Kisah Abu Bakar dan Pembatalan Piagam Boikot Quraisy terhadap Bani Hasyim
Makkah yang Menyesakkan
Pada tahun-tahun dakwah di Makkah, keadaan kaum Muslimin semakin berat. Kaum Quraisy kian keras mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa sejak ia mulai mengerti, ia sudah mendapati kedua orang tuanya – Abu Bakar dan ibunya – telah memeluk Islam. Hampir tidak ada satu hari pun berlalu, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah mereka, pagi dan petang, untuk mengajarkan agama dan menguatkan hati mereka.
Namun tekanan Quraisy terus meningkat. Sebagian Muslim sudah berhijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia) untuk menyelamatkan iman mereka. Abu Bakar termasuk orang yang merasakan beratnya gangguan itu, sampai Makkah terasa begitu sempit baginya.
Tekad Abu Bakar untuk Hijrah ke Habasyah
Melihat kerasnya permusuhan Quraisy terhadap Rasulullah dan para sahabat, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu meminta izin kepada Nabi untuk berhijrah ke Habasyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya.
Abu Bakar pun berangkat meninggalkan Makkah, berniat menuju Habasyah. Ia berjalan hingga menempuh jarak sekitar satu–dua hari perjalanan dari Makkah, sampai ke suatu tempat yang bernama Bark al-Ghimad, ke arah laut.
Di tempat itulah ia bertemu dengan seorang pemuka kabilah, yang dikenal dengan nama Ibnu ad-Dughinnah. Dalam satu riwayat disebut ia sebagai pemuka kabilah al-Qārah, dalam riwayat lain ia juga dikenal sebagai pemuka al-Ahābisy. Ia adalah seorang tokoh berpengaruh di kalangan kabilah-kabilah sekutu Quraisy.
Melihat Abu Bakar berjalan sendirian, ia bertanya:
“Wahai Abu Bakar, engkau hendak ke mana?”
Abu Bakar menjawab dengan jujur:
“Kaumku telah mengusirku. Aku ingin mengembara di muka bumi dan beribadah kepada Tuhanku.”
Ibnu ad-Dughinnah terkejut. Ia mengenal baik sosok Abu Bakar di mata masyarakat. Ia berkata:
“Orang sepertimu, wahai Abu Bakar, tidak pantas keluar dan tidak pantas diusir. Engkau memberi kepada orang yang tidak punya, engkau menyambung silaturahmi, engkau menanggung beban orang lain, memuliakan tamu, dan membantu menghadapi musibah demi kebenaran. Aku menjadi pelindungmu. Kembalilah, dan beribadahlah kepada Tuhanmu di negerimu sendiri.”
Abu Bakar menerima tawaran itu. Ia kembali ke Makkah bersama Ibnu ad-Dughinnah.
Perlindungan di Bawah Jiwar Ibnu ad-Dughinnah
Sesampainya di Makkah, Ibnu ad-Dughinnah mengumpulkan para pembesar Quraisy. Ia berdiri dan mengumumkan:
“Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan (jiwar) kepada putra Abu Quhafah. Tidak boleh ada seorang pun yang mengganggunya kecuali dengan kebaikan.”
Quraisy, yang masih menghormati tradisi perlindungan kabilah, tidak menolak pengumuman itu. Mereka hanya mengajukan satu syarat kepada Ibnu ad-Dughinnah:
“Suruhlah Abu Bakar agar beribadah kepada Tuhannya di dalam rumahnya saja. Biarkan ia shalat dan membaca (Al-Qur’an) di rumahnya sesukanya, tapi jangan menampakkannya di depan umum. Kami khawatir istri-istri dan anak-anak kami akan terpengaruh.”
Ibnu ad-Dughinnah menyampaikan syarat itu kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar pun menerimanya pada awalnya. Ia beribadah dan membaca Al-Qur’an di rumah tanpa menampakkan secara terang-terangan.
Masjid Kecil di Halaman Rumah Abu Bakar
Beberapa waktu kemudian, Abu Bakar merasa perlu untuk lebih leluasa beribadah. Ia pun membangun sebuah tempat shalat kecil seperti masjid di halaman depan rumahnya, di kawasan Bani Jumah.
Di sanalah ia sering shalat dan membaca Al-Qur’an. Abu Bakar mempunyai hati yang sangat lembut. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia menangis tersedu-sedu. Suaranya, tangisnya, dan kekhusyukannya menarik perhatian orang-orang.
Anak-anak, para budak, dan kaum wanita Quraisy sering berdiri di dekat masjid kecil itu. Mereka kagum melihat keadaan Abu Bakar, mendengar bacaannya, dan menyaksikan tangisannya. Hati-hati yang lemah di tengah masyarakat musyrik mulai terusik oleh bacaan Al-Qur’an yang menyentuh.
Berita ini sampai kepada para pembesar Quraisy. Mereka merasa khawatir pengaruhnya akan meluas.
Protes Quraisy dan Pilihan Besar Abu Bakar
Para pemuka Quraisy kembali memanggil Ibnu ad-Dughinnah. Mereka berkata:
“Kami dulu menyetujui perlindunganmu kepada Abu Bakar dengan syarat ia beribadah di dalam rumahnya, tidak menampakkan diri. Sekarang ia telah melampaui kesepakatan itu. Ia membangun masjid di halaman rumahnya, dan menampakkan shalat serta bacaannya. Kami khawatir wanita dan anak-anak kami akan terfitnah. Laranglah ia. Bila ia mau kembali membatasi diri di dalam rumah, silakan. Jika tidak, mintalah ia mengembalikan jaminanmu, karena kami tidak ingin merusak kehormatanmu, tetapi kami juga tidak akan membiarkan Abu Bakar terus menampakkan ibadahnya.”
Ibnu ad-Dughinnah kemudian datang menemui Abu Bakar. Dengan jujur ia berkata:
“Engkau sudah tahu perjanjian yang kubuat untukmu dengan mereka. Kini, engkau harus memilih: apakah engkau membatasi diri sesuai kesepakatan; atau engkau kembalikan jaminanku kepadaku. Aku tidak ingin orang-orang Arab mendengar bahwa kehormatanku diabaikan dalam diri seorang lelaki yang sudah kuikat perjanjian untuknya.”
Abu Bakar menjawab dengan penuh keyakinan:
“Aku kembalikan perlindunganmu kepadamu. Aku ridha dengan perlindungan Allah ‘azza wa jalla.”
Sejak saat itu, Abu Bakar tidak lagi berada di bawah perlindungan seorang tokoh kabilah. Perlindungannya adalah Allah semata.
Ujian Setelah Melepas Perlindungan
Setelah ia melepaskan jiwar itu, ia kembali merasakan kerasnya gangguan Quraisy. Suatu hari, ketika ia hendak menuju Ka’bah, seorang pemuda dungu dari kalangan Quraisy menaburkan tanah di atas kepalanya.
Abu Bakar pun melewati al-Walid bin al-Mughirah – atau al-‘Ash bin Wa’il – dan berkata kepadanya:
“Tidakkah engkau lihat apa yang dilakukan orang dungu ini kepadaku?”
Orang itu menjawab dingin:
“Engkau sendiri yang menyebabkan hal itu atas dirimu.”
Sementara itu, Abu Bakar hanya mengulang-ulang doa dengan hati yang lapang:
“Wahai Rabbku, betapa Engkau Maha Penyantun… Wahai Rabbku, betapa Engkau Maha Penyantun… Wahai Rabbku, betapa Engkau Maha Penyantun…”
Tekanan tetap ada, tetapi keyakinannya kepada perlindungan Allah semakin kokoh.
Boikot Kejam terhadap Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib
Di sisi lain, permusuhan Quraisy tidak hanya diarahkan kepada pribadi Muslim, tetapi juga kepada Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib sebagai kabilah yang melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun tidak semuanya Muslim.
Quraisy menulis sebuah piagam (shahifah) yang kejam. Di dalamnya mereka bersepakat untuk memutus total hubungan dengan Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib:
- tidak menikah dengan mereka dan tidak menikahkan putri kepada mereka
- tidak melakukan jual beli dengan mereka
- tidak bergaul dan tidak duduk bersama mereka
Piagam itu digantungkan di dalam Ka’bah sebagai bentuk kesepakatan resmi. Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib pun dipaksa berkumpul di sebuah lembah yang kemudian dikenal sebagai Syi‘b Abu Thalib. Boikot ini berlangsung bertahun-tahun, hingga terdengar kisah anak-anak yang menangis kelaparan.
Keberanian Hisyam bin ‘Amr Menyelundupkan Makanan
Di tengah suasana boikot itu, muncul sosok mulia dari kalangan Quraisy bernama Hisyam bin ‘Amr. Ia masih mempunyai hubungan kerabat dengan Bani Hasyim dari jalur ibunya, dan dikenal sebagai orang yang terhormat di kaumnya.
Diam-diam, pada malam hari, Hisyam membawa unta yang sarat muatan makanan. Ketika sampai di mulut lembah tempat Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dikepung, ia melepaskan tali kekang unta itu dan memukul lambungnya, sehingga unta itu berjalan sendiri masuk ke lembah membawa makanan untuk mereka.
Kadang ia memuatkan gandum, kadang makanan lain. Ia mengulangi cara ini berulang kali, meski ancaman Quraisy mengintai. Di saat banyak orang diam, ia tetap mencari cara agar kerabatnya tidak mati kelaparan.
Namun baginya, itu belum cukup. Ia ingin piagam zalim itu sendiri dibatalkan.
Menggalang Dukungan: Zuhair, al-Muth‘im, Abu al-Bukhtari, dan Zam‘ah
Hisyam kemudian mencari orang-orang mulia lain yang masih punya nurani. Ia mendatangi Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzumi. Ibunda Zuhair adalah ‘Atikah binti ‘Abdul Muththalib, bibinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti Bani Hasyim adalah kerabat dekat Zuhair dari jalur ibu.
Hisyam menegurnya dengan kalimat yang menyentuh:
“Wahai Zuhair, pantaskah engkau makan, berpakaian, dan menikah, sementara paman-paman dari pihak ibumu berada dalam keadaan seperti itu: mereka tidak bisa menjual dan tidak dibeli dari mereka, tidak bisa menikah dan tidak dinikahi? Demi Allah, seandainya mereka adalah paman-paman Abu al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ia mengajakmu melakukan seperti apa yang Quraisy lakukan kepada mereka, ia tidak akan pernah menerimanya.”
Zuhair mengakui kebenaran itu, namun ia berkata:
“Celaka engkau, wahai Hisyam! Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya satu orang. Demi Allah, seandainya ada satu orang saja yang bersamaku, aku akan berdiri menentang piagam itu.”
Hisyam menjawab, tegas:
“Engkau telah mendapatkan satu orang.”
“Siapa?” tanya Zuhair.
“Aku,” jawab Hisyam.
Zuhair berkata: “Kalau begitu, carikan kita orang ketiga.”
Hisyam kemudian mendatangi al-Muth‘im bin ‘Adiyy, salah seorang tokoh besar Quraisy. Ia berkata:
“Wahai Muth‘im, pantaskah engkau rela dua kabilah besar dari Bani ‘Abd Manaf binasa, sementara engkau menyaksikan dan setuju dengan kebijakan Quraisy ini? Demi Allah, bila kalian biarkan mereka dalam keadaan seperti ini, suatu hari kalian akan dapati mereka bangkit melawan kalian dengan cepat.”
Al-Muth‘im berkata:
“Apa yang dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang diri.”
Hisyam menenangkannya:
“Kau punya seorang kedua.”
“Siapa?”
“Aku.”
Hisyam lalu menyebutkan bahwa Zuhair juga sudah bersama mereka. Al-Muth‘im pun meminta agar mereka mencari orang keempat.
Mereka lalu mendatangi Abu al-Bukhtari bin Hisyam. Hisyam menjelaskan kezaliman piagam tersebut dan menyampaikan bahwa sudah ada beberapa tokoh siap bergerak: Zuhair, al-Muth‘im, dan dirinya. Abu al-Bukhtari setuju, dan meminta tambahan satu orang lagi agar gerakan mereka lebih kuat.
Hisyam kemudian mendatangi Zam‘ah bin al-Aswad, seorang tokoh dari Bani Asad, mengingatkan hubungan kekerabatan dan hak Bani Hasyim atas mereka. Setelah mendengar bahwa sudah ada empat tokoh mendukung, Zam‘ah pun ikut bergabung.
Kini, lima orang tokoh Quraisy sepakat untuk menggugurkan piagam boikot:
- Hisyam bin ‘Amr
- Zuhair bin Abi Umayyah
- al-Muth‘im bin ‘Adiyy
- Abu al-Bukhtari bin Hisyam
- Zam‘ah bin al-Aswad
Mereka berjanji akan bertemu pada malam hari di sebuah tempat bernama Khathm al-Hajun, di bagian atas Makkah.
Kesepakatan Rahasia di Hajun
Malam itu, kelima tokoh tersebut berkumpul di Khathm al-Hajun. Mereka saling meneguhkan hati dan bersepakat bulat: esok pagi, masing-masing akan bangkit di hadapan Quraisy untuk menentang piagam boikot, dan mereka tidak akan berhenti sampai piagam itu dibatalkan.
Zuhair berkata:
“Aku yang akan memulai, dan menjadi orang pertama yang berbicara.”
Mereka pun pulang ke rumah masing-masing menunggu pagi, sementara dalam hati mereka sudah bulat untuk menolong kebenaran dan memutus kezaliman.
Pengoyakan Piagam di Hadapan Quraisy
Pagi hari, para tokoh Quraisy pergi ke tempat duduk masing-masing di sekitar Ka’bah. Zuhair bin Abi Umayyah datang dengan mengenakan pakaian yang indah. Ia thawaf tujuh putaran mengelilingi Ka’bah, lalu berdiri menghadap orang-orang Makkah dan berseru lantang:
“Wahai penduduk Makkah, pantaskah kita makan makanan, memakai pakaian, sementara Bani Hasyim binasa; mereka tidak bisa membeli dan tidak dibeli dari mereka? Demi Allah, aku tidak akan duduk sebelum piagam yang memutuskan hubungan dan zalim ini disobek!”
Abu Jahal, yang berada di salah satu sudut masjid, langsung menyahut:
“Kau dusta! Demi Allah, piagam itu tidak akan disobek!”
Namun sebelum suasana memanas, Zam‘ah bin al-Aswad berdiri dan berkata:
“Engkaulah, demi Allah, yang lebih dusta! Kita tidak pernah rela dengan penulisannya sejak awal.”
Abu al-Bukhtari ikut bangkit:
“Zam‘ah benar. Kami tidak rela dengan apa yang tertulis dalam piagam itu, dan kami tidak menyetujuinya.”
Lalu al-Muth‘im bin ‘Adiyy menegaskan:
“Kalian berdua benar, dan dustalah siapa yang berkata selain itu. Kami berlepas diri kepada Allah dari piagam itu dan dari apa yang tertulis di dalamnya.”
Hisyam bin ‘Amr pun menyatakan sikap yang sama. Tiba-tiba, suara-suara penentang piagam bermunculan dari beberapa sudut. Abu Jahal menyadari bahwa ini bukan protes spontan, tetapi sesuatu yang telah disepakati sebelumnya. Ia berkata dengan geram:
“Ini urusan yang telah diatur malam hari dan dibicarakan di selain tempat ini!”
Saat itu, Abu Thalib – paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – sedang duduk di salah satu sudut masjid, menyaksikan semua yang terjadi.
Melihat suasana memanas, al-Muth‘im bin ‘Adiyy berdiri menuju piagam yang tergantung itu untuk menyobeknya.
Piagam yang Dimakan Rayap
Ketika piagam itu diturunkan dan dibuka, mereka mendapati sesuatu yang mengejutkan: piagam itu sudah dimakan rayap hampir seluruhnya. Yang tersisa hanya kalimat yang di awalnya biasa mereka tulis:
بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ
“Dengan nama-Mu, ya Allah.”
Bagian-bagian yang berisi sumpah untuk memutus hubungan, berlaku zalim, dan boikot total – semuanya telah dimakan habis oleh rayap.
Sebelum peristiwa ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahu pamannya, Abu Thalib:
“Wahai Paman, sesungguhnya Allah telah menguasakan rayap kepada piagam Quraisy. Rayap-rayap itu tidak meninggalkan satu pun nama yang (khusus) bagi Allah kecuali tetap dibiarkan, sementara kezaliman, pemutusan hubungan dan kebohongan dihilangkan dari piagam itu.”
Abu Thalib bertanya:
“Apakah Rabb-mu yang mengabarkan hal ini kepadamu?”
Beliau menjawab:
“Ya.”
Abu Thalib berkata:
“Kalau begitu, demi Allah, tak seorang pun akan masuk kepadamu (untuk menyakitimu).”
Lalu ia keluar menemui Quraisy dan berkata:
“Wahai sekalian Quraisy, keponakanku telah mengabarkan kepadaku begini dan begitu tentang piagam kalian. Bawalah piagam itu. Jika kondisinya seperti yang ia katakan, maka hentikan pemutusan hubungan dengan kami dan batalkan boikot itu. Jika ternyata ia berdusta, aku sendiri yang akan menyerahkan keponakanku kepada kalian.”
Mereka menyetujui tantangan itu, lalu menurunkan piagam dan membukanya. Ternyata isinya benar-benar seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: rayap telah memakan semua isi zalimnya, menyisakan nama Allah semata.
Akan tetapi, keajaiban ini tidak melembutkan hati semua orang. Bagi sebagian mereka, itu justru menambah keburukan: kedengkian mereka kepada Rasulullah bertambah. Namun secara adat, piagam itu tetap dianggap batal; boikot resmi pun berakhir, dan Bani Hasyim serta Bani al-Muththalib keluar dari Syi‘b Abu Thalib.
Syair Abu Thalib Memuji Para Pembela
Abu Thalib sangat menghargai keberanian lima tokoh Quraisy yang bangkit menentang kezaliman piagam. Ia menyusun qasidah (syair panjang) memuji mereka; menyebut bagaimana Allah-lah yang mengatur runtuhnya piagam itu, bagaimana rayap memakan isi kezaliman, dan bagaimana sekelompok lelaki mulia di Hajun bersepakat di malam hari, lalu pagi harinya berdiri membela kebenaran.
Dalam syair itu, Abu Thalib mendoakan mereka dan memuji sifat-sifat mulia sebagian tokoh, seperti kemurahan hati, keberanian, dan kepemimpinan mereka dalam mengangkat boikot yang zalim. Ia menutup pujian itu dengan menyebut bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar ikut bergembira dengan runtuhnya piagam tersebut.
Akhir Boikot dan Tahun Dukacita
Para ahli sejarah menyebut bahwa keluarnya Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dari Syi‘b Abu Thalib terjadi pada tahun kesepuluh kenabian, kira-kira tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah.
Tidak lama setelah boikot berakhir, dua sosok yang paling besar jasanya dalam melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah wafat: pamannya Abu Thalib, dan istrinya yang setia, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Tahun itu dikenal sebagai ‘Ām al-Huzn – Tahun Dukacita.
Di tengah semua peristiwa itu, kisah Abu Bakar ash-Shiddiq, keberanian meninggalkan perlindungan manusia demi bergantung kepada Allah, serta kisah para tokoh Quraisy yang bangkit membela keadilan, menjadi bagian penting dari mozaik sejarah awal dakwah Islam di Makkah.
Sumber Kisah
- Ibn Ishaq (melalui riwayat Ibn Hisyam) tentang Sirah Nabi
- Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wan-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar