Kisah Nabi Armiya dan Kehancuran Baitul Maqdis
1. Latar Qur’ani: Janji dan Ancaman untuk Bani Israil
Kisah Nabi Armiya berkaitan erat dengan firman Allah dalam Surah Al-Isra’, tentang dua kali kerusakan besar Bani Israil dan dua kali hukuman yang Allah timpakan kepada mereka.
وَآتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ أَلَّا تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلًا ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“Dan Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan ia petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): ‘Janganlah kamu mengambil penolong (wakil) selain Aku.’
(Wahai) keturunan orang-orang yang Kami bawa (dengan bahtera) bersama Nuh. Sungguh, dia adalah hamba yang banyak bersyukur.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 2–3)
وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ أُولَاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُوا خِلَالَ الدِّيَارِ ۚ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولًا
“Dan Kami telah tetapkan terhadap Bani Israil di dalam Kitab itu:
‘Sungguh kalian akan berbuat kerusakan di bumi dua kali dan sungguh kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.’Maka apabila datang janji (hukuman) pertama dari dua (kerusakan) itu, Kami datangkan kepada kalian hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan besar, lalu mereka merajalela di tengah-tengah kampung-kampung (kalian). Dan itulah janji yang pasti terlaksana.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 4–5)
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يَرْحَمَكُمْ ۚ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا ۘ وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا
“Kemudian Kami kembalikan kepada kalian (kekuasaan) untuk mengalahkan mereka, dan Kami bantu kalian dengan harta dan anak-anak, dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar.
Jika kalian berbuat baik, berarti kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri; dan jika kalian berbuat buruk, maka (keburukan) itu bagi diri kalian sendiri.
Maka apabila datang janji (hukuman) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menghitamkan wajah-wajah kalian dan untuk memasuki masjid (Baitul Maqdis) sebagaimana mereka memasukinya pada pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai sehancur-hancurnya.
Mudah-mudahan Tuhan kalian akan merahmati kalian; tetapi jika kalian kembali (berbuat kerusakan), niscaya Kami pun akan kembali (menghukum kalian). Dan Kami jadikan Jahanam sebagai penjara bagi orang-orang kafir.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 6–8)
Ayat-ayat inilah yang menjadi bingkai besar kisah Nabi Armiya dan kehancuran Baitul Maqdis.
2. Siapa Nabi Armiya?
Dalam riwayat Islam, disebut seorang nabi dari Bani Israil bernama Armiya bin Hilqiya, dari keturunan Lawi bin Ya‘qub. Kebanyakan ulama menganggap bahwa dialah Nabi Yeremia yang dikenal dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Dikisahkan bahwa Armiya adalah nabi yang lembut hati, sangat takut azab Allah, dan sangat mencintai kaumnya. Suatu hari ia berdoa kepada Allah, “Wahai Rabbku, siapakah di antara hamba-hamba-Mu yang paling Engkau cintai?”
Dalam sebuah atsar, Allah menjawab bahwa hamba yang paling dicintai-Nya adalah mereka yang banyak berzikir kepada-Nya, sampai-sampai zikir itu membuat mereka tidak sibuk dengan makhluk; mereka yang tidak terikat dengan angan-angan panjang tentang dunia, yang membenci dunia ketika dunia menghampiri mereka, dan merasa senang ketika dunia dijauhkan dari mereka. Allah berfirman bahwa kepada kelompok inilah Dia anugerahkan cinta-Nya dan Dia beri mereka lebih dari apa yang mereka harapkan.
3. Kerusakan Bani Israil dan Peringatan Armiya
Seiring berjalannya zaman, Bani Israil hidup di sekitar Baitul Maqdis dan berkali-kali diselamatkan Allah dari musuh-musuh besar. Namun ketika nikmat itu memanjang, mereka mulai lalai. Maksiat merajalela, kezhaliman menyebar, bahkan sampai pada tingkat berani memusuhi dan menyakiti para nabi.
Allah pun mewahyukan kepada Armiya. Ia diperintahkan berdiri di tengah kaumnya dan mengatakan bahwa mereka mempunyai hati tetapi tidak dipakai untuk memahami kebenaran, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar nasihat.
Allah mengingatkan bahwa Ia menahan azab karena teringat kebaikan nenek moyang mereka yang saleh. Armiya diminta bertanya kepada kaumnya: adakah orang yang durhaka kepada Allah lalu berbahagia dengan kedurhakaannya, dan adakah orang yang taat lalu celaka karena ketaatannya?
Namun kerusakan di tengah mereka sudah menyentuh semua lapisan. Para ulama dan rahib memperalat manusia, menjadi panutan yang ditaati dalam maksiat. Penguasa dan raja berani memutarbalikkan Kitab Allah dan meremehkan perjanjian-Nya. Para pembaca kitab dan ahli fikih mengikuti hawa nafsu penguasa, bukan kebenaran. Anak-anak para nabi sendiri terfitnah: ingin kemuliaan seperti bapak-bapak mereka, tapi tanpa kesabaran dan pengorbanan yang sama.
Allah menggambarkan bahwa generasi sebelum mereka saja, ketika berbuat maksiat, masih berusaha menyembunyikannya. Sedangkan generasi ini menampakkan maksiat secara terang-terangan di masjid, di pasar, di puncak gunung, di bawah naungan pepohonan. Seakan-akan langit, bumi, dan gunung-gunung mengadu kepada Allah karena perbuatan mereka.
4. Janji Hukuman: Datangnya Raja Zalim
Melalui Armiya, Allah mengabarkan bahwa bila mereka tidak kembali, Dia akan mengutus seorang penguasa yang sangat bengis, yang pasukannya besar dan menakutkan. Mereka akan datang seperti awan gelap yang menutupi langit. Kibaran panji-panji mereka tampak seperti kawanan burung nasar yang beterbangan, dan serbuan mereka laksana terjangan burung elang.
Mereka akan menjadikan negeri yang makmur hancur-lebur, menghancurkan kota-kota, merusak rumah-rumah, memporak-porandakan tempat ibadah. Kemewahan akan berganti kehinaan; keamanan menjadi ketakutan; kekayaan berubah menjadi kemiskinan. Masjid-masjid akan sepi dari orang-orang yang ikhlas, rumah-rumah kosong dari Kitab Allah, dan majelis-majelis ilmu menjadi layu.
Allah juga mengabarkan bahwa langit seakan menjadi lapisan besi yang menahan hujan, dan bumi seperti tembaga yang enggan menumbuhkan tanaman. Bila hujan turun, tanaman diserang hama, dan kalaupun ada yang selamat, barakahnya dicabut. Doa-doa tidak diijabah, tangisan tidak dihiraukan, dan permohonan tidak dikabulkan, karena mereka sendiri yang mengubah ketaatan menjadi maksiat.
Meski demikian, Allah tetap menegaskan satu kaidah: Dia memulai hamba-hamba-Nya dengan rahmat. Jika mereka menerima dan bersyukur, Dia menambah dan menyempurnakan. Jika mereka mengubah diri, Dia pun mengubah nasib mereka.
5. Penolakan Kaum dan Datangnya Bukhtanshar
Armiya menyampaikan semua peringatan itu dengan hati yang bergetar. Ia bahkan menangis, mengoyak pakaiannya, menabur abu di kepalanya, dan berkata dalam sujudnya, “Wahai Rabbku, seandainya ibuku tidak melahirkanku, sehingga kehancuran Baitul Maqdis dan binasanya Bani Israil tidak terjadi di zaman kenabianku.”
Namun ketika peringatan itu sampai ke telinga Bani Israil, kebanyakan mereka malah mendustakannya. Mereka menuduh Armiya berdusta atas nama Allah, bahkan menuduhnya gila. Mereka menganggap mustahil bahwa Allah akan mengosongkan bumi dari rumah-rumah ibadah dan ahli ibadah.
Pada akhirnya, mereka menangkap Armiya, membelenggunya, dan memenjarakannya. Di titik inilah, janji Allah dalam Surah Al-Isra’ mulai terwujud: datangnya “hamba-hamba Allah yang kuat” yang akan merajalela di kota-kota mereka.
Allah pun menggerakkan seorang raja besar penyembah api dari Babil: Bukhtanshar (Nebukadnezar). Ia datang dengan pasukan besar, mengepung negeri Syam dan akhirnya mengepung Baitul Maqdis.
6. Kehancuran Baitul Maqdis dan Penawanan
Pengepungan Baitul Maqdis berlangsung lama. Ketika penduduk sudah hampir habis kekuatannya, mereka menyerah pada keputusan Bukhtanshar. Pintu-pintu kota dibuka. Pasukan Babil pun masuk menelusuri lorong-lorong sempit, gang-gang, dan rumah-rumah, persis seperti yang digambarkan Al-Qur’an: “fajāsū khilālad-diyār” – mereka merajalela di tengah-tengah rumah dan kampung.
Bukhtanshar menghukum mereka dengan kejam. Disebutkan dalam riwayat bahwa sepertiga penduduk dibunuh, sepertiga dijadikan tawanan, dan sisanya—orang-orang yang sangat tua dan lemah—ditinggalkan dalam keadaan hina. Baitul Maqdis diruntuhkan, Taurat dibakar, para pejuang dibunuh, benteng-benteng dihancurkan.
Sebagai penghinaan terbesar, Bukhtanshar menajiskan kompleks Baitul Maqdis dengan sampah dan hewan haram. Sementara itu, anak-anak laki-laki dari keluarga ulama, raja, dan tokoh-tokoh besar digiring sebagai tawanan. Disebutkan jumlah mereka sangat banyak, puluhan ribu, dan dibawa ke Babil. Di antara mereka terdapat seorang pemuda bernama Danial bin Hizqil, yang kelak juga dikenal sebagai nabi di masa penawanan.
7. Armiya Bertemu Bukhtanshar
Setelah semua itu terjadi, seseorang memberitahu Bukhtanshar bahwa di kota ini dahulu ada seorang lelaki yang memperingatkan penduduk tentang apa yang sedang mereka alami. Ia menjelaskan bahwa akan datang seorang raja bernama Bukhtanshar yang akan membunuh para pejuang, menawan anak-anak, menghancurkan masjid, dan membakar tempat ibadah. Namun penduduk mendustakannya, memukulinya, membelenggunya, dan memenjarakannya.
Bukhtanshar pun memerintahkan agar lelaki itu dikeluarkan. Dialah Nabi Armiya.
Terjadilah percakapan singkat. Bukhtanshar bertanya, “Apakah engkau benar telah memperingatkan mereka tentang apa yang menimpa mereka ini?” Armiya menjawab, “Benar. Allah mengutusku kepada mereka, tetapi mereka mendustakanku.” Bukhtanshar merasa heran dan berkata, “Alangkah buruk kaum yang mendustakan nabi mereka dan mendustakan risalah Tuhan mereka.”
Ia kemudian menawarkan Armiya untuk ikut bersamanya ke Babil dan menjanjikan kemuliaan. Atau, jika Armiya ingin tetap tinggal di negerinya, ia menjamin keamanan beliau. Armiya menjawab dengan kalimat tauhid yang dalam maknanya. Ia mengatakan bahwa sejak dulu ia selalu berada dalam keamanan Allah, tidak pernah keluar dari perlindungan-Nya, dan seandainya Bani Israil juga tetap berada dalam perlindungan itu, mereka tidak akan takut kepada Bukhtanshar atau siapa pun, dan tidak akan ada seorang pun yang berkuasa atas mereka.
Mendengar jawaban itu, Bukhtanshar membiarkan Armiya. Nabi itu pun tetap tinggal di sekitar Ilya (wilayah Baitul Maqdis), menyaksikan sendiri reruntuhan tanah suci yang dahulu dimuliakan para nabi.
8. Bani Israil Tercerai-berai dan Pelajaran Besar
Setelah kehancuran itu, Bani Israil tercerai-berai ke berbagai negeri. Ada yang pergi ke wilayah Hijaz, ada yang ke Yatsrib, ada yang ke Wadi al-Qura, ada yang melarikan diri ke Mesir dan negeri-negeri jauh di arah barat. Sebagian dari mereka kemudian hidup dalam penawanan di Babil.
Dalam riwayat, Allah mengabarkan kepada Armiya bahwa seandainya Bani Israil mau menjaga anak yatim, memperhatikan janda, membantu orang miskin, dan memuliakan musafir yang kehabisan bekal, niscaya Allah akan menjadi penopang mereka. Kedudukan mereka di sisi-Nya akan seperti sebuah taman yang indah: airnya tidak pernah kering, buahnya tidak pernah rusak dan tidak pernah putus.
Tetapi kenyataan yang pahit terjadi: Allah telah memperlakukan mereka seperti gembala yang penuh kasih sayang, menjauhkan mereka dari musim paceklik dan mengiringi hidup mereka dengan kesuburan. Namun ketika mereka kuat, mereka saling menanduk dan melupakan Pencipta. Mereka bukan hanya bermaksiat, tetapi juga menampakkan maksiatnya.
Di sinilah pelajaran besarnya: Allah hanya memuliakan orang yang memuliakan-Nya, dan menghinakan orang yang meremehkan perintah-Nya. Sunnatullah ini berlaku bagi siapa pun, di zaman apa pun.
Sumber :
- Al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar