Kisah Dzul-Kifl: Nabi atau Hamba Saleh? Penjelasan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis


1. Siapakah Dzul-Kifl?

Para ulama meriwayatkan kisah seorang hamba saleh yang dikenal dengan nama Dzul-Kifl.

Sebagian ulama dahulu ada yang mengatakan:

“Dzul-Kifl adalah putra Nabi Ayyub, ‘alaihimas-salām.”

Namun pendapat ini bukan satu-satunya. Ada perbedaan di kalangan ulama:

  • Sebagian mengatakan ia seorang nabi,
  • Sebagian lagi mengatakan ia seorang hamba saleh dan hakim yang adil, bukan nabi.

Imam Ibnu Katsir, setelah mengumpulkan dalil-dalil, menyebut bahwa pendapat yang lebih masyhur:

Dzul-Kifl adalah seorang nabi, karena cara Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an digandengkan dengan para nabi besar dan dipuji dengan pujian yang agung.

Namun beliau juga menyebutkan riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai nabi, tetapi “hanya” seorang hamba saleh yang luar biasa.


2. Dzul-Kifl dalam Al-Qur’an

Nama Dzul-Kifl disebut dua kali dalam Al-Qur’an.

a. Dalam Surah Al-Anbiyā’ (21): 85–86

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ ۖ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ وَأَدْخَلْنَاهُمْ فِي رَحْمَتِنَا ۖ إِنَّهُم مِّنَ الصَّالِحِينَ

Artinya secara ringkas:
“Dan (ingatlah) Ismā‘īl, Idrīs, dan Dzul-Kifl; semuanya termasuk golongan orang-orang yang sabar. Dan Kami masukkan mereka ke dalam rahmat Kami; sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh.”

b. Dalam Surah Shād (38): 45–48

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ وَاذْكُرْ إِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ ۖ وَكُلٌّ مِّنَ الْأَخْيَارِ

Secara ringkas:

  • Allah memuji Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub sebagai hamba-hamba-Nya yang kuat dan tajam pandangannya,
  • Menyebut mereka sebagai orang-orang pilihan dan terbaik,
  • Lalu menyambung pujian itu dengan: Ismail, al-Yasa‘, dan Dzul-Kifl, dan menegaskan:

    “Dan mereka semua termasuk orang-orang yang baik.”

Dari cara penyebutan ini, banyak ulama memahami bahwa Dzul-Kifl ditempatkan pada derajat yang sangat tinggi, dan kemungkinan besar ia adalah nabi.


3. Apakah Dzul-Kifl Nabi atau Hamba Saleh?

  • Pendapat yang masyhur:
    Ia adalah seorang nabi, karena:

    • Disebut bersama para nabi besar,
    • Dipuji sebagai “sabar”, “saleh”, dan “termasuk orang-orang pilihan yang baik”.
  • Pendapat lain:
    Ia bukan nabi, melainkan:

    • Seorang laki-laki saleh,
    • Seorang hakim yang adil, yang menunaikan tugas memutuskan perkara di tengah kaumnya dengan penuh keadilan.

Imam ath-Thabari (Ibnu Jarir) sampai tawaqquf (berhenti di tengah, tidak memastikan), dan berkata:

“Allah lebih mengetahui (hakikat kedudukannya).”

Riwayat dari Mujahid juga menyatakan bahwa Dzul-Kifl bukan nabi, tetapi:

Seorang laki-laki saleh yang menanggung (berjanji) untuk mengurus urusan kaumnya dan memutuskan perkara di antara mereka dengan adil. Karena “tanggungan”-nya itulah ia dinamai Dzul-Kifl (pemilik tanggungan).


4. Kisah Dzul-Kifl sebagai Pengganti Nabi Al-Yasa‘

Salah satu kisah paling terkenal tentang Dzul-Kifl diriwayatkan dari Mujahid, dan dikuatkan oleh sejumlah atsar dari para salaf. Kisahnya sebagai berikut.

a. Al-Yasa‘ Mencari Pengganti

Ketika Nabi al-Yasa‘ (‘alaihissalām) sudah tua dan lemah, ia mulai memikirkan siapa yang akan menggantikannya memimpin kaumnya.

Ia berkata dalam hatinya kira-kira:

“Seandainya aku memilih seorang laki-laki untuk menggantikan posisiku memimpin manusia di masa hidupku, sehingga aku bisa melihat, bagaimana ia menjalankan tugasnya?”

Lalu ia mengumpulkan manusia dan mengumumkan sebuah syarat yang sangat berat.

Ia berkata di hadapan orang-orang:

“Siapa yang sanggup menerima dariku tiga perkara, maka akan kuangkat ia sebagai pengganti: Berpuasa setiap siang hari, Bangun (shalat) setiap malam hari, dan tidak marah.”

Orang-orang terdiam. Syarat itu sangat berat, nyaris mustahil secara manusiawi.

Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki yang secara penampilan tampak biasa saja, bahkan “dipandang remeh oleh mata”. Ia berkata dengan tenang:

“Saya sanggup.”

Al-Yasa‘ memandangnya dan seakan ingin memastikan:

“Apakah engkau sanggup berpuasa di siang hari, bangun (shalat) di malam hari, dan tidak marah?”

Ia menjawab mantap:

“Ya, saya sanggup.”

Hari itu al-Yasa‘ belum langsung menetapkannya. Keesokan harinya, ia mengulangi lagi pengumuman yang sama dengan syarat yang sama. Orang-orang masih diam. Laki-laki itu kembali berdiri dan berkata:

“Saya.”

Kali ini al-Yasa‘ melihat kesungguhannya. Maka ia pun mengangkatnya sebagai pengganti memimpin manusia setelahnya. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Dzul-Kifl.

b. Ujian Besar: Godaan Iblis

Kematangan iman seseorang tidak tampak hanya dari ucapannya, tetapi dari ujian yang ia lalui. Dzul-Kifl pun tidak dibiarkan tanpa ujian.

Ketika Iblis mendengar bahwa ada seorang hamba yang:

  • Berpuasa di siang hari,
  • Shalat di malam hari,
  • Dan berjanji untuk tidak marah,

Iblis berkata kepada para setan:

“Perhatikanlah orang itu! Uruslah dia!”

Para setan pun mencoba mengganggunya dengan berbagai cara, namun semuanya gagal. Ketika Iblis melihat para pengikutnya tidak mampu, ia berkata:

“Biarkan aku yang mengurusnya sendiri.”

c. Datangnya “Kakek Tua yang Teraniaya”

Suatu hari, ketika Dzul-Kifl hendak tidur siang (qailulah)—satu-satunya waktu istirahatnya, karena malam ia gunakan untuk shalat, dan siang untuk berpuasa dan berurusan dengan manusia—tiba-tiba pintunya diketuk.

Dzul-Kifl bertanya:

“Siapa di sana?”

Suara dari balik pintu menjawab, dengan nada lemah:

“Seorang kakek tua yang teraniaya.”

Dzul-Kifl bangun dan membukakan pintu. Ia melihat seorang lelaki tua, miskin, wajahnya menunjukkan kesedihan dan keletihan.

Kakek itu mulai bercerita:

“Antara aku dan kaumku ada perselisihan. Mereka menzalimiku, mereka berbuat begini dan begitu kepadaku…”

Ia bercerita panjang lebar, dengan detail yang panjang, sampai waktu tidur siang berlalu dan hari sudah berjalan menuju sore.

Dzul-Kifl mendengarkan dengan sabar, lalu berkata:

“Jika aku sudah pergi (ke majelis pengadilan), aku akan mengambilkan hakmu.”

Kakek itu pun pergi.

d. Dicari, Namun Tak Pernah Datang

Ketika Dzul-Kifl sudah duduk di majelisnya—tempat ia memutuskan perkara di antara manusia—ia menunggu kedatangan kakek itu untuk menuntut haknya. Ia terus menoleh dan memperhatikan orang-orang yang datang, tetapi kakek itu tidak muncul.

Keesokan harinya, Dzul-Kifl kembali memutuskan perkara manusia sambil terus menanti. Namun, kembali kakek itu tidak datang.

Ketika tiba waktu tidur siang, ia kembali ke rumahnya dan berbaring. Tiba-tiba pintu diketuk lagi.

“Siapa di sana?”

“Kakek tua yang teraniaya.”

Dzul-Kifl membukakan pintu. Ia berkata:

“Bukankah telah kukatakan kepadamu, jika aku telah duduk (di majelis), datanglah menemuiku?”

Kakek itu menjawab dengan keluhan:

“Mereka adalah kaum yang jahat. Jika mereka tahu engkau sedang duduk (di majelis), mereka berkata: ‘Kami akan memberikan hakmu.’ Tetapi jika engkau sudah bangkit (pulang), mereka mengingkarinya lagi.”

Mendengar itu, Dzul-Kifl berkata:

“Kalau begitu, pergilah sekarang. Jika aku sudah berada di majelisku, datanglah kepadaku.”

Kakek itu pergi. Lagi-lagi Dzul-Kifl kehilangan kesempatan tidur siang.

e. Mengunci Pintu — dan Iblis Menyusup dari Atas

Rasa kantuk makin berat. Suatu hari ia berkata kepada keluarganya:

“Jangan biarkan seorang pun mendekati pintu ini sampai aku tertidur. Sungguh aku sudah sangat kepayahan menahan kantuk.”

Ia pun masuk dan mengunci pintu dari dalam.

Pada saat itulah, “kakek tua” itu datang lagi. Ia hendak mendekati pintu, namun penjaga berkata:

“Mundur, mundur. Ia sedang istirahat dan melarang siapa pun mendekatinya.”

Kakek itu berkata:

“Aku sudah datang kepadanya kemarin dan menyebutkan perkaraku kepadanya!”

Penjaga berkata:

“Tidak, demi Allah. Ia telah memerintahkan kami agar tidak membiarkan seorang pun mendekatinya.”

Ketika jalan pintu tertutup, “kakek” itu melirik ke arah rumah dan melihat sebuah lubang kecil (celah/jendela tinggi) di dinding. Ia pun memanjat dan menyusup lewat celah itu.

Tiba-tiba ia sudah berada di dalam rumah, lalu ia mengetuk pintu dari dalam.

Dzul-Kifl terbangun dan berkata kepada penjaga:

“Wahai Fulan, bukankah telah kuperintahkan (agar tidak ada yang masuk)?”

Penjaga menjawab terkejut:

“Demi Allah, dari arah kami, tidak ada seorang pun yang masuk. Coba lihat dari mana engkau dimasuki.”

Dzul-Kifl bangkit dan melihat pintu. Ternyata pintu itu masih tertutup sebagaimana ia menguncinya. Namun “kakek tua” itu sudah berdiri di dalam ruangan bersamanya.

Saat itulah Dzul-Kifl menyadari siapa sosok itu sebenarnya.

Ia berkata:

“Wahai musuh Allah!”

Sosok itu menjawab:

“Ya, aku adalah (Iblis). Engkau telah membuatku letih dalam setiap cara (untuk menyesatkan dan membuatmu marah). Karena itu aku melakukan semua yang kau lihat ini, hanya untuk membuatmu marah.”

Namun Dzul-Kifl tetap tidak meledak marah. Ia mampu menahan diri. Ia setia pada janjinya: berpuasa di siang hari, shalat di malam hari, dan tidak marah, sekalipun dipermainkan sedemikian rupa oleh Iblis sendiri.

Karena ia menanggung sebuah komitmen berat dan menunaikannya dengan sempurna, Allah menamakannya:

ذو الكفل – Dzul-Kifl –
“Pemilik tanggungan”, atau “yang mengambil beban dan menunaikannya”.


5. Riwayat Lain: Dzul-Kifl dan Seratus Rakaat

Ada riwayat lain dari Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallāhu ‘anhu yang menyatakan:

“Dzul-Kifl itu bukan nabi, tetapi seorang laki-laki saleh.
Ada seorang ahli ibadah yang shalat seratus rakaat setiap hari. Setelah ia wafat, Dzul-Kifl menanggung (berjanji) untuk melanjutkan amal itu setelahnya.
Maka Dzul-Kifl pun shalat seratus rakaat setiap hari, dan karena itulah ia dinamai Dzul-Kifl.”

Riwayat ini menguatkan sisi bahwa:

  • Nama “Dzul-Kifl” berhubungan dengan tanggung jawab besar yang ia ambil,
  • Baik itu berupa tugas kehakiman dan kepemimpinan,
  • Maupun berupa komitmen ibadah yang sangat berat dan konsisten.

6. Kisah Lain: “Al-Kifl” dari Bani Israil

(Bukan Dzul-Kifl yang Disebut di Al-Qur’an)

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga oleh at-Tirmidzi, tentang seorang lelaki bernama “al-Kifl” dari Bani Israil. Ibnu Katsir menegaskan bahwa kemungkinan besar ini bukan Dzul-Kifl yang disebut dalam Al-Qur’an, karena:

  • Lafaz hadis hanya menyebut: “الكِفل” (al-Kifl),
  • Tanpa tambahan “ذو” (Dzul),
  • Dan sifat-sifatnya berbeda.

Berikut ringkasan kisahnya:

a. Seorang Pendosa Besar

Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki dari Bani Israil bernama al-Kifl. Ia adalah orang yang:

“Tidak pernah menahan diri dari dosa apa pun. Setiap maksiat yang ia inginkan, ia lakukan, tanpa rasa takut kepada Allah.”

Suatu hari, datanglah seorang wanita kepadanya. Ia sangat membutuhkan uang. Al-Kifl pun menawarinya:

  • Ia memberi wanita itu enam puluh dinar,
  • Dengan syarat: wanita itu mengizinkannya berzina dengannya.

Wanita itu, karena sangat terdesak, menerimanya.

b. Titik Balik: Tangis Seorang Wanita

Ketika al-Kifl sudah duduk di hadapan wanita itu seperti posisi seorang suami terhadap istrinya—siap melakukan perbuatan zina—tiba-tiba tubuh wanita itu gemetar dan ia menangis.

Al-Kifl terkejut dan berkata:

“Apa yang membuatmu menangis? Apakah aku memaksamu?”

Wanita itu menjawab dengan jujur:

“Tidak. Engkau tidak memaksaku.
Tetapi perbuatan ini belum pernah aku lakukan sama sekali. Yang mendorongku hanyalah kebutuhan (kemiskinan).”

Mendengar itu, seakan ada cahaya hidayah yang masuk ke dalam hati al-Kifl. Ia berkata:

“Jadi engkau melakukan ini, padahal engkau belum pernah melakukannya sama sekali?!”

Tiba-tiba rasa iba, takut kepada Allah, dan penyesalan menyelimuti dirinya. Ia segera turun dari posisi itu, menjauh darinya, dan berkata:

“Pergilah.
Uang dinar itu milikmu (halal bagimu karena kebutuhanmu).
Demi Allah, mulai sekarang al-Kifl tidak akan pernah lagi bermaksiat kepada Allah selama-lamanya.”

Ia pun bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh.

c. Kabar Gembira di Pagi Hari

Malam itu, al-Kifl meninggal dunia.

Ketika pagi tiba, orang-orang mendapati sebuah tulisan di pintu rumahnya:

Sungguh Allah telah mengampuni al-Kifl.

Ibnu Katsir menyebutkan, jika hadis ini shahih, maka:

  • Ini adalah kisah seorang lelaki lain bernama al-Kifl,
  • Bukan Dzul-Kifl yang disebut dalam dua ayat Al-Qur’an tadi.

7. Pelajaran dari Kisah-Kisah Ini

Beberapa pelajaran penting yang bisa diambil:

  1. Menepati Janji dan Komitmen
    Dzul-Kifl menjadi mulia karena ia menanggung beban yang sulit—puasa siang, shalat malam, tidak marah, memimpin dengan adil—dan ia menepatinya sampai akhir. Allah menamainya dengan nama yang mengabadikan komitmen itu.

  2. Kesabaran Menghadapi Ujian
    Sampai Iblis sendiri turun tangan untuk menggodanya, Dzul-Kifl tetap:

    • Sabar,
    • Tidak marah secara melampaui batas,
    • Tetap lurus di atas janjinya.
  3. Keadilan dan Kepedulian Sosial
    Riwayat-riwayat menyebut bahwa Dzul-Kifl menanggung urusan kaumnya dan mengadili di antara mereka dengan adil. Ia tidak hanya ahli ibadah, tetapi juga pelayan masyarakat.

  4. Pintu Taubat Selalu Terbuka
    Dari kisah al-Kifl (yang bukan Dzul-Kifl), kita belajar:

    • Seseorang bisa jadi sangat tenggelam dalam dosa,
    • Namun sebuah momen kejujuran dan ketakutan kepada Allah bisa mengubah seluruh hidupnya,
    • Taubat yang tulus dapat menghapus masa lalu yang buruk.
  5. Tidak Mudah Mengklaim Tanpa Ilmu
    Para ulama besar seperti Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir mengajarkan sikap ilmiah:

    • Ada masalah yang mereka tegaskan,
    • Ada yang mereka sebut sebagai perbedaan pendapat,
    • Dan ada yang mereka serahkan kepada Allah dengan berkata: “Allah lebih mengetahui.”

Sumber Kisah :

  • Ibnu Katsir,
    Qashash al-Anbiyā’ min al-Bidāyah wa an-Nihāyah,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang