Kisah Hidangan dari Langit dan Zuhudnya Nabi Isa ‘Alaihissalam
Isa ‘Alaihissalam dan Para Pengikut Setianya
Nabi Isa ‘alaihissalam diutus kepada Bani Israil sebagai nabi yang penuh kasih sayang, lembut hati, dan sangat zuhud terhadap dunia. Murid-murid dekat beliau disebut al‑hawariyyun. Mereka adalah orang-orang yang belajar langsung dari beliau, menyaksikan mukjizat-mukjizat, dan berusaha mengikuti ajaran beliau.
Pada suatu masa, Isa memerintahkan para hawariyyun untuk berpuasa selama tiga puluh hari penuh. Mereka melaksanakan perintah itu sampai selesai. Setelah puasa itu usai, hati mereka tergerak untuk meminta satu tanda dari Allah, sebagai peneguh keyakinan dan bukti bahwa puasa mereka diterima. Mereka ingin sebuah hidangan khusus, turun langsung dari langit, yang menjadi karunia dan bukti kebesaran Allah.
Keinginan inilah yang kemudian menjadi awal kisah besar yang Allah abadikan dalam Al‑Qur’an, yaitu kisah al‑Mā’idah (hidangan dari langit).
Permintaan Hidangan dari Langit
Allah Ta‘ala berfirman:
إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ ۖ فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
(سورة المائدة: ١١٢–١١٥)
Artinya:
“(Ingatlah) ketika para pengikut setia (hawariyyun) berkata, ‘Wahai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan kepada kami suatu hidangan dari langit?’ Isa menjawab, ‘Bertakwalah kepada Allah jika kalian benar‑benar orang yang beriman.’
Mereka berkata, ‘Kami ingin makan dari hidangan itu, dan supaya hati kami tenteram, dan supaya kami mengetahui bahwa engkau telah berkata benar kepada kami, dan supaya kami menjadi orang‑orang yang menyaksikannya.’
Isa putra Maryam berdoa, ‘Ya Allah, Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi kami, bagi yang pertama maupun yang terakhir di antara kami, serta sebagai tanda (kebesaran) dari‑Mu. Berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik‑baik pemberi rezeki.’
Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada kalian. Tetapi barang siapa di antara kalian yang kafir setelah itu, sungguh Aku akan mengazabnya dengan azab yang tidak akan pernah Aku timpakan kepada seorang pun dari seluruh alam.’”
(QS. Al‑Mā’idah: 112–115)
Para hawariyyun menginginkan hidangan itu sebagai makanan berbuka yang penuh berkah, sebagai tanda bahwa Allah menerima amal puasa mereka, dan sebagai hari raya yang mereka rayakan dari generasi pertama hingga generasi terakhir di antara mereka. Mereka juga ingin hatinya semakin tenang, dan keyakinan mereka bahwa Isa benar-benar utusan Allah semakin kuat.
Isa mula-mula menasihati mereka agar bertakwa dan tidak menjadikan permintaan seperti itu sebagai permainan. Beliau khawatir mereka tidak mampu mensyukuri nikmat sebesar itu dan tidak sanggup memegang tanggung jawab di baliknya. Namun mereka terus memohon, hingga akhirnya Isa pun bangkit menuju tempat shalatnya.
Beliau mengenakan pakaian kasar dari bulu, merapatkan kedua telapak kakinya, menundukkan kepala, kedua matanya berlinang air mata, dan dengan penuh kerendahan beliau berdoa kepada Allah. Doanya panjang, penuh rasa harap dan takut, memohon agar Allah menurunkan hidangan itu dan menjadikannya kebaikan, bukan azab.
Turunnya Hidangan dari Langit
Allah pun mengabulkan doa itu. Hidangan yang diminta mulai turun dari langit. Manusia menyaksikannya dengan rasa takjub dan gentar. Hidangan itu turun di antara dua gumpalan awan, perlahan-lahan mendekati bumi. Setiap kali hidangan itu semakin dekat, Isa kembali berdoa agar Allah menjadikannya rahmat, bukan siksa, serta menjadikannya berkah dan keselamatan bagi mereka.
Akhirnya, hidangan itu berhenti di hadapan Isa ‘alaihissalam dalam keadaan tertutup dengan sehelai kain. Isa bangkit berdiri, lalu hendak membuka penutupnya seraya mengucapkan:
“بِسْمِ اللَّهِ خَيْرِ الرَّازِقِينَ”
“Dengan nama Allah, sebaik-baik Pemberi rezeki.”
Ketika penutup itu tersingkap, tampaklah di atas hidangan tersebut tujuh ekor ikan dan tujuh potong roti. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan adanya cuka, buah delima, dan berbagai buah-buahan lain. Bau harumnya sangat kuat dan menyebar, menunjukkan betapa agungnya nikmat itu. Semua itu Allah ciptakan hanya dengan firman-Nya, “Jadilah,” maka jadilah ia.
Siapa yang Pertama Kali Makan?
Setelah hidangan terbuka, Isa mempersilakan kaumnya untuk makan. Namun mereka berkata bahwa mereka tidak akan menyentuhnya sebelum Isa sendiri yang makan terlebih dahulu.
Isa mengingatkan bahwa merekalah yang mula-mula meminta turunnya hidangan tersebut. Kalau mereka terlalu takut untuk menjadi yang pertama, maka itu menunjukkan kelemahan keyakinan mereka. Walau demikian, mereka tetap ragu dan enggan memulai.
Maka Isa mengalihkan hidangan itu kepada golongan yang paling membutuhkan. Beliau memanggil orang-orang fakir, orang yang sangat miskin, para penderita penyakit berat, orang-orang yang lumpuh, dan mereka yang mempunyai cacat menahun. Jumlah mereka, menurut sebagian riwayat, hampir mencapai seribu tiga ratus orang. Mereka mendekat, lalu makan dari hidangan itu sepuasnya.
Dengan izin Allah, setiap orang yang makan dan sebelumnya menderita penyakit, cacat, atau gangguan yang telah lama diderita, tiba-tiba sembuh. Mereka bangkit dengan tubuh yang sehat dan bugar, seakan tidak pernah sakit sebelumnya. Pemandangan ini membuat orang-orang yang tadinya menolak untuk makan sangat menyesal, karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan dan meremehkan nikmat.
Berkah Hidangan dan Ujian Syukur
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa pada mulanya hidangan itu turun setiap hari satu kali. Orang-orang datang dan makan darinya. Makanan itu tidak cepat habis. Orang yang makan paling akhir mendapatkan bagian sebagaimana orang yang makan pertama kali. Disebutkan pula bahwa jumlah yang pernah makan darinya pada suatu hari bisa mencapai ribuan orang, bahkan hingga sekitar tujuh ribu jiwa.
Setelah beberapa waktu, hidangan itu tidak lagi turun setiap hari, tetapi selang satu hari sekali, seperti kisah unta betina Nabi Shalih, yang susunya menjadi jatah minum satu hari penuh, kemudian selang satu hari yang lain.
Pada suatu ketika, Allah memerintahkan Isa agar membatasi orang-orang yang boleh makan dari hidangan itu. Isa diperintahkan untuk hanya mengizinkan orang-orang fakir, lemah, dan yang betul-betul membutuhkan, sedangkan orang-orang kaya tidak lagi diperkenankan turut menikmatinya. Ketentuan ini membuat sebagian orang merasa berat. Jiwa-jiwa munafik mulai memperbincangkan hal itu dengan kebencian dan keberatan.
Akhirnya, sebagai bentuk hukuman dan ujian, hidangan itu diangkat sama sekali, tidak lagi turun ke bumi. Dalam sebagian riwayat diceritakan, orang-orang yang berani memperolok dan berkhianat terhadap aturan-aturan seputar hidangan itu diubah rupa mereka menjadi kera dan babi. Riwayat ini dinukil dari sahabat ‘Ammar bin Yasir; sebagian ahli hadits memandangnya sebagai ucapan beliau sendiri, bukan sabda Nabi, tetapi isinya mengandung pelajaran tentang beratnya hukuman bagi orang yang kufur nikmat setelah melihat ayat-ayat Allah yang nyata.
Apakah Hidangan Benar-benar Turun?
Para ulama berbeda pendapat: apakah hidangan itu benar-benar turun ke bumi, ataukah hanya sekadar ancaman dan peringatan dalam ayat?
Mayoritas ulama tafsir menegaskan bahwa hidangan itu memang benar-benar turun. Mereka berdalil dengan zahir ayat:
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ
“Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepada kalian…’”
Mereka juga menguatkannya dengan riwayat-riwayat dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Salman al‑Farisi, ‘Ammar bin Yasir dan lainnya, yang menceritakan urutan peristiwa turunnya hidangan secara rinci.
Namun ada juga sebagian ulama tabi‘in, seperti Mujahid dan al‑Hasan al‑Bashri, yang berpendapat bahwa hidangan itu pada akhirnya tidak jadi turun. Menurut mereka, ketika Allah menyebut ancaman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“…barang siapa di antara kalian yang kafir setelah itu, sungguh Aku akan mengazabnya dengan azab yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun dari alam semesta,”
para hawariyyun justru merasa takut, lalu mengurungkan niat untuk terus mendesak permintaan mereka.
Sebagian ulama menambahkan bahwa kaum Nasrani sendiri tidak memiliki kisah hidangan ini dalam kitab-kitab mereka. Andaikan kisah itu terjadi, mereka berpendapat mestinya kisah sebesar ini sangat terkenal di kalangan mereka. Meski demikian, Ibnu Katsir dan mayoritas ulama tetap lebih condong pada pendapat bahwa hidangan itu benar-benar turun, sebagaimana arah kuat yang ditunjukkan oleh ayat.
Wallāhu a‘lam, Allah-lah yang paling mengetahui hakikat kejadian itu.
Keajaiban Isa: Berjalan di Atas Air
Suatu ketika, para hawariyyun mencari Nabi Isa dan diberitahu bahwa beliau berjalan menuju laut. Mereka pun menyusul beliau. Ketika sampai di tepi laut, mereka melihat pemandangan yang tidak biasa. Isa sedang berjalan di atas permukaan air. Ombak sesekali mengangkat beliau dan menurunkannya, namun beliau tetap tenang, melangkah ringan tanpa rasa takut.
Beliau hanya mengenakan kain sederhana. Sebagian kain itu dipakai sebagai selendang menutup tubuh bagian atas, dan sisanya dijadikan sarung di bagian bawah.
Salah seorang hawariyyun yang menyaksikan itu berkata:
“Wahai Nabi Allah, bolehkah aku datang kepadamu?”
Isa menjawab, “Silakan.”
Orang itu pun meletakkan satu kakinya di atas air, dan ternyata ia bisa berdiri. Namun ketika hendak mengangkat kaki kedua dan melangkah, rasa takut tiba-tiba menguasai hatinya. Ia pun berseru cemas:
“Celaka, aku tenggelam, wahai Nabi Allah!”
Isa segera memegang tangannya sambil berkata:
“Tunjukkan tanganmu, wahai yang lemah imannya. Seandainya anak Adam memiliki keyakinan (yakin) sebesar sebutir jelai saja, niscaya ia bisa berjalan di atas air.”
Dalam riwayat lain, Isa pernah ditanya:
“Dengan apa engkau bisa berjalan di atas air?”
Beliau menjawab, “Dengan iman dan keyakinan.”
Orang-orang itu berkata, “Kami juga telah beriman seperti engkau, dan yakin sebagaimana engkau yakin.”
Isa menjawab, “Kalau begitu, berjalanlah.”
Mereka pun ikut turun ke atas permukaan laut dan berjalan bersama beliau. Pada awalnya mereka dapat melangkah, tetapi ketika ombak naik dan air bergelora, rasa takut menutup hati mereka. Mereka pun tenggelam. Isa kemudian menyelamatkan mereka dan bertanya:
“Apa yang terjadi dengan kalian?”
Mereka menjawab, “Kami takut kepada ombak.”
Isa berkata:
“Mengapa kalian tidak takut kepada Rabb Pemilik ombak?”
Dengan demikian, beliau mengajarkan bahwa bahaya bukan semata-mata datang dari ombak yang bergulung, melainkan dari lemahnya iman di hati dan kurangnya keyakinan kepada Allah.
Dunia dan Emas di Tangan Isa
Dalam sebuah peristiwa lain, Isa ingin memperlihatkan betapa rendahnya nilai dunia di matanya. Dikisahkan bahwa beliau mengulurkan tangannya ke tanah, menggenggam segenggam tanah, lalu ketika beliau membuka genggaman itu, di satu telapak tangannya terdapat emas, sementara di telapak tangan yang lain terdapat tanah liat atau kerikil biasa.
Beliau bertanya kepada orang-orang yang menyaksikannya:
“Manakah di antara keduanya yang lebih menyenangkan di hati kalian?”
Mereka serentak menjawab, “Yang ini, emas.”
Isa berkata dengan tenang:
“Keduanya sama saja bagiku.”
Demikianlah kezuhudan beliau. Di mata beliau, emas dan tanah tidak memiliki perbedaan berarti selama keduanya tidak mendekatkan diri kepada Allah dan tidak dijadikan sarana ketaatan. Dunia hanya akan bernilai bila ia digunakan sebagai jalan menuju ridha Allah.
Cara Hidup Nabi Isa: Sederhana dan Zuhud
Banyak riwayat dari kalangan salaf yang menceritakan kesederhanaan hidup Nabi Isa. Disebutkan bahwa beliau sering memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar. Beliau makan dari daun-daun pohon yang ada di hutan. Beliau tidak memiliki rumah tetap untuk bermalam, tidak berharta, tidak berkeluarga, dan tidak menyimpan apa pun untuk hari esok. Pagi hari beliau berangkat tanpa memiliki simpanan, sore harinya beliau kembali tanpa membawa tabungan, tetapi hatinya tetap tenang dan ridha.
Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa makanan beliau adalah dari hasil tenunan ibunya. Ini menggambarkan betapa beliau hidup dengan cara yang amat sederhana.
Diceritakan pula bahwa ketika disebutkan tentang hari Kiamat di hadapan beliau, Isa akan berteriak dan menangis, lalu berkata:
“Tidak pantas bagi putra Maryam, jika hari Kiamat disebut di hadapannya, lalu ia diam saja.”
Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa bila beliau mendengar mau‘izhah yang menyentuh hati, beliau berteriak seperti jeritannya seorang ibu yang kehilangan anak kesayangannya. Air mata beliau mengalir deras, menunjukkan betapa hidupnya hati beliau dalam mengingat Allah.
Dalam doa yang diriwayatkan dari beliau, Isa pernah berucap:
“Ya Allah, aku bangun pagi dalam keadaan tidak mampu menolak sesuatu yang aku benci, dan tidak mampu mendatangkan apa yang aku harapkan. Urusan diriku berada di tangan selain diriku. Aku terikat oleh amal perbuatanku sendiri. Maka tidak ada orang fakir yang lebih fakir daripada aku. Ya Allah, jangan Engkau buat musuhku bergembira karena musibahku, dan jangan Engkau timpakan keburukan kepada sahabatku melalui diriku. Jangan Engkau jadikan musibahku pada agamaku, dan jangan Engkau kuasakan atasku orang yang tidak memiliki belas kasih kepadaku.”
Nasihat-Nasihat Isa tentang Dunia
Banyak sekali ucapan hikmah Nabi Isa tentang dunia yang dikisahkan oleh para ulama salaf. Di antaranya beliau mengatakan bahwa cinta dunia adalah pangkal setiap kesalahan. Menurut beliau, pandangan yang tidak dijaga akan menanamkan benih syahwat di dalam hati, dan tidak sedikit syahwat yang akan berakhir dengan kesedihan panjang bagi pelakunya.
Isa juga dinukil berkata kepada manusia:
“Wahai anak Adam yang lemah, bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Jadilah engkau di dunia seperti seorang tamu. Jadikanlah masjid-masjid sebagai rumahmu. Ajarilah matamu untuk menangis, jasadmu untuk bersabar, dan hatimu untuk bertafakkur. Jangan kau sibukkan dirimu dengan mengkhawatirkan rezeki esok hari, karena itu akan menyeretmu kepada kesalahan.”
Dalam perumpamaan lain beliau berkata:
“Seseorang di antara kalian tidak akan pernah mampu membangun rumah di atas gelombang laut. Maka janganlah menjadikan dunia sebagai tempat tinggal yang tetap.”
Dari riwayat lain disebutkan bahwa beliau pernah menasehati Bani Israil dengan berkata kurang lebih:
“Wahai Bani Israil, cukupkanlah diri kalian dengan air yang bening, sayuran yang sederhana, dan roti dari jelai. Jauhilah roti gandum yang halus dan mewah, karena kalian tidak akan sanggup menunaikan syukur untuk itu.”
Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa beliau berkata:
“Lintasilah dunia, jangan kalian bangun dan memakmurkannya seakan-akan kalian akan tinggal selamanya di dalamnya.”
Sufyan ats‑Tsauri meriwayatkan ucapan Isa:
“Tidak akan lurus dalam hati seorang mukmin cinta dunia dan cinta akhirat sekaligus, sebagaimana air dan api tidak akan bisa bercampur dalam satu bejana.”
Dalam ucapan lain Isa menggambarkan pencari dunia sebagai orang yang minum air laut. Semakin ia minum, rasa hausnya semakin menjadi-jadi, sampai akhirnya ia binasa karena apa yang ia minum itu sendiri.
Beliau juga menjelaskan bahwa setan selalu mengintai melalui pintu dunia: ia menipu manusia dengan harta, menghiasi maksiat dengan hawa nafsu, dan sangat kuat menguasai mereka pada saat syahwat membara.
Tentang Rezeki: Burung dan Binatang Liar
Dalam nasihatnya tentang tawakal, Isa pernah mengajak manusia untuk memperhatikan burung-burung. Ia menggambarkan bagaimana burung-burung itu berangkat di pagi hari dan kembali di sore hari dalam keadaan perut kenyang, padahal mereka tidak memiliki ladang, tidak membajak, dan tidak menuai. Namun Allah tetap memberikan rezeki kepada mereka.
Jika manusia beralasan bahwa perut mereka lebih besar dan kebutuhan mereka lebih banyak daripada burung, Isa mengajak mereka melihat binatang-binatang liar di padang, seperti keledai dan hewan besar lainnya. Mereka juga pergi dan pulang setiap hari tanpa ladang, tanpa panen, dan tetap diberi rezeki oleh Allah.
Dengan cara itu, beliau ingin menanamkan keyakinan bahwa rezeki berada di tangan Allah, bukan semata-mata di tangan sebab-sebab duniawi. Manusia tetap harus berusaha, tetapi bergantung sepenuhnya hanya kepada Rabb semesta alam.
Isa Melewati Kota yang Hancur
Ada sebuah kisah yang sangat menyentuh tentang Isa dan sebuah kota yang telah hancur. Suatu hari beliau melewati sebuah kota yang dulunya megah, penuh dengan istana, sungai, dan pepohonan. Kini semuanya runtuh. Sungai-sungainya kering, pepohonannya gersang, istana-istananya tinggal puing. Kota itu seakan menjadi saksi bisu bahwa dunia tidak kekal.
Isa memandang kota itu dengan takjub. Lalu beliau berdoa:
“Wahai Rabbku, perintahkanlah kota ini agar menjawab panggilanku.”
Allah pun mewahyukan kepada kota itu agar menjawab Isa. Maka terdengarlah suara seakan kota itu berbicara:
“Wahai Isa, kekasihku, apa yang engkau inginkan dariku?”
Isa bertanya:
“Apa yang terjadi dengan pepohonanmu? Apa yang terjadi dengan sungai-sungaiku? Di mana istana-istana megahmu? Ke mana pendudukmu?”
Kota itu menjawab:
“Telah datang janji Rabbmu yang benar. Pepohonanku mengering, sungai-sungaiku surut, istana-istana runtuh, dan semua pendudukku telah mati.”
Isa kembali bertanya:
“Lalu di mana harta-harta mereka yang dahulu mereka kumpulkan?”
Kota itu menjawab:
“Mereka mengumpulkannya dari yang halal dan yang haram. Sekarang semuanya tertimbun di dalam perutku. Kepunyaan Allah-lah warisan langit dan bumi.”
Mendengar jawaban itu, Isa pun menyeru dengan suara yang penuh pelajaran:
“Aku heran terhadap tiga jenis manusia. Pertama, orang yang mengejar dunia, sementara kematian mengejarnya. Kedua, orang yang membangun istana, padahal kubur adalah rumah tinggalnya. Ketiga, orang yang tertawa terbahak-bahak, sementara neraka berada di hadapannya.
Wahai anak Adam, engkau tidak pernah kenyang dengan yang banyak, dan tidak pernah puas dengan yang sedikit. Engkau mengumpulkan hartamu untuk orang yang tidak akan memujimu setelah engkau mati. Engkau akan menghadap Rabb yang tidak menerima alasan dan uzurmu. Engkau adalah hamba perutmu dan syahwatmu. Perutmu baru benar-benar penuh justru ketika engkau dimasukkan ke dalam kuburmu. Wahai anak Adam, kelak engkau akan melihat harta-hartamu berada di timbangan orang lain.”
Nasihat kepada Para Hawariyyun
Isa sering memberikan nasihat langsung kepada para hawariyyun. Suatu ketika beliau mengingatkan mereka agar rela hidup sederhana di dunia demi keselamatan agama. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang mencintai dunia rela mengorbankan agamanya demi kenikmatan sesaat, maka orang yang mencintai akhirat seharusnya rela mengorbankan sebagian kesenangan dunia demi keselamatan agama dan akhiratnya.
Beliau juga berkata kepada mereka bahwa orang yang mencari surga Firdaus harus siap menerima kerasnya hidup. Menurut beliau, jika seseorang betul-betul menginginkan surga tertinggi itu, maka makan roti jelai yang kasar, bahkan bercampur abu, dan tidur di tempat sampah bersama anjing sekalipun, masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan kemuliaan surga yang ia kejar.
Dalam nasihat lain, beliau menggambarkan bahwa simpanan berharga seorang mukmin semestinya ia letakkan di langit, bukan di bumi. Hati manusia, kata beliau, selalu terpaut kepada tempat di mana hartanya ia simpan. Jika hartanya di bumi, hatinya akan tertarik ke bumi. Tetapi jika simpanannya ada di sisi Allah, maka hatinya akan tertarik ke langit.
Nasihat tentang Ilmu dan Para Ulama
Isa juga sangat menekankan pentingnya ilmu yang diamalkan. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda bahwa orang yang mempelajari ilmu, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, lalu mengamalkannya dalam keseharian, akan diseru sebagai orang yang agung di kerajaan langit.
Beliau mengingatkan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat di hadapan kesulitan hidup dan tidak menolong pemiliknya dalam menempuh perjalanan akhirat, tidak ada kebaikan padanya. Ilmu yang baik adalah yang bisa menemani pemiliknya di dunia dan berguna pula di hadapan Allah kelak.
Suatu ketika, Isa berdiri di hadapan Bani Israil dan berkata bahwa hikmah harus diberikan kepada orang yang memang menginginkannya dan layak menerimanya. Jika hikmah diberikan kepada orang yang tidak menghargainya, maka itu seperti melemparkan mutiara ke hadapan babi. Babi tidak akan menyadari nilai mutiara itu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Menurut beliau, hikmah itu lebih berharga daripada mutiara, dan orang yang menolaknya lebih buruk daripada babi yang tidak mampu memanfaatkannya.
Beliau juga memperingatkan tentang bahayanya kesalahan seorang alim. Menurut beliau, tergelincirnya seorang alim adalah fitnah paling berat bagi manusia, karena ketika seorang alim jatuh, banyak orang yang mengikutinya jatuh bersama-sama.
Tentang ulama yang buruk, Isa berkata dengan sangat keras. Beliau menyebut mereka sebagai orang-orang yang menjadikan dunia di atas kepala mereka dan akhirat di bawah telapak kaki mereka. Ucapan mereka menyejukkan, seperti obat, tetapi perbuatan mereka justru seperti penyakit. Mereka ibarat pohon yang tampak indah dari jauh, tetapi beracun dan mematikan jika dimakan.
Beliau mengatakan bahwa ulama semacam itu duduk di pintu-pintu surga. Mereka sendiri tidak masuk ke dalamnya, dan mereka pun tidak rela melihat orang-orang miskin dan lemah masuk ke dalamnya. Menurut beliau, seburuk-buruk manusia di sisi Allah adalah alim yang menggunakan ilmu untuk mengejar dunia.
Akhlak Lembut Isa: Menjamu Tamu dan Menjaga Lisan
Isa dikenal sangat lembut dan penuh kasih. Diriwayatkan bahwa beliau biasa menyiapkan makanan untuk sahabat-sahabatnya, lalu berdiri melayani mereka satu per satu. Sambil melakukannya, beliau menganjurkan agar mereka memperlakukan tamu dengan cara seperti itu: menghormati, melayani, dan memuliakan.
Pernah pula seorang wanita memuji beliau dengan berkata:
“Berbahagialah rahim yang mengandungmu dan payudara yang menyusui engkau.”
Isa menjawab dengan mengarahkan pujian itu kepada amal:
“Berbahagialah orang yang membaca Kitab Allah dan mengikutinya.”
Beliau juga menyebut kebahagiaan bagi orang yang menangis mengingat dosa-dosanya, menjaga lisannya dari ucapan buruk, dan merasa cukup dengan rumahnya sehingga tidak banyak keluar untuk hal-hal yang sia-sia. Beliau menyebut beruntung pula mata yang ketika tidur tidak sibuk merancang maksiat, lalu ketika bangun tidak melakukan dosa.
Ada satu kisah yang indah ketika Isa dan para sahabatnya melewati bangkai seekor hewan. Para sahabat berkata, “Betapa busuk baunya.” Isa justru berkata, “Lihatlah betapa putih giginya.” Dengan jawaban itu, beliau ingin mengajarkan untuk tidak hanya melihat sisi buruk sesuatu dan melontarkan komentar yang tak bermanfaat, serta mengingatkan agar menjauhi ghibah dan kebiasaan membicarakan keburukan.
Tersenyum, Muram, dan Sikap Seimbang
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Isa pernah berjumpa dengan Nabi Yahya ‘alaihis salam. Mereka adalah kerabat dekat dan sama-sama nabi yang mulia. Ketika itu Isa menyalami Yahya dengan wajah yang tersenyum. Yahya berkata:
“Wahai anak bibiku, mengapa aku melihatmu tersenyum, seakan-akan engkau telah merasa aman dari azab Allah?”
Isa menjawab:
“Wahai anak bibiku, mengapa aku melihatmu bermuka muram, seakan-akan engkau telah berputus asa dari rahmat Allah?”
Allah kemudian mewahyukan kepada keduanya, bahwa di antara mereka berdua, yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling ramah terhadap saudaranya. Dari sini dapat dipahami bahwa keseriusan dalam beragama tidak harus ditunjukkan dengan wajah muram dan tertutup, dan rasa takut kepada Allah tidak boleh berubah menjadi putus asa. Yang dicintai Allah adalah hati yang hidup, yang mengenal takut dan harap, diiringi dengan kelembutan dan keramahan kepada sesama.
Mengingat Mati dan Sempitnya Kubur
Ada kisah lain yang memperlihatkan cara Isa mendidik hati manusia agar tidak terperdaya oleh dunia. Beliau dan sahabat-sahabatnya pernah berdiri di dekat sebuah kubur, sementara jenazah sedang diturunkan ke dalamnya. Orang-orang yang hadir mulai membicarakan sempit dan gelapnya kubur, dan betapa menakutkannya tempat itu.
Isa berkata kepada mereka:
“Kalian dahulu pernah berada di suatu tempat yang lebih sempit daripada ini, yaitu di dalam rahim ibu kalian. Jika Allah menghendaki untuk melapangkan tempat seperti itu, Dia akan melapangkannya.”
Dengan kata lain, sempit dan lapangnya kubur bukan semata-mata urusan ukuran fisik tanah, melainkan bergantung pada rahmat Allah kepada hamba-Nya. Bagi orang yang dicintai Allah, kubur yang sempit pun akan menjadi lapang dan menenangkan.
Diceritakan pula bahwa rasa takut Isa kepada Allah sangat besar. Sampai-sampai ketika beliau benar-benar mengingat kematian, kulitnya seakan mengeluarkan tetesan darah, menggambarkan betapa kuatnya rasa takut dan harap dalam hati beliau.
Penutup
Demikian rangkaian kisah tentang hidangan dari langit dan potret kezuhudan serta hikmah-hikmah Nabi Isa ‘alaihissalam yang dinukil oleh para ulama dari riwayat-riwayat salaf. Sebagian riwayat memiliki kekuatan yang tinggi, sebagian lainnya lemah atau berasal dari kisah Bani Israil. Namun keseluruhan gambaran ini menunjukkan:
- Betapa besar amanah sebuah nikmat ketika Allah menurunkan tanda kebesaran-Nya, seperti hidangan dari langit.
- Kekuatan iman dan tawakal, yang diilustrasikan dalam kisah berjalan di atas air dan cara beliau memandang dunia.
- Kezuhudan Isa, yang menjadikan masjid sebagai rumah, rasa lapar sebagai lauk, dan takut kepada Allah sebagai selimut batin.
- Kerasnya peringatan terhadap cinta dunia, ulama yang buruk, dan ilmu yang tidak diamalkan.
- Lembutnya akhlak beliau dalam menjamu sahabat, menjaga lisan, dan cara beliau menasihati dengan kisah-kisah yang menyentuh.
Semoga kisah-kisah ini menambah rasa cinta kita kepada para nabi Allah, menguatkan iman dan tawakal, serta menumbuhkan sikap sederhana terhadap dunia dan kesungguhan dalam mempersiapkan akhirat.
Sumber utama kisah:
Ibnu Katsir, Qashash al‑Anbiya’ (bagian dari Al‑Bidayah wa an‑Nihayah)

Komentar
Posting Komentar