Kisah Hijrah ke Habasyah dan Raja Najasyi: Sejarah Islam Awal dan Masuk Islamnya Umar bin Khattab

 

Ilustrasi Ja’far bin Abi Thalib berdiri di aula istana Raja Najasyi di Habasyah, menjelaskan tentang Islam di hadapan raja, para pendeta, dan sahabat di belakangnya.

Tekanan di Makkah dan Munculnya Harapan ke Negeri Jauh

Di Makkah, kaum Muslimin yang lemah mengalami gangguan yang sangat berat. Mereka dipukul, dihina, direndahkan. Yang punya pelindung dari keluarga besar masih bisa sedikit terlindungi, tapi budak, orang miskin, dan mereka yang tak punya kabilah kuat, menjadi sasaran utama.

Rasulullah ﷺ sendiri dilindungi oleh Allah dan oleh pamannya, Abu Thalib. Karena kedudukan Abu Thalib di tengah Quraisy, mereka tidak berani menyakiti Nabi ﷺ sebebas mereka menyakiti para sahabat. Namun Nabi ﷺ sedih, karena beliau melihat sahabat-sahabatnya tersiksa, dan beliau sendiri tidak mampu membela mereka secara lahiriah sebagaimana beliau ingin.

Di tengah situasi seperti itu, Allah membukakan sebuah pintu rahmat: pintu hijrah ke negeri jauh bernama Habasyah (Ethiopia sekarang). Di sana ada seorang raja Nasrani yang terkenal sangat adil, bergelar an-Najasyi (Negus).

Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya:

“Seandainya kalian keluar ke negeri Habasyah; sesungguhnya di sana ada seorang raja yang tidak ada seorang pun yang dizalimi di sisinya. Ia adalah negeri yang jujur (adil), hingga Allah memberi jalan keluar bagi kalian dari apa yang kalian alami.”

Kalimat itu menjadi cahaya harapan bagi sahabat-sahabat yang tersiksa.


Rombongan Pertama: Langkah Kecil yang Mengubah Sejarah

Menurut sebagian ahli sejarah, rombongan pertama berangkat sekitar bulan Rajab, tahun kelima setelah pengutusan Nabi ﷺ. Mereka hanya sedikit, sebelas lelaki dan empat wanita, tapi langkah mereka menjadi awal hijrah dalam sejarah Islam.

Di antara mereka ada nama-nama besar yang kelak sangat kita kenal:

  • ‘Utsman bin ‘Affan dan istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah ﷺ
  • Abu Hudzaifah bin ‘Utbah dan istrinya, Sahlah binti Suhail
  • Az-Zubair bin al-‘Awwam
  • Mus‘ab bin ‘Umair
  • ‘Abdurrahman bin ‘Auf
  • Abu Salamah bin ‘Abdil Asad dan istrinya, Ummu Salamah binti Abi Umayyah
  • ‘Utsman bin Mazh‘un
  • ‘Amir bin Rabi‘ah dan istrinya, Laila binti Abi Hutsmah
  • Serta beberapa sahabat lain yang disebut dalam kitab-kitab sirah

Mereka berjalan ke arah pantai, sebagian berjalan kaki, sebagian dengan tunggangan. Sampai di tepi laut, mereka menyewa sebuah kapal dengan bayaran setengah dinar untuk menyeberang ke Habasyah.

Hijrah ini bukan wisata. Mereka meninggalkan kampung halaman, keluarga, harta, demi menyelamatkan iman. Mereka bukan lari dari masalah dunia, tetapi “lari kepada Allah” dengan agama mereka.


‘Utsman dan Ruqayyah: Keluarga Pertama yang Hijrah

Dalam beberapa riwayat disebutkan: orang pertama yang hijrah membawa keluarganya di jalan Allah setelah Nabi Luth ‘alaihis salam adalah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Suatu ketika, setelah ‘Utsman dan Ruqayyah berangkat, kabar tentang mereka terlambat sampai kepada Nabi ﷺ. Datang seorang wanita Quraisy dan berkata:

“Wahai Muhammad, aku melihat menantumu (‘Utsman) bersama istrinya.”

Rasulullah ﷺ bertanya:

“Dalam keadaan bagaimana engkau melihat mereka?”

Wanita itu menjawab:

“Aku melihat ia mendudukkan istrinya di atas seekor keledai kecil, sementara ia menghalau tunggangannya itu.”

Rasulullah ﷺ pun bersabda:

“Semoga Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya ‘Utsman adalah orang pertama yang hijrah bersama keluarganya setelah (Nabi) Luth ‘alaihis salam.”

Betapa agungnya pengorbanan itu di mata Rasulullah ﷺ.


Rombongan Bertambah: Datangnya Ja‘far bin Abi Thalib

Hijrah ke Habasyah tidak berhenti pada rombongan pertama. Setelah mereka tiba dan merasakan keamanan beragama di sana, sebagian sahabat lain menyusul. Salah satu yang paling menonjol adalah Ja‘far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sepupu Rasulullah ﷺ.

Ia datang bersama istrinya, Asmā’ binti ‘Umais. Di Habasyah, lahirlah putra mereka, ‘Abdullah bin Ja‘far. Beberapa sahabat lain pun menyusul. Pada akhirnya, menurut sebagian riwayat, kaum Muslimin yang hijrah ke Habasyah mencapai sekitar delapan puluh tiga lelaki, belum termasuk wanita dan anak-anak.

Para sejarawan berbeda pendapat apakah kedatangan Ja‘far ini pada gelombang pertama atau kedua. Yang jelas, ia kelak menjadi seorang tokoh utama: pemimpin rombongan dan juru bicara kaum Muslimin di hadapan Raja Najasyi.


Quraisy Merespon: Utusan dan Hadiah ke Istana Najasyi

Ketika Quraisy mendengar bahwa kaum Muslimin telah menemukan negeri aman, tetangga yang baik, dan raja yang melindungi mereka, mereka tidak tinggal diam. Mereka khawatir, hijrah ini akan memperkuat Islam.

Mereka pun sepakat mengirim dua orang yang cerdik dan berpengaruh: ‘Amr bin al-‘Ash dan (menurut sebagian riwayat) ‘Amārah bin al-Walid, atau menurut riwayat lain, ‘Abdullah bin Abi Rabi‘ah. Mereka membawa banyak hadiah untuk an-Najasyi dan para pembesar istananya.

Quraisy berpesan:

“Berikanlah hadiah kepada setiap pembesar sebelum kalian berbicara tentang mereka (kaum Muslimin). Lalu serahkan hadiah untuk raja. Jika kalian bisa membuat raja mengembalikan mereka sebelum raja bicara dengan mereka, lakukanlah.”

Rencana mereka jelas: beli hati para pejabat, pengaruhi raja, dan kembalikan para muhajirin ke Makkah.


Pertemuan Pertama: Ja‘far Menjelaskan Islam

Para utusan Quraisy menemui para pembesar, membagi-bagikan hadiah, lalu mereka diizinkan masuk menemui an-Najasyi. Mereka berkata:

“Wahai raja, beberapa pemuda bodoh dari kalangan kami telah meninggalkan agama kaumnya, dan mereka pun tidak masuk ke dalam agamamu. Mereka membawa agama baru yang tidak kami kenal.
Kaum mereka – bapak-bapak, paman-paman, dan keluarga mereka – telah mengirim kami agar engkau mengembalikan mereka. Kaum mereka lebih tahu tentang keadaan mereka.”

Para pembesar istana menyetujui: lebih baik dikembalikan saja. Namun an-Najasyi adalah raja yang adil. Ia marah mendengar saran agar ia mengusir orang-orang yang datang minta perlindungan tanpa mendengarkan mereka.

Ia berkata:

“Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengembalikan mereka sampai aku memanggil mereka dan mendengar ucapan mereka. Mereka telah memilih negeriku dan perlindunganku daripada perlindungan selainku.”

Ia pun memerintahkan agar kaum Muslimin dihadirkan.

Cara Menyapa Raja: Salam, Bukan Sujud

Kaum Muslimin berkumpul. Mereka sepakat: Ja‘far bin Abi Thalib akan berbicara mewakili mereka.

Mereka masuk ke istana, memberi salam, namun tidak bersujud kepada raja. Para pendeta dan pejabat protes:

“Mengapa kalian tidak bersujud kepada raja?”

Ja‘far menjawab dengan tenang:

“Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

An-Najasyi pun bertanya:

“Apa agama kalian? Kalian tidak di atas agama kaum kalian, tidak Yahudi, tidak pula Nasrani. Lalu apa agama kalian?”

Ja‘far menjelaskan dengan bahasa yang sangat jernih; ringkasan sejarah hidup mereka sebelum Islam dan ajaran yang dibawa Nabi ﷺ:

“Wahai raja, dahulu kami adalah kaum yang musyrik. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus silaturahim, dan yang kuat menindas yang lemah.

Lalu Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami sendiri. Kami tahu nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Ia mengajak kami beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala yang kami atau nenek moyang kami sembah selain-Nya berupa batu dan berhala.

Ia memerintahkan kami jujur dalam ucapan, menunaikan amanah, menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari yang haram dan dari menumpahkan darah, melarang perbuatan keji, ucapan dusta, memakan harta anak yatim, serta menuduh wanita suci berzina.

Ia memerintahkan kami untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan berpuasa. Kami membenarkannya dan beriman kepadanya.

Namun kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan menekan kami, ingin memaksa kami kembali kepada penyembahan berhala dan menghalalkan lagi perbuatan-perbuatan kotor itu.

Ketika mereka menyempitkan hidup kami dan menghalangi kami dari agama kami, kami pun datang ke negerimu, memilihmu dari selainmu, berharap tidak akan dizalimi di sisimu, wahai raja.”

Kata-kata itu mengguncang hati an-Najasyi. Ia berkata:

“Demi Allah, sesungguhnya ajaran ini benar-benar keluar dari pelita yang sama dengan yang dibawa Musa.”

Al-Qur’an Dibacakan di Istana

An-Najasyi bertanya:

“Apakah ada sesuatu dari apa yang dibawa Rasul kalian?”

Ja‘far menjawab: ada. Lalu ia membacakan permulaan Surah Maryam. Dalam beberapa riwayat disebutkan, ia membaca ayat yang di awalnya ada huruf:

كهيعص

Ia membacakan kisah Maryam dan ‘Isa ‘alaihimassalam, dengan ayat-ayat yang lembut dan menyentuh.

Saat ayat-ayat itu dibacakan, an-Najasyi menangis hingga janggutnya basah. Para uskup pun menangis hingga mushaf-mushaf di pangkuan mereka basah oleh air mata.

An-Najasyi berkata:

“Sesungguhnya kalam ini benar-benar keluar dari pelita yang sama dengan yang dibawa Musa. Pergilah kalian dalam keadaan selamat. Demi Allah, aku tidak akan mengembalikan kalian kepada mereka, dan tidak akan menyenangkan mereka dengan itu.”

Ia memerintahkan agar rombongan Muslimin tetap tinggal di negerinya, aman beribadah. Hadiah-hadiah Quraisy dikembalikan.


Siasat Kedua: Isu Tentang ‘Isa bin Maryam

Namun ‘Amr bin al-‘Ash belum putus asa. Di hari berikutnya, ia datang lagi kepada an-Najasyi dan berkata:

“Wahai raja, mereka mengatakan tentang ‘Isa bin Maryam sesuatu yang besar.”

Sekarang ia ingin memanfaatkan keyakinan an-Najasyi tentang ‘Isa. Raja pun memanggil kembali kaum Muslimin. Mereka sangat khawatir.

Sebagian mereka berkata:

“Apa yang akan kita katakan tentang ‘Isa jika ia bertanya?”

Sebagian yang lain menjawab:

“Kita katakan apa yang Allah katakan tentangnya dan apa yang diajarkan Nabi kita. Apa pun risikonya.”

Mereka pun masuk menemui raja. Para pembesar istana duduk di kanan-kiri. An-Najasyi bertanya:

“Apa yang kalian katakan tentang ‘Isa bin Maryam?”

Ja‘far menjawab:

“Kami mengatakan bahwa ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan kepada Maryam, sang perawan suci.”

An-Najasyi mengambil sepotong kayu kecil, lalu berkata:

“Tidaklah Ibnu Maryam melewati apa yang engkau katakan, walau melebihi kayu kecil ini.”

Para pembesar marah dan mendengus. Tapi an-Najasyi berkata:

“Meskipun kalian marah. Pergilah, kalian aman di negeriku. Barang siapa menyakiti kalian, maka ia harus membayar denda.”

Ia mengulang ancamannya tiga kali. Ia juga berkata, dalam bahasa mereka:

“Aku tidak suka memiliki emas sebesar gunung Dabr sementara aku telah menyakiti salah seorang dari kalian.”

Ia memerintahkan agar hadiah kedua utusan Quraisy dikembalikan. Lalu ia mengusir kedua utusan itu dari negerinya dengan tangan kosong.

Kaum Muhajirin pun tinggal di Habasyah dalam keamanan, di bawah perlindungan raja yang adil.


Pemberontakan di Habasyah dan Keberanian Az-Zubair

Tak lama kemudian, seorang bangsawan Habasyah bangkit menentang an-Najasyi dan ingin merebut takhtanya. Berita itu membuat kaum Muhajirin sangat gelisah. Mereka khawatir, jika an-Najasyi dikalahkan, raja baru mungkin takkan memberi perlindungan kepada mereka.

Mereka pun berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah menolong an-Najasyi.

Sebagian sahabat berkata: “Siapa yang akan keluar menyaksikan pertempuran, lalu kembali membawa kabar kepada kita?” Az-Zubair bin al-‘Awwam – yang saat itu masih sangat muda – berkata: “Aku.”

Mereka meniup sebuah kantong kulit, mengikatkannya di dada Az-Zubair sebagai pelampung. Ia berenang menyeberangi sungai Nil hingga tiba di tempat pertempuran. Ia menyaksikan langsung jalannya pertempuran.

Allah memberi kemenangan kepada an-Najasyi. Pemberontak itu kalah dan terbunuh. Az-Zubair kembali, melambai-lambaikan bajunya dari kejauhan seraya berseru:

“Bergembiralah, Allah telah memenangkan an-Najasyi!”

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata:

“Demi Allah, kami tidak pernah bergembira atas sesuatu sebagaimana kegembiraan kami atas kemenangan an-Najasyi.”


Siapakah Najasyi? Jejak Keadilan Sejak Muda

Dalam sebagian riwayat, diceritakan latar belakang an-Najasyi (Ashhamah bin Abjar).

Ayahnya adalah raja Habasyah. Sang ayah tidak memiliki anak laki-laki selain dirinya. Sementara pamannya memiliki dua belas anak lelaki. Para pemuka Habasyah khawatir:

“Jika kita biarkan raja sekarang, kekuasaan akan berakhir ketika ia meninggal karena ia tak punya keturunan selain anak tunggal. Lebih baik kita bunuh dia dan jadikan saudaranya sebagai raja. Nanti dua belas putranya akan mewarisi tahta dan negeri ini stabil dalam waktu lama.”

Mereka pun membunuh ayah an-Najasyi dan mengangkat pamannya sebagai raja.

An-Najasyi kecil dibesarkan di istana pamannya dan menjadi orang yang sangat dekat dengan urusan kerajaan. Ketika para pemuka melihat kedekatannya dengan sang raja, mereka berkata:

“Pemuda ini telah menguasai urusan pamannya. Kami tidak aman jika ia nanti menjadi raja, sementara ia tahu kami telah membunuh ayahnya. Ia akan membunuh para pembesar kami.”

Mereka mendesak sang paman untuk membunuh atau mengusirnya. Dengan berat hati, pamannya memilih untuk mengusir. Mereka menjual an-Najasyi sebagai budak kepada seorang pedagang, lalu ia dibawa naik kapal.

Namun malam itu, sang paman terkena petir dan mati. Ketika rakyat mencari anak-anak paman itu untuk diangkat sebagai raja, ternyata mereka semua bodoh dan tidak layak memimpin. Negeri pun kacau.

Sebagian mereka berkata:

“Kalian tahu, raja terbaik yang pantas memimpin kalian adalah pemuda yang tadi kalian jual pagi ini. Jika kalian masih ingin kebaikan bagi Habasyah, cepat kejar sebelum ia pergi jauh.”

Mereka mengejar kapal itu, menebus an-Najasyi, mengembalikannya, memakaikan mahkota di kepalanya dan mengangkatnya kembali sebagai raja.

Tak lama kemudian, seorang pedagang datang mengadu:

“Wahai raja, aku telah membeli seorang budak. Orang-orang yang menjualnya telah mengambil uangku, lalu mereka merampas budakku dariku dan tidak mengembalikan hartaku.”

Ini sebenarnya tentang an-Najasyi sendiri sebelum ia diangkat sebagai raja. Keadilannya diuji. Ia berkata:

“Kalian harus mengembalikan uang orang ini, atau aku serahkan budak itu kepadanya dan dia boleh membawanya ke mana saja.”

Mereka terpaksa mengembalikan uang pedagang itu. Inilah salah satu keputusan pertama yang menunjukkan betapa adilnya an-Najasyi. Karena itulah, ia berkata kelak:

“Allah tidak mengambil suap dariku ketika Dia mengembalikan kekuasaanku kepadaku. Maka aku tidak akan mengambil suap dalam (urusan) agama-Nya. Allah tidak menaati manusia dalam urusanku, maka aku pun tidak akan menaati manusia dalam urusan-Nya.”


Keimanan Najasyi: Tersembunyi tapi Nyata

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa suatu hari kaum Habasyah berkumpul dan berkata kepada an-Najasyi:

“Engkau telah menyelisihi agama kami.”

Mereka mengisukan bahwa ia tidak lagi meyakini bahwa ‘Isa adalah anak Allah, seperti keyakinan mereka. Mereka pun mengancam akan memberontak.

An-Najasyi memerintahkan agar perahu disiapkan untuk kaum Muslimin di negerinya. Ia berkata kepada mereka:

“Naiklah kalian ke kapal-kapal itu. Tetaplah di atas agama kalian. Jika aku kalah, pergilah ke negeri mana pun yang kalian kehendaki. Jika aku menang, maka kembalilah dan tetaplah di sini.”

Sebelum keluar menghadapi rakyatnya, ia menulis sebuah pengakuan iman: bahwa ia bersaksi tidak ada ilah selain Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa ‘Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, ruh dan kalimat-Nya yang Dia tiupkan kepada Maryam. Ia menyelipkan tulisan itu di dalam bajunya dekat pundak kanan.

Di hadapan rakyatnya, ia bertanya:

“Apa yang kalian katakan tentang ‘Isa?”

Mereka menjawab:

“Ia adalah anak Allah.”

An-Najasyi meletakkan tangannya di atas dadanya (di tempat selembar tulisan tadi) dan berkata:

“Sungguh, ‘Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang tertulis di sini.”

Mereka mengira ia masih sejalan dengan mereka, padahal ia sedang menunjuk pada akidah tauhid dalam lembaran itu. Mereka pun puas dan tenang. Berita tentang keimanan Najasyi ini sampai kepada Rasulullah ﷺ.


Wafatnya Najasyi dan Salat Jenazah Ghaib

Ketika an-Najasyi wafat di Habasyah, tidak ada kaum Muslimin di sana yang cukup kuat untuk menampakkan salat jenazah baginya. Ia menyembunyikan keimanan dari mayoritas rakyatnya.

Pada hari wafatnya, di Madinah, Rasulullah ﷺ keluar kepada para sahabat dan bersabda:

“Telah wafat hari ini seorang lelaki shalih. Berdirilah, dan salatlah atas saudara kalian, Ashhamah.”

Beliau membawa para sahabat ke tanah lapang, meluruskan shaf, dan menyalatkannya dengan empat kali takbir. Ini adalah salat jenazah ghaib yang masyhur.

Sebagian ulama menyebutkan: inilah sebab mengapa Nabi ﷺ menyalatkan Najasyi secara ghaib, karena di negerinya sendiri tidak ada yang menyalatkannya dengan tata cara Islam.

Dalam beberapa riwayat juga disebutkan, para sahabat bertutur:

“Kami dulu biasa membicarakan bahwa selalu terlihat cahaya di atas kuburnya.”

Semoga Allah meridhai raja yang adil ini.


Kembalinya Para Muhajirin: Antara Khaibar dan Kedatangan Ja‘far

Setelah beberapa waktu, kaum Muslimin di Habasyah kembali ke Madinah. Mereka tiba bertepatan dengan pembebasan Khaibar.

Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ia dan kaumnya (dari Yaman) mendengar berita hijrah Rasulullah ﷺ ketika mereka berada di Yaman. Mereka naik kapal untuk berhijrah, tetapi ombak membawa mereka justru ke Habasyah dan mendarat di negeri an-Najasyi. Di sana mereka bertemu dengan Ja‘far dan sahabat-sahabatnya.

Ja‘far berkata kepada mereka:

“Tinggallah bersama kami.”

Mereka pun menetap bersama kaum muhajirin di Habasyah hingga bersama-sama berangkat ke Madinah dan bertemu Rasulullah ﷺ di Khaibar.

Nabi ﷺ menyambut mereka dengan gembira dan bersabda:

“Untuk kalian – wahai ahlul safīnah (para penumpang kapal) – ada dua kali hijrah.”

Beliau juga bersabda tentang Ja‘far ketika ia datang:

“Demi Allah, aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku: pembebasan Khaibar atau datangnya Ja‘far bin Abi Thalib.”

Rombongan ini membawa hadiah-hadiah dan bingkisan dari an-Najasyi untuk Rasulullah ﷺ, sebagai balasan kasih sayangnya kepada kaum Muslimin. Keponakan an-Najasyi juga diutus untuk melayani Nabi ﷺ, menggantikan pamannya yang telah wafat.


Dampak Islamnya ‘Umar: Dari Terlindas Menjadi Mulia

Sementara itu, di Makkah, setelah utusan Quraisy gagal memaksa an-Najasyi mengusir kaum muhajirin, terjadi peristiwa besar lain: masuk Islamnya ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Sebelum masuk Islam, ‘Umar terkenal sangat keras memusuhi Islam. Ia menyiksa orang-orang yang lemah dan tidak segan memaki Rasulullah ﷺ. Kaum Muslimin putus asa melihatnya, sampai-sampai ada yang berkata:

“Ia tidak akan masuk Islam sampai keledai al-Khaththab masuk Islam.”

Tetapi hidayah Allah tak terbatas.

Tanda-tanda Lembutnya Hati

Salah satu sahabat wanita, Ummu ‘Abdillah binti Abi Hutsmah, pernah menceritakan: ketika ia sedang bersiap hijrah ke Habasyah dan suaminya sedang keluar, tiba-tiba ‘Umar datang. Saat itu ia masih musyrik dan sangat ganas memusuhi Islam.

Ia bertanya:

“Sungguh ini benar-benar keberangkatan, wahai Ummu ‘Abdillah?”

Ia menjawab:

“Ya, kami akan keluar di bumi Allah. Kalian telah menyakiti dan menzalimi kami, hingga Allah memberi kami jalan keluar.”

‘Umar berkata:

“Semoga Allah menyertai kalian.”

Ummu ‘Abdillah berkata bahwa ia melihat kelembutan dalam wajah ‘Umar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Saat suaminya kembali dan ia ceritakan itu, suaminya menjawab:

“Jangan berharap ia akan masuk Islam.”

Namun itulah awal lunaknya hati ‘Umar.

Kisah di Rumah Saudarinya

Kisah yang paling masyhur tentang keislaman ‘Umar adalah saat ia mendatangi rumah saudarinya, Fathimah binti al-Khaththab, istri sahabat mulia Sa‘id bin Zaid.

Di rumah itu, Khabbab bin al-Arat sedang mengajarkan ayat-ayat dari Surah Ṭāhā:

طه

Ketika ‘Umar menghampiri, Khabbab segera bersembunyi dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf di bawah pakaiannya.

‘Umar mendengar bacaan lirih dari dalam dan segera masuk, marah, menuduh mereka telah mengikuti agama Muhammad. Ia memukul iparnya, Sa‘id bin Zaid. Fathimah hendak melindungi suaminya, tetapi ia pun dipukul hingga wajahnya berdarah.

Melihat darah saudarinya, hati ‘Umar tersentuh. Ia menyesal. Ia berkata:

“Berikan kepadaku lembaran yang kalian baca tadi, biarkan aku tahu apa yang dibawa Muhammad.”

Fathimah menjawab:

“Engkau najis dalam keadaan musyrikmu. Lembaran ini tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci.”

Ia meminta ‘Umar mandi (atau berwudhu) dahulu. Setelah itu, ia memberinya lembaran yang berisi ayat-ayat awal Surah Ṭāhā. ‘Umar membaca:

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى
إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
… (dan seterusnya)

Ia tertegun dan berkata:

“Betapa indah dan mulianya kalam ini!”

Khabbab keluar dari persembunyiannya dan berkata:

“Demi Allah, wahai ‘Umar, aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Nabi ﷺ kemarin: “Ya Allah, muliakan Islam dengan Abu al-Hakam bin Hisyam (‘Abu Jahl’) atau dengan ‘Umar bin al-Khaththab.”

‘Umar berkata:

“Tunjukkan aku kepada Muhammad.”

Khabbab mengarahkannya ke rumah tempat Nabi ﷺ dan beberapa sahabat berkumpul.

‘Umar datang dengan pedang terhunus. Sahabat yang melihatnya panik. Hamzah berkata:

“Biarkan ia masuk. Jika ia datang mencari kebaikan, kita sambut. Jika ia datang mencari keburukan, kita bunuh dengan pedangnya sendiri.”

Rasulullah ﷺ mengizinkan. Beliau menyongsong ‘Umar, memegang bajunya, mengguncangnya dan bersabda:

“Apa yang membuatmu datang, wahai Ibn al-Khaththab? Demi Allah, aku melihat engkau tidak akan berhenti hingga Allah menurunkan bencana atasmu.”

‘Umar menjawab dengan mantap:

“Aku datang untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan apa yang datang dari sisi Allah.”

Rasulullah ﷺ bertakbir, dan para sahabat pun tahu: ‘Umar telah masuk Islam.

Sejak hari itu, kaum Muslimin merasakan perubahan besar. Ibnu Mas‘ud berkata:

“Kami senantiasa mulia sejak ‘Umar bin al-Khaththab masuk Islam.”

Ia mulai menampakkan keislamannya secara terang-terangan, bahkan pernah mendatangi Jamil bin Ma‘mar – yang terkenal paling cepat menyebarkan berita – dan berkata:

“Wahai Jamil, ketahuilah aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad.”

Jamil langsung berlari ke depan Ka‘bah dan berteriak:

“Wahai sekalian Quraisy, Ibn al-Khaththab telah murtad!”

‘Umar mengikuti dari belakang dan berkata:

“Dia dusta, aku tidak murtad. Aku telah masuk Islam.”

Quraisy pun memukulnya, dan ia melawan sampai matahari tinggi di atas kepala. Akhirnya seorang tua dari Bani Sahm, al-‘Āsh bin Wā`il, berkata:

“Apa urusan kalian? Seorang lelaki memilih untuk dirinya sendiri suatu urusan, apakah kalian mengira Bani ‘Adi akan menyerahkan orangnya begitu saja kepada kalian?”

Mereka pun bubar. Sejak saat itu, kaum Muslimin mulai berani salat di dekat Ka‘bah secara terbuka, di bawah perlindungan Hamzah dan ‘Umar.


Delegasi Nasrani dari Habasyah dan Turunnya Ayat QS al-Qashash: 52–55

Pada satu masa, setelah kabar tentang Nabi ﷺ tersebar luas, datanglah sekitar dua puluh orang Nasrani – sebagian riwayat menyebut dari Habasyah, sebagian menyebut dari Najran – ke Makkah. Mereka ingin memastikan berita tentang Nabi akhir zaman yang mereka baca dalam kitab-kitab mereka.

Mereka menjumpai Rasulullah ﷺ sedang duduk dekat Ka‘bah. Mereka bertanya, berdialog, dan beliau menjelaskan tentang Islam. Lalu beliau membacakan ayat-ayat al-Qur`an kepada mereka.

Ketika mendengar bacaan al-Qur`an, mereka menangis. Hati mereka luluh. Mereka berkata:

“Kami beriman. Sesungguhnya ini adalah kebenaran dari Tuhan kami. Kami sebelumnya juga telah berserah diri (tunduk) kepada kebenaran.”

Mereka pun masuk Islam.

Dalam perjalanan pulang, Abu Jahl dan beberapa orang Quraisy menghadang mereka:

“Sungguh buruk kalian, wahai rombongan. Kaum kalian mengutus kalian untuk mencari berita tentang lelaki itu, tetapi kalian belum lama duduk dengannya, sudah meninggalkan agama kalian dan membenarkannya. Kami tidak pernah melihat rombongan sepraktek kalian.”

Mereka menjawab dengan kelembutan:

“Salam atas kalian. Kami tidak ingin membalas kebodohan kalian. Bagi kami amal-amal kami, bagi kalian amal-amal kalian. Kami tidak ingin mengikuti orang-orang yang bodoh.”

Sejumlah ulama tafsir mengatakan: kepada mereka inilah turun ayat-ayat berikut (QS. al-Qashash: 52–55):

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ
وَإِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ
أُولَٰئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

“Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka al-Kitab sebelum al-Quran, mereka beriman (pula) dengan al-Quran itu.
Dan apabila al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami beriman kepadanya; sesungguhnya ia adalah kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelum ini adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’
Mereka itu diberi pahala mereka dua kali, karena kesabaran mereka, karena mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka infakkan.
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak berguna, mereka berpaling darinya dan berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian, salam atas kalian, kami tidak ingin (mengikuti) orang-orang yang jahil.’”

Ayat-ayat ini menjadi pujian Allah terhadap ahli kitab yang jujur mencari kebenaran; ketika mereka melihat tanda-tanda yang telah mereka kenal di kitab mereka, mereka segera tunduk, walaupun harus berhadapan dengan celaan kaumnya.


Penutup: Jejak Hijrah, Keadilan, dan Keberanian

Kisah hijrah ke Habasyah, dialog Ja‘far dengan an-Najasyi, keimanan sang raja yang adil, kembalinya para muhajirin bersama Ja‘far, Islamnya ‘Umar bin al-Khaththab, dan sikap lembut para Nasrani yang beriman di Makkah, semuanya adalah rangkaian mozaik awal sejarah Islam.

Di dalamnya kita melihat:

  • bagaimana orang-orang beriman rela meninggalkan tanah air demi menjaga iman
  • bagaimana seorang raja non-Arab, yang tidak pernah melihat Nabi ﷺ, bisa mengenali kebenaran hanya dari cahaya wahyu
  • bagaimana satu orang seperti ‘Umar dapat mengubah keseimbangan kekuatan di kota Makkah
  • dan bagaimana orang-orang yang sebelumnya memegang kitab suci, begitu melihat kebenaran baru, segera tunduk tanpa ragu

Semua ini bukan sekadar cerita sejarah. Ia adalah pelajaran sepanjang masa tentang pengorbanan, keadilan, keteguhan, dan ketulusan mencari kebenaran.


Sumber Kisah

  • Ibnu Katsiral-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang