Kisah Uwais al-Qarni: Yang Dikenal di Langit, Tersembunyi di Bumi

Kisah bakti dan ketulusan Uwais Al Qarni

Kisah Uwais al-Qarni: Yang Dikenal di Langit, Tersembunyi di Bumi

Di negeri Yaman, di sebuah dusun terpencil bernama Qaran, hiduplah seorang pemuda bernama Uwais bin ‘Āmir al-Qarni. Ia hidup miskin, berpakaian kasar dari kain wol, namun hatinya penuh cahaya iman dan kasih kepada Allah.

Uwais memiliki seorang ibu yang sudah tua. Ia sangat berbakti kepadanya — melayaninya siang dan malam, tidak pernah meninggalkannya walau sebentar. Ia tidak dapat pergi ke Madinah untuk bertemu Rasulullah ﷺ, karena ibunya membutuhkan dirinya setiap waktu.

Abu Nu‘aim meriwayatkan:

“Yang menghalangi Uwais untuk datang menemui Rasulullah ﷺ adalah baktinya kepada ibunya.”

Karena itu, Allah mengganti kerinduannya dengan kemuliaan besar. Rasulullah ﷺ sendiri menyebut namanya di hadapan para sahabat:

“Akan datang kepada kalian seorang laki-laki dari Yaman, dari kabilah Qaran. Namanya Uwais bin ‘Āmir. Ia berbakti kepada ibunya.
Kalau kalian bertemu dengannya, mintalah ia berdoa memohon ampun untuk kalian — karena doanya mustajab di sisi Allah.”


Umar dan Ali Mencari Uwais

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, dan ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia selalu teringat sabda Nabi tentang lelaki saleh dari Yaman itu.
Setiap musim haji, ‘Umar berdiri di antara jamaah dan berseru lantang:

“Wahai jamaah haji dari Yaman! Adakah di antara kalian yang bernama Uwais?”

Tahun demi tahun berlalu. Setiap kali ‘Umar bertanya, tak ada seorang pun yang mengenalnya. Hingga pencarian itu berlangsung sepuluh tahun lamanya.

Akhirnya, pada musim haji yang terakhir di masa hidupnya, ‘Umar berdiri di atas bukit Abī Qubais dan kembali menyeru dengan suara keras:

“Wahai para jamaah dari Yaman! Adakah di antara kalian yang mengenal Uwais?”

Lalu berdirilah seorang lelaki tua. Ia berkata,

“Kami tidak tahu siapa Uwais yang engkau maksud. Tetapi aku punya seorang keponakan bernama Uwais. Ia tidak terkenal, tidak memiliki harta, bahkan dianggap hina di antara kami. Ia menggembala unta di padang Arafah.”

Mendengar itu, ‘Umar menangis, lalu berkata kepada ‘Alī bin Abī Ṭālib yang ada di sisinya:

“Mari, wahai Abul Hasan, kita pergi menemuinya!”


Pertemuan di Padang Arafah

Keduanya pun menaiki tunggangan dan bergegas menuju Arafah. Di sana, mereka melihat seorang lelaki kurus berdiri di bawah sebuah pohon, sedang shalat dengan penuh khusyuk, sementara unta-unta merumput di sekitarnya.

‘Umar dan ‘Alī menambatkan tunggangan mereka, lalu mendekat dan memberi salam.
Uwais mempercepat shalatnya, kemudian menjawab salam mereka dengan lembut.

‘Umar bertanya,

“Siapakah engkau, wahai lelaki?”

Uwais menjawab dengan sederhana,

“Aku hanyalah penggembala unta, dan pekerja bagi suatu kaum.”

‘Umar berkata lagi,

“Kami tidak bertanya tentang pekerjaanmu, tapi tentang namamu.”

Uwais menjawab,

“Namaku Abdullah.”

‘Umar tersenyum dan berkata,

“Semua makhluk di langit dan bumi adalah hamba Allah. Tapi sebutlah namamu yang diberikan ibumu.”

Maka Uwais menunduk, lalu berkata perlahan,

“Mengapa kalian menanyakan hal ini kepadaku? Apa yang kalian kehendaki dariku?”

‘Umar berkata dengan haru,

“Kami mendengar dari Rasulullah ﷺ bahwa akan ada seorang dari Yaman bernama Uwais al-Qarni, yang memiliki tanda putih di bawah pundak kirinya, dan doanya mustajab. Tunjukkanlah kepadaku, jika benar engkau dia.”

Uwais pun membuka bagian pundak kirinya — dan tampaklah bercak putih sebagaimana yang disebutkan Rasulullah ﷺ.
Maka ‘Umar dan ‘Alī segera memeluknya dan menangis.

Mereka berkata,

“Kami bersaksi bahwa engkau adalah Uwais al-Qarani yang disebutkan Rasulullah ﷺ. Mohonlah ampunan untuk kami, semoga Allah mengampuni kami.”

Namun Uwais dengan tawadhu menjawab,

“Aku tidak mengkhususkan doa ampunanku untuk diriku atau siapa pun, melainkan aku berdoa untuk semua kaum mukminin — laki-laki dan perempuan — di darat dan di laut.”


Dialog Perpisahan

Kemudian Uwais berkata kepada mereka berdua dengan nada lembut namun dalam:

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya di hadapanmu ada jalan terjal yang hanya bisa dilewati oleh orang-orang yang ringan dan zuhud. Maka ringankanlah bebanmu, semoga Allah merahmatimu.”

Mendengar itu, ‘Umar menangis keras, memukul tanah dengan tongkatnya seraya berkata,

“Andai saja ibuku tidak melahirkan Umar! Andai saja ia mandul dan tidak menanggung bebanku ini!”

Lalu ia berkata kepada Uwais:

“Tinggallah engkau di sini, hingga aku masuk ke Mekah dan membawakanmu pakaian dan nafkah dariku.”

Namun Uwais menolak dengan tenang:

“Tidak ada janji antara aku dan engkau setelah hari ini. Apa gunanya nafkah dan pakaian dunia bagiku? Tidakkah engkau lihat aku sudah mengenakan dua pakaian wol — kapan kira-kira aku akan menghabiskannya? Dan dua sandal yang telah aku jahit — kapan kiranya aku akan memakainya sampai rusak? Aku hidup dari empat dirham hasil menggembala, cukup untukku sampai mati.”

Kemudian ia berpaling dan berkata:

“Wahai Amirul Mukminin, semoga Allah merahmatimu. Aku tidak akan melihatmu lagi setelah hari ini.”

Uwais pun berjalan menjauh, sementara ‘Umar dan ‘Alī berdiri memandangi punggungnya yang kian jauh — sosok yang hina di mata manusia, tetapi agung di sisi Allah.


Akhir Hidupnya

Beberapa tahun kemudian, Uwais ikut berangkat berjihad di Azerbaijan, di masa kekhalifahan ‘Umar. Ia wafat dalam perjalanan setelah kembali dari medan perang.
Para sahabat yang bersamanya menemukan hal yang menakjubkan: kubur telah tergali, air tersedia untuk memandikan, kafan dan minyak wangi telah disiapkan.
Mereka memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburnya — lalu pergi.
Ketika mereka kembali untuk menandai kuburnya, tidak ada lagi jejaknya — hilang tanpa bekas.

Namun riwayat lain menyebut, ia masih hidup hingga zaman ‘Alī, dan gugur sebagai syahid dalam perang Ṣiffīn.
‘Alī sendiri yang memakamkannya di antara para syuhada di daerah ar-Raqqah, dan di situlah ia beristirahat hingga kini — rahimahullāhu rahmatan wāsi‘ah.


Warisan dari Uwais

Uwais pernah berkata:

“Janganlah engkau melihat kecilnya dosa, tetapi lihatlah kebesaran Dzat yang engkau durhakai.”

Dan juga:

“Aku menyambung persaudaraan dengan doa di belakang mereka, karena dalam pertemuan kadang ada riya dan kepura-puraan.”

Penutup

Uwais al-Qarani adalah teladan orang yang tersembunyi di bumi tetapi dikenal di langit.
Ia tidak mencari nama, tidak mencari harta, tidak mencari kedudukan.
Cukup baginya keridaan Allah dan ibunya.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang meneladani ketulusannya,
menyembunyikan amal sebagaimana ia sembunyikan,
dan mencintai Allah sebagaimana ia mencintai-Nya.

Sumber : Mirātu al Zaman fi Tawārikh al A'yān


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang