Kisah Maryam binti Imran dan Putranya, Nabi Isa ‘alaihimassalam
Isa bin Maryam: Hamba dan Rasul Allah
Dalam Islam, Isa putra Maryam ‘alaihimassalam adalah seorang hamba Allah dan Rasul‑Nya, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Ia adalah makhluk Allah yang mulia, yang diciptakan dengan cara yang menakjubkan.
Ketika utusan Nasrani dari Najran datang berdialog dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka membawa keyakinan trinitas: bahwa Tuhan adalah tiga – Tuhan, Isa, dan Maryam, atau “tiga dalam satu” dengan berbagai versi sesuai perbedaan kelompok mereka. Mereka mengklaim bahwa Allah mempunyai anak.
Sebagai bantahan, Allah menurunkan bagian awal surat Ali ‘Imran. Di dalamnya Allah menjelaskan bahwa Isa hanyalah seorang hamba di antara hamba‑hamba‑Nya. Allah menciptakan dan membentuknya dalam rahim sebagaimana Dia menciptakan dan membentuk makhluk lainnya. Isa diciptakan tanpa ayah, sebagaimana Adam diciptakan tanpa ayah dan tanpa ibu.
Allah berfirman:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’, maka jadilah ia.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 59)
Dengan ayat ini, Allah menegaskan bahwa kelahiran Isa tanpa ayah bukan bukti ketuhanan, melainkan bukti kekuasaan dan kehendak Allah, sebagaimana penciptaan Adam tanpa ayah dan ibu.
Keluarga Imran yang Dipilih Allah
Sebelum menceritakan Maryam secara khusus, Allah menjelaskan bahwa Maryam berasal dari keluarga yang suci dan terpilih.
إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَٰهِيمَ وَءَالَ عِمْرَٰنَ عَلَى ٱلْعَٰلَمِينَ
ذُرِّيَّةًۢ بَعْضُهَا مِنۢ بَعْضٍ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi seluruh alam.
(Mereka adalah) satu keturunan yang sebagian (turun) dari sebagian yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 33–34)
Para ahli sejarah berbeda dalam merinci nasab Maryam hingga Dawud ‘alaihissalam, tetapi mereka sepakat bahwa Maryam berasal dari keturunan Nabi Dawud.
Ayahnya bernama ‘Imran, seorang yang memimpin shalat Bani Israil pada masanya. Ibunya adalah Hannah binti Faqudz bin Qubail, seorang wanita ahli ibadah.
Nabi pada zaman itu adalah Zakariya ‘alaihissalam. Ia mempunyai hubungan keluarga dekat dengan Maryam. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Zakariya adalah suami saudari kandung Maryam. Ada juga yang mengatakan ia suami bibinya. Allah lebih mengetahui kebenaran pastinya.
Nazar Ibu Maryam dan Kelahiran Maryam
Hannah, ibu Maryam, sudah lama tidak dikaruniai anak. Ia sangat ingin mempunyai keturunan. Diceritakan, suatu hari ia melihat seekor burung sedang menyuapi anaknya. Pemandangan itu menggerakkan hatinya dan semakin menumbuhkan keinginan memiliki buah hati. Pada saat itu ia bernazar kepada Allah.
Allah menceritakan nazarnya dalam al‑Qur’an:
إِذْ قَالَتِ ٱمْرَأَةُ عِمْرَٰنَ رَبِّ إِنِّى نَذَرْتُ لَكَ مَا فِى بَطْنِى مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّى ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
“(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada‑Mu (untuk menyerahkan) apa yang ada dalam kandunganku sebagai hamba yang bebas (untuk berkhidmat kepada‑Mu). Karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 35)
Yang dimaksud dengan “muharraran” adalah dibebaskan dari kesibukan dunia dan dikhususkan untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.
Setelah nazar itu, Hannah pun hamil. Waktu berlalu hingga ia melahirkan. Ketika ia melihat bayinya, ternyata anak itu perempuan.
Allah menceritakan reaksinya:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّى وَضَعْتُهَآ أُنثَىٰ ۖ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلْأُنثَىٰ ۖ وَإِنِّى سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّىٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
“Maka ketika ia melahirkannya, ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan’ – dan Allah lebih mengetahui apa yang ia lahirkan – ‘dan anak laki‑laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku menamainya Maryam, dan aku memohon perlindungan untuknya dan keturunannya kepada‑Mu dari (godaan) setan yang terkutuk.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 36)
Pada masa itu, biasanya anak laki‑laki yang dinazarkan untuk mengabdi di Baitul Maqdis. Karena itu, Hannah sempat merasakan “keheranan” bercampur harap: anak yang ia lahirkan perempuan, sementara ia bernazar untuk menjadikannya pelayan rumah ibadah. Namun ia tetap menepati nazarnya, memberi nama anak itu Maryam, dan memohon perlindungan untuk Maryam dan keturunannya dari gangguan setan.
Dari ayat ini, para ulama juga mengambil faedah bahwa memberi nama bayi dianjurkan pada hari kelahirannya, sebagaimana dilakukan oleh ibu Maryam.
Perlindungan Khusus bagi Maryam dan Isa dari Setan
Doa ibu Maryam dikabulkan oleh Allah. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan al‑Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa tidak ada seorang bayi pun yang dilahirkan kecuali setan menyentuhnya ketika ia lahir, lalu bayi itu menjerit karena sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya, Isa.
Abu Hurairah kemudian berkata, “Bacalah jika kalian mau ayat ini”:
وَإِنِّىٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
“Sesungguhnya aku memohon perlindungan untuknya dan keturunannya kepada‑Mu dari (godaan) setan yang terkutuk.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 36)
Riwayat‑riwayat lain menegaskan makna serupa, bahwa setiap anak Adam disentuh atau dijitak oleh setan saat lahir, kecuali Maryam dan putranya. Ini menunjukkan bahwa Allah memberikan perlindungan khusus kepada keduanya sejak awal kehidupan mereka di dunia.
Maryam Diserahkan ke Baitul Maqdis dan Dijaga Zakariya
Ketika Maryam telah melewati masa menyusu dan cukup besar untuk dipisahkan dari ibunya, Hannah membungkusnya dengan kain dan membawanya ke Baitul Maqdis. Di sana, ia menyerahkan Maryam kepada para ahli ibadah yang tinggal di masjid, karena Maryam adalah putri imam mereka, ‘Imran.
Para ahli ibadah itu berebut kehormatan untuk memelihara Maryam. Masing‑masing ingin menjadi wali dan pendidiknya. Karena tidak sepakat, mereka akhirnya melakukan undian. Nabi Zakariya, sebagai nabi mereka dan kerabat dekat Maryam, juga ikut serta dalam undian itu. Dalam beberapa bentuk undian yang diulang, nama Zakariya selalu keluar sebagai pihak yang berhak. Dengan demikian, ia pun menjadi orang yang mengasuh dan bertanggung jawab atas Maryam.
Allah Ta‘ala berfirman:
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Maka Tuhannya menerimanya (Maryam) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya yang memeliharanya. Setiap kali Zakariya masuk menemuinya di mihrab, ia mendapati makanan (rezeki) di sisinya. Zakariya berkata, ‘Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 37)
Zakariya kemudian menyediakan sebuah ruangan khusus (mihrab) di bagian masjid yang mulia, yang tidak dimasuki oleh siapa pun kecuali Maryam sendiri. Di ruangan itu Maryam beribadah kepada Allah, berdiri dalam shalat pada malam dan siang, dan ketika tiba gilirannya, ia juga mengurus kebutuhan kebersihan dan pelayanan di rumah ibadah.
Lama‑kelamaan, Maryam dikenal di tengah Bani Israil sebagai wanita ahli ibadah yang sangat tekun. Ia menjadi contoh dalam ibadah dan kezuhudan. Dikatakan bahwa ia berdiri dalam shalat hingga kedua kakinya pecah‑pecah karena lamanya berdiri.
Karomah Rezeki di Mihrab Maryam
Allah menganugerahkan kepada Maryam karamah berupa datangnya rezeki yang tidak biasa. Setiap kali Zakariya masuk ke mihrab untuk menjenguknya, ia menemukan makanan yang tidak ia bawakan dan tidak mungkin berada di situ dengan usaha manusia biasa.
Para mufassir menjelaskan bahwa Zakariya sering melihat buah‑buahan musim panas berada di depan Maryam pada saat musim dingin, dan buah‑buahan musim dingin berada di hadapannya pada musim panas. Kejadian ini berulang.
Karena keheranannya, Zakariya pernah bertanya:
“Wahai Maryam, dari mana engkau memperoleh ini?”
Maryam menjawab dengan tenang bahwa makanan itu datang dari sisi Allah, dan bahwa Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.
Pemandangan ini menumbuhkan harapan baru di hati Zakariya. Ia sudah sangat tua, rambut memutih, tulang melemah, sementara istrinya mandul. Namun ketika ia menyaksikan karamah Maryam yang mendapatkan rezeki di luar sebab dan di luar musim, ia tergerak untuk memohon karunia besar lainnya, yaitu keturunan yang shalih dari sulbinya sendiri.
Ia pun berdoa:
رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةًۭ طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi‑Mu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 38)
Sebagian ahli tafsir menggambarkan seolah‑olah Zakariya berdoa, “Wahai Dzat yang memberi rezeki buah‑buahan kepada Maryam di luar musimnya, berilah aku anak, meskipun secara lahiriah aku sudah jauh dari masa memiliki anak.” Doa ini dikabulkan dengan kelahiran Nabi Yahya, yang kisahnya disebutkan setelah itu dalam surat Ali ‘Imran dan dalam surat Maryam.
Maryam Dipilih di Atas Seluruh Wanita dan Mendapat Kabar Gembira tentang Isa
Di tengah kehidupannya yang penuh ibadah, datanglah kabar besar kepada Maryam. Para malaikat menyapanya dengan panggilan kehormatan:
وَإِذْ قَالَتِ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرْيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰكِ وَطَهَّرَكِ وَٱصْطَفَىٰكِ عَلَىٰ نِسَآءِ ٱلْعَٰلَمِينَ
يَٰمَرْيَمُ ٱقْنُتِى لِرَبِّكِ وَٱسْجُدِى وَٱرْكَعِى مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ“(Ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan memilihmu atas seluruh wanita di alam (pada masamu).
Hai Maryam, patuhlah kepada Tuhanmu, sujudlah, dan rukuklah bersama orang‑orang yang rukuk.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 42–43)
Dalam ayat ini, Maryam dipuji dengan tiga hal. Ia dipilih oleh Allah, diberi kesucian dari akhlak buruk dan fitnah, lalu dipilih kembali di atas seluruh wanita di alam. Sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan “alam” di sini adalah manusia pada zamannya. Sebagian yang lain memahaminya secara umum, yakni bahwa Maryam adalah wanita paling utama dibandingkan seluruh wanita sebelum dan sesudahnya.
Setelah menyebut keutamaannya, Allah memerintahkannya untuk semakin memperbanyak ketaatan: qiyam di hadapan Allah, sujud, dan ikut ruku’ bersama orang‑orang yang rukuk. Keutamaan yang besar menuntut syukur yang besar pula.
Allah kemudian menegaskan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa semua kisah ini adalah berita ghaib yang disampaikan lewat wahyu:
ذَٰلِكَ مِنْ أَنبَآءِ ٱلْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ ۚ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَٰمَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ ۖ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
“(Itu adalah) sebagian dari berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad). Padahal engkau tidak hadir bersama mereka ketika mereka melemparkan pena‑pena mereka (untuk diundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan engkau tidak hadir bersama mereka ketika mereka berselisih.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 44)
Dengan demikian, kisah Maryam dalam al‑Qur’an bukan dongeng yang disalin dari Ahli Kitab, melainkan wahyu langsung dari Allah.
Kabar Gembira tentang Kelahiran Isa tanpa Suami
Kabar berikutnya yang disampaikan para malaikat kepada Maryam jauh lebih mengejutkan dan agung. Mereka mengabarkan bahwa ia akan melahirkan seorang anak istimewa tanpa pernah disentuh oleh lelaki.
Allah berfirman:
إِذْ قَالَتِ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرْيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍۢ مِّنْهُ ٱسْمُهُ ٱلْمَسِيحُ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ وَمِنَ ٱلْمُقَرَّبِينَ
وَيُكَلِّمُ ٱلنَّاسَ فِى ٱلْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ“(Ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu (dengan kelahiran) seorang kalimat (Firman) dari‑Nya; namanya Al‑Masih, Isa putra Maryam, terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang‑orang yang didekatkan (kepada Allah).
Dia akan berbicara kepada manusia dalam buaian dan ketika dewasa, dan dia termasuk golongan orang‑orang shalih.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 45–46)
Isa disebut sebagai “kalimat” dari Allah karena ia tercipta dengan kalimat “Kun” (Jadilah!) tanpa perantara ayah. Ia akan memiliki kedudukan tinggi di dunia dan akhirat, serta menjadi hamba yang dekat dengan Allah.
Maryam yang terjaga kehormatannya pun heran. Ia mengatakan bahwa tidak ada lelaki yang pernah menyentuhnya. Bagaimana mungkin ia dapat mempunyai anak?
Allah menjawab kebingungannya:
قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِى وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِى بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ ٱللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ إِذَا قَضَىٰٓ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Maryam berkata, ‘Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal tidak pernah seorang lelaki pun menyentuhku?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah; Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!”, maka jadilah ia.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 47)
Setelah itu, Allah menjelaskan ilmu dan mukjizat yang akan diberikan kepada Isa:
وَيُعَلِّمُهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ
وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنِّى قَدْ جِئْتُكُم بِـَٔايَةٍۢ مِّن رَّبِّكُمْ أَنِّىٓ أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ ٱلطِّينِ كَهَيْـَٔةِ ٱلطَّيْرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًۢا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ ٱلْأَكْمَهَ وَٱلْأَبْرَصَ وَأُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِى بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
وَمُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَلِأُحِلَّ لَكُم بَعْضَ ٱلَّذِى حُرِّمَ عَلَيْكُمْ ۚ وَجِئْتُكُم بِـَٔايَةٍۢ مِّن رَّبِّكُمْ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُونِ
إِنَّ ٱللَّهَ رَبِّى وَرَبُّكُمْ فَٱعْبُدُوهُ ۗ هَٰذَا صِرَٰطٌ مُّسْتَقِيمٌ“Dan Dia mengajarkan kepadanya Al‑Kitab, hikmah, Taurat, dan Injil.
Dan (Dia menjadikannya) sebagai Rasul kepada Bani Israil (yang berkata), ‘Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan membawa tanda (mukjizat) dari Tuhan kalian, yaitu aku membuatkan untuk kalian dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung; lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta, dan aku menghidupkan orang‑orang mati dengan izin Allah. Aku memberitahukan kepada kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian simpan di rumah‑rumah kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar‑benar terdapat tanda (kebenaran kerasulanku) bagi kalian jika kalian benar‑benar beriman.
Dan (aku diutus) sebagai pembenar bagi Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian dari apa yang telah diharamkan atas kalian. Dan aku datang kepada kalian dengan membawa tanda dari Tuhan kalian; maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kalian; karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.’”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 48–51)
Semua mukjizat yang disebutkan – menciptakan burung dari tanah lalu ia hidup, menyembuhkan orang buta sejak lahir dan penderita lepra, menghidupkan orang mati, dan mengabarkan yang ghaib – semuanya terjadi dengan izin Allah. Penegasan “bi idznillāh” (dengan izin Allah) berulang untuk menegaskan bahwa Isa adalah hamba dan rasul, bukan Tuhan.
Kedudukan Maryam di Antara Wanita Dunia
Al‑Qur’an juga menegaskan kedudukan Maryam secara khusus:
مَا ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ وَأُمُّهُۥ صِدِّيقَةٌۖ كَانَا يَأْكُلَانِ ٱلطَّعَامَ ۗ
“Al‑Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul; sungguh, telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Dan ibunya adalah seorang shiddiqah (yang sangat membenarkan). Keduanya biasa memakan makanan (seperti manusia lainnya).”
(QS. Al‑Ma’idah [5]: 75)
Ayat ini menutup pintu bagi keyakinan bahwa Isa dan Maryam adalah Tuhan atau bagian dari Tuhan. Isa hanyalah seorang rasul, dan Maryam adalah seorang shiddiqah, derajat tinggi dalam keimanan dan pembenaran. Keduanya makan dan membutuhkan seperti manusia lainnya.
Tentang firman Allah:
وَٱصْطَفَىٰكِ عَلَىٰ نِسَآءِ ٱلْعَٰلَمِينَ
“... dan (Allah) memilihmu atas seluruh wanita di alam.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 42)
Sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud adalah wanita pada zamannya, sebagaimana Bani Israil dipilih di atas alam pada masa mereka. Sebagian lagi memahaminya secara umum, bahwa Maryam adalah wanita paling utama di antara seluruh wanita. Ada pula perbedaan pendapat apakah Maryam termasuk nabi atau tidak.
Sebagian kecil ulama – seperti Ibnu Hazm – berpendapat bahwa Maryam seorang nabi karena adanya pembicaraan malaikat kepadanya. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah menegaskan bahwa kenabian khusus untuk laki‑laki, dan tidak ada nabi dari kalangan wanita. Menurut pendapat mayoritas ini, Maryam bukan nabi, tetapi seorang shiddiqah tertinggi dan bisa jadi wanita paling utama di antara para shiddiqah.
Wallahu a‘lam. Yang pasti, al‑Qur’an dan hadis‑hadis sahih menempatkan Maryam di deretan teratas wanita yang paling mulia di dunia dan di akhirat.
Empat Wanita Paling Utama di Dunia dan Akhirat
Banyak hadis sahih menyebutkan empat wanita paling utama di dunia dan di akhirat: Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Fir‘aun, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al‑Bukhari dan Muslim, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wanita terbaik pada zamannya adalah Maryam binti ‘Imran, dan wanita terbaik pada zamannya adalah Khadijah binti Khuwailid.”
Dalam riwayat lain dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa cukuplah bagi kita mengetahui, dari seluruh wanita di alam ini, empat wanita yang paling utama, yaitu Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Fir‘aun, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at‑Tirmidzi, dan at‑Tirmidzi mensahihkannya.
Ada pula hadis sahih dari Abu Musa al‑Asy‘ari yang diriwayatkan al‑Bukhari dan Muslim. Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa banyak laki‑laki yang mencapai derajat sempurna, sedangkan dari kalangan wanita hanya dua yang mencapai derajat kesempurnaan itu, yaitu Asiyah istri Fir‘aun dan Maryam binti ‘Imran. Dalam riwayat lain, Khadijah juga disebut termasuk yang sempurna. Rasulullah menambahkan bahwa keutamaan ‘Aisyah atas para wanita adalah seperti keutamaan tsarid – sejenis makanan roti berkuah daging – atas seluruh jenis makanan lainnya. Ucapan ini menunjukkan tingginya derajat keutamaan istri‑istri Nabi yang lain.
Para ulama kemudian membahas panjang siapa yang paling utama di antara Maryam, Fathimah, Khadijah, dan ‘Aisyah. Ada riwayat yang menyebut Maryam sebagai pemimpin wanita ahli surga, lalu disusul Fathimah, Khadijah, dan Asiyah. Akan tetapi, sebagian ulama hadis mempermasalahkan keotentikan susunan peringkat dalam riwayat itu. Karena itu, ada yang berpendapat Maryam paling utama, ada yang menilai Fathimah paling utama, dan ada yang memilih sikap tawaqquf (tidak memastikan urutan) karena dalil‑dalil yang ada dapat dipahami dari berbagai sisi.
Yang jelas dan dapat disepakati adalah bahwa mereka semua termasuk wanita terbaik di dunia dan di surga, serta teladan utama bagi setiap muslimah.
Pelajaran Penting dari Kisah Maryam
Kisah Maryam mengandung banyak pelajaran bagi orang yang mau merenung.
Pelajaran yang pertama adalah tentang tauhid dan bantahan terhadap keyakinan trinitas. Dengan tegas al‑Qur’an menyatakan bahwa Isa hanyalah hamba dan Rasul Allah, yang diciptakan dengan kalimat “Kun”. Keajaiban kelahirannya tanpa ayah tidak menjadikannya Tuhan, tetapi justru menegaskan kemahakuasaan Allah, sebagaimana penciptaan Adam tanpa ayah dan ibu.
Pelajaran berikutnya berasal dari sosok ibu Maryam, Hannah. Ia adalah teladan doa seorang ibu yang tulus. Ia nazar dengan penuh keikhlasan untuk menjadikan anaknya hamba Allah yang mengabdi di rumah ibadah. Ia juga memohon perlindungan kepada Allah untuk anak dan keturunannya dari setan. Doa itu dikabulkan, hingga Maryam dan Isa menjadi dua manusia yang tidak disentuh setan saat kelahiran mereka. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya doa seorang ibu apabila ia berdoa dengan iman dan pengharapan yang benar.
Kisah ini juga mengajarkan bahwa nazar dalam ketaatan, jika dilakukan dengan ilmu dan kemampuan, bisa menjadi sebab seseorang mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Walaupun nazar bukan sesuatu yang dianjurkan secara khusus, bila seseorang sudah terlanjur bernazar dalam ketaatan yang mungkin ia laksanakan, maka menunaikannya termasuk amal kebaikan, seperti yang diperbuat ibu Maryam.
Lingkungan juga memiliki peranan besar dalam membentuk pribadi yang shalih. Maryam dibesarkan di sekitar Baitul Maqdis, di bawah asuhan seorang nabi, Zakariya. Sejak kecil ia terbiasa dengan suara doa, bacaan kitab suci, dan keteladanan para ahli ibadah. Lingkungan yang baik seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan iman dan akhlak seorang anak.
Kedudukan wanita shalihah di sisi Allah juga tampak sangat jelas dalam kisah ini. Maryam, Asiyah, Khadijah, Fathimah, dan ‘Aisyah semuanya mencapai derajat yang sangat tinggi melalui iman yang kukuh, pengorbanan besar untuk agama, kesabaran menghadapi ujian, dan ibadah yang dalam. Mereka menjadi bukti bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak bergantung pada jenis kelamin, kedudukan sosial, atau kekayaan, melainkan pada keimanan dan ketakwaan.
Akhirnya, kisah Maryam mengajarkan bahwa karunia Allah tidak terbatas oleh kebiasaan dan sebab‑sebab lahiriah. Allah memberi rezeki buah‑buahan di luar musim kepada Maryam. Ia mengaruniakan anak kepada Zakariya di usia tua dan dengan istri yang mandul. Ia menciptakan Isa tanpa ayah. Semua ini mengingatkan bahwa Allah Mahakuasa melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwa harapan kepada‑Nya tidak boleh padam meskipun secara lahir sebab‑sebab duniawi tampak tertutup.
Sumber Kisah :
Ibnu Katsir, Qashash al‑Anbiya’ min al‑Bidayah wa an‑Nihayah,

Komentar
Posting Komentar