseorang yang diserupakan dengan beliau.

Dalam proses pembentukan ajaran resmi ini, mereka menetapkan berbagai aturan dan hukum baru. Sebagian di antaranya bertentangan dengan Taurat, yang mereka sebut sebagai Kitab Lama. Mereka menghalalkan beberapa hal yang diharamkan berdasarkan Taurat, seperti memakan daging babi. Mereka mengubah arah ibadah ke timur, padahal Isa dan para nabi Bani Israil setelah Musa shalat menghadap ke batu di Baitul Maqdis (Qubah ash-Sakhrah). Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, pada awal hijrahnya ke Madinah, shalat menghadap ke arah sana selama kurang lebih enam belas atau tujuh belas bulan sebelum diperintahkan menghadap ke Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim.

Selain itu, mereka mulai memenuhi gereja-gereja dengan gambar dan patung, padahal sebelumnya tidak demikian. Yang paling pokok, mereka menyusun sebuah rumusan akidah yang disebut al-Amānah (kredo iman), yang kemudian dihafalkan oleh anak-anak, perempuan dan laki-laki, dan menjadi pegangan semua kalangan. Dalam pandangan Ibnu Katsir sebagai ulama Ahlus Sunnah, rumusan ini berisi banyak hal yang menyelisihi tauhid dan memasukkan unsur pengkultusan Isa dan Ruhul Qudus ke dalam derajat ketuhanan, sehingga ia menilainya sebagai salah satu bentuk kekufuran yang besar. Namun beliau tetap menukilnya sebagaimana adanya, sebagai gambaran tentang bagaimana ajaran tersebut diformalkan.

Di kemudian hari, tiga aliran besar Nasrani – Melkiyah (pendukung kekaisaran), Nestorian (pengikut Nestorius), dan Ya’qubiyah (pengikut Ya’qub al-Barada’i) – sama-sama memegang dasar kredo tersebut, hanya saja mereka berbeda dalam menafsirkan rincian hubungan antara “Bapa, Putra, dan Ruhul Qudus”.


Pujian Syair terhadap Tauhid dan Kritik terhadap Klaim Penyaliban

Ibnu Katsir menukil sebuah syair indah yang ditulis oleh seorang ulama untuk membantah klaim bahwa Isa adalah anak Tuhan dan bahwa ia diserahkan kepada orang-orang Yahudi untuk dibunuh dan disalib. Syair itu, bila diterjemahkan secara ringkas, kira-kira berbunyi:

“Betapa mengherankan keadaan al-Masih di tengah kaum Nasrani, sementara mereka menisbatkan kepada Allah bahwa Dia memiliki anak. Mereka mengaku telah menyerahkan Isa kepada orang-orang Yahudi dan berkata, ‘Sesungguhnya setelah membunuhnya, mereka menyalibnya.’ Jika apa yang kalian katakan benar dan sahih, di manakah ayahnya kala ia membiarkan anaknya berada dalam belenggu musuh-musuhnya? Apakah ia ridha terhadap perbuatan mereka atau murka? Jika ia ridha, maka maafkan mereka, sebab mereka telah menyenangkan hatinya. Namun jika ia murka, maka tinggalkanlah dia dan sembahlah mereka saja, karena mereka telah mengalahkannya.”

Syair ini menggugah akal sehat. Ia menegaskan bahwa konsep “anak Tuhan yang diserahkan untuk disalib” bertentangan dengan sifat Allah Yang Mahaperkasa, Mahakuasa, dan Mahasempurna. Dalam pandangan Islam, Isa sama sekali tidak dibunuh dan tidak disalib; Allah berfirman bahwa hal itu hanya tampak bagi mereka, sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah Allah mengangkat Isa kepada-Nya.


Peneguhan Kedudukan Isa dan Kemenangan Orang-Orang Beriman

Allah menegaskan bahwa di antara Bani Israil yang mendengar dakwah Isa, ada yang beriman dan ada yang kafir. Namun Allah menolong golongan yang beriman, sehingga pada akhirnya mereka menjadi golongan yang menang, yakni menang dengan hujjah dan kebenaran, meskipun tidak selalu menang secara jumlah dan kekuasaan di setiap masa.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

﴿فَآمَنَت طَّآئِفَةٌ مِّنۢ بَنِىٓ إِسْرٰٓءِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٌ ۖ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ عَلَىٰ عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا۟ ظٰهِرِينَ﴾
(الصف: ١٤)

“Maka segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir. Lalu Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menang.”
(QS. Ash-Shaff [61]: 14)

Dalam pandangan Ibnu Katsir, kemenangan hakiki ini akan tampak secara penuh di akhir zaman, ketika Isa turun kembali, menegakkan Islam di muka bumi, membatalkan segala bentuk pengkultusan terhadap dirinya, membunuh Dajjal, dan bergabung dengan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu barisan tauhid hingga Allah mengakhiri kehidupan dunia.

Di akhir kitabnya, setelah mengisahkan para nabi dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, Ibnu Katsir menutup dengan kisah Isa, perjalanan umatnya, penyimpangan-penyimpangan yang muncul, dan janji Allah bahwa Isa akan kembali turun untuk menegakkan kebenaran sebelum berakhirnya dunia. Beliau menutup karya ini dengan pujian:

“Segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya.”


Sumber Kisah :

Ibnu Katsir“Qashash al-Anbiya’ min al-Bidayah wa an-Nihayah” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang