Nabi Dawud AS: Ketika Kerajaan, Ibadah, dan Syukur Bersatu dalam Satu Pribadi


Kisah Nabi Dawud ‘Alaihissalam

Sebuah rangkuman kisah Nabi Dawud ‘alaihissalam yang disusun dari Qashash al-Anbiya (ringkasan dari al-Bidāyah wa an-Nihāyah) karya Ibnu Katsir, dengan bahasa sederhana dan mengalir.

Asal-usul dan Kedudukan Nabi Dawud

Nama lengkap beliau dalam riwayat para ulama nasab adalah: Dawud bin Isya bin ‘Uwaid bin ‘Abir bin Salmun bin Nahsyun bin ‘Awainadzib bin Iram bin Hashrun bin Faras bin Yahudza bin Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil ‘alaihissalam.

Beliau adalah seorang hamba Allah, nabi-Nya, dan khalifah-Nya di bumi, khususnya di negeri Baitul Maqdis (Palestina).

Dalam sebagian riwayat, disebutkan bahwa fisik Nabi Dawud ‘alaihissalam tidak terlalu tinggi, matanya tajam, rambutnya tidak terlalu lebat, namun hatinya sangat bersih dan suci.

Masa Muda dan Kemenangan atas Jalut

Di masa sebelum Dawud menjadi raja, Bani Israil dipimpin oleh Thalut (Saul). Mereka berhadapan dengan pasukan kuat yang dipimpin seorang panglima besar bernama Jalut (Goliath).

Jalut menantang Thalut untuk mengutus seorang dari tentaranya agar berduel dengannya. Tak seorang pun berani maju, sampai akhirnya seorang pemuda bernama Dawud bangkit menyambut tantangan itu. Dengan izin Allah, Dawud berhasil membunuh Jalut.

Sebagian ulama sejarah menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di dekat sebuah istana yang dikenal sebagai istana Ummu Hakim, di sekitar daerah Marj ash-Shuffar. Setelah kemenangan itu, hati Bani Israil condong kepada Dawud. Mereka mulai mencintainya dan menginginkannya sebagai pemimpin.

Allah menceritakan peristiwa besar itu dalam Al-Qur’an:

وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُوتَ وَآتَاهُ ٱللَّهُ ٱلْمُلْكَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُۥ مِمَّا يَشَآءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ ٱلْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلْعَٰلَمِينَ
(البقرة: ٢٥١)

Artinya: “Dan Dawud membunuh Jalut, lalu Allah memberinya (Dawud) kerajaan dan hikmah, serta mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 251)

Dari sini, kekuasaan yang tadinya berada di tangan Thalut beralih kepada Dawud ‘alaihissalam. Sejak saat itu, Allah mengumpulkan pada diri Dawud dua kemuliaan sekaligus: kenabian dan kerajaan. Sebelumnya, kerajaan berada pada satu kabilah, sedangkan kenabian berada pada kabilah lain. Pada Dawud keduanya disatukan.

Para ulama menafsirkan bagian ayat “Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain...” bahwa keberadaan para pemimpin dan penguasa yang menegakkan hukum Allah adalah sebab terjaganya hak-hak manusia. Tanpa mereka, yang kuat akan menindas yang lemah. Karena itu dalam sebagian atsar disebutkan: “Penguasa adalah bayang-bayang Allah di bumi-Nya.” Dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah mencegah (banyak maksiat) dengan kekuasaan, apa yang tidak dapat dicegah hanya dengan (membaca) Al-Qur’an.”

Besinya Dilunakkan dan Baju Besi Pertama di Dunia

Salah satu karunia besar Allah kepada Nabi Dawud adalah kemampuan mengolah besi secara ajaib. Allah menyebutkan:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَٱلطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ ٱلْحَدِيدَ ۝ أَنِ ٱعْمَلْ سَٰبِغَٰتٍ وَقَدِّرْ فِى ٱلسَّرْدِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (سبأ: ١٠–١١)

Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah menganugerahkan kepada Dawud karunia dari Kami: ‘Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud.’ Dan Kami lunakkan besi untuknya, (kami perintahkan), ‘Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah tenunannya dengan tepat, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’” (QS. Saba’: 10–11)

وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ ٱلْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَٱلطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَٰعِلِينَ ۝ وَعَلَّمْنَٰهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّنۢ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنتُمْ شَٰكِرُونَ (الأنبياء: ٧٩–٨٠)

Artinya:
“Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung (yang bertasbih) bersama Dawud, dan Kami-lah yang melakukannya. Dan Kami ajarkan kepadanya cara membuat baju besi untukmu agar melindungi kamu dalam peperanganmu. Maka patutkah kamu bersyukur?” (QS. Al-Anbiya’: 79–80)

Para mufasir menjelaskan: Allah mengajarkan kepada Dawud cara membuat baju besi berantai (zaraad). Sebelum itu, baju perang hanya berupa lempengan-lempengan besi yang kaku dan kurang nyaman. Allah mengilhamkan kepadanya cara menyusun mata rantai besi dengan ukuran yang pas: tidak terlalu tipis sehingga mudah pecah, dan tidak terlalu tebal sehingga patah atau kaku.

Dalam riwayat-riwayat salaf disebutkan bahwa besi dilunakkan untuk Nabi Dawud sehingga dapat dibentuk dengan tangan kosong, tanpa perlu api dan palu. Beliau membuat baju besi setiap hari dan menjualnya, lalu mencukupi kebutuhan hidupnya dari hasil kerjanya sendiri. Dari sinilah datang sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa makanan terbaik yang dimakan seseorang adalah dari hasil usaha tangannya sendiri, dan beliau mencontohkan Nabi Dawud yang makan dari kerja tangannya.

Suara yang Merdu, Tasbih Gunung dan Burung

Selain kemampuan mengolah besi, Nabi Dawud ‘alaihissalam dianugerahi suara yang sangat indah dan menyentuh. Setiap kali beliau membaca kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu Zabur, gunung-gunung dan burung-burung ikut bertasbih bersamanya.

وَٱذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا ٱلْأَيْدِ ۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌ ۝ إِنَّا سَخَّرْنَا ٱلْجِبَالَ مَعَهُۥ يُسَبِّحْنَ بِٱلْعَشِىِّ وَٱلْإِشْرَاقِ ۝ وَٱلطَّيْرَ مَحْشُورَةً ۖ كُلٌّۭ لَّهُۥٓ أَوَّابٌ ۝ وَشَدَدْنَا مُلْكَهُۥ وَءَاتَيْنَٰهُ ٱلْحِكْمَةَ وَفَصْلَ ٱلْخِطَابِ (ص: ١٧–٢٠)

Artinya:
“Dan ingatlah hamba Kami Dawud yang memiliki kekuatan (dalam ibadah); sungguh dia adalah orang yang banyak kembali (kepada Allah). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia di waktu petang dan pagi. Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul; semuanya sangat taat kepadanya. Dan Kami kokohkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah serta kemampuan memberi keputusan (yang tepat).” (QS. Shad: 17–20)

Para ulama menjelaskan bahwa ketika Nabi Dawud membaca Zabur dengan suara merdunya, burung-burung berhenti terbang dan mengulang lantunannya, gunung-gunung memantulkan tasbih mengikuti bacaan beliau. Suaranya begitu menyentuh hingga jiwa-jiwa yang gundah pun menjadi tenang.

Keindahan suara ini tercermin ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar bacaan sahabat Abu Musa Al-Asy‘ari. Beliau bersabda: “Sungguh, Abu Musa telah diberi bagian dari seruling-seruling (suara) keluarga Dawud.” Maksudnya, bacaan Al-Qur’an Abu Musa begitu merdu hingga mengingatkan pada keindahan suara Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika membaca Zabur.

Ibadah Nabi Dawud: Shalat Malam dan Puasa

Allah menyebut Nabi Dawud sebagai “dzal-aydi”, yaitu yang memiliki kekuatan dalam ketaatan. Para sahabat dan tabi‘in menjelaskan, maksudnya adalah kuat dalam ibadah dan amal shalih: semangat, tekun, dan konsisten.

Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya Dawud, dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasanya Dawud. Ia tidur separuh malam, kemudian bangun (shalat) sepertiganya, lalu tidur lagi seperenamnya; dan ia berpuasa sehari dan berbuka sehari, serta tidak lari ketika berjumpa dengan musuh.”

Dari sini kita mengetahui bahwa ibadah Nabi Dawud seimbang: beliau memberi hak tubuh untuk istirahat, hak jiwa untuk munajat, dan hak umat untuk dipimpin dan dibela. Ibadah beliau bukan hanya ibadah pribadi, tetapi juga diwujudkan dalam keberanian melawan musuh dan menegakkan keadilan.

Zabur: Kitab Nabi Dawud

وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا (الإسراء: ٥٥)

Artinya: “Dan Kami telah memberikan Zabur kepada Dawud.” (QS. Al-Isra’: 55)

Zabur adalah kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam. Di dalamnya terdapat nasihat-nasihat, hikmah, dan peringatan yang lembut bagi hati. Dalam sebagian riwayat, disebutkan bahwa Zabur diturunkan pada bulan Ramadhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan bahwa bacaan Zabur dipermudah bagi Dawud. Ketika beliau memerintahkan agar hewan tunggangannya dipasangi pelana, ia sudah menyelesaikan bacaan Zabur sebelum pemasangan itu selesai. Itu pun bukan bacaan tergesa-gesa, tetapi bacaan yang tetap disertai tadabbur dan lantunan yang khusyuk.

Beliau juga terkenal tidak makan kecuali dari hasil kerja tangannya sendiri, yaitu dari pembuatan dan penjualan baju-baju besi.

Keadilan dan Hukum Nabi Dawud

Salah satu karunia besar untuk Nabi Dawud adalah kemampuan memutuskan perkara dengan adil dan jelas. Di akhir rangkaian kisahnya dalam surat Shad, Allah berfirman:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌۭ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ (ص: ٢٦)

Artinya:
“Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad: 26)

Ayat ini bukan hanya seruan untuk Nabi Dawud, tetapi pelajaran bagi semua pemimpin dan hakim: jangan mengikuti hawa nafsu, tapi berpegang pada wahyu dan kebenaran. Para ulama menafsirkan bahwa “fashl al-khithab” yang diberikan kepada Dawud adalah kemampuan memutuskan perkara dengan tegas dan jelas, menempatkan bukti pada pihak yang menuntut dan sumpah pada pihak yang mengingkari, serta kefasihan dalam bicara.

Dalam sebagian riwayat dari Bani Israil disebutkan bahwa ketika kezaliman dan kesaksian palsu semakin banyak, Allah memberikan kepada Dawud sebuah rantai emas yang turun dari langit sampai ke batu di Baitul Maqdis. Jika dua orang berselisih, maka orang yang benar dapat memegang rantai itu, sedangkan orang yang berdusta tidak mampu menyentuhnya. Rantai ini menjadi tanda kebenaran sampai suatu ketika ada orang yang menipunya dengan tipu daya, lalu Allah mengangkat rantai itu dari tengah manusia. Kisah ini disebut oleh sebagian mufasir sebagai riwayat israiliyyat; kita mengambil darinya sebatas sebagai pelajaran, bukan sebagai kepastian sejarah.

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kedudukan pemimpin yang adil:

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya dengan-Nya adalah pemimpin yang adil. Dan manusia yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan paling keras siksaannya adalah pemimpin yang zalim.”

Nabi Dawud termasuk teladan dalam keadilan itu, sehingga ia mendapatkan kedudukan yang dekat di sisi Allah.

Ujian di Mihrab: Dua Orang yang Berselisih

Allah menguji Nabi Dawud dengan satu peristiwa yang diceritakan secara ringkas dalam Al-Qur’an. Banyak riwayat israiliyyat mencoba merinci kisah ini, namun para ulama –seperti Ibnu Katsir– mengingatkan bahwa sebagian besar riwayat itu tidak dapat dipercaya. Karena itu kita berpegang pada apa yang Allah kisahkan saja.

وَهَلْ أَتَىٰكَ نَبَؤُا۟ ٱلْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا۟ ٱلْمِحْرَابَ ۝ إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَىٰ دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍۢ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَآ إِلَىٰ سَوَآءِ ٱلصِّرَٰطِ ۝ إِنَّ هَٰذَآ أَخِى لَهُۥ تِسْعٌۭ وَتِسْعُونَ نَعْجَةًۭ وَلِىَ نَعْجَةٌۭ وَٰحِدَةٌۭ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِى فِى ٱلْخِطَابِ ۝ قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌۭ مَّا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسْتَغْفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّ رَاكِعًاۢ وَأَنَابَ ۝ فَغَفَرْنَا لَهُۥ ذَٰلِكَ ۚ وَإِنَّ لَهُۥ عِندَنَا لَزُلْفَىٰ وَحُسْنَ مَـَٔابٍۢ (ص: ٢١–٢٥)

Artinya:
“Dan adakah telah sampai kepadamu berita tentang orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? Ketika mereka masuk menemui Dawud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, ‘Jangan takut. Kami adalah dua orang yang berselisih; sebagian kami telah berbuat zalim kepada sebagian yang lain. Maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah engkau menyimpang dari kebenaran, dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya ini saudaraku; ia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Lalu ia berkata, ‘Serahkan kambingmu itu kepadaku,’ dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan.’ Dawud berkata, ‘Sungguh, ia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambing-kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang yang bersekutu itu, sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Dan sedikit sekali mereka itu.’ Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia memohon ampun kepada Tuhannya, lalu ia tersungkur sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahan itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shad: 21–25)

Dari ayat-ayat ini, kita belajar beberapa hal:

  • Nabi Dawud pernah tergesa-gesa memutuskan perkara sebelum mendengar keterangan pihak kedua, lalu ia menyadari bahwa itu adalah ujian.
  • Beliau segera bersujud dan bertaubat, dan Allah memuji tobatnya serta menguatkan kembali kedudukannya.
  • Seorang nabi yang mulia pun ketika keliru dalam ijtihadnya, langsung kembali kepada Allah dengan merendah, bukan dengan membela diri.

Dari sinilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan sujud tilawah ketika membaca ayat sajdah dalam surat Shad. Para ulama berbeda pendapat apakah sujud ini termasuk sujud tilawah yang wajib atau sujud syukur yang sunnah. Namun yang jelas, beliau pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan: “Dawud bersujud (pada ayat ini) sebagai bentuk taubat, sedangkan kita bersujud sebagai bentuk syukur.”

Hikmah dan Nasihat Keluarga Dawud

Dalam berbagai atsar (riwayat salaf), disebutkan banyak hikmah yang dinisbatkan kepada Nabi Dawud dan keluarga beliau. Di antaranya sebuah hikmah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-Mubarak dalam Kitab az-Zuhd:

“Sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk tidak lalai dari empat waktu:
  • Waktu untuk bermunajat kepada Rabb-nya.
  • Waktu untuk menghitung dan mengevaluasi dirinya.
  • Waktu untuk berkumpul dengan saudara-saudara yang jujur, yang mau menunjukkan kekurangannya.
  • Waktu untuk menyenangkan jiwa dengan yang halal dan baik, karena waktu ini akan membantunya pada tiga waktu lainnya dan menyegarkan hati.”

Dalam atsar lain yang dinukil Ibnu Asakir, Dawud berkata:

  • “Jadilah bagi anak yatim seperti ayah yang penyayang. Ketahuilah, apa yang kamu tanam itulah yang akan kamu tuai.”
  • “Alangkah buruknya miskin setelah kaya. Dan lebih buruk lagi adalah sesat setelah mendapat petunjuk.”
  • “Perhatikan apa yang kamu benci jika disebutkan tentangmu di tengah manusia; maka jangan lakukan itu ketika kamu sendirian.”
  • “Jangan sekali-kali engkau menjanjikan sesuatu kepada saudaramu yang tidak engkau penuhi; karena itu akan menimbulkan permusuhan di antara kalian.”
  • “Perumpamaan penceramah bodoh di tengah satu majelis adalah seperti penyanyi yang bernyanyi di sisi kepala mayat.”

Hikmah-hikmah ini menggambarkan keseimbangan hidup yang diajarkan keluarga Dawud: antara ibadah dan muhasabah, antara hak diri dan hak orang lain, antara kesungguhan dan istirahat yang halal.

Keluarga Dawud dan Syukur kepada Allah

Dalam Al-Qur’an, Allah memuji keluarga Dawud sebagai keluarga yang diperintahkan untuk memperbanyak syukur:

ٱعْمَلُوا۟ ءالَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌۭ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ (سبأ: ١٣)

Artinya: “Bekerjalah, wahai keluarga Dawud, untuk bersyukur (kepada-Ku), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Disebutkan dalam sebagian riwayat salaf bahwa tidak pernah berlalu satu waktu pun –siang atau malam– kecuali ada anggota keluarga Dawud yang sedang dalam ibadah; ada yang shalat, ada yang berzikir, ada yang membaca kitab Allah.

Dalam sebuah atsar, diceritakan bahwa Dawud pernah berdoa: “Wahai Rabbku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, padahal aku tidak bisa bersyukur kecuali dengan nikmat-Mu?” Lalu datang wahyu: “Bukankah engkau tahu bahwa semua nikmat yang ada padamu dari-Ku?” Dawud menjawab, “Benar wahai Rabbku.” Maka Allah berfirman: “Aku ridha dengan (pengakuan) itu darimu sebagai syukur.”

Dalam riwayat lain, Dawud memuji Allah dengan kalimat: “Alhamdulillāhi kamā yanbaghī li karami wajhihi wa ‘azīmi jalālih” (Segala puji bagi Allah sebagaimana layak bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kebesaran-Nya). Lalu Allah mewahyukan kepadanya: “Engkau telah melelahkan para malaikat pencatat, wahai Dawud!” — karena besarnya pujian itu dan luas maknanya.

Detik-detik Wafat Nabi Dawud

Dalam Musnad Imam Ahmad terdapat kisah yang indah tentang wafatnya Nabi Dawud ‘alaihissalam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa Dawud memiliki rasa cemburu yang sangat kuat terhadap keluarganya. Jika ia keluar rumah, ia mengunci seluruh pintu, sehingga tidak seorang pun dapat masuk menemui keluarganya sampai ia pulang.

Suatu hari, Dawud keluar dan rumah telah dikunci. Istrinya melihat ke dalam halaman rumah, tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri di tengah-tengahnya. Ia terkejut dan berkata kepada orang-orang di dalam rumah: “Dari mana orang ini bisa masuk, padahal rumah telah dikunci? Demi Allah, kita akan dipermalukan di hadapan Dawud.”

Ketika Dawud pulang, ia melihat lelaki itu berdiri. Dawud bertanya: “Siapakah engkau?” Lelaki itu menjawab: “Aku adalah yang tidak takut kepada raja-raja, dan tidak tertahan oleh tabir penghalang.”

Dawud pun mengerti dan berkata: “Jika demikian, demi Allah, engkau adalah Malaikat Maut. Selamat datang dengan membawa perintah Allah.” Malaikat Maut kemudian mencabut ruhnya.

Setelah beliau dimandikan dan dikafani, matahari terasa terik menyengat jenazah. Maka Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, putra Dawud, berkata kepada burung-burung: “Naungilah Dawud!” Burung-burung pun bertebaran di udara, membentangkan sayap-sayap mereka hingga bumi menjadi gelap karena rapatnya naungan.

Para sahabat yang hadir merasa sesak karena angin terhalang. Sulaiman lalu berkata kepada burung-burung: “Lipatlah sebagian sayap kalian.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menirukan gerakan ini dengan menggenggam tangannya, menggambarkan bagaimana burung-burung itu melipat sayapnya.

Dalam sebagian riwayat lain disebutkan bahwa janazah Dawud diantar oleh empat puluh ribu rahib yang memakai jubah, selain orang-orang yang lain. Tidak ada sosok di kalangan Bani Israil setelah Musa dan Harun yang kematiannya begitu mereka tangisi seperti mereka menangisi wafatnya Nabi Dawud ‘alaihissalam.

Tentang usia beliau, ada riwayat bahwa Allah telah menetapkan umur Nabi Adam seribu tahun. Ketika Adam melihat keturunan-keturunannya saat dikeluarkan dari sulbinya, ia melihat seorang laki-laki bercahaya, lalu bertanya, “Siapakah ini?” Allah menjawab, “Ini adalah anakmu, Dawud.” Adam bertanya, “Berapa umurnya?” Allah menjawab, “Enam puluh tahun.” Adam pun berkata, “Tambahkanlah umurnya empat puluh tahun dari umurku.” Ketika masa hidup Adam hampir habis, ia lupa bahwa ia telah memberikan empat puluh tahun untuk Dawud. Lalu Allah menyempurnakan umur Adam seribu tahun dan umur Dawud seratus tahun. Wallāhu a‘lam.

Allah menutup kisah ujian Nabi Dawud dengan firman-Nya:

فَغَفَرْنَا لَهُۥ ذَٰلِكَ وَإِنَّ لَهُۥ عِندَنَا لَزُلْفَىٰ وَحُسْنَ مَـَٔابٍۢ (ص: ٢٥)

Artinya: “Maka Kami ampuni baginya kesalahan itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shad: 25)

Dalam sebuah atsar dari Malik bin Dinar, disebutkan bahwa pada hari kiamat Dawud akan berdiri di dekat ‘Arsy. Allah berfirman kepadanya: “Wahai Dawud, agungkanlah Aku hari ini dengan suara indahmu yang dahulu engkau gunakan untuk mengagungkan-Ku di dunia.” Dawud menjawab, “Wahai Rabbku, suaraku telah Engkau ambil.” Allah berfirman, “Hari ini Aku kembalikan kepadamu.” Maka Dawud mengangkat suaranya dengan bacaan yang membuat seluruh kenikmatan ahli surga terpukau mendengarnya. Ini menggambarkan betapa dekat dan mulianya kedudukan beliau di sisi Allah.

Sumber Kisah

  • Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang