Mukjizat Terbelahnya Bulan
Ayat al-Qur’an tentang Terbelahnya Bulan
Peristiwa terbelahnya bulan adalah salah satu mukjizat besar yang Allah tampakkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini bukan sekadar cerita, tetapi ditegaskan langsung di dalam al-Qur’an:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
وَإِن يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ
وَكَذَّبُوا وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَكُلُّ أَمْرٍ مُّسْتَقِرٌّ
(QS. القمر [54]: 1–3)“Telah dekat (datangnya) Kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka melihat suatu tanda, mereka berpaling dan berkata: ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.’ Mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, padahal setiap urusan telah ada ketetapannya.”
Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sebuah peristiwa nyata yang terjadi di Mekah, sebelum hijrah. Pada saat itu orang-orang Quraisy menyaksikan bulan terbelah menjadi dua, namun tetap saja mereka memilih untuk mendustakan.
Ijmak Umat dan Banyaknya Riwayat
Para ulama sepanjang masa sepakat bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya seorang sahabat yang menceritakannya, melainkan banyak sahabat dengan jalur riwayat yang beragam dan saling menguatkan, hingga mencapai derajat mutawatir bagi orang yang menelitinya.
Nama-nama sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini antara lain Anas bin Malik, Jubair bin Muth‘im, Hudzaifah bin al-Yaman, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, dan Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhum. Mereka menceritakan dari sudut pandang masing-masing, namun semuanya bertemu pada satu makna: bulan benar-benar pernah terbelah pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tantangan Orang Quraisy: “Belahkanlah Bulan untuk Kami!”
Kisah ini bermula ketika orang-orang musyrik Mekah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nada menantang. Mereka berkata kurang lebih, “Jika engkau benar seorang rasul, tunjukkan kepada kami sebuah tanda. Belahkanlah bulan bagi kami menjadi dua: separuh di atas Gunung Abi Qubais, dan separuh lagi di atas Gunung Qu‘aiqi‘an.”
Dalam sebagian riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Jika aku melakukannya, apakah kalian akan beriman?” Mereka menjawab, “Ya.” Malam itu adalah malam bulan purnama, tepat di pertengahan bulan Qamariah, saat bulan tampak bulat penuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berdoa kepada Allah, memohon agar dikabulkan permintaan itu, bukan untuk memuaskan keinginan orang-orang yang membangkang, tetapi sebagai hujjah yang jelas atas mereka.
Detik-Detik Bulan Terbelah
Tak lama setelah beliau berdoa, sebuah peristiwa menakjubkan terjadi di langit Mekah. Bulan yang sedang purnama tampak terbelah menjadi dua. Para sahabat yang hadir menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Anas bin Malik menceritakan bahwa penduduk Mekah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu tanda, maka beliau memperlihatkan kepada mereka bulan yang terbelah menjadi dua, sampai mereka bisa melihat Gunung Hira’ berada di antara kedua belahan itu. Gambaran ini menunjukkan bahwa kedua belahan bulan itu tampak terpisah secara jelas, sedemikian rupa sehingga gunung yang besar terlihat di celah di antara keduanya.
Abdullah bin Mas‘ud juga berkali-kali menegaskan dalam riwayatnya bahwa bulan terbelah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua belahan. Ia berkata bahwa mereka semua memandangnya, dan Nabi bersabda kepada para sahabat, “Saksikanlah.” Dalam riwayat lain, Ibnu Mas‘ud bersumpah, “Demi Allah, aku melihat Gunung Hira’ di antara dua belahan bulan itu.”
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa kejadian itu disaksikan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mina, namun tempat terbelahnya tetap di langit Mekah. Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa satu belahan bulan tampak di depan sebuah gunung dan belahan lainnya di belakangnya. Ada pula yang menggambarkan bahwa satu belahan terlihat di arah satu gunung dan belahan yang lain di arah gunung yang lain. Semua ini saling melengkapi dalam menggambarkan satu hakikat: bulan benar-benar terbelah, dan pemandangan itu terlihat jelas di hadapan mereka.
Nabi Memanggil Para Sahabat untuk Menyaksikan
Malam itu bukan sekadar malam yang penuh keajaiban, tetapi juga malam penuh kesaksian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja. Beliau memanggil para sahabat dengan menyebut nama mereka satu per satu, seperti Abu Salamah bin ‘Abdul-Asad dan al-Arqam bin Abi al-Arqam, seraya berkata, “Saksikanlah.”
Dalam sebuah riwayat yang lain, beliau berkata kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, “Saksikanlah, wahai Abu Bakar.” Ucapan-ucapan ini menunjukkan betapa beliau ingin peristiwa tersebut tertanam kuat dalam ingatan para sahabat, sehingga kelak mereka dapat bersaksi kepada generasi setelahnya bahwa mereka telah melihat sendiri mukjizat tersebut dengan mata kepala mereka.
Di beberapa riwayat lain dari Ibnu Mas‘ud, diceritakan bahwa ketika mereka sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina, bulan terbelah hingga menjadi dua bagian. Salah satu belahan bulan itu kemudian seakan bersembunyi di balik gunung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengingatkan mereka, “Saksikanlah, saksikanlah.”
Reaksi Orang-Orang Musyrik: “Ini Hanya Sihir!”
Sayangnya, tidak semua orang yang melihat memilih untuk beriman. Orang-orang Quraisy yang hatinya telah keras justru lebih memilih menolak kebenaran yang sangat jelas itu. Sebagian dari mereka terheran-heran, mengusap-ngusap mata seakan-akan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka memandang ke langit, lalu mengusap mata, kemudian memandang lagi. Namun akhirnya mereka tetap berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang akan segera sirna.”
Sebagian yang lain menuduh, “Ini adalah sihir anak Abi Kabsyah!”—sebuah gelar ejekan yang mereka tujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meski demikian, ada juga di antara mereka yang merasa ragu untuk menyebutnya semata-mata sebagai sihir. Mereka menyadari bahwa jika hal itu benar-benar sihir, mestinya hanya orang tertentu saja yang terkena pengaruhnya.
Karena itu mereka membuat sebuah “ujian”. Mereka berkata kepada penduduk Mekah, maksudnya kepada orang-orang kafir sesama mereka, “Tunggulah para musafir yang datang dari luar Mekah. Jika mereka juga melihat apa yang kalian lihat, berarti ini bukan sihir Muhammad belaka. Tetapi jika hanya kalian yang melihatnya, berarti ini sihir yang ia tujukan kepada kalian.”
Beberapa waktu kemudian, para musafir dari berbagai arah datang ke Mekah. Orang-orang Quraisy menanyai mereka, apakah mereka melihat sesuatu yang aneh pada bulan malam itu. Para musafir menjawab bahwa mereka pun melihat bulan dalam keadaan tidak biasa. Dengan demikian, jelaslah bahwa peristiwa itu bukan terbatas pada penduduk Mekah saja. Namun meski dalil sudah nyata, sebagian besar mereka tetap memilih untuk mendustakan, persis sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Qamar.
Khutbah Menggetarkan dari Hudzaifah bin al-Yaman
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu, para sahabat masih mengingatnya dan menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat. Hudzaifah bin al-Yaman pernah berkhutbah kepada kaum muslimin di kota al-Madâ’in. Ia memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian membaca ayat:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
Lalu ia berkata kepada jamaah, dengan makna yang kurang lebih, “Ketahuilah, Kiamat telah dekat. Ketahuilah, bulan telah terbelah. Ketahuilah, dunia telah memberi tanda bahwa ia akan berpisah (dari kalian). Ketahuilah, hari ini adalah hari untuk berlatih (beramal), dan esok adalah hari perlombaan.”
Pada khutbah Jumat berikutnya, ia kembali menyampaikan makna yang sama, dan menambahkan kalimat, “Ketahuilah, orang yang menang adalah orang yang mendahului menuju surga.”
Seorang anak yang mendengar khutbah itu kemudian bertanya kepada ayahnya di perjalanan pulang, “Apa maksud ucapan Hudzaifah: ‘esok hari perlombaan’?” Sang ayah menjelaskan, “Maksudnya, siapa yang mendahului (orang lain) dengan amal salehnya, dialah yang akan lebih dahulu sampai ke surga.”
Dengan cara ini, para sahabat tidak hanya sekadar meriwayatkan kejadian terbelahnya bulan sebagai kisah sejarah, tetapi juga menghubungkannya dengan nasihat tentang singkatnya dunia dan dekatnya hari akhir.
Penjelasan-penjelasan dari Ibnu ‘Abbas
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat yang dikenal sebagai tokoh besar dalam ilmu tafsir, juga menjelaskan peristiwa ini. Dalam beberapa riwayat, ia menegaskan bahwa firman Allah:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
وَإِن يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ
berkaitan dengan peristiwa yang sudah berlalu dan terjadi sebelum hijrah. Ia menjelaskan bahwa bulan pernah terbelah, hingga orang-orang melihat dua belahannya dengan jelas.
Dalam salah satu riwayat darinya disebutkan bahwa sekelompok tokoh besar kaum musyrik Quraisy—seperti al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl bin Hisyam, al-‘Ash bin Wa’il, al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts, al-Aswad bin al-Muththalib, Zam‘ah bin al-Aswad, an-Nadhr bin al-Harits dan lainnya—berkumpul dan menantang Nabi. Mereka meminta agar beliau membelah bulan menjadi dua: setengahnya berada di atas Gunung Abi Qubais dan setengahnya lagi di atas Gunung Qu‘aiqi‘an. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Jika aku lakukan, apakah kalian akan beriman?” Mereka menjawab, “Ya.”
Malam itu adalah malam bulan purnama. Nabi pun memohon kepada Allah agar dikabulkan permintaan itu. Bulan pun tampak terbelah: satu belahan berada di atas Abi Qubais dan belahan lain di atas Qu‘aiqi‘an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil beberapa sahabat, seperti Abu Salamah bin ‘Abdul-Asad dan al-Arqam bin Abi al-Arqam, dan meminta mereka menyaksikan kejadian itu.
Dalam riwayat lain yang juga dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas, diceritakan bahwa malaikat Jibril turun dan menyampaikan perintah Allah kepada Nabi agar meminta penduduk Mekah berkumpul malam itu, karena mereka akan diperlihatkan sebuah tanda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memberitahukan hal itu kepada mereka, dan mereka pun keluar pada malam tanggal empat belas. Pada malam itulah bulan terbelah menjadi dua: satu belahan tampak di arah Shafa, dan satu lagi di arah Marwah. Orang-orang musyrik memandangnya berulang kali, bahkan mengusap mata mereka karena takjub, lalu kembali memandang. Tetapi pada akhirnya mereka tetap berkata, “Wahai Muhammad, ini tidak lain hanyalah sihir yang akan sirna.” Setelah itulah turun ayat-ayat awal surat al-Qamar.
Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa sekelompok pendeta Yahudi datang kepada Nabi dan meminta sebuah tanda agar mereka mau beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memohon kepada Allah. Allah memperlihatkan kepada mereka bulan yang tampak seperti menjadi dua: satu di arah Shafa dan satu di arah Marwah, dalam rentang waktu antara ‘Ashar dan malam. Mereka pun menyaksikannya cukup lama, namun akhirnya berkata, “Ini adalah sihir yang terus-menerus.” Dengan demikian, peristiwa ini disaksikan oleh berbagai kelompok manusia, tetapi tidak semua mau menerimanya sebagai bukti kebenaran.
Gerhana dan Terbelahnya Bulan
Dalam sebuah riwayat lain yang dinilai baik sanadnya oleh para ulama, disebutkan bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan pernah mengalami gerhana, dan pada saat itulah orang-orang menuduh, “Muhammad telah menyihir bulan.” Ayat:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
turun sebagai jawaban atas tuduhan itu. Dari sini, sebagian ulama berpendapat bahwa boleh jadi peristiwa terbelahnya bulan terjadi bersamaan dengan gerhana. Hal ini menjelaskan mengapa tidak semua penduduk bumi menyaksikannya secara jelas.
Ibnu Katsir menyebutkan beberapa kemungkinan yang dapat membuat peristiwa itu tidak terlihat oleh seluruh manusia secara serentak. Bisa jadi peristiwa itu terjadi pada salah satu malam musim dingin, ketika kebanyakan orang berada di dalam rumah dan tidak memperhatikan langit. Bisa juga langit di banyak negeri tertutup oleh awan, sehingga bulan yang terbelah tidak tampak dari sana.
Meskipun demikian, ada riwayat yang menyatakan bahwa peristiwa itu tercatat di sebagian negeri jauh seperti India. Disebutkan bahwa di suatu wilayah, peristiwa tersebut begitu berkesan hingga mereka membangun sebuah bangunan pada malam itu dan mencatatnya sebagai “malam terbelahnya bulan.”
Kesaksian Abdullah bin ‘Umar
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga menjelaskan peristiwa ini. Ia menafsirkan ayat:
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
bahwa peristiwa tersebut telah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menceritakan bahwa bulan pernah terbelah menjadi dua belahan; satu belahan tampak di depan gunung dan satu belahan lagi di belakangnya. Dalam keadaan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, saksikanlah.” Dengan demikian, kesaksian ini menjadi tambahan penguat atas riwayat-riwayat yang telah disebut sebelumnya.
Rangkaian Riwayat dari Abdullah bin Mas‘ud
Di antara sahabat yang paling banyak dan paling tegas menceritakan peristiwa ini adalah Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu. Ia meriwayatkan dengan berbagai redaksi yang saling melengkapi. Dalam satu riwayat, ia mengatakan bahwa bulan terbelah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua belahan, hingga orang-orang memandangnya dengan jelas, lalu Nabi bersabda, “Saksikanlah.”
Dalam riwayat lain, ia menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi ketika mereka sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina. Bulan terbelah, salah satu belahannya bergerak mendekati gunung, lalu seakan bersembunyi di baliknya. Nabi kembali berkata, “Saksikanlah.” Ibnu Mas‘ud menegaskan bahwa kejadian itu terjadi di Mekah, dan orang-orang Quraisy tidak mampu mengingkari bahwa sesuatu memang telah terjadi pada bulan. Namun mereka berusaha menolak dengan berkata, “Ini adalah sihir yang dengan itu anak Abi Kabsyah menyihir kalian.”
Mereka kemudian sepakat untuk menguji kebenarannya dengan menunggu para musafir. Ketika para musafir datang dari berbagai arah dan ditanyai apakah mereka juga melihat sesuatu pada bulan malam itu, para musafir menjawab bahwa mereka pun menyaksikan hal yang sama. Maka semakin jelaslah bahwa ini bukan sekadar “sihir lokal” yang hanya terlihat oleh penduduk Mekah.
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Mas‘ud menceritakan, “Demi Allah, aku melihat bulan terbelah menjadi dua, dan di antara keduanya ada Gunung Hira’.” Kadang ia menyebutkan bahwa ia melihat gunung di antara dua belahan bulan; kadang ia menyebutkan bahwa salah satu belahan tampak di atas gunung yang berada di Mina, padahal ia sendiri saat itu sedang berada di Mekah. Semua ini menggambarkan bahwa ia benar-benar menyaksikannya berkali-kali dari sudut pandang yang jelas.
Banyaknya Jalur, Kuatnya Kisah
Jika semua riwayat dari para sahabat ini dikumpulkan, tampaklah suatu gambaran yang sangat kuat. Peristiwa terbelahnya bulan tidak hanya diriwayatkan oleh seorang atau dua orang sahabat, tetapi oleh banyak sahabat yang berbeda, di antaranya Anas bin Malik, Jubair bin Muth‘im, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Mas‘ud. Masing-masing menjelaskan peristiwa yang sama dari sudut pandang mereka sendiri, dengan redaksi yang beragam namun inti ceritanya sama: bulan pernah terbelah menjadi dua pada masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama hadits meneliti sanad-sanad riwayat ini, menimbang kualitas para perawinya, dan mereka mendapati bahwa para perawi tersebut adalah orang-orang yang dikenal jujur dan kuat hafalannya. Banyaknya jalur periwayatan dan kuatnya sanad menjadikan peristiwa ini sampai pada derajat keyakinan yang kuat bagi siapa saja yang mau meneliti dan merenungkannya. Tidak heran bila para ulama menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijmak atas terjadinya mukjizat ini.
Kisah Palsu yang Harus Ditinggalkan
Di tengah masyarakat terkadang beredar kisah-kisah tambahan yang tidak memiliki dasar, yang disisipkan ke dalam cerita mukjizat ini. Salah satu di antaranya adalah cerita bahwa bulan pernah turun ke bumi, masuk ke dalam lengan baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu keluar dari lengan yang lain. Para ulama ahli hadits, termasuk Ibnu Katsir, dengan tegas menolak kisah seperti ini.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kisah semacam itu adalah kedustaan yang diada-adakan dan tidak memiliki sanad yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits yang mu‘tabar. Menurut beliau, ketika bulan terbelah, ia sama sekali tidak keluar dari tempatnya di langit. Yang terjadi adalah bulan itu tampak terpisah menjadi dua bagian; salah satu bagian bergeser sehingga seakan-akan berada di belakang Gunung Hira’, dan bagian lainnya tetap tampak di sisi yang lain, sehingga orang-orang dapat melihat gunung berada di antara keduanya. Inilah yang disaksikan oleh Ibnu Mas‘ud dan para sahabat lainnya.
Ibnu Katsir juga mengomentari satu lafaz riwayat Anas bin Malik di Musnad Ahmad yang secara lahiriah dapat dipahami bahwa bulan terbelah “dua kali” (maratain). Ia menjelaskan bahwa yang lebih kuat adalah memahami lafaz tersebut sebagai “dua bagian,” bukan dua kejadiaan yang terpisah. Dengan demikian, riwayat-riwayat yang kuat tetap saling menguatkan satu sama lain tanpa perlu ditopang oleh kisah-kisah tambahan yang tidak jelas sumbernya. Wallahu a‘lam.
Pelajaran Besar dari Mukjizat Terbelahnya Bulan
Jika kita renungkan, peristiwa ini mengandung banyak pelajaran. Ia menunjukkan dengan sangat jelas kekuasaan Allah atas alam semesta. Bulan, benda langit yang begitu besar dan jauh, tunduk kepada perintah Allah sehingga ketika Rasul-Nya memberi isyarat, bulan pun terbelah sesuai kehendak-Nya. Mukjizat ini juga menguatkan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena terjadi di hadapan orang-orang yang justru menentangnya.
Namun di sisi lain, kisah ini juga menjadi cermin tentang kerasnya hati orang-orang yang menolak kebenaran. Mereka menyaksikan dengan mata sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, bahkan sempat memastikan kepada para musafir bahwa kejadian itu nyata. Meski begitu, banyak di antara mereka tetap berkata, “Ini hanyalah sihir.” Di sinilah terbukti bahwa mukjizat sebesar apa pun tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak mau tunduk kepada kebenaran.
Para sahabat seperti Hudzaifah menjadikan kisah ini sebagai pengingat bahwa Kiamat sudah dekat, dunia sedang menuju akhir, dan manusia sedang berada di “arena latihan” sebelum “perlombaan” yang sesungguhnya di akhirat kelak. Hari ini adalah waktu untuk beramal dan mempersiapkan diri, dan esok adalah hari penentuan siapa yang paling cepat sampai ke surga dengan izin Allah.
Semoga kisah ini menambah iman kita kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah benar, dan mengingatkan kita bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah telah banyak terbentang di hadapan kita. Tinggal bagaimana hati kita merespons: apakah tunduk dalam keimanan, atau berpaling sebagaimana orang-orang yang mendustakan dahulu.
Sumber Kisah
al-Bidâyah wa an-Nihâyah

Komentar
Posting Komentar