Kisah Masuk Islamnya Ath-Thufail bin Amr ad-Dausi: Dari Hasutan Quraisy hingga Syahid di Yamamah
Latar Belakang: Permusuhan Quraisy dan Upaya Menghalangi Dakwah
Di masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, kaum Quraisy sangat memusuhi beliau. Mereka bukan hanya menentang secara langsung, tetapi juga berusaha menakut-nakuti kabilah-kabilah Arab yang datang ke Makkah untuk haji, umrah, atau urusan lain, agar tidak mendekati Rasulullah dan tidak mendengarkan dakwah beliau.
Mereka menuduh beliau sebagai pendusta, tukang sihir, dukun, bahkan orang gila. Mereka menganggap dakwah beliau sebagai ancaman bagi agama nenek moyang mereka. Padahal, melalui tangan Nabi, Allah menampakkan berbagai mukjizat dan bukti kebenaran, sebagai penegasan bahwa apa yang dibawa beliau adalah petunjuk dan kebenaran.
Di tengah derasnya penentangan ini, berlaku firman Allah Ta’ala:
Allah berfirman:
﴿وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾ (يوسف: ٢١)
“Dan Allah Mahakuasa atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]: 21)
Salah satu bukti nyata dari kemenangan kehendak Allah atas makar manusia adalah kisah masuk Islamnya seorang pemuka kabilah Daus: Ath-Thufail bin Amr ad-Dausi.
Kedatangan Ath-Thufail bin Amr ke Makkah
Ath-Thufail bin Amr adalah seorang bangsawan besar dari kabilah Daus, seorang yang terpandang, ditaati, dan juga dikenal sebagai penyair yang cerdas.
Suatu ketika ia datang ke Makkah. Kedatangannya segera menarik perhatian para pembesar Quraisy. Mereka berkumpul menemuinya, lalu mulai memperingatkan dan menakut-nakutinya tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka mengatakan kurang lebih seperti ini:
“Jangan sekali-kali engkau menemui Muhammad. Ia telah memecah belah kaumnya. Ucapannya sihir yang memisahkan antara ayah dan anak, suami dan istri. Jangan mendengar satu kata pun darinya!”
Mereka mengulang-ulang ancaman dan cerita buruk itu, sampai hati Ath-Thufail penuh ketakutan dan prasangka.
Ia berkata dalam hati, dan kemudian menceritakan kembali:
“Demi Allah, mereka terus menakut-nakutiku tentang urusan Muhammad, sampai aku bertekad untuk tidak mendengarkan apa pun darinya dan tidak berbicara dengannya.”
Keesokan paginya, ketika hendak pergi ke Masjidil Haram, Ath-Thufail melakukan sesuatu yang menggambarkan betapa kuat pengaruh hasutan Quraisy padanya. Ia menyumbat kedua telinganya dengan kapas, supaya sama sekali tidak mendengar bacaan Rasulullah.
Pertemuan Tak Terhindarkan di Dekat Ka’bah
Dengan telinga tersumbat, Ath-Thufail menuju Masjidil Haram. Di sana, ia mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri shalat di dekat Ka’bah.
Meskipun kedua telinganya tersumbat, ia berdiri tidak jauh dari Nabi. Namun kehendak Allah berbeda dari rencana Ath-Thufail. Beberapa bagian bacaan beliau tetap terdengar olehnya.
Ia kemudian berkata tentang saat itu:
“Allah tidak menghendaki kecuali aku mendengar sebagian ucapannya. Aku pun mendengar suatu perkataan yang indah.”
Di dalam hati, ia menegur dirinya sendiri:
“Celakalah aku! Aku ini seorang yang cerdas dan penyair. Aku bisa membedakan mana kata-kata yang baik dan mana yang buruk. Apa yang menghalangiku untuk mendengar langsung apa yang dikatakan lelaki ini? Jika baik, akan aku terima. Jika buruk, akan aku tinggalkan.”
Sejak itu, kapas yang menyumbat telinganya seakan tidak berarti. Ia pun menunggu sampai Rasulullah menyelesaikan shalat dan pulang ke rumah.
Di Rumah Nabi: Dari Curiga Menjadi Yakin
Ath-Thufail mengikuti Rasulullah hingga beliau masuk ke rumah. Lalu ia memberanikan diri masuk dan berkata dengan terus terang:
“Wahai Muhammad, sesungguhnya kaummu telah berkata kepadaku begini dan begitu tentangmu. Demi Allah, mereka terus menakut-nakutiku sampai aku menyumbat kedua telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu. Namun Allah tetap memperdengarkan kepadaku ucapanmu, dan aku mendapati itu adalah perkataan yang indah. Maka jelaskanlah kepadaku ajaranmu.”
Saat itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepadanya tentang Islam dan membacakan al-Qur’an. Ath-Thufail yang tadinya penuh prasangka, kini takjub.
Ia mengatakan:
“Demi Allah, aku belum pernah mendengar ucapan yang lebih indah dari ini, dan tidak pula suatu ajaran yang lebih adil darinya.”
Di tempat itu, di rumah Nabi yang sederhana, seorang pemimpin kabilah pun luluh. Ia mengucapkan syahadat, masuk Islam, dan membenarkan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Permintaan Tanda: Cahaya di Ujung Cambuk
Setelah masuk Islam, Ath-Thufail berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Nabi Allah, aku adalah orang yang ditaati di tengah kaumku. Aku akan kembali kepada mereka dan mengajak mereka masuk Islam. Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan bagiku sebuah tanda yang akan membantuku mengajak mereka.”
Rasulullah pun berdoa singkat namun penuh makna:
“اللهم اجعل له آية”
“Ya Allah, jadikanlah baginya sebuah tanda.”
Ath-Thufail lalu pulang menuju kampung halamannya. Ketika ia berada di sebuah tanjakan yang menghadap ke pemukiman kaumnya, tiba-tiba muncul cahaya di antara kedua matanya, seperti sinar lampu.
Melihat itu, ia khawatir kaumnya salah paham.
“Ya Allah, (jadikanlah ia) bukan di wajahku. Aku takut mereka mengira ini adalah cacat yang menimpaku karena aku meninggalkan agama mereka.”
Maka cahaya itu berpindah dan muncul di ujung cambuknya. Orang-orang di kampungnya dapat melihat cahaya itu dari kejauhan, berkilau seperti lampu gantung, sementara Ath-Thufail turun dari tanjakan menuju mereka.
Mengajak Ayah Masuk Islam
Setibanya di tengah kaumnya, ayahnya yang sudah sangat tua datang menemuinya. Namun sikap Ath-Thufail kini berbeda, karena iman telah mengisi hatinya.
Ia berkata:
“Menyingkirlah dariku wahai ayahku. Aku bukan lagi bagian darimu, dan engkau bukan lagi bagian dariku.”
Sang ayah terkejut dan bertanya, “Mengapa, wahai anakku?”
Ath-Thufail menjawab, “Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dengan lembut sang ayah berkata, “Wahai anakku, kalau begitu, agamaku adalah agamamu.”
Ath-Thufail tidak langsung mengajarkan Islam saat itu juga. Ia meminta ayahnya untuk bersuci terlebih dahulu:
“Pergilah, mandilah dan sucikan pakaianmu. Lalu datanglah kepadaku, aku akan mengajarkan apa yang telah aku pelajari.”
Sang ayah menuruti perintah itu, lalu kembali. Ath-Thufail pun menjelaskan tentang Islam, dan ayahnya pun masuk Islam.
Istrinya Pun Mengikuti
Tak lama setelah itu, istrinya datang. Ath-Thufail berkata kepadanya:
“Menyingkirlah dariku. Aku bukan lagi bagian darimu, dan engkau bukan lagi bagian dariku.”
Sang istri kebingungan dan berkata:
“Mengapa demikian? Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu.”
Ath-Thufail menjawab:
“Islam telah memisahkan antara aku dan engkau. Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dengan penuh ketulusan, sang istri berkata:
“Kalau begitu, agamaku adalah agamamu.”
Ath-Thufail tetap mengajarkannya dengan bertahap. Ia menyuruhnya pergi ke tempat sebuah sumber air yang biasa mereka gunakan di sekitar berhala mereka, untuk mandi dan bersuci, lalu kembali. Setelah itu ia menjelaskan Islam kepadanya, dan istrinya pun masuk Islam.
Dakwah kepada Kaum Daus dan Doa Nabi
Setelah keluarga terdekatnya masuk Islam, Ath-Thufail mulai berdakwah kepada seluruh kaumnya, suku Daus. Namun jalannya tidak mudah. Banyak dari mereka yang menolak dan lambat merespons.
Merasa berat, Ath-Thufail kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah. Ia mengadukan kondisi kaumnya dan berkata dengan makna kurang lebih:
“Wahai Rasulullah, kaum Daus telah mengalahkanku. Mereka membangkang, banyak bermaksiat, dan enggan menerima dakwah. Berdoalah kepada Allah agar membinasakan mereka.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang berasal dari kabilah Daus dan kelak menjadi sahabat karib Rasulullah, pernah menyaksikan momen ini. Ia mengira Rasulullah akan mendoakan keburukan bagi kaumnya. Ia berkata dalam hati, “Celakalah Daus!”
Namun ternyata yang keluar dari lisan Nabi justru doa penuh rahmat:
“اللهم اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ”
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada (kaum) Daus, dan datangkanlah mereka (kepada Islam).”
Doa ini diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih di Musnad Ahmad dan Shahih al-Bukhari.
Rasulullah bahkan menyuruh Ath-Thufail kembali dan bersikap lembut:
“Kembalilah kepada kaummu, ajaklah mereka, dan berlaku lembutlah kepada mereka.”
Ath-Thufail pun kembali ke negerinya dan tetap berdakwah, dengan kesabaran dan kelembutan, meski hasilnya tidak instan.
Hijrah ke Madinah dan Bergabung di Khaibar
Waktu berlalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Terjadi Perang Badar, kemudian Uhud, kemudian Khandaq. Di tengah semua itu, Ath-Thufail tetap berdakwah di Daus.
Hingga akhirnya, setelah cukup banyak orang dari kaumnya menerima Islam, Ath-Thufail membawa sekitar tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Daus untuk berhijrah ke Madinah.
Mereka singgah di Madinah, lalu menyusul Rasulullah yang saat itu sedang berada di Khaibar. Nabi memberikan bagian ghanimah kepada mereka bersama kaum muslimin. Sejak saat itu, Ath-Thufail senantiasa bersama Rasulullah hingga penaklukan Makkah.
Menghancurkan Berhala Dzu al-Kaffain
Setelah Fathu Makkah, Ath-Thufail datang kepada Rasulullah dan berkata:
“Wahai Rasulullah, utuslah aku kepada Dzu al-Kaffain, berhala milik ‘Amr bin Humamah (yang disembah oleh sebagian kaumnya), agar aku menghancurkannya dengan api.”
Rasulullah mengizinkannya. Ath-Thufail pun pergi ke berhala itu. Ia menyalakan api dan membakarnya. Sambil membakar berhala tersebut, ia mengucapkan bait-bait syair:
“Wahai Dzu al-Kaffain, aku bukan termasuk para penyembahmu,
Kelahiran kami lebih dahulu daripada kelahiranmu,
Sungguh aku telah memenuhi api di dalam hatimu.”
Dengan hancurnya berhala itu, hilanglah salah satu simbol kesyirikan di tengah kaumnya, diganti dengan cahaya tauhid.
Masa Setelah Wafat Nabi: Jihad Melawan Orang Murtad
Ath-Thufail kemudian kembali ke Madinah dan hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga beliau wafat. Setelah wafatnya Nabi, banyak kabilah Arab yang murtad dan memberontak. Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengirim pasukan untuk memerangi mereka.
Ath-Thufail ikut serta bersama kaum muslimin dalam peperangan-peperangan melawan para nabi palsu dan orang-orang murtad. Ia ikut dalam operasi militer di wilayah Najd, termasuk melawan Thulaihah al-Asadi, yang mengaku nabi.
Setelah urusan di Najd selesai, pasukan kaum muslimin bergerak menuju Yamamah untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab dan pengikutnya. Bersama pasukan itu, Ath-Thufail membawa putranya, ‘Amr bin Ath-Thufail.
Mimpi Menjelang Syahid
Dalam perjalanan menuju Yamamah, Ath-Thufail bermimpi. Paginya ia bercerita kepada para sahabat yang bersamanya:
“Aku bermimpi kepalaku dicukur. Lalu keluar seekor burung dari mulutku. Kemudian ada seorang wanita menemuiku dan memasukkan aku ke dalam kemaluannya. Aku juga melihat anakku mencariku dengan sungguh-sungguh, namun ia tertahan dan tidak dapat menyusulku.”
Para sahabat berkata, “Itu mimpi yang baik, insya Allah.”
Namun Ath-Thufail sendiri sudah menakwilkan mimpinya:
“Aku menafsirkannya begini: dicukurnya kepalaku adalah tanda aku akan dikebumikan. Burung yang keluar dari mulutku adalah ruhku. Wanita yang memasukkanku ke dalam kemaluannya adalah bumi yang akan digali dan aku dikuburkan di dalamnya. Adapun anakku yang mencariku dengan sungguh-sungguh lalu tertahan, aku memandang ia akan berusaha keras untuk meraih apa yang aku raih (yakni syahid), namun tertunda.”
Benarlah tafsiran itu. Ath-Thufail bin Amr gugur sebagai syahid di Perang Yamamah, rahimahullah. Putranya, ‘Amr, terluka dengan luka berat, namun masih hidup. Beberapa waktu kemudian, ia pun meraih syahid dalam Perang Yarmuk pada masa khalifah Umar bin al-Khaththab, rahimahumallah.
Hadits tentang Doa Nabi untuk Kaum Daus
Kisah dakwah Ath-Thufail kepada kaumnya, dan doa Nabi untuk mereka, tidak hanya diriwayatkan secara kisah panjang, tetapi juga dikuatkan oleh hadits-hadits shahih.
Di antaranya, hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Ath-Thufail dan para pengikutnya datang kepada Nabi dan mengadukan bahwa Daus membangkang, Rasulullah mengangkat tangannya. Abu Hurairah mengira beliau akan mendoakan keburukan atas Daus. Ternyata Rasulullah berdoa:
“اللهم اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ”
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada (kaum) Daus, dan datangkanlah mereka (kepada Islam).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dengan beberapa jalur.
Kisah Sahabat yang Melukai Tangannya: Ampunan karena Hijrah
Ada satu kisah lain yang masih berkaitan dengan Ath-Thufail dan memperlihatkan betapa luas rahmat Allah.
Diceritakan bahwa setelah hijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin Amr datang bersama seorang lelaki dari kaumnya. Iklim Madinah tidak cocok bagi mereka, hingga lelaki itu jatuh sakit berat dan sangat gelisah menghadapi sakitnya.
Dalam keputusasaan, ia mengambil benda tajam kecil (semacam pisau atau ujung panah) dan melukai ruas-ruas jarinya sampai darah mengalir deras. Darah itu tidak berhenti hingga ia meninggal. Secara lahir, perbuatannya mirip dengan bunuh diri.
Beberapa waktu kemudian, Ath-Thufail bermimpi melihat lelaki itu dalam keadaan yang baik, namun kedua tangannya tertutup. Ath-Thufail bertanya:
“Apa yang Rabbmu perbuat terhadapmu?”
Lelaki itu menjawab:
“Allah mengampuniku karena hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ath-Thufail bertanya lagi, “Lalu mengapa aku melihat tanganmu tertutup?”
Ia menjawab:
“Aku dikatakan, ‘Tidak akan diperbaiki darimu apa yang telah engkau rusak.’”
Ath-Thufail kemudian menceritakan mimpi ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar itu, Rasulullah berdoa:
“اللهم وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ”
“Ya Allah, dan (untuk) kedua tangannya, ampunilah (dan perbaikilah) apa yang telah ia rusak.”
Hadits ini diriwayatkan secara shahih oleh Imam Muslim.
Penjelasan Para Ulama: Mengompromikan dengan Hadits tentang Bunuh Diri
Ada hadits lain yang masyhur dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, tentang seorang lelaki dari umat terdahulu yang terluka lalu berputus asa. Ia mengambil pisau, memotong tangannya sendiri, darahnya tak berhenti hingga mati. Dalam hadits itu, Allah berfirman:
“Hambaku telah mendahului-Ku atas dirinya, maka Aku haramkan surga atasnya.”
Sekilas, kisah ini tampak bertentangan dengan kisah sahabat yang terluka di atas, yang diampuni karena hijrahnya, meski ia juga melukai tangannya sendiri hingga mati.
Para ulama menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan. Sebagian penjelasan mereka antara lain sebagai berikut, yang kita ringkas dengan bahasa sederhana.
Mungkin orang dalam hadits pertama adalah seorang musyrik, sedang sahabat di zaman Nabi adalah seorang mukmin yang berhijrah. Kesyirikan itu sendiri sudah cukup untuk memasukkannya ke neraka, sedangkan menyakiti diri menjadi salah satu sebab tambahan yang diperjelas agar umat mengambil pelajaran.
Bisa jadi orang terdahulu itu mengetahui keharaman perbuatannya dan tetap sengaja melakukannya, sementara sahabat ini baru masuk Islam, belum banyak tahu hukum, dan sangat menderita karena sakit serta takjub dengan keadaan barunya.
Ada kemungkinan orang terdahulu melakukan itu sambil menghalalkan perbuatannya (merasa itu boleh), sedangkan sahabat ini tidak menghalalkannya, hanya melakukan kesalahan besar karena kelemahan dan kegelisahan.
Mungkin pula orang terdahulu itu benar-benar berniat murni untuk mengakhiri hidupnya, sedangkan sahabat ini berniat mengurangi rasa sakit atau dalam keadaan sangat kalut, tidak secara sadar menetapkan niat “bunuh diri” seperti yang dilakukan orang terdahulu.
Bisa jadi juga orang terdahulu sangat sedikit amal baiknya, sehingga dosa besarnya mengalahkan amal salehnya. Adapun sahabat ini, ia memiliki amal besar: hijrah kepada Rasulullah. Hijrah merupakan amalan yang sangat agung, hingga –dengan karunia Allah– amal tersebut menutupi dosanya yang sangat besar, meskipun tetap ada bekas aib pada kedua tangannya.
Karena itu, dalam mimpi Ath-Thufail, lelaki itu tampak dalam keadaan baik, namun kedua tangannya tertutupi. Seakan-akan disisakan bekas dosa pada bagian anggota tubuh yang ia rusak sendiri. Lalu Rasulullah memohon kepada Allah agar kedua tangannya pun diampuni dan diperbaiki, dan doa beliau mustahil sia-sia.
Dengan demikian, kedua hadits ini tidak bertentangan. Keduanya menunjukkan betapa berat dosa menyakiti diri sampai bunuh diri, namun di sisi lain juga menunjukkan luasnya rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, berhijrah, dan bertaubat.
Penutup
Kisah Ath-Thufail bin Amr ad-Dausi mengajarkan banyak pelajaran penting:
- Betapa kerasnya upaya musuh-musuh dakwah menghalangi manusia dari kebenaran, namun kehendak Allah tetap menang.
- Betapa hati yang tulus mencari kebenaran akan dipandu Allah, meskipun awalnya dipenuhi prasangka dan ketakutan.
- Betapa pentingnya sabar dan lembut dalam berdakwah, sebagaimana perintah Nabi kepada Ath-Thufail ketika ia mengajak kaumnya.
- Betapa doa Nabi yang penuh rahmat bagi kaumnya –bahkan yang membangkang sekalipun– membuka pintu hidayah bagi banyak orang.
- Betapa agungnya hijrah, jihad, dan syahid di jalan Allah, sebagaimana yang terjadi pada Ath-Thufail dan putranya.
Pada akhirnya, kisah ini adalah gambaran bagaimana cahaya Islam menembus kegelapan, dari Makkah ke Daus, dari rumah Nabi yang sederhana hingga medan jihad di Yamamah dan Yarmuk.
Sumber Kisah:
- Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar