Tanda-Tanda Kenabian Nabi Muhammad

 

Ilustrasi sinematik Mekkah kuno dengan Ka’bah di kejauhan, tenda-tenda besar dan unta-unta untuk jamuan Hasyim, di langit tampak pohon bercahaya dari mimpi Abdul Muththalib, serta Abu Sufyan dan al-Abbas berdiskusi dengan seorang rahib Yahudi, sementara pasukan berkuda Islam memasuki Mekkah dari celah pegunungan, tanpa menampilkan sosok Nabi Muhammad.

Hasyim dan Jamuan Besar untuk Tamu Allah

Diceritakan, pada masa sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, hiduplah seorang lelaki dari kabilah ‘Āmir bernama Si‘r bin Sawādah. Ia bekerja sebagai pelayan bagi seorang perempuan bangsawan dari kaumnya. Ia yang mengurus unta-unta tunggangannya; baik yang liar maupun yang jinak.

Ia terbiasa menempuh perjalanan jauh, berpindah dari satu negeri ke negeri lain, mencari keuntungan dalam perdagangan. Suatu ketika, ia baru saja pulang dari Syam dengan membawa berbagai barang dan perabotan untuk dijual pada puncak musim haji, ketika manusia berbondong-bondong ke Makkah.

Malam itu, ia memasuki Makkah dalam gelap yang pekat. Ia singgah, beristirahat sampai menjelang subuh. Ketika langit mulai terang dan “baju malam” seakan tersingkap, ia mengangkat kepalanya. Ternyata di hadapannya berdiri tenda-tenda besar, seperti kubah-kubah tinggi yang sejajar dengan puncak-puncak gunung. Tenda-tenda itu didirikan di atas hamparan kulit-kulit besar yang dibawa dari Thā’if.

Ia melihat unta-unta besar disembelih, dan unta-unta lain digiring untuk disembelih. Bau masakan tercium ke mana-mana. Orang-orang berkerumun di sekitar para juru masak, mendesak-desak mereka sambil berkata, “Cepatlah, cepatlah!”

Ada seorang laki-laki berdiri di tanah yang agak tinggi, berseru lantang:

“Wahai para tamu Allah, kemarilah untuk makan siang!”

Di jalan masuk, berdiri seorang lagi yang berkata:

“Wahai para tamu Allah, siapa yang sudah makan siang, datanglah lagi untuk makan malam!”

Pemandangan itu membuat Si‘r tertegun. Ia belum pernah melihat jamuan sebesar itu. Ia pun mendekat, ingin tahu siapa pemimpin di balik semua ini.

Seorang lelaki menyadari maksudnya lalu berkata, “Pemimpin itu di depanmu.”

Si‘r menoleh. Di hadapannya tampak seorang lelaki tua yang berwibawa. Di kedua pipinya tampak keriput-keriput halus, seolah-olah goresan garis-garis tipis. Dari keningnya, seakan terpancar cahaya seperti bintang Syi‘rā (Sirius) yang bersinar kuat.

Di kepalanya melilit sorban hitam. Dari sela-sela lilitan sorban itu, terurai rambut lebat yang jatuh dengan indah. Di hadapannya ada bantal duduk, dan di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang ia jadikan sandaran. Di sekelilingnya duduk para tetua yang terhormat dengan kepala tertunduk. Tak seorang pun dari mereka berbicara.

Sebelum itu, Si‘r pernah mendengar dari seorang rahib di Syam bahwa sudah dekat masa munculnya “Nabi yang ummī” — nabi terakhir yang buta huruf, yang dikabarkan dalam kitab-kitab suci mereka.

Ketika ia melihat lelaki tua itu, hatinya bergetar. Ia mengira, “Mungkinkah ini nabi yang dimaksud?”

Tanpa menahan diri, ia pun mengucapkan salam:

“Assalāmu ‘alaika, yā Rasūlallāh. Semoga keselamatan tercurah untukmu, wahai Rasul Allah.”

Lelaki tua itu menoleh dan berkata:

“Mah, mah…! Bukan, bukan begitu. Sekali-kali bukan! Seakan-akan engkau telah memberikan kedudukan itu kepadaku!”

Si‘r tersadar bahwa ia keliru. Ia lalu bertanya kepada orang-orang di sekitar:

“Siapakah syekh (lelaki tua) ini?”

Mereka menjawab:

“Inilah Abū Nadhlah, inilah Hāsyim bin ‘Abd Manāf.”

Mendengar itu, Si‘r pun berlalu sambil berkata dalam hati:

“Inilah, demi Allah, kemuliaan yang sejati. Bukan kemuliaan keluarga Jafnah.”

Keluarga Jafnah yang ia maksud adalah para raja Arab di Syam dari kabilah Ghassān, yang dikenal megah dan kaya. Namun di matanya, apa yang dilakukan Hasyim jauh lebih mulia: menjamu para tamu Allah, memberi makan jamaah haji tanpa meminta imbalan.

Inilah yang kemudian dikenal dengan ar-rifādah: tugas besar memberi makan para haji di musim haji. Hasyim bin ‘Abd Manāf menjadi pelopor dalam kemuliaan ini, dan namanya harum di tengah bangsa Arab.

Mimpi Abdul Muththalib tentang Pohon Cahaya

Kisah lain datang dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu malam, ia tidur di al-Hijr, yakni tempat yang kini kita kenal sebagai Hijr Ismā‘īl di samping Ka‘bah. Dalam tidur itu, ia bermimpi melihat sesuatu yang membuatnya sangat takut dan gelisah. Ia terbangun dalam keadaan cemas luar biasa.

Karena amat terkejut dengan mimpinya, ia pergi kepada seorang dukun perempuan Quraisy yang sangat terkenal. Saat itu, ia mengenakan mantel indah dari kain khazz, dan rambut lebatnya (jummāh) terurai hingga menyentuh kedua pundaknya.

Ketika sang dukun melihatnya datang, ia langsung tahu bahwa terjadi sesuatu. Wajah ‘Abdul Muththalib tampak berubah. Di hari-hari itu, ia adalah pemimpin Quraisy, tokoh yang paling dihormati.

Sang dukun berkata:

“Ada apa gerangan dengan tuan kami? Mengapa engkau datang dengan wajah yang berubah? Apakah engkau terusik oleh sesuatu dari peristiwa zaman?”

Ia menjawab, “Ya, ada.”

Biasanya, tak seorang pun berbicara kepada dukun itu kecuali mengikuti adat: mencium tangan kanannya, lalu meletakkan tangan di atas ubun-ubun kepalanya, baru menyebutkan keperluannya. Namun ‘Abdul Muththalib tidak melakukan semua itu, karena ia merasa sebagai pemuka kaumnya dan tidak mau merendah di hadapannya.

Ia hanya duduk lalu berkata:

“Aku tadi malam, ketika tidur di al-Hijr, bermimpi seolah-olah ada sebatang pohon tumbuh dari dekatku. Pucuknya mencapai langit, dan dahan-dahannya memanjang ke arah timur dan barat.

Aku tidak pernah melihat cahaya yang lebih indah dan lebih terang daripada cahaya pohon itu. Cahayanya lebih besar daripada cahaya matahari tujuh puluh kali lipat.

Kulihat orang-orang Arab dan non-Arab semuanya sujud kepada pohon itu. Pohon itu terus bertambah besar, bertambah bercahaya, dan semakin tinggi. Kadang ia seakan menghilang, lalu di saat lain tampak kembali dengan cahaya yang lebih indah.

Aku juga melihat sekelompok orang Quraisy bergantung pada dahan-dahannya. Lalu kulihat sekelompok Quraisy lainnya ingin menebang pohon itu.

Setiap kali mereka mendekat untuk menebangnya, datanglah seorang pemuda yang belum pernah kulihat seelok dirinya. Wajahnya paling tampan, baunya paling harum. Ia menghalau orang-orang yang hendak merusak pohon itu. Ia mematahkan punggung mereka dan mencungkil mata mereka.

Aku pun mengulurkan tanganku, ingin mengambil bagian dari pohon itu. Namun pemuda itu menghalangiku.

Aku bertanya, ‘Untuk siapa bagian itu?’

Ia menjawab, ‘Bagian itu milik orang-orang yang bergantung pada dahan-dahannya. Mereka telah mendahuluimu mendapatkannya.’

Maka aku pun terbangun dalam keadaan sangat ketakutan dan cemas.”

Setelah mendengar kisah itu, wajah sang dukun berubah. Ia tampak serius dan sangat tertekan. Lalu ia berkata:

“Jika mimpimu benar, akan keluar dari tulang sulbimu seorang lelaki yang akan menguasai timur dan barat, dan seluruh manusia akan tunduk kepadanya.”

Mendengar itu, ‘Abdul Muththalib menoleh kepada keponakannya, Abū Thālib, dan berkata:

“Barangkali engkaulah bayi itu.”

Waktu berlalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lahir, kemudian diangkat menjadi nabi dan rasul. Setelah itu, Abū Thālib masih sering menceritakan mimpi kakeknya ini. Ia berkata:

“Aku kira, pohon itu — dan Allah lebih mengetahui — adalah Abul-Qāsim al-Amīn,” yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dikenal di kalangan Quraisy dengan gelar al-Amīn, si terpercaya.

Orang-orang pun berkata kepada Abū Thālib:

“Kalau begitu, mengapa engkau tidak beriman kepadanya?”

Ia menjawab singkat dengan kalimat yang menunjukkan beratnya tekanan sosial pada dirinya:

“(Aku takut) celaan dan aib.”

Ia tahu kebenaran, ia membela Rasulullah, melindungi beliau, namun ia merasa terikat oleh adat, harga diri kabilah, dan takut dicela oleh kaumnya. Maka ia tidak secara terbuka masuk Islam, meski tanda-tanda kebenaran telah begitu jelas di hadapannya.

Perjalanan Dagang ke Yaman dan Kabar dari Makkah

Kisah berikutnya datang dari al-‘Abbās bin ‘Abdil Muththalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika, al-‘Abbās berangkat berdagang ke Yaman bersama kafilah Quraisy. Di antara rombongan itu ada Abū Sufyān bin Harb, yang kelak menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam.

Mereka memiliki kebiasaan: pada suatu hari, al-‘Abbās mengundang rombongan untuk makan di rumahnya, dan pada hari yang lain, giliran Abū Sufyān yang menjamu.

Pada hari jamuan al-‘Abbās, setelah ia menyiapkan makanan dan mengajak rombongan ke rumah Abū Sufyān, ia mengirim makanan siang untuk mereka. Setelah makan, para tamu pun bubar, tetapi Abū Sufyān menahan al-‘Abbās agar tetap tinggal.

Dalam suasana yang lebih tenang, Abū Sufyān mulai berbicara serius:

“Wahai Abal-Fadl (kunyah al-‘Abbās), tahukah engkau bahwa keponakanmu mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah?”

Al-‘Abbās terkejut. Ia bertanya:

“Yang mana di antara keponakanku?”

Abū Sufyān menjawab dengan nada setengah heran:

“Kepadaku saja engkau hendak menyembunyikan hal ini? Siapa lagi di antara keponakanmu yang pantas mengatakan hal sebesar ini selain satu orang saja?”

Al-‘Abbās bertanya:

“Siapa yang kau maksud?”

Ia menjawab:

“Dialah Muhammad bin ‘Abdullāh.”

Al-‘Abbās pun berkata:

“Jadi, ia benar-benar telah mengaku begitu?”

Abū Sufyān menjawab:

“Benar, ia telah melakukannya.”

Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat dari putranya, Hanzhalah bin Abī Sufyān, yang dikirim dari Makkah. Di dalamnya tertulis:

“Aku kabarkan kepadamu bahwa Muhammad berdiri di al-Abthah (suatu lapangan di dekat Makkah) dan berkata: ‘Aku adalah seorang rasul. Aku mengajak kalian kepada Allah ‘azza wa jalla.’”

Mendengar isi surat itu, al-‘Abbās hanya berkata:

“Barangkali ia benar, wahai Abā Hanzhalah.”

Abū Sufyān menanggapinya:

“Pelan-pelan, wahai Abal-Fadl. Demi Allah, aku tidak suka ada orang yang mengucapkan hal seperti ini. Bukan karena aku takut terkena bahaya apa pun dari pembicaraan ini. Wahai Bani ‘Abdil Muththalib, demi Allah, Quraisy selalu mengatakan bahwa kalian akan memiliki dua perkara besar. Kini, inilah kesialan kalian.”

Yang ia maksud dengan “dua perkara besar” adalah dua kemuliaan yang dulu dipegang oleh Bani Hāsyim dan Bani ‘Abdil Muththalib: memberi minum jamaah haji (as-siqāyah) dan memberi makan mereka (ar-rifādah). Abū Sufyān merasa bahwa klaim kenabian Muhammad akan memancing iri dan permusuhan yang lebih besar, lalu menjadi “kesialan” bagi keluarga besar itu.

Namun al-‘Abbās menjawab:

“Barangkali justru inilah keberuntungan kita.”

Tak lama kemudian, hanya beberapa malam berlalu, datanglah ‘Abdullāh bin Hudzāfah ke Yaman. Ia datang sebagai seorang mukmin, membawa berita tentang Islam secara terang-terangan. Kabar itu menyebar cepat di majelis-majelis Yaman.

Seorang Rahib Yahudi yang Cemas

Di Yaman, Abū Sufyān biasa duduk di suatu majelis tempat orang-orang berkumpul dan berbincang. Di majelis itu, ada seorang rahib atau ulama Yahudi yang juga kerap hadir dan berdiskusi.

Suatu hari, setelah berita tentang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebar, rahib itu menoleh kepada Abū Sufyān dan bertanya:

“Berita apa ini? Telah sampai kepadaku bahwa di tengah kalian ada seorang paman dari lelaki yang mengaku seperti itu?”

Abū Sufyān menjawab:

“Mereka benar. Aku adalah pamannya.”

Rahib itu bertanya:

“Apakah engkau saudara laki-laki ayahnya?”

Abū Sufyān menjawab:

“Ya.”

Lalu rahib itu berkata:

“Kalau begitu, ceritakan kepadaku tentang dia.”

Namun Abū Sufyān berkata dengan jujur sekaligus gamang:

“Jangan engkau tanya aku. Aku tidak suka ada orang yang mengaku perkara sebesar ini selamanya, tapi aku juga tidak suka mencelanya; sementara ada orang (lain) yang secara dunia lebih baik darinya.”

Rahib itu melihat bahwa Abū Sufyān seakan menahan diri: tidak mau memuji, tapi juga enggan mencela. Ini baginya tanda bahwa dalam diri Muhammad ada sesuatu yang luar biasa.

Ia pun berkata:

“Dengan sifat-sifat yang engkau sebutkan, sejauh ini belum tampak sesuatu yang membahayakan Yahudi, demi Taurat Musa.”

Pada saat lain, rahib itu memanggil al-‘Abbās. Keesokan harinya, al-‘Abbās datang dan duduk di majelis yang sama. Di situ ada Abū Sufyān dan sang rahib.

Al-‘Abbās berkata kepada si rahib:

“Aku dengar engkau bertanya kepada sepupuku ini tentang seorang laki-laki dari kami yang mengaku sebagai utusan Allah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menjawab bahwa ia pamannya, padahal ia bukan pamannya, tetapi sepupunya. Adapun aku, aku adalah pamannya, saudara laki-laki ayahnya.”

Rahib itu bertanya:

“Engkaukah saudara laki-laki ayahnya?”

Al-‘Abbās menjawab:

“Ya, aku saudara laki-laki ayahnya.”

Rahib pun menoleh kepada Abū Sufyān dan bertanya:

“Benarkah apa yang ia katakan?”

Abū Sufyān menjawab:

“Ya, ia benar.”

Al-‘Abbās kemudian berkata:

“Tanyakanlah kepadaku. Jika aku berdusta, biarlah ia membantahku.”

Rahib pun mulai mengajukan pertanyaan:

“Aku bertanya kepadamu, demi Allah: apakah keponakanmu itu pernah dikenal sebagai pemuda yang menyimpang, nakal, atau dungu?”

Al-‘Abbās menjawab tegas:

“Tidak, demi Ilah ‘Abdul Muththalib. Ia tidak pernah berbohong dan tidak pernah berkhianat. Bahkan namanya di kalangan Quraisy adalah al-Amīn — si terpercaya.”

Rahib bertanya lagi:

“Apakah ia bisa menulis dengan tangannya sendiri?”

Al-‘Abbās bercerita bahwa pada saat itu ia sempat berpikir: “Kalau aku katakan: ia bisa menulis, mungkin di mata orang-orang itu sesuatu yang baik.” Ia hampir saja mengucapkan demikian. Namun ia teringat posisi Abū Sufyān yang akan segera mendustakan dan membantah jika ia berkata tidak benar. Maka ia memilih kejujuran dan berkata:

“Ia tidak menulis.”

Mendengar jawaban ini, sang rahib Yahudi tiba-tiba meloncat berdiri, sampai selendangnya terjatuh. Ia berteriak:

“Yahudi telah disembelih! Yahudi telah dibunuh!”

Ia memahami dari tanda-tanda yang ia cari dalam kitab sucinya: nabi terakhir itu seorang Arab, keturunan Ibrahim, dari Bani Ismail, dikenal jujur, tidak pernah berdusta, dan ummī — tidak membaca dan tidak menulis. Semua ciri itu berkumpul pada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Rahib itu sadar: kedatangannya berarti hujjah atas kaumnya telah tegak, dan jika mereka menolak, mereka akan celaka. Karena itulah ia begitu panik.

Janji Abu Sufyan dan Penaklukan Makkah

Ketika al-‘Abbās dan Abū Sufyān kembali ke tempat tinggal mereka, Abū Sufyān berkata kepada al-‘Abbās:

“Wahai Abal-Fadl, ternyata orang Yahudi itu takut kepada keponakanmu?”

Al-‘Abbās menjawab:

“Engkau sendiri telah melihat apa yang engkau lihat.”

Lalu ia mengajukan satu ajakan yang lembut:

“Maukah engkau beriman kepadanya, wahai Abū Sufyān? Jika ia benar, engkau telah mendahului orang lain (dalam menerima kebenaran). Jika ternyata — menurut dugaanmu — ia tidak benar, engkau masih bersama orang-orang lain yang sepadan denganmu (tidak sendirian dalam kesalahan).”

Namun Abū Sufyān saat itu menjawab:

“Aku tidak akan beriman kepadanya sampai aku melihat kuda-kuda (pasukannya) muncul dari arah Kaddā’.”

Al-‘Abbās terkejut dan bertanya:

“Apa yang engkau katakan itu?”

Ia menjawab:

“Itu hanya kalimat yang terucap begitu saja dari mulutku. Hanya saja aku tahu bahwa Allah tidak akan membiarkan kuda-kuda (pasukan) datang menyerbu dari arah Kaddā’.”

Waktu berlalu. Perang demi perang terjadi. Hingga tibalah saat Fathu Makkah — Penaklukan Kota Makkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota kelahirannya dengan pasukan yang besar. Di antara mereka ada pasukan berkuda yang memasuki Makkah dari arah Kaddā’.

Ketika al-‘Abbās melihat kuda-kuda itu muncul dari arah yang dulu disebut Abū Sufyān, ia segera mengingatkannya:

“Wahai Abū Sufyān, apakah engkau masih ingat ucapanmu dulu?”

Abū Sufyān menjawab:

“Ya, demi Allah, aku masih mengingatnya.”

Ia pun berkata:

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepadaku kepada Islam.”

Janji yang dulu ia ucapkan dengan sangkaan “tidak mungkin terjadi”, justru terjadi di hadapannya, dan itu menjadi salah satu sebab ia mantap memeluk Islam. Sejak itu, Abū Sufyān berubah dari musuh besar Islam menjadi salah seorang pembela dan pejuang di jalan Allah.

Pengakuan Raja Heraklius

Ibnu Katsir, setelah menyebutkan kisah-kisah ini, mengingatkan pula bahwa ada kisah lain yang lebih masyhur, yakni kisah dialog Abū Sufyān dengan Heraklius, raja Romawi. Kisah itu terdapat dalam kitab-kitab hadits yang shahih.

Dalam peristiwa itu, Heraklius memanggil Abū Sufyān yang saat itu masih kafir, lalu menanyainya tentang sifat-sifat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: nasabnya, kejujurannya, pengikut-pengikutnya, apakah ia pernah berdusta sebelum mengaku nabi, apakah ada raja di tengah kaumnya sebelum itu, dan seterusnya.

Dari jawaban Abū Sufyān yang jujur — meski ia masih memusuhi Nabi — Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad benar-benar nabi terakhir yang dikabarkan dalam Injil dan kitab-kitab sebelumnya.

Heraklius berkata kepada Abū Sufyān, kurang lebih:

“Aku sudah tahu bahwa ia akan muncul, tetapi aku tidak mengira ia muncul dari kalangan kalian. Seandainya aku yakin bisa menemuinya, niscaya aku akan bersusah-payah untuk datang kepadanya. Dan seandainya aku berada di sisinya, pasti aku akan membasuh debu dari kedua kakinya. Jika apa yang engkau katakan itu benar, niscaya ia akan menguasai tempat pijakan kedua kakiku ini.”

Waktu membuktikan, wilayah Islam meluas mencapai negeri-negeri yang pernah dikuasai Romawi. Perkataan Heraklius pun menjadi kenyataan. Segala puji bagi Allah atas kebenaran janji-Nya.

Penutup

Ibnu Katsir menutup rangkaian kisah ini dengan komentar bahwa susunan riwayat-riwayat tersebut indah dan tampak di dalamnya cahaya kebenaran. Meski di antara para perawinya ada yang diperselisihkan oleh para ahli hadits, maknanya sejalan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih kuat.

Ia juga menyebut bahwa al-Hāfizh Abū Nu‘aim — ulama besar yang menjadi salah satu sumber kisah-kisah ini — telah banyak sekali mengumpulkan berita-berita tentang para rahib, ulama Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang Arab yang telah mengenali atau menunggu kedatangan Nabi terakhir. Ia mengumpulkannya dengan sangat luas, terperinci, dan indah.

Semua kisah ini, baik yang kuat maupun yang lemah sanadnya, jika dikumpulkan, saling menguatkan gambaran besar: bahwa kelahiran dan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bukan peristiwa biasa, tetapi telah lama dinanti dan diberi isyarat dalam lipatan sejarah dan berita umat-umat terdahulu.


Sumber kisah:
Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang