Kisah Kelahiran Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam

Ilustrasi Maryam duduk di bawah pohon kurma di gurun saat fajar, menggendong bayi berbalut kain putih di tepi sungai kecil.

Pendahuluan: Dari Zakariya ke Maryam

Kisah kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dalam al-Qur’an datang setelah kisah Nabi Zakariya dan putranya, Yahya ‘alaihimas salam. Seakan-akan, kisah Zakariya menjadi pembuka dan pengantar untuk memahami keajaiban kelahiran ‘Isa.

Allah Ta‘ala berfirman:

﴿وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ ۝ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ۝ وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِن رُّوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِّلْعَالَمِينَ﴾
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, ketika ia berdoa kepada Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), dan Engkaulah sebaik-baik Pemberi warisan.’
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami karuniakan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.
Dan (ingatlah pula kisah) perempuan yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (rahim)nya sebagian dari ruh Kami, dan Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kebesaran Kami) bagi seluruh alam.”

(QS. Al-Anbiyā’ [21]: 89–91)

Perempuan yang memelihara kehormatannya itu adalah Maryam, ibunda ‘Isa ‘alaihissalam. Dari sini, al-Qur’an mengalihkan perhatian kepada kisah Maryam.

Masa Kecil dan Ibadah Maryam

Sejak sebelum lahir, ibu Maryam telah bernazar bahwa anak yang ada dalam kandungannya akan dipersembahkan untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Ketika Maryam lahir, nazar itu dipenuhi. Ia diserahkan untuk mengabdi di rumah ibadah, bukan hidup seperti anak perempuan biasa.

Penanggung jawab pendidikan dan pemeliharaannya adalah Nabi Zakariya ‘alaihissalam, yang merupakan suami bibi atau saudari ibunya, sekaligus nabi pada masa itu. Zakariya membuatkan sebuah mihrab khusus untuk Maryam di dalam masjid, yaitu tempat yang sangat mulia dan terhormat, yang tidak dimasuki seorang pun kecuali beliau.

Ketika Maryam beranjak dewasa, ia sangat bersungguh-sungguh dalam ibadah. Di zamannya, tidak ada wanita yang dapat menandingi keseriusannya dalam berbagai bentuk ibadah. Tanda-tanda keistimewaan pun tampak pada dirinya, sehingga Zakariya merasa takjub dan, dalam makna yang baik, merasa “iri” ingin juga memiliki kedudukan yang serupa. Pada suatu ketika, malaikat berbicara langsung kepada Maryam, memberi kabar gembira bahwa Allah telah memilihnya dan akan menganugerahkan kepadanya seorang anak yang suci dan mulia.

Maryam terheran-heran, karena ia tidak bersuami dan tidak berniat menikah. Malaikat menjelaskan bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu; bila Dia menetapkan suatu perkara, Dia hanya berfirman “Jadilah!”, maka terjadilah. Maryam pun tunduk, pasrah, dan sadar bahwa di balik kabar gembira ini ada ujian besar: manusia akan membicarakan dirinya, menuduh dan menyangka buruk, karena mereka tidak mengetahui hakikat perkara dan hanya melihat bentuk lahiriahnya saja.

Kabar Gembira dari Malaikat Jibril

Maryam sangat menjaga kehormatan dan kesuciannya. Ia hanya keluar dari mihrabnya pada masa haid atau bila ada kebutuhan yang benar-benar mendesak, seperti mengambil air atau mencari makanan.

Pada suatu hari, Maryam keluar untuk suatu keperluan dan menjauh ke sebelah timur Masjidil Aqsha. Di sana ia menyendiri, jauh dari pandangan manusia. Di tempat sepi itu, terjadilah peristiwa besar yang diabadikan al-Qur’an:

﴿وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا ۝ فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا ۝ قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَٰنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا ۝ قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا ۝ قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا ۝ قَالَ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ ۖ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِّلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا ۚ وَكَانَ أَمْرًا مَّقْضِيًّا﴾
“Dan ceritakanlah (wahai Muhammad) dalam Kitab (al-Qur’an) tentang Maryam, ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Lalu ia memasang tabir (yang melindungkannya) dari mereka. Maka Kami mengutus kepada­nya Ruh Kami (Jibril), lalu ia menampakkan diri kepadanya dalam bentuk seorang manusia yang sempurna.
Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau seorang yang bertakwa.’
Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, (aku diutus) untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’
Maryam berkata, ‘Bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak laki-laki, sedangkan tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku, dan aku bukanlah seorang pezina?’
Ia (Jibril) berkata, ‘Demikianlah; Tuhanmu berfirman: “Yang demikian itu mudah bagi-Ku; dan (Kami mengadakan anak itu) agar Kami menjadikannya sebagai tanda (kebesaran Kami) bagi manusia, dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.”’”

(QS. Maryam [19]: 16–21)

Ketika melihat seorang lelaki asing di hadapannya, Maryam spontan takut dan langsung berlindung kepada Allah Ar-Rahman. Ini menunjukkan betapa terjaganya kehormatan dan kehati-hatian dirinya. Jibril menenangkan Maryam dengan memperkenalkan dirinya sebagai utusan Tuhan, bukan manusia biasa, yang datang membawa kabar gembira tentang seorang anak laki-laki yang suci.

Maryam mengungkapkan keheranannya: bagaimana mungkin ia memiliki anak, sementara tidak ada lelaki yang menyentuhnya dan ia bukan pezina? Jawaban malaikat jelas: ini adalah ketetapan Allah, sebuah tanda kekuasaan-Nya dan rahmat bagi manusia, dan keputusan ini telah pasti di sisi-Nya.

Kehamilan yang Ajaib

Para ulama salaf menjelaskan bahwa Jibril meniupkan ruh ke dalam diri Maryam melalui kerah bajunya. Tiupan itu kemudian, dengan izin Allah, sampai ke rahimnya, sehingga ia pun hamil seketika. Ini serupa dengan proses kehamilan biasa dari sisi hasil (terbentuk janin), tetapi berbeda sama sekali dari sisi sebab, karena di sini tidak ada suami dan tidak ada hubungan biologis, melainkan semata-mata mukjizat dan kekuasaan Allah.

Dengan peristiwa ini, Allah menunjukkan berbagai pola penciptaan manusia. Adam diciptakan tanpa ayah dan ibu. Hawa diciptakan dari seorang laki-laki tanpa ibu. ‘Isa diciptakan dari seorang ibu tanpa ayah. Adapun manusia lainnya diciptakan melalui perantara ayah dan ibu. Seluruhnya menjadi bukti bahwa Allah bebas mencipta dengan cara apa pun yang Dia kehendaki, dan tidak terikat oleh pola tertentu.

Percakapan dengan Yusuf si Tukang Kayu

Seiring berjalannya waktu, tanda-tanda kehamilan mulai tampak pada diri Maryam. Inilah ujian besar baginya. Selama ini orang mengenalnya sebagai wanita ahli ibadah, suci, dan terhormat. Kini, tanpa suami, perutnya membesar.

Dalam sebagian riwayat yang dinukil dari ulama salaf disebutkan, orang pertama yang menyadari kehamilannya adalah seorang ahli ibadah dari Bani Israil bernama Yusuf bin Ya‘qub an-Najjar, kerabat Maryam. Ia sangat heran, karena ia mengetahui betul kesucian dan ibadah Maryam, sementara kini ia melihatnya hamil.

Suatu hari, ia mengajaknya berbicara dengan cara sindiran halus. Ia bertanya, “Wahai Maryam, mungkinkah ada tanaman tumbuh tanpa benih?” Maryam menjawab, “Ya. Siapakah yang menciptakan tanaman pertama kali (tanpa benih) itu?” Ia lalu bertanya lagi, “Mungkinkah ada anak tanpa (kehadiran) laki-laki?” Maryam menjawab, “Ya. Sesungguhnya Allah menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu.” Setelah itu Yusuf berkata, “Maka ceritakanlah kepadaku urusanmu.” Maryam pun menjelaskan bahwa ia telah menerima kabar gembira dari Allah:

﴿إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِّنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ ۝ وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ الصَّالِحِينَ﴾
“(Ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‘Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberi kabar gembira kepadamu dengan suatu kalimat dari-Nya, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
Dan dia berbicara kepada manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk orang-orang saleh.’”

(QS. Āli ‘Imrān [3]: 45–46)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Maryam juga pernah mendatangi istri Zakariya, ibu Nabi Yahya, yang saat itu juga sedang hamil. Ibu Yahya mengatakan bahwa ia merasa seakan-akan janin dalam kandungannya bersujud kepada janin dalam kandungan Maryam, sebagai tanda penghormatan dan pengagungan, bukan dalam makna ibadah. Ini menjadi isyarat bahwa Yahya kelak akan membenarkan dan memuliakan ‘Isa, sebagaimana firman Allah bahwa Yahya adalah orang yang “membenarkan kalimat dari Allah”.

Lamanya Kehamilan

Para ulama berbeda pendapat tentang lamanya kehamilan Maryam. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa ia mengandung selama sembilan bulan sebagaimana kebiasaan umum para wanita, lalu melahirkan pada waktunya. Seandainya periode kehamilannya berbeda jauh dari kebiasaan, niscaya al-Qur’an atau hadis akan menjelaskannya secara tegas.

Ada juga pendapat yang mengatakan delapan bulan, dan riwayat lain yang sangat lemah menyebutkan bahwa Maryam mengandung hanya sebentar sekali. Namun, Ibn Katsir menegaskan bahwa yang sesuai dengan kaidah adalah memahami rangkaian ayat secara biasa: kata sambung “fa” dalam ayat “Maka ia mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengannya … kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya …” menunjukkan urutan kejadian, sementara jeda waktunya mengikuti sunnatullah yang berlaku pada kehamilan.

Saat Kelahiran di Bawah Pohon Kurma

Ketika kehamilannya cukup bulan, Maryam menjauh lagi ke tempat yang lebih sepi. Al-Qur’an menggambarkan:

﴿فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا ۝ فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا﴾
“Maka ia mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke suatu tempat yang jauh.
Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Ia berkata, ‘Aduhai, alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.’”

(QS. Maryam [19]: 22–23)

Rasa sakit melahirkan memaksa Maryam bersandar pada pangkal pohon kurma di suatu tempat yang dikenal kemudian sebagai Betlehem (Bait Lahm). Ucapannya, “Alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini…” bukanlah bentuk protes terhadap takdir, melainkan luapan kesedihan dan ketakutan menghadapi fitnah manusia. Ia menyadari bahwa kaumnya tidak akan dengan mudah percaya. Mereka akan menuduhnya, padahal sebelumnya ia dikenal sebagai wanita ahli ibadah dari keluarga nabi.

Sungai Kecil dan Buah Kurma Masak

Dalam kondisi paling lemah dan guncang, pertolongan Allah datang:

﴿فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ۝ وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ۝ فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا﴾
“Lalu ia diseru dari sebelah bawahnya, ‘Janganlah engkau bersedih, sungguh Tuhanmu telah menjadikan di bawahmu sebuah (aliran) sungai kecil.
Dan goyanglah ke arahmu pangkal pohon kurma itu, niscaya ia akan menjatuhkan kepadamu buah kurma yang masak lagi segar.
Maka makanlah, dan minumlah, serta tenangkanlah hatimu. Jika engkau melihat seorang manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku bernazar berpuasa (tidak berbicara) kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”’”

(QS. Maryam [19]: 24–26)

Ada dua pendapat utama tentang siapa yang menyeru Maryam dari bawahnya. Sebagian ulama mengatakan, yang memanggil adalah malaikat Jibril ‘alaihissalam. Pendapat lain mengatakan, yang memanggil adalah bayi ‘Isa sendiri. Ibn Katsir cenderung menguatkan pendapat pertama, karena setelah panggilan itu langsung disebutkan nikmat berupa air dan makanan, sedangkan ucapan ‘Isa yang mengandung penjelasan akidah disebutkan di hadapan kaumnya nanti.

Kata “sariyyan” dalam ayat “…qad ja‘ala rabbuki tahtaki sariyya” dipahami oleh jumhur ulama sebagai maksud sebuah aliran sungai kecil yang Allah keluarkan di dekat Maryam. Dengan itu, ia memiliki air untuk diminum dan membersihkan diri.

Maryam juga diperintahkan menggoyang pangkal pohon kurma. Meskipun dalam kondisi lemah setelah melahirkan, usaha kecilnya itu disertai karunia besar dari Allah: buah-buah kurma yang masak dan segar berjatuhan kepadanya. Para ulama salaf menyebut bahwa tidak ada makanan yang lebih baik bagi wanita nifas dibanding kurma dan ruthab. Dalam sebagian hadis (meskipun sanadnya lemah) disebutkan anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberi makan wanita yang melahirkan dengan ruthab, atau jika tidak ada, dengan kurma kering.

Maryam juga diberi petunjuk mengenai bagaimana ia harus menghadapi manusia nanti. Ia diperintahkan bernazar puasa dari berbicara. Dalam syariat Bani Israil, puasa tidak hanya meninggalkan makan dan minum, tetapi juga meninggalkan ucapan. Karena itu, Maryam akan menjelaskan keadaannya dengan isyarat, bukan dengan kata-kata. Adapun dalam syariat Islam, diam seharian penuh dengan niat ibadah justru tidak dianjurkan dan hukumnya makruh bila diniatkan sebagai bentuk mendekatkan diri secara khusus.

Maryam Kembali kepada Kaumnya

Setelah melahirkan dan selesai masa nifas (sebagian ulama menyebut sekitar empat puluh hari), Maryam kembali ke tengah kaumnya sambil menggendong bayinya.

﴿فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا ۝ يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا﴾
“Kemudian ia datang kepada kaumnya sambil menggendongnya. Mereka berkata, ‘Wahai Maryam, sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar!
Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu bukanlah seorang yang buruk, dan ibumu pun bukan seorang pezina.’”

(QS. Maryam [19]: 27–28)

Kaum Maryam terperanjat. Wanita yang selama ini dikenal ahli ibadah dan suci, datang membawa bayi tanpa suami. Kata “fariyya” yang mereka ucapkan menunjukkan bahwa mereka menilai perbuatan ini sebagai sesuatu yang sangat besar dan diingkari, baik oleh tradisi maupun agama mereka.

Mereka menyebut Maryam dengan panggilan “Wahai saudara perempuan Harun.” Sebagian ulama menjelaskan bahwa Harun yang dimaksud adalah seorang lelaki saleh di zamannya, yang terkenal sebagai ahli ibadah, dan Maryam diserupakan dengannya dalam hal ketaatan sebelum terjadi peristiwa ini. Pendapat lain yang keliru sempat menyangka bahwa Harun di sini adalah saudara kandung Nabi Musa, sehingga Maryam dianggap saudara Musa dan Harun secara nasab. Ini tertolak secara sejarah maupun nash, karena jarak antara masa Musa dan masa ‘Isa sangat panjang.

Dalam hadis sahih, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus al-Mughirah bin Syu‘bah ke Najran, orang-orang Nasrani memprotes ayat ini. Al-Mughirah kemudian melaporkannya kepada Rasulullah. Beliau menjawab:

“Mengapa tidak engkau jelaskan kepada mereka bahwa Bani Israil dahulu biasa menamai (anak-anak mereka) dengan nama para nabi dan orang-orang saleh sebelum mereka?”

Dengan demikian, panggilan “Wahai saudara perempuan Harun” bisa dipahami sebagai cara kaumnya mengingatkan kehormatan keluarga: ayahmu bukan orang jahat, ibumu bukan pezina, saudaramu pun saleh; bagaimana mungkin engkau melakukan perbuatan seperti ini?

Dalam keadaan seperti ini, Maryam tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya melakukan apa yang telah diajarkan Allah: ia menunjuk kepada bayinya.

Mukjizat: Isa Berbicara dalam Buaian

﴿فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ ۖ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا ۝ قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا ۝ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۝ وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا ۝ وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا﴾
“Maka Maryam menunjuk kepada anak itu. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam buaian?’
Ia (‘Isa) berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Dia memberiku Kitab, dan menjadikanku seorang nabi.
Dan Dia menjadikanku seorang yang diberkahi di mana pun aku berada, dan Dia memerintahkanku (melaksanakan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
dan (Dia menjadikanku) berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka.
Dan kesejahteraan (keselamatan) semoga (dilimpahkan) atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.’”

(QS. Maryam [19]: 29–33)

Orang-orang menyangka Maryam sedang mengejek mereka ketika menunjuk kepada bayi. Mereka berkata, “Bagaimana kami berbicara dengan bayi yang masih dalam buaian?” Pada saat itulah terjadi mukjizat besar: bayi ‘Isa berbicara dengan fasih, jelas, dan penuh makna.

Kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah.” Dengan kalimat ini, ia menegaskan posisinya sebagai hamba, bukan Tuhan, bukan anak Tuhan. Dengan itu pula ia menyucikan Allah dari klaim orang-orang yang kelak menuhankannya, dan sekaligus menjaga ibunya dari tuduhan hina.

Ia melanjutkan ucapannya dengan menjelaskan beberapa hal penting tentang dirinya. Ia menyebut bahwa Allah telah memberinya Kitab dan menjadikannya nabi. Allah telah menjadikannya pembawa keberkahan di mana pun ia berada, karena di mana pun ia hidup, ia akan mengajak manusia hanya menyembah Allah dan menyucikan-Nya dari segala kekurangan, termasuk dari memiliki istri dan anak. Ia pun menyebut bahwa Allah memerintahkannya untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat selama ia hidup. Ini menggambarkan dua kewajiban besar seorang hamba: beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.

‘Isa juga menegaskan bahwa Allah menjadikannya berbakti kepada ibunya. Karena ia tidak memiliki ayah, maka hanya ibunya satu-satunya orang tua yang harus ia muliakan, sehingga haknya semakin besar. Ia menafikan sifat sombong dan durhaka dari dirinya dengan berkata bahwa Allah tidak menjadikannya “seorang yang sombong lagi celaka.” Artinya, ia bukan orang kasar, keras, atau pembangkang terhadap perintah Allah.

Di akhir ucapannya, ia mendoakan dirinya dengan keselamatan pada tiga keadaan paling genting dalam kehidupan manusia: saat dilahirkan, saat wafat, dan saat dibangkitkan kembali. Ucapan ini sejalan dengan doa keselamatan yang Allah sebutkan pula pada kisah Nabi Yahya.

Isa Adalah Kebenaran, Bukan Anak Tuhan

Setelah menyebutkan mukjizat ‘Isa dan ucapannya, Allah menegaskan hakikat dirinya:

﴿ذَٰلِكَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ ۚ قَوْلَ الْحَقِّ الَّذِي فِيهِ يَمْتَرُونَ ۝ مَا كَانَ لِلَّهِ أَن يَتَّخِذَ مِن وَلَدٍ سُبْحَانَهُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ ۝ وَإِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ﴾
“Itulah ‘Isa putra Maryam; (itulah) perkataan yang benar, yang mereka ragukan.
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak. Mahasuci Dia. Apabila Dia menetapkan suatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’, maka jadilah ia.
Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kalian, maka sembahlah Dia; inilah jalan yang lurus.”

(QS. Maryam [19]: 34–36)

Ayat ini menegaskan bahwa apa yang telah disebutkan sebelumnya adalah kebenaran hakiki tentang ‘Isa: ia adalah putra Maryam, seorang hamba dan nabi Allah. Menjadikannya Tuhan atau anak Tuhan adalah bentuk keraguan dan penyimpangan. Kekuasaan Allah dalam menciptakan ‘Isa tanpa ayah sama sekali tidak meniscayakan bahwa ia adalah anak Allah, melainkan menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa menciptakan dengan cara apa pun yang Dia kehendaki.

Pola-Pola Penciptaan Manusia

Dari penjelasan Ibn Katsir, kita melihat bahwa Allah menampakkan kekuasaan-Nya melalui empat pola penciptaan manusia. Ada manusia yang diciptakan tanpa ayah dan ibu, yaitu Nabi Adam. Ada yang diciptakan dari seorang ayah tanpa ibu, yaitu Hawa yang diciptakan dari Adam. Ada yang diciptakan dari seorang ibu tanpa ayah, yaitu Nabi ‘Isa. Selain itu, seluruh manusia diciptakan dari pertemuan ayah dan ibu.

Dengan beragam pola ini, jelas bahwa Allah sama sekali tidak terikat dengan cara tertentu dalam menciptakan makhluk. Bila Allah mampu menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu, maka menciptakan ‘Isa tanpa ayah bukanlah sesuatu yang sulit, dan tidak mungkin dijadikan alasan untuk menuhankannya. Karena itu Allah berfirman:

﴿إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ ۝ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ الْمُمْتَرِينَ﴾
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’, maka jadilah ia.
(Kebenaran itu) datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu.”

(QS. Āli ‘Imrān [3]: 59–60)

Tuduhan terhadap Maryam

Sebagian orang Yahudi pada masa itu tidak mau beriman. Mereka justru menuduh bahwa Maryam mengandung ‘Isa dari hubungan zina, bahkan mereka mengatakan hal itu terjadi pada masa haid. Tuduhan ini amat keji dan bertentangan dengan kenyataan, dan karena itu Allah mengecam mereka:

“Dan karena kekafiran mereka (orang Yahudi) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan tuduhan besar yang dusta.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 156)

Allah sendiri memuliakan Maryam sebagai seorang shiddīqah, wanita yang sangat benar dan jujur, dan menjadikan putranya sebagai nabi yang diutus, salah satu dari lima rasul Ulul ‘Azmi yang paling agung (Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Muhammad ‘alaihimus shalatu was salam). Dengan demikian, Allah membantah sekaligus menghapus tuduhan buruk terhadap ibu dan anak ini.

Makna Panggilan “Saudara Perempuan Harun”

Sebagaimana telah disinggung, seruan kaumnya kepada Maryam dengan kalimat:

﴿يَا أُخْتَ هَارُونَ﴾
“Wahai saudara perempuan Harun…”
(QS. Maryam [19]: 28)

perlu dipahami dengan benar. Berdasarkan hadis al-Mughirah bin Syu‘bah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Bani Israil biasa menamai anak-anak mereka dengan nama para nabi dan orang saleh sebelum mereka. Maka tidak mustahil Maryam memiliki saudara kandung atau kerabat dekat bernama Harun, yang dikenal saleh di tengah kaumnya.

Dengan pemahaman ini, panggilan “Wahai saudara perempuan Harun” bukan berarti Maryam adalah saudara kandung Nabi Musa dan Harun secara nasab, melainkan panggilan yang mengacu pada kesamaan nama dan kehormatan keluarga, serta menjadi sindiran halus dari kaumnya: engkau berasal dari keluarga saleh, bagaimana mungkin engkau melakukan perbuatan yang menurut sangkaan mereka amat tercela?

Perbedaan Golongan tentang Isa

Setelah menjelaskan hakikat ‘Isa, Allah menyebutkan bahwa manusia kemudian berselisih tentangnya:

﴿فَاخْتَلَفَ الْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ ۖ فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ كَفَرُوا مِن مَّشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾
“Maka golongan-golongan (yang berselisih) itu berselisih di antara mereka. Maka celakalah orang-orang kafir pada saat menyaksikan hari yang besar itu.”
(QS. Maryam [19]: 37)

Sebagian orang Yahudi bersikap congkak. Mereka tetap dalam kekafiran dan bahkan menuduh ‘Isa sebagai anak zina. Di sisi lain, sebagian Nasrani melampaui batas dengan menuhankan ‘Isa; ada yang mengatakan bahwa ia adalah Allah, ada pula yang mengatakan ia anak Allah.

Di antara dua kelompok yang menyimpang ini, ada kelompok yang beriman dengan benar, yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya, putra hamba perempuan-Nya (Maryam), kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya. Inilah posisi yang dipegang kaum muslimin, yang selamat dari sikap merendahkan sekaligus sikap berlebih-lebihan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah bin ash-Shamit:

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya; dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya, kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya; serta (bersaksi bahwa) surga itu benar ada dan neraka itu benar ada; niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga apa pun amal yang telah ia lakukan.”

Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa orang tersebut dipersilakan memasuki surga melalui pintu mana pun dari delapan pintu surga yang ia kehendaki.

Mubahalah dengan Delegasi Najran

Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, datang suatu rombongan Nasrani dari Najran ke Madinah. Mereka mendebat Rasulullah tentang hakikat al-Masih. Maka Allah menurunkan awal Surah Āli ‘Imrān untuk menjelaskan asal kejadian ‘Isa dan ibunya serta untuk mengajarkan kepada Nabi bagaimana menyikapi perselisihan tersebut.

Di antara ayat-ayat yang turun adalah:

﴿إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ ۝ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ الْمُمْتَرِينَ ۝ فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ﴾
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’, maka jadilah ia.
(Kebenaran itu) datang dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu.
Barangsiapa membantahmu tentang (kisah) ‘Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan) kepadamu, maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita bermunajat dengan sungguh-sungguh, lalu kita mohonkan supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’”

(QS. Āli ‘Imrān [3]: 59–61)

Ayat ini memerintahkan Nabi untuk mengajak mereka bermubahalah, yaitu saling berdoa supaya laknat Allah ditimpakan kepada pihak yang berdusta. Ketika delegasi Najran melihat kesungguhan Nabi dan keseriusan ajakan ini, mereka mundur dan enggan melakukan mubahalah. Pemuka mereka berkata kepada kaumnya bahwa bila mereka nekad bermubahalah dengan seorang nabi, maka itu berarti kebinasaan bagi mereka. Akhirnya mereka memilih jalan perdamaian: mereka tidak masuk Islam, tetapi bersedia membayar jizyah, dan Rasulullah mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah sebagai utusan terpercaya untuk menyertai mereka.

Dengan demikian, al-Qur’an dan sunnah menjelaskan bahwa ‘Isa bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan, melainkan hamba Allah, rasul-Nya, kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh dari-Nya.

Penutup

Kisah kelahiran ‘Isa ‘alaihissalam adalah kisah agung tentang kesucian seorang wanita bernama Maryam dan tentang ujian besar yang ia tanggung demi ketaatan kepada Allah. Kisah ini juga menyingkap keajaiban penciptaan seorang nabi tanpa ayah, sebagai tanda kekuasaan Allah, bukan sebagai alasan untuk menuhankannya.

Kisah ini memperlihatkan bagaimana manusia kemudian terpecah: ada yang mencela dan menuduh, ada yang berlebih-lebihan hingga menuhankan, dan ada yang mengambil posisi tengah yang lurus: mengimani ‘Isa sebagai hamba dan rasul Allah, memuliakannya tanpa melampaui batas, dan menyucikan Allah dari memiliki istri dan anak.

Pada akhirnya, Allah memperingatkan:

﴿فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ كَفَرُوا مِن مَّشْهَدِ يَوْمٍ عَظِيمٍ﴾
“Maka celakalah orang-orang kafir pada saat menyaksikan hari yang besar itu.”
(QS. Maryam [19]: 37)

Adapun orang-orang yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dan bahwa ‘Isa adalah hamba dan rasul Allah, kalimat-Nya dan ruh dari-Nya, serta meyakini kebenaran surga dan neraka, maka Allah menjanjikan bagi mereka surga, apa pun amal yang telah mereka lakukan, selama mereka tetap memegang teguh tauhid dan keimanan yang benar.

Sumber Kisah

Ibn Katsir, Qiṣaṣ al-Anbiyā’ min al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang