Kisah Nabi Sya’ya bin Amsiya: Doa Raja Hizqiya dan Hancurnya Pasukan Babilonia
Kisah Nabi Sya’ya dan Raja Hizqiya
Setelah masa Nabi Dawud ‘alaihissalam dan sebelum masa Nabi Zakariya dan Yahya ‘alaihimassalam, Allah mengutus sejumlah nabi kepada Bani Israil. Waktu persis hidup mereka tidak diketahui dengan pasti, tetapi para ulama sepakat bahwa mereka hidup di antara dua zaman itu. Salah seorang di antara mereka adalah Nabi Sya’ya bin Amsiya (yang dalam literatur lain sering dikaitkan dengan Nabi Isaiah).
Muhammad bin Ishaq menyebut bahwa Nabi Sya’ya hidup sebelum zaman Nabi Zakariya dan Nabi Yahya. Ia termasuk nabi yang membawa kabar gembira tentang akan datangnya Nabi Isa dan Nabi Muhammad ‘alaihimassalam. Pada masa itu, Bani Israil tinggal di sekitar Baitul Maqdis (Al-Quds/Yerusalem). Mereka dipimpin oleh seorang raja bernama Hizqiya, seorang raja yang dikenal baik dan taat kepada Nabi Sya’ya. Apa pun yang Nabi Sya’ya perintahkan atau larang demi kemaslahatan agama dan dunia mereka, Raja Hizqiya mendengarkan dan menaatinya. Namun sayangnya, di tengah masyarakat Bani Israil sendiri, kerusakan dan kemaksiatan telah menyebar luas. Banyak perbuatan dosa terjadi, meskipun mereka hidup bersama seorang nabi dan raja yang shalih.
Pada suatu waktu, Raja Hizqiya jatuh sakit. Di kakinya muncul luka berat, semacam borok yang parah, sehingga ia menjadi sangat lemah. Di saat yang hampir bersamaan, datang ancaman dari arah Babilonia. Raja Babilonia ketika itu bernama Sanharib. Ia berangkat menuju negeri Baitul Maqdis dengan pasukan yang sangat besar. Muhammad bin Ishaq meriwayatkan bahwa Sanharib datang dengan enam ratus ribu panji pasukan. Berita itu menyebar di tengah Bani Israil. Orang-orang diliputi rasa takut yang sangat besar; raja mereka sakit keras, dan pasukan musuh yang kuat dan banyak sudah mendekati kota mereka.
Dalam keadaan genting itu, Raja Hizqiya memanggil Nabi Sya’ya dan bertanya, “Apa yang telah Allah wahyukan kepadamu tentang Sanharib dan bala tentaranya?” Nabi Sya’ya menjawab dengan jujur, “Belum ada sesuatu pun yang diwahyukan kepadaku tentang mereka.” Tidak lama kemudian, wahyu turun kepada Nabi Sya’ya. Isinya adalah perintah agar ia menyampaikan kepada Raja Hizqiya bahwa ajalnya telah dekat, dan hendaknya ia segera berwasiat serta menunjuk siapa yang akan menggantikannya memimpin kerajaan. Berita ini tentu sangat mengguncang sang raja: ia sedang sakit, musuh besar datang, dan kini ia diberitahu bahwa hidupnya sudah hampir berakhir.
Mendengar kabar itu, Raja Hizqiya tidak memprotes dan tidak putus asa. Ia beralih kepada Allah. Ia menghadap kiblat, kemudian shalat, bertasbih, berdoa, dan menangis. Dengan hati yang ikhlas, penuh tawakal dan sabar, ia bermunajat kepada Tuhannya. Ia memuji Allah sebagai Rabb segala rabb, sesembahan segala sesembahan, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dzat yang tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur. Pujian itu sejalan dengan firman Allah dalam ayat Kursi:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ …
“Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahahidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur bagi-Nya…”
(QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Dalam doanya, secara makna ia memohon, “Ya Allah, ingatlah semua ilmu dan amal yang telah Engkau berikan kepadaku. Ingatlah bagaimana aku berusaha memimpin Bani Israil dengan keputusan yang baik. Semua kebaikan itu sesungguhnya berasal dari-Mu, bukan dari diriku. Engkaulah yang paling mengetahui keadaanku, lebih dari diriku sendiri. Apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku tampakkan, semuanya Engkau ketahui.” Doanya adalah pengakuan bahwa segala kebaikan datang dari Allah dan ia memohon agar Allah menjadikannya sebab rahmat, bukan sebab azab.
Allah Yang Maha Pengasih mengabulkan doa hamba-Nya. Allah mewahyukan kepada Nabi Sya’ya agar ia menyampaikan kabar gembira kepada Raja Hizqiya: Allah telah menerima tangisannya, mengasihinya, menangguhkan ajalnya selama lima belas tahun, dan akan menyelamatkannya dari musuhnya, Sanharib. Setelah mendengar kabar ini, rasa sakit Raja Hizqiya mereda, kesedihannya sirna, dan ia tersungkur sujud kepada Allah.
Dalam sujudnya, ia memuji Allah dengan kalimat yang maknanya sejalan dengan firman Allah:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: ‘Wahai Allah, Pemilik kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 26)
Ia mengakui bahwa hanya Allah yang mengangkat dan menurunkan para raja, yang memuliakan dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya. Ia memuji Allah sebagai Dzat yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin. Pujian ini sejalan dengan firman-Nya:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
“Dialah Allah, tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 22)
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. Al-Hadid [57]: 3)
Ia juga meyakini bahwa Allah mengabulkan doa orang yang terdesak dan dalam kesulitan, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ…
“Siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan…”
(QS. An-Naml [27]: 62)
Setelah ia mengangkat kepalanya dari sujud, datang lagi wahyu kepada Nabi Sya’ya. Kali ini isinya sangat praktis: Nabi Sya’ya diperintahkan untuk memerintahkan Raja Hizqiya mengambil air perasan buah tin, lalu mengoleskannya pada luka di kakinya. Jika itu dilakukan, dengan izin Allah lukanya akan sembuh dan pada pagi harinya ia akan bangun dalam keadaan sehat. Raja Hizqiya pun mematuhi perintah tersebut. Ia mengambil air tin, mengoleskannya pada luka, dan Allah menyembuhkannya.
Pada saat yang sama, Allah menurunkan azab kepada pasukan Sanharib. Di pagi hari, seluruh pasukan besar yang datang untuk menyerang Bani Israil itu telah binasa. Yang tersisa hanyalah Sanharib sendiri dan lima orang dekatnya. Di antara lima orang itu terdapat seseorang yang kelak terkenal dalam sejarah, yaitu Bukhtanashar (Nebukadnezar). Raja Bani Israil kemudian mengirim orang untuk membawa mereka. Ketika telah ditangkap, mereka dibelenggu dengan rantai. Selama tujuh puluh hari, mereka diarak berkeliling negeri-negeri sebagai bentuk penghinaan dan hukuman atas kezaliman mereka. Setiap hari masing-masing hanya diberi makan dua potong roti dari jelai. Setelah masa itu berakhir, mereka dimasukkan ke dalam penjara.
Tak lama kemudian, Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Sya’ya agar memerintahkan Raja Hizqiya melepas mereka dan mengembalikan mereka ke negeri asal mereka. Tujuannya agar mereka menceritakan kepada kaumnya tentang apa yang telah menimpa mereka, sehingga menjadi peringatan bagi mereka tentang kekuasaan Allah dan akibat memusuhi para nabi. Raja Hizqiya pun menaati perintah itu. Sanharib dan para pengikutnya dipulangkan.
Sesampainya di negerinya, Sanharib mengumpulkan kaumnya dan menceritakan kejadian yang dialaminya: kehancuran pasukannya, kehinaannya diarak dan dipenjara, lalu pembebasannya dan kepulangannya. Para tukang sihir dan tukang tenung berkata kepadanya, “Kami sudah memberitahumu tentang keagungan Rabb mereka dan tentang kedudukan para nabi mereka. Engkau tidak mau mendengarkan nasihat kami. Mereka adalah umat yang tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan mereka, karena Rabb mereka menolong mereka.” Maka kisah kehancuran Sanharib itu menjadi salah satu sarana Allah untuk menakut-nakuti dan memperingatkan mereka. Beberapa tahun kemudian, sekitar tujuh tahun setelah kejadian itu, Sanharib meninggal dunia.
Setelah itu, sampailah masa di mana Raja Hizqiya sendiri wafat. Dengan wafatnya raja yang shalih ini, keadaan Bani Israil kembali kacau. Urusan mereka tidak teratur, berbagai perbuatan buruk bercampur-aduk, dan kejahatan serta kemaksiatan kian meluas. Dalam keadaan seperti ini, Allah kembali mewahyukan kepada Nabi Sya’ya, memerintahkan beliau untuk bangkit menasihati kaumnya. Nabi Sya’ya berdiri di tengah-tengah Bani Israil, mengingatkan mereka tentang Allah, menyebutkan keagungan dan hak-hak-Nya, memperingatkan mereka tentang azab dan hukuman-Nya bila mereka tetap membangkang dan mendustakan.
Namun, kaumnya justru marah. Setelah Nabi Sya’ya selesai menyampaikan nasihat, mereka menyerbu dirinya dan berusaha menangkapnya untuk dibunuh. Nabi Sya’ya lari menyelamatkan diri. Dalam pelariannya, ia melewati sebatang pohon. Dengan izin Allah, pohon itu terbelah, dan Nabi Sya’ya masuk ke dalamnya untuk bersembunyi. Tetapi setan melihatnya. Ia menarik ujung pakaian Nabi Sya’ya sehingga sedikit bagian kain itu keluar dari celah pohon. Orang-orang yang mengejar melihat ujung pakaian itu. Mereka pun mendatangkan gergaji besar, meletakkannya di atas pohon tempat Nabi Sya’ya bersembunyi, lalu menggergaji pohon tersebut hingga terbelah bersama Nabi Sya’ya yang berada di dalamnya. Riwayat menutup kisah ini dengan kalimat:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami kembali.”
(lihat juga QS. Al-Baqarah [2]: 156)
Di akhir pembahasan, para ulama menjelaskan bahwa khusus bagian kisah tentang cara wafatnya Nabi Sya’ya dengan digergaji di dalam pohon termasuk riwayat Israiliyyat. Ia tidak memiliki sanad yang kuat dari jalur riwayat Islam yang shahih. Karena itu, kisah-kisah seperti ini tidak boleh diyakini kebenarannya secara pasti dan tidak pula harus didustakan, kecuali bila bertentangan dengan kebenaran yang sudah pasti menurut Al-Qur’an dan hadits yang shahih.
Sumber kisah:
Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya’ min al-Bidayah wa an-Nihayah

Komentar
Posting Komentar