Kisah Nabi Muhammad dan Rukanah: Mukjizat Pohon Berjalan, Turunnya Al-Kautsar, dan Nasib Para Pencemooh Quraisy
Pergulatan Rukanah dan Mukjizat Pohon
Di Makkah, sebelum hijrah, ada seorang lelaki Quraisy yang sangat terkenal karena kekuatannya. Namanya Rukanah bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abd Manaf. Hampir semua orang sepakat: dialah orang paling kuat di Quraisy.
Pada suatu hari, Rukanah berduaan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di salah satu celah lembah di sekitar Makkah. Di tempat yang sepi itu, Rasulullah mengajaknya berbicara dari hati ke hati.
Beliau berkata dengan lembut:
“Wahai Rukanah, tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dan menerima apa yang aku serukan kepadamu?”
Rukanah menjawab dengan terus terang:
“Seandainya aku tahu bahwa apa yang engkau katakan itu benar, pasti aku akan mengikutimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menawarkan sebuah bukti yang sesuai dengan karakter Rukanah sebagai seorang pegulat:
“Bagaimana pendapatmu jika aku dapat menjatuhkanmu dalam gulat? Apakah engkau akan tahu bahwa apa yang aku katakan itu benar?”
Rukanah menjawab, singkat:
“Ya.”
Beliau bersabda:
“Kalau begitu, bangunlah, agar aku bergulat denganmu.”
Maka keduanya berdiri dan bersiap. Di hadapan lelaki yang terkenal paling kuat di Quraisy itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegangnya, lalu tiba-tiba membantingnya dengan mudah. Rukanah terbaring di tanah dan sama sekali tidak mampu melepaskan diri atau melawan.
Terkejut, ia berkata:
“Ulangi lagi, wahai Muhammad.”
Mereka bergulat lagi. Untuk kedua kalinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkannya.
Rukanah berkata dengan penuh keheranan:
“Wahai Muhammad, demi Allah, ini sungguh menakjubkan. Engkau bisa mengalahkanku dalam gulat?!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada yang lebih menakjubkan daripada itu. Jika engkau mau, akan kuperlihatkan kepadamu — asalkan engkau bertakwa kepada Allah dan mengikuti perintahku.”
Rukanah bertanya:
“Apa itu?”
Beliau menjawab:
“Aku akan memanggil untukmu pohon yang engkau lihat itu, lalu ia akan datang kepadaku.”
Rukanah, yang penasaran dan masih belum beriman, berkata:
“Panggillah ia.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pohon yang ada di kejauhan. Dengan izin Allah, pohon itu bergerak, seolah-olah mencabut akarnya, lalu berjalan hingga berdiri di hadapan beliau.
Kemudian beliau memerintahkannya:
“Kembalilah ke tempatmu.”
Lalu pohon itu pun kembali ke tempat asalnya, seperti semula.
Setelah menyaksikan semua itu, Rukanah justru kembali kepada kaumnya dan berkata:
“Wahai Bani ‘Abd Manaf, sahabat kalian ini telah menyihir penduduk bumi. Demi Allah, aku belum pernah melihat ada orang yang sihirnya lebih hebat daripada dia.”
Ia menceritakan kepada mereka apa yang ia lihat dan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ia tetap tidak mau beriman dalam riwayat ini.
Para ulama seperti Ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini, dan menjelaskan bahwa kisah mukjizat pohon ini juga diriwayatkan melalui beberapa jalur lain yang baik dalam kitab-kitab tentang Dalā’ilun Nubuwwah (bukti-bukti kenabian). Ada pula riwayat lain yang menyebut bahwa seorang lelaki dari keluarga Rukanah kemudian benar-benar masuk Islam setelah bergulat dengan Nabi.
Riwayat Lain: Pergulatan Tiga Kali dan Masuk Islam
Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa Yazid bin Rukanah (kerabat Rukanah) pernah bergulat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka bergulat tiga kali. Setiap kali bergulat, taruhannya adalah seratus ekor kambing.
– Pada gulat pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkannya, dan kambing-kambing itu menjadi milik beliau.
– Terjadi lagi untuk kedua kalinya, dan Nabi kembali menang.
– Pada kali ketiga, Nabi tetap mampu menjatuhkannya.
Saat itulah hati Yazid luluh. Ia berkata:
“Wahai Muhammad, tidak pernah seorang pun sebelum engkau menelentangkan punggungku ke tanah. Dan tidak ada seorang pun yang lebih kubenci daripadamu. (Sekarang) aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa engkau adalah Rasul Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri, dan mengembalikan seluruh kambingnya kepadanya. Bukan hanya kekuatan yang beliau tunjukkan, tetapi juga keluhuran akhlak.
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bagaimana Allah menolong Nabi-Nya, baik dengan kekuatan lahiriah dalam pergulatan, maupun dengan mukjizat seperti bergeraknya pohon, untuk menegakkan hujjah atas orang-orang yang mendustakan.
Orang-Orang Nasrani dari Habasyah yang Datang ke Makkah
Tidak lama setelah itu, Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa ada sekitar dua puluh orang Nasrani dari Habasyah yang datang ke Makkah. Mereka mendengar berita tentang Nabi terakhir yang telah diutus.
Mereka datang, mendengarkan bacaan al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu masuk Islam semuanya. Kisah ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sekitar Raja Najasyi penguasa Habasyah yang sebelumnya telah memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah ke negerinya.
Para Sahabat yang Lemah dan Turunnya Ayat Pembelaan
Di Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering duduk di Masjidil Haram. Di sekeliling beliau biasanya berkumpul sahabat-sahabat yang dianggap lemah dan rendahan oleh orang-orang Quraisy: Khabbab, ‘Ammar, Abu Fukaihah Yasar (budak Shafwan bin Umayyah), Shuhaib, dan para sahabat miskin lainnya.
Mereka orang-orang yang tulus dan jujur imannya, namun tidak punya kedudukan sosial atau harta. Kaum Quraisy mengejek mereka, dan sebagian dari mereka berkata satu sama lain:
“Mereka inikah sahabat-sahabat Muhammad, seperti yang kalian lihat? Orang-orang seperti inikah yang Allah beri karunia petunjuk dan agama yang benar di antara kita?
Seandainya apa yang dibawa Muhammad itu baik, orang-orang seperti mereka ini tidak akan mendahului kita menerimanya. Allah tidak akan mengkhususkan mereka dengan hidayah dan meninggalkan kita.”
Ucapan sombong itu turun jawabannya langsung dari langit. Allah menurunkan ayat berikut:
﴿وَلَا تَطْرُدِ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ مَا عَلَيۡكَ مِنۡ حِسَابِهِم مِّن شَيۡءٖ وَمَا مِنۡ حِسَابِكَ عَلَيۡهِم مِّن شَيۡءٖ فَتَطۡرُدَهُمۡ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥٢ وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لِّيَقُولُوٓاْ أَهَٰٓؤُلَآءِ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنۢ بَيۡنِنَآۗ أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَعۡلَمَ بِٱلشَّٰكِرِينَ ٥٣ وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡۖ كَتَبَ رَبُّكُمۡ عَلَىٰ نَفۡسِهِ ٱلرَّحۡمَةَۤ أَنَّهُۥ مَنۡ عَمِلَ مِنكُمۡ سُوٓءًۢا بِجَهَٰلَةٖ ثُمَّ تَابَ مِنۢ بَعۡدِهِۦ وَأَصۡلَحَ فَأَنَّهُۥ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥٤﴾
(QS. al-An‘ām [6]: 52–54)
Terjemahannya:
“Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, mereka menghendaki keridaan-Nya. Engkau tidak memikul sedikit pun dari perhitungan mereka dan mereka pun tidak memikul sedikit pun dari perhitunganmu; karena itu janganlah engkau mengusir mereka sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim. Dan demikianlah Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain, agar (orang-orang kafir) berkata, ‘Inikah orang-orang yang di antara kita Allah berikan nikmat kepada mereka?’ Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur? Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salam sejahtera atas kamu; Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwa barang siapa di antara kamu berbuat kejahatan karena kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.’”
Dengan ayat ini, Allah membela para sahabat yang lemah dan melarang Nabi untuk sekalipun menyingkirkan mereka hanya karena tekanan orang-orang terpandang.
Tuduhan: “Muhammad Diajar Seorang Nasrani”
Di sisi bukit Shafa dan Marwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang duduk di dekat sebuah tempat jual-beli milik seorang budak Nasrani bernama Jabr, hamba dari Bani al-Hadhrami. Orang ini biasa duduk di tokonya, dan kadang Rasulullah lewat di dekatnya.
Orang-orang musyrik mencari-cari alasan untuk menolak al-Qur’an. Mereka pun berkata:
“Demi Allah, yang mengajarkan sebagian besar dari apa yang dibawa Muhammad itu hanyalah Jabr.”
Seakan-akan al-Qur’an bukan wahyu, tetapi pelajaran dari seorang budak Nasrani asing.
Allah membantah mereka dengan ayat yang tegas:
﴿وَلَقَدۡ نَعۡلَمُ أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٞۗ لِّسَانُ ٱلَّذِي يُلۡحِدُونَ إِلَيۡهِ أَعۡجَمِيّٞ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيّٞ مُّبِينٞ ١٠٣﴾
(QS. an-Naḥl [16]: 103)
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa asing, sedangkan al-Qur’an ini adalah dalam bahasa Arab yang jelas.”
Bagaimana mungkin seorang budak asing mengajarkan sebuah kitab yang bahasanya jauh lebih fasih daripada bahasa lisan terbaik bangsa Arab sendiri? Ayat ini dengan sendirinya meruntuhkan tuduhan mereka.
Ejekan “Abtar” dan Turunnya Surat Al-Kautsar
Salah satu tokoh Quraisy yang sangat keras permusuhannya adalah al-‘Ash bin Wā’il. Ketika putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Qasim, wafat — seorang anak yang sudah cukup besar hingga mampu menunggang hewan — al-‘Ash berkata dengan sombong:
“Muhammad itu abtar, tidak punya keturunan lelaki. Jika ia mati, terputuslah sebutannya.”
Dalam tradisi Arab, seseorang dianggap kuat dan mulia bila memiliki banyak putra lelaki. Mereka mengira bahwa nama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hilang seiring wafatnya putra-putra beliau.
Allah menurunkan surah yang sangat pendek namun agung sebagai jawaban:
﴿إِنَّا أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣﴾
(QS. al-Kawthar [108]: 1–3)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (abtar).”
Allah membalikkan tuduhan itu: bukan Rasulullah yang terputus, tetapi justru orang yang membenci beliau. Dan sejarah pun membuktikan: nama al-‘Ash bin Wā’il hampir dilupakan, sedangkan nama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut di seluruh penjuru dunia, siang dan malam.
Permintaan Turunnya Malaikat
Para pemuka Quraisy tidak berhenti mencari-cari alasan. Di antara mereka; Ubay bin Khalaf, Zama‘ah bin al-Aswad, al-‘Ash bin Wā’il, dan an-Nadr bin al-Harits berkata kepada Nabi:
“Mengapa tidak diturunkan kepadamu seorang malaikat yang berbicara kepada manusia atas namamu?”
Seolah-olah al-Qur’an dan mukjizat yang ada belum cukup, mereka mengajukan syarat yang sombong. Allah menjawab:
﴿وَقَالُواْ لَوۡلَآ أُنزِلَ عَلَيۡهِ مَلَكٞۖ وَلَوۡ أَنزَلۡنَا مَلَكٗا لَّقُضِيَ ٱلۡأَمۡرُ ثُمَّ لَا يُنظَرُونَ ٨﴾
(QS. al-An‘ām [6]: 8)
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) seorang malaikat?’ Dan sekiranya Kami turunkan seorang malaikat, tentu selesailah urusan itu (mereka langsung dibinasakan), kemudian mereka tidak akan diberi penangguhan lagi.”
Jika malaikat turun dalam bentuk aslinya sebagai bukti, maka saat itu juga azab akan menimpa orang-orang yang tetap mengingkari.
Nabi Diejek, Lalu Turun Ayat Penghibur
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati al-Walid bin al-Mughirah, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Jahl bin Hisyam. Ketika melihat beliau, mereka mencibir, mengejek, dan merendahkan beliau dengan kata-kata yang menyakitkan.
Hal itu membuat hati beliau sedih. Lalu Allah menurunkan firman-Nya sebagai penghibur, mengingatkan bahwa para rasul sebelum beliau pun pernah mengalami hal yang sama:
﴿وَلَقَدِ ٱسۡتُهۡزِئَ بِرُسُلٖ مِّن قَبۡلِكَ فَحَاقَ بِٱلَّذِينَ سَخِرُواْ مِنۡهُم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ١٠﴾
(QS. al-An‘ām [6]: 10)
“Dan sungguh, telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum engkau, lalu orang-orang yang mencemooh mereka dikepung (diazab) oleh apa yang dahulu mereka perolok-olokkan.”
Allah juga menegaskan lagi:
﴿وَلَقَدۡ كُذِّبَتۡ رُسُلٞ مِّن قَبۡلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَىٰ مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّىٰٓ أَتَىٰهُمۡ نَصۡرُنَاۚ وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِ ٱللَّهِۚ وَلَقَدۡ جَآءَكَ مِن نَّبَإِي ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٣٤﴾
(QS. al-An‘ām [6]: 34)
“Dan sungguh, telah didustakan rasul-rasul sebelum engkau; lalu mereka bersabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, hingga datang kepada mereka pertolongan Kami. Dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat Allah. Dan sungguh, telah datang kepadamu sebagian dari berita para rasul itu.”
Dan secara khusus, Allah menjamin:
﴿إِنَّا كَفَيۡنَٰكَ ٱلۡمُسۡتَهۡزِءِينَ ٩٥﴾
(QS. al-Ḥijr [15]: 95)
“Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (untuk menghadapi) para pencemooh.”
Mereka boleh saja mengejek, tetapi Allah sendiri yang akan membalas mereka dengan cara-Nya.
Doa Nabi Terhadap Para Pencemooh dan Akhir Tragis Mereka
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan nama-nama para tokoh besar yang paling sering mengejek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah:
- al-Walid bin al-Mughirah
- al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts az-Zuhri
- al-Aswad bin al-Muththalib (dijuluki Abu Zam‘ah)
- al-Harits bin ‘Aithal
- al-‘Ash bin Wā’il as-Sahmi
Mereka itulah yang termasuk dalam firman Allah:
﴿إِنَّا كَفَيۡنَٰكَ ٱلۡمُسۡتَهۡزِءِينَ ٩٥﴾
“Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (untuk menghadapi) para pencemooh.”
Dalam satu riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan mereka kepada malaikat Jibril. Lalu Jibril menunjukkan masing-masing dari mereka kepada Nabi:
Ketika al-Walid bin al-Mughirah tampak, Jibril memberi isyarat ke urat besar di kakinya, dan berkata, “Engkau telah dicukupkan darinya.”
Tidak lama kemudian, al-Walid lewat di dekat seorang laki-laki dari Khuza‘ah yang sedang memasang bulu anak panah. Sebuah anak panah secara tak sengaja mengenai urat di kakinya dan memotongnya; dari luka itulah ia akhirnya meninggal.Ketika al-Aswad bin al-Muththalib (Abu Zam‘ah) lewat, Jibril memberi isyarat ke lehernya, dan berkata, “Engkau telah dicukupkan darinya.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa khusus untuknya:“Ya Allah, butakanlah penglihatannya dan buatlah ia kehilangan anaknya.”
Kemudian ia mengalami gangguan hingga akhirnya menjadi buta.Ketika al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts lewat, Jibril memberi isyarat ke kepalanya, dan berkata, “Engkau telah dicukupkan darinya.”
Tidak lama, timbul bisul-bisul dan luka di kepalanya, hingga ia mati karenanya.Ketika al-Harits bin ‘Aithal lewat, Jibril memberi isyarat ke perutnya, dan berkata, “Engkau telah dicukupkan darinya.”
Ia terkena penyakit perut yang parah; cairan kuning (seperti penyakit kuning dan busuk) memenuhi perutnya hingga kotorannya keluar dari mulutnya, lalu ia meninggal.Ketika al-‘Ash bin Wā’il lewat, Jibril memberi isyarat ke telapak kakinya.
Ia kemudian pergi ke Thaif dengan menunggang seekor keledai. Di tengah perjalanan, keledainya meringkuk di atas sejenis semak berduri yang disebut syibriqah. Satu duri menancap dalam di telapak kakinya dan akhirnya membunuhnya.
Dalam riwayat lain yang dibawakan Ibnu Ishaq, Allah menurunkan firman-Nya tentang mereka:
﴿فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٤ إِنَّا كَفَيۡنَٰكَ ٱلۡمُسۡتَهۡزِءِينَ ٩٥ ٱلَّذِينَ يَجۡعَلُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَۚ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ ٩٦﴾
(QS. al-Ḥijr [15]: 94–96)
“(Maka sampaikanlah) secara terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami cukupkan bagimu (untuk menghadapi) orang-orang yang memperolok-olok, (yaitu) orang-orang yang mengadakan tuhan yang lain di samping Allah; kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).”
Dalam salah satu kisah, Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat para tokoh itu sedang thawaf. Nabi berdiri di samping Jibril, lalu:
- Ketika al-Aswad bin al-Muththalib lewat, Jibril melemparkan selembar daun hijau ke wajahnya, hingga ia buta.
- Ketika al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts lewat, Jibril memberi isyarat ke perutnya; perutnya pun membengkak penuh cairan, hingga ia mati dalam keadaan habān (buncit dan sakit).
- Ketika al-Walid bin al-Mughirah lewat, Jibril memberi isyarat ke bekas luka lama di bawah mata kakinya, yang dahulu hanya goresan kecil akibat ujung anak panah. Luka itu kemudian kambuh dan membusuk sampai akhirnya ia mati.
- Ketika al-‘Ash bin Wā’il lewat, Jibril memberi isyarat ke telapak kakinya, dan ia pun menemui ajalnya sebagaimana telah disebut.
- Ketika al-Harits bin ath-Thulāthilah lewat, Jibril memberi isyarat ke kepalanya, hingga kepalanya dipenuhi nanah dan ia meninggal.
Begitulah, satu per satu para pencemooh besar itu binasa dengan cara yang sejalan dengan isyarat yang ditunjukkan Jibril.
Wasiat Terakhir Al-Walid bin Al-Mughirah
Menjelang wafat, al-Walid bin al-Mughirah — salah satu tokoh besar Quraisy dan juga termasuk para pencemooh — berwasiat kepada tiga putranya: Khalid, Hisyam, dan al-Walid (junior).
Ia berkata:
“Wahai anak-anakku, aku wasiatkan kepada kalian tiga hal:
- Darahku yang tertumpah pada (kabilah) Khuza‘ah — jangan kalian biarkan begitu saja. Demi Allah, aku tahu mereka sebenarnya tidak bersalah, tetapi aku khawatir kalian akan dicela karenanya nanti.
- Riba-ku yang masih berada di Tsaqif (penduduk Thaif) — jangan kalian tinggalkan hingga kalian mengambilnya.
- Maskawin (mahar)ku yang ada pada Abu Uzair ad-Dausi — jangan sampai ia lolos dari kalian.”
Kisah mahar ini bermula karena Abu Uzair pernah menikahkan putrinya dengan al-Walid, menerima mahar (uqr atau maskawin), lalu menahan putrinya dan tidak pernah menyerahkannya kepada al-Walid sampai ia wafat.
Setelah al-Walid meninggal, Bani Makhzum (kabilahnya) menuntut kepada Khuza‘ah untuk membayar diyat (ganti rugi darah), dengan alasan:
“Sesungguhnya yang membunuhnya adalah anak panah milik orang kalian.”
Khuza‘ah menolak, sehingga terjadi pertukaran syair-syair sindiran dan suasana memanas. Akhirnya, Khuza‘ah memberikan sebagian diyat sebagai jalan damai hingga perkara itu reda.
Pembunuhan Abu Uzair dan Sikap Abu Sufyan
Beberapa waktu kemudian, Hisyam bin al-Walid membunuh Abu Uzair ad-Dausi di pasar Dzu al-Majaz. Abu Uzair adalah orang terhormat di kaumnya, dan putrinya ketika itu sudah menjadi istri Abu Sufyan.
Peristiwa pembunuhan ini terjadi setelah Perang Badar. Mengetahui kejadian itu, Yazid bin Abu Sufyan mengumpulkan orang-orang untuk mendukung Bani Makhzum, karena ayahnya (Abu Sufyan) saat itu sedang tidak berada di Makkah.
Ketika Abu Sufyan kembali dan mendengar apa yang dilakukan putranya, ia sangat marah. Ia menyalahkan dan memukul Yazid, lalu membayar diyat Abu Uzair. Abu Sufyan berkata kira-kira:
“Apakah engkau hendak membuat Quraisy saling membunuh satu sama lain gara-gara seorang lelaki dari Daus?!”
Disebutkan pula bahwa Hasan bin Tsabit, penyair Rasulullah, pernah membuat syair yang menghasut Abu Sufyan agar menuntut balas darah Abu Uzair dan memojokkan Bani Makhzum. Namun Abu Sufyan tidak sepakat. Ia berkata bahwa buruk sekali jika sampai Quraisy saling bunuh, sementara para pemuka mereka sudah banyak gugur di Badar.
Riba Al-Walid dan Turunnya Larangan Riba
Ketika Khalid bin al-Walid akhirnya masuk Islam dan kemudian ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengepungan Thaif, ia teringat wasiat ayahnya tentang riba yang masih tertahan di tangan penduduk Thaif.
Khalid pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai riba itu: bagaimana statusnya setelah ia masuk Islam?
Sebagian ahli ilmu menyebutkan bahwa berkenaan dengan peristiwa ini, Allah menurunkan ayat-ayat larangan riba dalam surat al-Baqarah:
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨﴾
(QS. al-Baqarah [2]: 278)
“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Dan ayat-ayat setelahnya mengancam dengan keras orang-orang yang tetap memakan riba. Sejak saat itu, riba diputus dan hubungan harta diatur dengan keadilan.
Upaya Balas Dendam yang Gagal dan Jasa Seorang Perempuan
Ibnu Ishaq menyebutkan, setelah itu tidak ada lagi balas dendam besar dari pihak Bani Uzair terhadap Bani Makhzum yang diketahui, karena Islam telah datang dan memisah (menghentikan) pertumpahan darah di antara manusia.
Namun, ada satu peristiwa kecil yang hampir saja menjadi balas dendam:
Seorang lelaki Quraisy bernama Dhirar bin al-Khaththab bin Mirdas al-Fihri berangkat bersama beberapa orang Quraisy ke daerah Daus. Mereka singgah di rumah seorang perempuan bernama Ummu Ghailan, seorang maula (bekas budak yang dimerdekakan) dari Daus. Ia dikenal sebagai wanita yang menyisir rambut para wanita dan menyiapkan pengantin.
Orang-orang Daus berniat membunuh rombongan Quraisy itu sebagai balasan atas terbunuhnya Abu Uzair. Namun, Ummu Ghailan berdiri di hadapan mereka, bersama beberapa wanita yang bersamanya, melindungi para tamu itu.
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ia bahkan menyembunyikan Dhirar di antara baju besinya dan tubuhnya, agar tidak bisa dibunuh.
Tahun-tahun berlalu. Ketika masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab, Ummu Ghailan datang menghadap beliau di Madinah. Ia menyangka bahwa Dhirar adalah saudara Umar dalam nasab. Umar berkata kepadanya:
“Aku bukan saudaranya kecuali dalam Islam. Namun aku mengetahui jasamu kepadanya.”
Umar lalu memberinya bantuan, karena ia adalah “bintu sabil” (musafir perempuan yang membutuhkan).
Ibnu Hisyam juga menyebutkan satu kisah lain: pada hari Perang Uhud, Dhirar bin al-Khaththab sempat menyusul Umar di medan perang dalam keadaan keduanya masih musyrik dan muslim berperang. Dhirar memukul Umar dengan sisi tombaknya (bukan ujungnya) sambil berkata:
“Larilah, wahai putra al-Khaththab, aku tidak akan membunuhmu.”
Umar mengingat budi itu setelah Islam, dan menghormatinya. Semoga Allah meridhai keduanya.
Sumber
- Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar