Kisah Nabi Danyal (Daniel), Armiya, dan Pemakmuran Kembali Baitul Maqdis
Danyal dalam Gua Singa
Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa pada suatu masa, Raja zalim bernama Bukhtanashar (Nebukadnezar) menyiapkan dua ekor singa yang dibiarkan lapar, lalu melemparkannya ke dalam sebuah lubang atau sumur yang dalam. Setelah itu ia mendatangkan seorang hamba Allah yang saleh bernama Danyal, lalu melemparkannya ke atas dua singa tersebut.
Namun, kedua singa itu sama sekali tidak mengganggunya. Danyal tinggal di dalam sumur itu selama Allah menghendaki. Waktu pun berlalu, sampai akhirnya beliau merasakan lapar dan haus, sebagaimana manusia biasa menginginkan makanan dan minuman.
Pada saat itulah Allah mewahyukan kepada seorang nabi yang lain, yaitu Armiya (sebagian menyebutnya nabi Yeremia), yang saat itu berada di negeri Syam (Palestina dan sekitarnya):
“Siapkanlah makanan dan minuman untuk Danyal.”
Armiya berkata, seakan-akan keheranan dan bertanya, “Wahai Rabbku, aku berada di Tanah Suci (Syam), sedangkan Danyal berada di negeri Babil, di wilayah Irak.”
Allah lalu mewahyukan kepadanya kembali:
“Siapkanlah apa yang Kami perintahkan kepadamu. Kami akan mengutus (seseorang/malaikat) yang akan membawamu dan membawa apa yang engkau siapkan.”
Armiya pun menyiapkan makanan dan minuman sebagaimana diperintahkan. Kemudian Allah mengutus makhluk-Nya yang mengangkat Armiya beserta makanan itu, hingga ia tiba di atas mulut sumur tempat Danyal berada. Armiya berdiri di tepi sumur dan memanggil.
Danyal yang berada di dasar sumur berkata, “Siapa itu?”
“Akulah Armiya,” jawabnya.
Danyal berkata, “Apa yang membawamu kemari?”
Armiya menjawab, “Tuhanmu mengutusku kepadamu.”
Mendengar itu, Danyal bertanya lagi dengan penuh harap, “Apakah Rabbku telah mengingatku?”
“Ya,” jawab Armiya.
Maka Danyal menengadahkan hati dan lisannya, lalu memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang indah:
“Segala puji bagi Allah yang tidak melupakan orang yang mengingat-Nya.
Segala puji bagi Allah yang mengabulkan orang yang berharap kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah yang siapa pun yang percaya dan bertawakal kepada-Nya, Dia tidak menyerahkannya kepada selain-Nya.
Segala puji bagi Allah yang membalas kebaikan dengan kebaikan.
Segala puji bagi Allah yang membalas kesabaran dengan keselamatan.
Segala puji bagi Allah yang Dialah yang menghilangkan kesusahan kami setelah kesempitan kami.
Segala puji bagi Allah yang melindungi kami ketika kami berburuk sangka terhadap amal-amal kami.
Dan segala puji bagi Allah yang Dialah satu-satunya harapan kami ketika segala daya dan upaya terputus dari kami.”
Penemuan Jenazah Danyal di Kota Tustar
Beberapa abad setelah itu, datanglah masa kaum muslimin menaklukkan negeri-negeri di bawah kekuasaan Persia. Dalam penaklukan kota Tustar, sebuah kota penting di wilayah Persia, para sahabat menemukan sesuatu yang sangat ajaib.
Mereka mendapati di rumah harta milik al-Hurmuzan sebuah ranjang. Di atas ranjang itu terbujur tubuh seorang laki-laki yang sudah meninggal, namun jasadnya utuh. Di samping kepalanya terdapat sebuah mushaf (kitab tertulis).
Mereka mengambil mushaf itu dan membawanya kepada Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab di Madinah. ‘Umar lalu memanggil Ka‘b al-Ahbar, seorang alim yang menguasai kitab-kitab terdahulu, dan memintanya menyalin isi mushaf itu ke dalam bahasa Arab. Ka‘b pun menyalinnya.
Salah seorang perawi berkata, “Akulah orang Arab pertama yang membaca mushaf itu dalam bahasa Arab, dan aku membacanya sebagaimana aku membaca al-Qur’an ini.”
Ketika ditanya, “Apa isi mushaf itu?” ia menjawab,
“Isinya adalah sejarah kalian, urusan-urusan kalian, dialek dan ragam ucapan kalian, serta hal-hal yang akan terjadi setelah masa kalian (berita-berita masa depan).”
Para sahabat juga bertanya, “Apa yang kalian lakukan terhadap jenazah laki-laki itu?”
Ia menjawab, “Pada siang hari kami menggali tiga belas kubur yang berpencar. Ketika malam tiba, kami menguburkannya di salah satu kubur itu, lalu kami samakan bentuk dan permukaan semua kuburan itu, agar manusia bingung dan tidak dapat membongkarnya.”
Mereka juga bertanya, “Apa yang penduduk negeri itu harapkan dari jenazah tersebut?”
Ia menjawab, “Jika hujan tertahan dari mereka, mereka mengeluarkan ranjang jenazah itu, lalu mereka memohon hujan, dan hujan pun turun.”
Ketika ditanya, “Siapa yang kalian duga laki-laki itu?”
Ia menjawab, “Kami mendengar mereka menyebutnya sebagai Danyal.”
“Berapa lama kalian mendapati ia telah meninggal?”
Ia menjawab, “Sejak tiga ratus tahun.”
“Apakah ada sesuatu yang berubah dari tubuhnya?”
Ia menjawab, “Tidak ada yang berubah kecuali beberapa helai rambut di tengkuknya. Sesungguhnya daging para nabi tidak dirusak oleh bumi dan tidak dimakan binatang buas.”
Para ulama yang meneliti riwayat-riwayat ini mengatakan: sanad (rangkaian perawi) sampai kepada Abu al-‘Aliyah (yang meriwayatkan kisah ini) adalah sahih. Tetapi jika benar bahwa ia telah meninggal baru tiga ratus tahun sebelum masa penaklukan Tustar, maka dari sisi hitungan sejarah, sulit dikatakan bahwa ia seorang nabi yang hidup jauh sebelum Nabi ‘Isa ‘alaihissalām. Bisa jadi ia seorang laki-laki saleh, bukan nabi.
Namun, mungkin pula tanggal wafat yang tepat adalah sekitar delapan ratus tahun sebelumnya. Dalam perhitungan seperti itu, ia bisa jadi sezaman atau dekat dengan masa Danyal yang dikenal dalam kisah-kisah Bani Israil. Bisa juga dia seorang nabi lain, atau hamba saleh lain, dan penduduk setempat mengira bahwa dia adalah Danyal.
Karena Danyal dikenal pernah ditawan oleh raja Persia dan tinggal di sisinya dalam keadaan dipenjara, maka dugaan bahwa jasad di Tustar itu adalah Danyal menjadi cukup kuat.
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa panjang hidung jenazah itu sangat tidak biasa: ada yang mengatakan sepanjang satu jengkal, ada pula yang mengatakan satu hasta. Karena keanehan tersebut, sebagian ulama menduga bisa jadi ia seorang nabi dari generasi yang jauh lebih tua.
Akhirnya, para ulama menutup dengan kalimat: “Allah Ta‘ālā lebih mengetahui hakikat sebenarnya.”
Doa Danyal Agar Dikuburkan oleh Umat Nabi Muhammad
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Danyal pernah memohon kepada Rabbnya agar kelak yang menguburkannya adalah umat Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Berabad-abad kemudian, ketika Abu Musa al-Asy‘arī – sahabat Nabi – menaklukkan kota Tustar, ia menemukan sebuah tabut (peti). Di dalamnya ada jasad seorang laki-laki. Menakjubkannya, urat-uratnya masih tampak seakan berdenyut.
Dalam riwayat itu juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Barang siapa yang menunjukkan (jalan) kepada (tempat) Danyal, maka sampaikanlah kabar gembira surga kepadanya.”
Ternyata orang yang menunjukkan kepada Abu Musa tentang keberadaan peti itu adalah seorang laki-laki bernama Hurqus. Abu Musa lalu menulis surat kepada ‘Umar bin al-Khaththab untuk melaporkan temuan tersebut. ‘Umar pun membalas suratnya:
“Kuburkanlah dia, dan panggillah Hurqus, karena Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memberinya kabar gembira dengan surga.”
Para ahli hadis menjelaskan, riwayat ini mursal (salah satu mata rantai sahabat tidak disebut) dan status ketepatan (keshahihannya) masih diperselisihkan.
Harta, Minyak, dan Cincin Danyal
Riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Abu Musa tidak hanya menemukan jasad itu. Ia juga menemukan di dekatnya:
- Sebuah mushaf (kitab tertulis)
- Sebuah kendi berisi lemak atau minyak
- Sejumlah dirham (uang perak)
- Sebuah cincin milik laki-laki tersebut
Abu Musa menulis lagi kepada ‘Umar untuk menanyakan apa yang harus dilakukan dengan benda-benda ini. ‘Umar menjawab dalam suratnya:
“Adapun mushaf itu, kirimkanlah kepada kami.
Adapun lemak (minyak) itu, kirimkanlah sebagian kepada kami, dan perintahkanlah kaum muslimin di tempatmu agar menjadikannya sebagai obat penawar.
Adapun dirham-dirham itu, bagikanlah di antara kaum muslimin.
Sedangkan cincin itu, kami berikan kepadamu sebagai bagian ganimah (hadiah khusus).”
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan bahwa ketika Abu Musa diberitahu bahwa jenazah itu adalah Danyal, ia memeluk jasad itu, merangkul dan menciumnya karena rasa hormatnya kepada seorang nabi atau hamba saleh yang agung.
Ia juga menemukan di dekatnya harta sekitar sepuluh ribu dirham. Konon, siapa yang meminjam dari uang itu dan mengembalikannya, ia akan selamat. Namun jika tidak mengembalikannya, ia akan tertimpa sakit.
Ia juga menemukan sebuah rabi‘ah (semacam kotak atau tempat menyimpan mushaf). ‘Umar kemudian memerintahkan agar:
- Jasad itu dimandikan dengan air dan daun bidara,
- Dikafani dan dikuburkan,
- Lokasi kuburnya dirahasiakan, agar tidak dijadikan tempat yang berlebihan (seperti disembah atau diagungkan dengan cara yang tidak benar).
‘Umar juga memerintahkan agar harta dikembalikan ke Baitul Mal, rabi‘ah dibawa ke Madinah, dan cincin diberikan kepada Abu Musa sebagai anugerah.
Semua ini menunjukkan kehati-hatian para sahabat agar kuburan seorang nabi atau hamba saleh tidak dijadikan tempat kesyirikan dan pengagungan yang melampaui batas.
Cincin Bergambar Singa dan Kisah Danyal Kecil
Salah seorang tabi‘in, ‘Abdurrahman bin Abi az-Zinād, meriwayatkan bahwa ia pernah melihat di tangan Ibn Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy‘ari sebuah cincin. Di batu permata cincin itu terukir gambar dua ekor singa, dan di antara keduanya seorang laki-laki. Kedua singa itu tampak menjilati lelaki tersebut.
Abu Burdah berkata, “Inilah cincin milik laki-laki yang telah meninggal itu, yang diklaim oleh penduduk negeri ini bahwa ia adalah Danyal. Cincin ini diambil oleh Abu Musa pada hari ia menguburkannya.”
Ketika ditanya tentang makna gambar di cincin itu, Abu Musa — lewat penjelasan para ulama desa itu — menceritakan sebuah kisah:
Dahulu, di masa Danyal, ada seorang raja yang sangat kuat. Para ahli nujum dan ahli ilmu datang kepada raja dan berkata,
“Akan lahir pada waktu sekian seorang bayi laki-laki yang kelak akan menggoyahkan dan merusak kerajaanmu.”
Mendengar itu, sang raja murka dan bersumpah,
“Demi Allah, malam ini tidak akan kutinggalkan seorang bayi laki-laki pun, kecuali akan aku bunuh.”
Lalu orang-orangnya meneliti lahirnya bayi-bayi laki-laki. Namun Danyal yang masih bayi tidak dibunuh dengan pedang, melainkan diambil dan dilemparkan ke dalam sarang singa, agar dimangsa binatang buas.
Namun takdir Allah berkata lain. Singa jantan dan singa betina itu bermalam bersama bayi Danyal, menjilatinya dengan lembut dan tidak menyakitinya.
Ibunya yang sangat sedih mencari-cari anaknya. Ia pun datang mendekati sarang singa itu dan mendapati kedua singa sedang menjilati bayinya dengan kasih sayang, bukan memangsanya. Dengan cara itulah Allah menyelamatkan Danyal kecil, hingga ia tumbuh dan mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah.
Karena tidak ingin lupa terhadap nikmat besar itu, Danyal mengukir bentuk dirinya bersama dua singa yang menjilatinya di batu cincin itu. Setiap kali ia melihat cincin itu, ia mengingat rahmat Allah dan keselamatan yang Allah karuniakan kepadanya.
Riwayat tentang cincin ini dinilai para ulama sebagai riwayat yang hasan (baik).
Ayat al-Qur’an tentang Orang yang Tertidur Seratus Tahun
Al-Qur’an menyebut sebuah kisah menakjubkan tentang seseorang yang melewati sebuah negeri yang hancur, lalu Allah mematikannya selama seratus tahun dan menghidupkannya kembali. Kisah ini terkait dengan pemakmuran kembali Baitul Maqdis setelah kehancurannya.
Allah Ta‘ālā berfirman:
نَصُّ الآيَةِ (البقرة: ٢٥٩)
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْىِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِا۠ئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ ۚ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِا۠ئَةَ عَامٍۢ فَٱنظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَٱنظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ ۖ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَٱنظُرْ إِلَى ٱلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
Terjemahannya:
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melewati sebuah negeri yang (bangunannya) telah roboh menutupi atap-atapnya; ia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan negeri ini setelah matinya?’ Maka Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berfirman, ‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ Ia menjawab, ‘Aku tinggal sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘(Tidak), bahkan engkau telah tinggal seratus tahun. Maka lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledaimu; dan (Kami lakukan yang demikian) agar Kami menjadikan engkau sebagai tanda kekuasaan bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang itu, bagaimana Kami menyusunnya, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka ketika telah jelas baginya, ia pun berkata, ‘Aku mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-Baqarah: 259)
Armiya dan Seratus Tahun Tidur: Pemakmuran Baitul Maqdis
Setelah Baitul Maqdis dihancurkan oleh Bukhtanashar dan Bani Israil disebarkan ke berbagai penjuru bumi, disebutkan dalam riwayat-riwayat Isra’iliyyat bahwa Allah mewahyukan kepada Nabi Armiya ‘alaihissalām:
“Sesungguhnya Aku akan memakmurkan kembali Baitul Maqdis. Pergilah ke sana dan tinggallah di sana.”
Armiya pun berangkat menuju Baitul Maqdis. Ketika ia sampai, ia mendapati kota itu benar-benar hancur: bangunan roboh, atap-atap runtuh, dan seakan-akan tidak layak dihuni.
Di dalam hatinya ia berkata, “Mahasuci Allah. Dia memerintahkanku untuk tinggal di kota ini dan mengabarkan bahwa Dia akan memakmurkannya. Kapankah kota ini akan dibangun kembali? Bagaimana Allah akan menghidupkannya setelah matinya?”
Lalu ia beristirahat. Ia meletakkan kepalanya dan tertidur. Bersamanya ada seekor keledai dan sebuah keranjang berisi makanan. Ia pun tertidur sangat lama, tanpa ia sadari.
Dalam masa tidurnya, tahun-tahun pun berganti. Bukhtanashar meninggal, demikian pula raja besar Persia yang di atasnya, yaitu Lihrasb. Lihrasb memerintah sekitar 120 tahun, lalu ia menurunkan dirinya dari takhta karena merasa lemah dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Bisytasib bin Lihrasb.
Pada masa Bisytasib, sampailah berita kepadanya bahwa negeri Syam dan sekitarnya telah hancur, dan binatang buas memenuhi tanah Palestina, hingga hampir tidak ada lagi manusia di sana. Maka Bisytasib menyerukan di negeri Babil kepada Bani Israil, “Barang siapa di antara kalian yang ingin kembali ke Syam, maka hendaklah ia kembali.”
Ia mengangkat seorang raja dari keturunan Dawud untuk memimpin mereka, dan memerintahkannya untuk membangun kembali Baitul Maqdis dan masjidnya. Bani Israil pun kembali berangsur-angsur, dan mereka mulai memakmurkan kembali kota suci itu.
Dalam riwayat disebutkan bahwa Allah “membukakan” pandangan Armiya di sela-sela tidurnya. Seolah-olah ia diperlihatkan bagaimana kota itu dibangun, rumah-rumah berdiri, dan manusia kembali menghuninya. Semua itu terus berlangsung hingga genap seratus tahun.
Setelah masa itu selesai, Allah membangkitkan Armiya dari tidurnya. Ia bangun dengan perasaan seperti baru tertidur sebentar saja. Di matanya, ia masih seolah berada di kota yang hancur. Maka Allah bertanya kepadanya (sebagaimana dikisahkan dalam ayat):
“Berapa lama engkau tinggal (di sini)?”
Ia menjawab, “Aku tinggal sehari atau setengah hari.”
Allah menjelaskan kepadanya bahwa ia telah tertidur selama seratus tahun, dan memintanya melihat makanan dan minumannya yang tidak berubah, serta keledainya, dan tulang-belulang yang disusun kembali dan dibalut dengan daging sebagai tanda kekuasaan Allah.
Ketika semua itu menjadi jelas baginya, Armiya berkata, “Aku mengetahui sekarang bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Bani Israil pun menetap kembali di Baitul Maqdis. Allah mengembalikan urusan agama dan dunia mereka untuk beberapa waktu. Mereka terus demikian, sampai kemudian mereka dikalahkan oleh bangsa Romawi pada masa raja-raja kecil (mulūkut thawā’if). Setelah itu, mereka tidak lagi memiliki kekuasaan yang menyatu, terlebih setelah agama Nasrani muncul dan menyebar di kalangan mereka.
Sebagian ulama tafsir, seperti Ibn Jarir ath-Thabari, meriwayatkan bahwa orang yang disebut dalam ayat “yang melewati sebuah negeri yang roboh” adalah Armiya ‘alaihissalām. Pendapat ini juga dinukil dari Wahb bin Munabbih, ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair, dan lainnya. Dari sisi alur cerita dan kesinambungan sejarah, pendapat ini dinilai kuat.
Namun, ada pula riwayat-riwayat lain dari para sahabat dan tabi‘in – seperti ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Salam, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, as-Suddi, Sulaiman bin Burdah, dan selain mereka – yang menyebut bahwa orang tersebut adalah ‘Uzair. Pendapat bahwa ia adalah ‘Uzair lebih masyhur di kalangan banyak ulama salaf dan khalaf.
Pada akhirnya para ulama menutup persoalan ini dengan kalimat, “Allah lebih mengetahui siapa sebenarnya orang tersebut.”
Raja-Raja Persia dan Munculnya Agama Majusi
Dalam rangkaian riwayat sejarah yang dibahas Ibn Jarir dan Ibn Katsir, disebut pula tentang raja-raja Persia yang sezaman dengan kehancuran dan pemakmuran kembali Baitul Maqdis:
Lihrasb digambarkan sebagai raja yang adil, pandai mengelola kerajaannya, sukses memakmurkan kota-kota, sungai-sungai, dan benteng-benteng. Setelah berkuasa sekitar seratus tahun lebih, ia melemah dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Bisytasib.
Pada masa Bisytasib inilah muncul agama Majusi. Seorang laki-laki bernama Zardasyt (Zoroaster) yang dahulu pernah menyertai Armiya, kemudian membuat Armiya marah. Armiya mendoakannya dengan doa keburukan hingga ia terkena penyakit kusta. Zardasyt pergi ke wilayah Azerbaijan dan bergaul dengan Bisytasib, lalu mengajarkan kepadanya agama Majusi yang ia ada-adakan sendiri. Bisytasib menerimanya dan memaksakan agama baru itu kepada rakyatnya, membunuh banyak orang yang menolak.
Setelah Bisytasib, naik Bahman bin Bisytasib, salah satu raja Persia yang terkenal gagah dan kuat. Bukhtanashar sendiri disebutkan pernah menjadi bawahan (wakil penguasa) bagi tiga raja besar Persia ini dan hidup sangat lama.
Semua rincian ini dinukil dari riwayat-riwayat sejarah, sebagian besar bukan dari hadis Nabi secara langsung, sehingga para ulama menyikapinya dengan kehati-hatian dan menyatakan, “Allah lebih mengetahui kebenaran rincinya.”
Penutup: Tentang Sumber dan Kekuatan Riwayat
Kisah-kisah di atas adalah gabungan dari:
- Riwayat-riwayat hadis yang sebagian sanadnya dinilai sahih atau hasan oleh para ulama,
- Riwayat sejarah dan Isra’iliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab),
- Analisis para ulama tentang kecocokan waktu, nama-nama tokoh, dan kejadian-kejadian besar.
Karena itu, tidak semua detail kisah ini berada pada tingkat kepastian seperti ayat-ayat al-Qur’an atau hadis-hadis shahih yang kuat. Sebagiannya diperselisihkan, sebagiannya hanya dikisahkan sebagai pelajaran dan renungan, dengan tetap diakhiri kalimat, “Wallāhu a‘lam – Allah lebih mengetahui.”
Namun, dari rangkaian ini kita dapat mengambil banyak ibrah: tentang penjagaan Allah kepada para nabi dan hamba-hamba-Nya yang saleh, tentang besarnya nikmat ketika seseorang tidak melupakan karunia Allah (seperti Danyal dengan cincinnya), dan tentang betapa mudahnya bagi Allah menghidupkan kembali sesuatu yang telah mati – baik seorang manusia, sebuah kota, maupun sebuah umat.
Sumber Kisah
- Ibnu Katsir, Qashash al-Anbiya’ min al-Bidāyah wa an-Nihāyah,

Komentar
Posting Komentar