Kisah Nabi Uzair: Dimatikan 100 Tahun, Menghidupkan Taurat, dan Klaim “Uzair Anak Allah”
Kisah Uzair ‘alaihissalam
Siapa Itu Uzair?
Dalam kitab-kitab sejarah dan tafsir, disebutkan seorang tokoh dari Bani Israil bernama Uzair (عُزَيْر). Para ulama menyebutkan nasabnya panjang sampai kepada Nabi Harun bin Imran. Sebagian riwayat bahkan menyebutkan bahwa kuburnya berada di sekitar Damaskus.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukannya. Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda tidak mengetahui apakah Uzair seorang nabi atau bukan. Namun sanad riwayat-riwayat semacam ini diperselisihkan dan banyak yang dinilai lemah.
Di bagian akhir pembahasannya, Ibnu Katsir cenderung kepada pendapat yang paling masyhur, yaitu bahwa Uzair termasuk nabi dari nabi-nabi Bani Israil. Meski demikian, sebagian ulama lain seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah dan al-Hasan al-Bashri berpendapat bahwa ia hanyalah seorang hamba saleh yang mulia, bukan nabi. Dalam kisah ini, kita akan menyebutnya “Nabi Uzair” sambil tetap mengingat bahwa status kenabiannya adalah masalah khilaf di kalangan ulama.
Zaman Kekacauan Bani Israil
Diriwayatkan bahwa Uzair hidup setelah kehancuran besar yang menimpa Bani Israil akibat serangan raja zalim bernama Bukhtanashar (Nebukadnezar). Pada masa itu, banyak penduduk Bani Israil yang ditawan dan dibawa pergi. Sebagian riwayat menyebut bahwa Uzair termasuk di antara tawanan tersebut saat ia masih muda.
Ketika usianya mencapai sekitar empat puluh tahun, Allah menganugerahinya hikmah dan ilmu yang mendalam, sehingga ia menjadi orang yang paling kuat hafalannya dan paling mengetahui isi Taurat di antara Bani Israil. Pada masa serangan Bukhtanashar, Taurat telah dibakar dan dimusnahkan. Naskah-naskahnya hancur, dan hanya sebagian kecil isi Taurat yang tersisa dalam hafalan sedikit orang. Dalam keadaan seperti inilah, kedudukan Uzair menjadi sangat penting bagi kaumnya.
Para ulama berselisih tentang masa persis kehidupan Uzair. Ada yang mengatakan bahwa ia hidup di antara masa Nabi Daud dan masa Nabi Zakariya. Ada pula yang menyebut bahwa ia hidup antara masa Nabi Sulaiman dan Isa ‘alaihimas salam. Riwayat lain yang lebih lemah mengatakan bahwa ia hidup di zaman Musa. Yang jelas, ia hidup pada masa kekacauan besar dalam sejarah Bani Israil, ketika Taurat hampir hilang dari tangan mereka.
Uzair, Kebun Miliknya, dan Desa yang Runtuh
Dikisahkan bahwa suatu hari Uzair keluar menuju sebidang tanah miliknya, semacam kebun atau lahan pertanian, untuk meninjaunya dan memastikan keadaannya. Setelah selesai dan dalam perjalanan pulang, matahari sudah meninggi dan udara sangat panas. Di tengah perjalanan itu, ia melewati sebuah desa atau kota kecil yang sudah runtuh dan hancur. Rumah-rumahnya roboh, tiang-tiangnya yang dahulu menyangga atap kini tinggal rangka tua. Penduduknya telah lama binasa, dan yang tersisa hanya tulang-belulang rapuh berserakan.
Uzair mencari tempat teduh di reruntuhan itu. Ia datang dengan menunggangi seekor keledai, sambil membawa beberapa bekal, yaitu buah tin, anggur, roti kering, serta sebuah mangkuk. Di bawah naungan yang ia dapati, ia turun dari keledainya dan mulai menyiapkan makanannya. Ia memeras buah anggur ke dalam mangkuk itu sehingga menjadi minuman, lalu mengambil roti kering dan memasukkannya ke dalam perasan anggur agar roti itu menjadi lembut dan mudah dimakan. Buah tin dan anggur juga masih ada di sisinya sebagai bekal.
Setelah itu, ia berbaring telentang, menyandarkan kedua kakinya pada salah satu dinding yang masih tersisa. Matanya memandang ke arah atap-atap rumah yang roboh, tiang-tiang yang kosong, serta tulang-belulang manusia yang sudah hancur dimakan masa. Pemandangan itu sangat menggetarkan. Di tengah keheningan dan kesunyian itu, Uzair mengucapkan kalimat yang lahir dari rasa heran dan takjub:
“Bagaimana Allah akan menghidupkan (penduduk) desa ini setelah mereka mati?”
Ia tidak meragukan kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang telah mati, namun ia mengucapkannya sebagai bentuk keheranan mendalam di hadapan kehancuran total yang dilihatnya. Maka Allah pun menjadikannya sebagai contoh nyata tentang bagaimana Dia menghidupkan kembali yang telah mati.
Seratus Tahun dalam Kematian
Allah mengutus malaikat maut, lalu malaikat tersebut mencabut ruh Uzair. Di tempat itulah, di antara reruntuhan desa yang sepi, Uzair dimatikan oleh Tuhannya selama seratus tahun penuh.
Dalam kurun waktu seratus tahun tersebut, sejarah Bani Israil terus berjalan. Generasi berganti, keadaan politik dan sosial berubah, dan banyak peristiwa besar terjadi. Namun Uzair tetap terbaring, jasadnya dimatikan oleh Allah di tempat pertama kali ia mengucapkan kalimat keheranan itu.
Setelah genap seratus tahun, Allah mengutus seorang malaikat untuk menghidupkan kembali Uzair. Malaikat itu memulai dengan menghidupkan hatinya, sehingga ia bisa berfikir dan memahami. Lalu malaikat itu menghidupkan kedua matanya, sehingga ia dapat melihat apa yang sedang terjadi padanya. Setelah itu, malaikat menyusun kembali bagian-bagian tubuhnya di hadapan mata kepalanya sendiri: tulang-belulangnya dihubungkan satu dengan yang lain, disusun menjadi kerangka manusia, kemudian dibalut dengan daging, kulit, dan rambut. Setelah bentuk tubuhnya sempurna, malaikat pun meniupkan ruh ke dalam dirinya.
Semua itu terjadi sementara Uzair menyaksikan dan menyadarinya. Lalu ia pun bangun dan duduk. Malaikat yang diutus kepadanya kemudian bertanya:
“Berapa lama engkau tinggal (dalam keadaan seperti ini)?”
Uzair menjawab:
“Aku tinggal (di sini) sehari atau sebagian hari.”
Jawaban itu wajar, karena saat dimatikan dahulu, ia sedang berada di tengah siang hari, dan ketika dibangkitkan kembali, ia juga melihat matahari belum tenggelam. Maka yang ia rasakan seolah-olah ia hanya tertidur sebentar di siang hari.
Malaikat itu kemudian berkata:
“Sebenarnya engkau telah tinggal (mati) selama seratus tahun.”
Lalu malaikat memerintahkannya memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Makanan yang Tak Berubah, Keledai yang Menjadi Tulang
Malaikat berkata kepada Uzair:
“Lihatlah makanan dan minumanmu.”
Uzair pun melihat ke arah roti kering yang tadi ia celupkan ke dalam perasan anggur di mangkuk, juga melihat minuman anggur perasannya. Ia mendapati bahwa perasan anggur itu tidak berubah, sementara roti itu tetap kering seperti semula. Buah tin dan anggur yang dibawanya pun masih terlihat segar seolah baru dipetik. Tidak tampak bekas perubahan yang menunjukkan bahwa waktu telah berlalu sangat lama.
Inilah yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an:
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْيِي هَٰذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَانظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَانظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Ia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikannya seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berfirman, ‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ Ia menjawab, ‘Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau telah tinggal (di sini) seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami menjadikan engkau sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia; dan lihatlah tulang-belulang itu, bagaimana Kami menyusunnya, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka ketika telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), ia pun berkata, ‘Aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’”
(QS. Al-Baqarah [2]: 259)
Setelah itu, malaikat berkata lagi:
“Dan lihatlah keledaimu.”
Uzair menoleh ke arah tempat ia dahulu menambatkan keledainya. Ia dapati bahwa keledai itu telah menjadi tulang-belulang yang rapuh. Waktu yang sangat panjang telah mengubahnya menjadi kerangka yang berserakan.
Maka malaikat itu memanggil tulang-tulang keledai tersebut. Dengan izin Allah, tulang-tulang itu merespon, bergerak, dan datang dari berbagai penjuru, lalu berkumpul di hadapan Uzair. Di hadapannya, tulang-tulang itu tersusun satu demi satu membentuk kerangka seekor keledai. Setelah kerangka itu terbentuk, malaikat menyalutinya dengan urat-urat dan saraf, kemudian daging, lalu kulit dan rambut tumbuh menutupinya. Setelah sempurna, malaikat meniupkan ruh ke dalam keledai tersebut. Seketika itu juga, keledai itu bangkit berdiri, mengangkat kepala dan kedua telinganya ke langit sambil meringkik. Seakan-akan ia menyangka bahwa hari kiamat telah tiba, karena baru saja dibangkitkan dari kematian.
Semua proses menakjubkan itu disaksikan Uzair dengan penuh kesadaran. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tulang yang berserakan disusun kembali, kemudian dibalut dengan daging dan dihidupkan. Ketika semuanya menjadi jelas baginya, ketika ia benar-benar memahami dengan mata kepala dan mata hati, ia pun berkata:
“Sekarang aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Ia menyaksikan sendiri satu contoh nyata dari kebangkitan setelah kematian.
Pulang ke Negeri yang Telah Berubah
Setelah dihidupkan kembali dan diperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah, Uzair pun menaiki keledainya dan berangkat menuju perkampungannya semula. Namun, ketika ia masuk ke daerahnya, ia merasakan semuanya terasa asing. Wajah-wajah manusia yang ada di sana tidak dikenalnya. Bangunan-bangunan pun tampak berbeda dari yang ia kenal seratus tahun sebelumnya. Mereka pun tidak mengenal dia, karena generasi sudah berganti. Orang-orang yang hidup di zamannya telah wafat, dan yang ada hanyalah anak cucu mereka yang tidak pernah melihat Uzair sebelumnya.
Uzair berjalan menuju rumah yang dahulu ia tinggali. Rumah itu pun tampak berbeda. Ia hampir tidak mengenalinya. Di sana, ia menemukan seorang perempuan tua yang buta dan lumpuh, berusia kira-kira seratus dua puluh tahun. Wanita tua itu dahulu adalah budak keluarga Uzair. Ketika Uzair masih hidup di masa sebelum kematiannya yang pertama, ia meninggalkan rumah dalam keadaan wanita itu masih muda, sekitar dua puluh tahun. Ia mengenal Uzair dengan baik pada waktu itu. Namun kini, usia tua telah menimpanya, kelemahan melanda tubuhnya, penglihatannya hilang, dan ia tidak mampu berjalan.
Uzair mendekat dan bertanya:
“Wahai nenek, apakah ini rumah Uzair?”
Wanita itu menjawab:
“Ya, ini rumah Uzair.”
Lalu ia menangis dan berkata bahwa sudah sekian lama—puluhan tahun lamanya—ia tidak pernah mendengar seorang pun menyebut nama Uzair. Semua orang telah melupakan sosok itu. Ia berkata kira-kira, bahwa sudah tidak ada lagi orang yang berbicara tentang Uzair.
Uzair kemudian berkata kepadanya:
“Sesungguhnya akulah Uzair.
Allah telah mematikanku seratus tahun, kemudian membangkitkanku kembali.”
Wanita tua itu terkejut dan berkata:
“Mahasuci Allah! Sesungguhnya Uzair telah hilang dari kami sejak seratus tahun lalu. Kami tidak pernah lagi mendengar berita tentangnya.”
Uzair mengulangi:
“Sesungguhnya akulah Uzair.”
Wanita itu masih ragu. Ia mengingat bahwa Uzair dahulu adalah seorang yang dikabulkan doanya. Ia berkata:
“Sesungguhnya Uzair adalah lelaki yang doanya mustajab.
Ia biasa berdoa untuk orang yang sakit dan tertimpa musibah, lalu Allah memberikan keselamatan dan kesembuhan kepada mereka.
Berdoalah kepada Allah agar Dia mengembalikan penglihatanku, sehingga aku dapat melihatmu. Jika engkau benar Uzair, niscaya aku akan mengenalmu.”
Maka Uzair pun berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia mengusap kedua mata wanita tua itu dengan tangannya. Dengan izin Allah, penglihatan wanita itu pulih kembali. Lalu Uzair memegang tangannya dan berkata:
“Bangkitlah dengan izin Allah.”
Allah pun menyembuhkan kedua kakinya. Wanita itu bangkit dalam keadaan sehat, seolah-olah baru saja dilepaskan dari ikatan, lalu berjalan dengan ringan. Ia memandang wajah Uzair dengan jelas dan seksama. Setelah ia yakin, ia berkata:
“Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar Uzair.”
Uzair Dikenali Kembali oleh Bani Israil
Wanita itu kemudian pergi ke pusat perkampungan Bani Israil. Di sana, orang-orang sedang duduk di tempat pertemuan dan majelis-majelis mereka. Di tengah-tengah mereka, ada seorang lelaki tua yang ternyata adalah anak lelaki Uzair sendiri, yang usianya telah mencapai sekitar seratus delapan belas tahun. Anak lelaki ini bahkan telah memiliki anak dan cucu yang juga sudah menjadi orang tua-tua di majelis tersebut.
Wanita itu berseru di hadapan mereka:
“Wahai Bani Israil, ini Uzair telah datang kepada kalian!”
Orang-orang mendustakannya. Mereka menganggap hal itu mustahil. Wanita itu kemudian memperkenalkan dirinya:
Ia menyebut namanya dan mengatakan bahwa ia adalah bekas budak keluarga mereka. Ia menjelaskan bahwa Uzair baru saja berdoa kepada Allah untuknya, sehingga Allah mengembalikan penglihatannya dan menyembuhkan kedua kakinya. Ia juga menceritakan bahwa Uzair mengaku telah dimatikan oleh Allah selama seratus tahun, kemudian dibangkitkan kembali.
Kabar itu membuat orang-orang tergerak. Mereka bangkit dan pergi bersama wanita itu menuju tempat Uzair berada. Setibanya di sana, mereka memandangnya dengan seksama. Wajah itu asing bagi mereka, kecuali bagi satu orang, yaitu anak lelaki Uzair sendiri. Ia berkata:
“Dulu ayahku memiliki tanda hitam di antara kedua pundaknya.”
Maka Uzair pun menyingkap bagian punggungnya. Ternyata benar, di antara kedua pundaknya terdapat tanda hitam sebagaimana yang diingat anaknya. Saat itulah, mereka yakin bahwa yang berdiri di hadapan mereka benar-benar Uzair.
Dengan peristiwa ini, jelaslah makna firman Allah Ta’ala:
وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِّلنَّاسِ
“Dan agar Kami menjadikan engkau sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 259, bagian dari ayat)
Uzair menjadi tanda kekuasaan Allah bagi Bani Israil. Ia wafat pada usia sekitar empat puluh tahun, lalu dimatikan selama seratus tahun, kemudian dibangkitkan kembali dalam keadaan muda seperti saat ia wafat. Sementara itu, anak dan cucunya telah menjadi orang-orang tua renta. Diriwayatkan sebuah syair untuk menggambarkan keadaan ini, yang maknanya kira-kira demikian: seorang lelaki yang rambutnya masih hitam, namun anaknya sudah menua sebelum dirinya, bahkan cucunya pun tampak lebih tua darinya. Lelaki itu melihat anaknya sebagai seorang kakek yang berjalan dengan tongkat, sementara dirinya sendiri masih tampak muda.
Syair itu ingin menunjukkan betapa aneh dan luar biasanya keadaan Uzair di mata manusia: seorang ayah yang baru berusia seperti empat puluh tahun duduk bersama anak yang telah melewati usia sembilan puluh tahun, dan cucu yang juga telah renta.
Uzair dan Pengembalian Taurat
Setelah masyarakat yakin bahwa ia adalah Uzair, Bani Israil teringat kedudukan ilmiahnya. Mereka berkata bahwa di tengah-tengah mereka tidak ada seorang pun yang menghafal Taurat secara utuh, kecuali dahulu Uzair. Mereka menceritakan kembali bahwa Bukhtanashar telah membakar Taurat sehingga tidak tersisa naskah-naskahnya, kecuali bagian-bagian kecil yang masih dihafal sebagian manusia.
Mereka pun meminta kepada Uzair agar ia menuliskan kembali Taurat bagi mereka. Dikisahkan bahwa ayahnya, yang bernama Sarukha, pernah mengubur naskah Taurat di suatu tempat tersembunyi pada masa serangan Bukhtanashar. Tidak ada seorang pun yang mengetahui tempat itu selain Uzair sendiri.
Maka Uzair membawa mereka menuju tempat tersebut. Ia menggali tanah di sana, lalu mengeluarkan naskah Taurat yang dahulu dikubur ayahnya. Ketika naskah-naskah itu diangkat, tampak bahwa lembaran-lembarannya telah lapuk dan berjamur, dan banyak bagian tulisan yang telah aus dan rusak dimakan masa.
Uzair kemudian duduk di bawah naungan sebuah pohon. Bani Israil mengelilinginya dengan penuh perhatian. Di tempat itulah ia mulai mendiktekan dan memperbarui Taurat bagi mereka: menuliskannya huruf demi huruf dari apa yang ia hafal dan Allah ilhamkan kepadanya. Diriwayatkan bahwa pada saat itu turun dua cahaya dari langit, semacam dua syihab, yang kemudian masuk ke dalam dirinya. Dengan peristiwa itu, Allah menguatkan hafalan dan pemahamannya terhadap Taurat, sehingga ia dapat mengulang dan menyalinnya kembali secara sempurna untuk Bani Israil.
Wahb bin Munabbih menambahkan penjelasan bahwa Allah mengutus seorang malaikat yang turun membawa semacam alat dari cahaya, kemudian melemparkan cahaya itu ke dalam diri Uzair. Dengan karunia itu, Uzair mampu menyalin Taurat huruf demi huruf hingga selesai.
Dengan demikian, Taurat hidup kembali di tengah-tengah Bani Israil melalui tangan Uzair, dan ia menjadi rujukan utama mereka dalam perkara agama dan syariat.
Mengapa Sebagian Yahudi Mengatakan: “Uzair Putra Allah”?
Al-Qur’an mengabadikan satu keyakinan menyimpang di kalangan sebagian orang Yahudi:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair adalah putra Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih adalah putra Allah.’ Demikianlah ucapan mereka dengan mulut mereka; mereka meniru ucapan orang-orang kafir sebelumnya. Semoga Allah membinasakan mereka; bagaimana mereka dipalingkan (dari kebenaran)?”
(QS. At-Taubah [9]: 30)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada sahabat dari kalangan Yahudi yang telah masuk Islam, yaitu ‘Abdullah bin Salam, tentang sebab ucapan ini. ‘Abdullah bin Salam menjelaskan bahwa Bani Israil sangat takjub kepada Uzair, karena ia menuliskan kembali Taurat bagi mereka dari hafalannya, tanpa membawa kitab tertulis dari langit.
Mereka berkata kurang lebih, bahwa Nabi Musa dahulu tidak mampu mendatangkan Taurat kepada mereka kecuali dalam bentuk kitab tertulis yang dibawa turun, sedangkan Uzair mampu menghadirkan Taurat kepada mereka tanpa kitab tertulis, hanya dari hafalannya. Kekaguman yang berlebihan ini mendorong sebagian kelompok di antara mereka untuk melampaui batas, hingga berani mengatakan:
“Uzair adalah putra Allah.”
Inilah bentuk ghuluw, berlebihan dalam memuliakan orang saleh sampai terjatuh pada kekufuran. Al-Qur’an kemudian membantah dan mengingkari keras ucapan tersebut.
Sebagian ulama tafsir kemudian mengatakan bahwa pada masa Uzair, tawatur Taurat—yakni penyampaian Taurat secara massal dan mutawatir dari banyak jalur—telah terputus, lalu disambung kembali melalui hafalan dan penulisan Uzair. Pendapat ini dinilai cukup kuat, terutama jika diasumsikan bahwa Uzair bukan nabi, melainkan hamba saleh biasa. Namun jika ia seorang nabi, maka pengembalian Taurat kepada mereka bisa dipandang sebagai bagian dari bimbingan wahyu yang khusus Allah berikan kepada seorang nabi.
Riwayat Tambahan tentang Pertanyaan Uzair terhadap Takdir
Sebagian riwayat menceritakan bahwa Uzair pernah berbicara kepada Rabbnya tentang masalah takdir. Dalam salah satu atsar disebutkan bahwa ia berkata dalam munajatnya:
“Wahai Rabbku, Engkau menciptakan makhluk, lalu Engkau menyesatkan siapa yang Engkau kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki?”
Maka dikatakan kepadanya: “Tinggalkan pembicaraan ini.” Namun ia dikisahkan mengulanginya lagi. Lalu dikatakan kepadanya: “Sungguh engkau akan meninggalkan hal ini, atau Aku akan menghapus namamu dari (daftar) para nabi. Sesungguhnya Aku tidak ditanya tentang apa yang Aku perbuat, sedangkan mereka (makhluk) yang akan ditanya.”
Makna ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah (para makhluk) yang akan ditanya (tentang apa yang mereka perbuat).”
(QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)
Ada pula riwayat lemah yang mengatakan bahwa karena pertanyaannya tentang takdir, nama Uzair dihapus dari penyebutan para nabi. Namun Ibnu Katsir menilai riwayat-riwayat semacam ini sebagai riwayat munkar, dan tampaknya bersumber dari Israiliyyat. Karena itu, ia tidak menjadikannya dasar keyakinan. Kita cukup menyikapinya sebagai kisah yang diceritakan, selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas, tanpa meyakini kepastiannya.
Sebagian riwayat juga menyebut bahwa Uzair hidup di zaman Musa dan pernah meminta izin untuk menemuinya, namun Musa tidak mengizinkannya karena persoalan pertanyaan tentang takdir tadi. Ketika berbalik pergi, ia disebut mengucapkan kalimat:
“Seratus kali mati lebih ringan daripada kehinaan sesaat.”
Ucapan ini sejalan dengan makna bait-bait syair yang mengatakan bahwa seorang merdeka mungkin masih dapat bersabar menahan pedang, namun merasa berat menahan kezaliman. Ia bahkan lebih memilih kematian daripada hidup dalam kehinaan yang membuatnya tidak mampu lagi menjalankan kewajiban seperti menjamu tamu.
Semua ini adalah riwayat-riwayat tambahan yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Ia disebutkan sebagai pelengkap cerita, tetapi tidak dijadikan pijakan akidah.
Nabi yang Membakar Sarang Semut
Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh para imam hadits (kecuali at-Tirmidzi) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang seorang nabi dari kalangan para nabi yang pernah singgah di bawah sebuah pohon. Di sana ada sarang semut. Ketika sedang beristirahat, salah satu semut menggigit nabi tersebut. Nabi itu kemudian memerintahkan agar perbekalannya dipindahkan dari bawah pohon, lalu memerintahkan agar sarang semut itu dibakar dengan api.
Allah kemudian mewahyukan kepadanya:
“Mengapa tidak (hanya) satu semut saja?”
Artinya, mengapa membinasakan seluruh koloni semut hanya karena seekor semut menggigit, padahal bisa saja hukuman diarahkan hanya kepada pelaku saja?
Sebagian ulama yang mengumpulkan kisah-kisah para nabi menyebut bahwa nabi yang disebut dalam hadits ini adalah Uzair, berdasarkan riwayat-riwayat lemah dari Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan al-Bashri. Namun tidak ada dalil yang pasti, dan para ulama lebih hati-hati dengan mengatakan:
“Allah lebih mengetahui siapa nabi yang dimaksud.”
Sumber Kisah
Qashash al-Anbiya’ min al-Bidayah wa an-Nihayah

Komentar
Posting Komentar