Keteguhan Para Sahabat di Tengah Penyiksaan Quraisy

 

Ilustrasi Bilal bin Rabah terbaring di pasir panas Mekah siang hari, dadanya tertindih batu besar, dikelilingi orang-orang Quraisy yang menyiksanya, sementara ia tetap tegar mengucapkan “Ahad, Ahad”.

Gelombang Penyiksaan di Mekah

Pada masa awal dakwah Islam di Mekah, ketika beberapa orang mulai beriman dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum Quraisy sangat marah. Mereka merasa agama nenek moyang mereka dihina, berhala-berhala mereka direndahkan, dan kehormatan kabilah mereka diganggu.

Menurut riwayat Ibnu Ishaq, setiap kabilah kemudian bangkit menghadapi siapa saja dari anggota kabilah mereka yang masuk Islam. Orang-orang beriman itu ditangkap, dipenjarakan, dipukul, dibiarkan lapar dan haus. Mereka dibaringkan di atas tanah Mekah yang membara ketika matahari tengah hari sangat terik.

Sasaran utama mereka adalah orang-orang lemah: budak, orang miskin, orang yang tidak punya pelindung kuat. Tujuannya satu: memaksa mereka kembali kepada kekafiran dan meninggalkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang memang tergelincir karena ujian yang sangat berat itu. Namun sebagian yang lain tetap teguh, Allah menjaga hati mereka dan menguatkan mereka di atas iman.

Bilal bin Rabah dan Kalimat “Ahad, Ahad”

Di antara mereka yang paling terkenal keteguhannya adalah Bilal bin Rabah. Ia seorang budak kulit hitam, mawali dari Bani Jumah. Dalam sebagian riwayat, ia pernah dimiliki oleh Abu Bakar sebelum akhirnya berpindah ke tangan Umayyah bin Khalaf. Ibunya bernama Hamamah. Bilal dikenal sangat jujur dalam keislamannya dan bersih hatinya.

Umayyah bin Khalaf, tuannya yang musyrik, memiliki cara penyiksaan yang sangat kejam. Ketika matahari tengah hari memuncak dan pasir Mekah membara, Bilal dibawa ke tengah padang. Bajunya ditanggalkan, lalu ia dibaringkan di atas pasir panas. Di atas dadanya diletakkan batu besar dan berat.

Umayyah mendekat dan berkata dengan penuh ancaman:

“Demi Allah, engkau akan terus seperti ini sampai mati, atau engkau kafir kepada Muhammad dan kembali menyembah al-Lata dan al-‘Uzza!”

Dalam keadaan seperti itu, Bilal tidak menjawab dengan panjang. Ia hanya mengulang-ulang satu kalimat yang menjadi simbol tauhidnya:

“Ahad, Ahad”
(Yang Maha Esa, Yang Maha Esa).

Menurut sebagian riwayat, Waraqah bin Nawfal —sepupu Khadijah yang dahulu menguatkan Nabi ketika wahyu pertama turun— pernah melewati Bilal saat Bilal sedang disiksa seperti itu. Waraqah mendengar Bilal mengucapkan, “Ahad, Ahad,” lalu ia ikut berkata, “Ahad, Ahad, demi Allah, wahai Bilal!”

Ia kemudian menoleh kepada Umayyah bin Khalaf dan orang-orang Bani Jumah yang menyiksa Bilal, lalu berkata penuh ancaman:

“Aku bersumpah demi Allah, jika kalian membunuhnya dalam keadaan seperti ini, sungguh aku akan menjadikannya sebagai orang yang sangat kucintai (hanânan).”

Sebagian ulama kemudian membahas, apakah waktu wafatnya Waraqah cocok dengan waktu penyiksaan Bilal; Ibnu Katsir menyebut hal ini masih perlu diteliti. Namun, inti kisah keteguhan Bilal dalam ujian tetap diakui dan dikuatkan oleh banyak riwayat lain yang sahih.

Abu Bakar: Pembebas Budak-Budak Beriman

Kisah Bilal tidak berhenti di situ. Suatu hari, Abu Bakar ash-Shiddiq lewat dan melihat Bilal sedang disiksa. Hatinya tergerak. Ia pun menawar Bilal untuk dibeli dari Umayyah. Dalam sebagian riwayat disebutkan, Abu Bakar menukarnya dengan seorang budak hitam miliknya. Setelah transaksi terjadi, Abu Bakar langsung memerdekakan Bilal, membebaskannya dari siksaan itu.

Bukan hanya Bilal. Abu Bakar menggunakan hartanya untuk membebaskan banyak hamba sahaya yang lemah namun teguh di atas Islam. Di antara mereka adalah:

  • ‘Amir bin Fuhairah,
  • Ummu ‘Ubaish,
  • Zinnirah, seorang budak perempuan yang buta matanya karena siksaan, lalu Allah mengembalikan penglihatannya,
  • al-Nahdiyyah dan putrinya,
  • dan seorang budak perempuan dari Bani Mu’ammal yang dahulu sering dipukul oleh ‘Umar (sebelum beliau masuk Islam) karena keislamannya.

Tentang al-Nahdiyyah dan putrinya, dikisahkan bahwa majikan mereka —seorang wanita dari Bani ‘Abdud-Dar— pernah mengutus keduanya untuk menggiling gandum. Abu Bakar mendengar majikan itu berkata kepada mereka dengan marah:

“Demi Allah, aku tidak akan pernah memerdekakan kalian berdua selamanya!”

Abu Bakar berkata kepadanya dengan tenang:

“Cukuplah, wahai Ummu Fulan.”

Wanita itu menjawab:

“Cukuplah! Engkaulah yang sudah merusak mereka, maka bebaskanlah mereka!”

Abu Bakar bertanya, “Berapa harga keduanya?” Ia menyebutkan harga, dan Abu Bakar berkata, “Aku telah membelinya.” Lalu beliau berkata kepada al-Nahdiyyah dan putrinya, “Kalian berdua sekarang merdeka. Pulangkanlah tepung gilingan ini kepadanya.”

Mereka berkata, “Apakah kami selesaikan dulu menggilingnya, wahai Abu Bakar, lalu kami kembalikan tepung itu kepadanya?” Abu Bakar menjawab, “Silakan, jika kalian berdua menghendaki.” Begitulah kelembutan dan keluhuran akhlak Abu Bakar.

Dialog Abu Bakar dengan Ayahnya dan Turunnya Ayat

Perbuatan Abu Bakar memerdekakan hamba-hamba sahaya yang lemah ini menimbulkan pertanyaan bagi ayahnya, Abu Quhafah. Ia berkata kepada Abu Bakar:

“Wahai anakku, kulihat engkau memerdekakan orang-orang yang lemah. Seandainya saat engkau memerdekakan orang-orang itu, engkau memilih laki-laki yang kuat dan berpengaruh, tentu mereka bisa melindungimu dan berdiri membelamu.”

Dari kacamata orang tua yang belum beriman, logika Abu Quhafah sederhana: kalau mau berbuat baik, sebaiknya ada ‘imbalannya’ secara duniawi. Tetapi Abu Bakar menjawab dengan kalimat yang menunjukkan keikhlasan niatnya:

“Wahai Ayahku, sesungguhnya aku melakukan ini karena tujuan yang aku inginkan (di sisi Allah).”

Para ulama menyebutkan, ayat-ayat berikut turun berkenaan dengan Abu Bakar dan dialognya dengan sang ayah:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ۝ وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ ۝ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ
“Maka adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan.”
(QS. Al-Lail [92]: 5–7)

Abu Bakar memberi, bertakwa, dan membenarkan janji Allah; balasannya adalah kemudahan menuju kebaikan dan kemuliaan yang kekal.

Tujuh Orang Pertama yang Menampakkan Islam

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud disebutkan, orang-orang yang pertama kali menampakkan keislaman mereka secara terang-terangan ada tujuh:

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
  2. Abu Bakar,
  3. ‘Ammar bin Yasir,
  4. Sumayyah ibunda ‘Ammar,
  5. Shuhaib,
  6. Bilal,
  7. al-Miqdad.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilindungi Allah dengan keberadaan pamannya. Abu Bakar dilindungi Allah dengan kedudukan kaumnya. Namun yang lainnya tidak punya pelindung kuat.

Mereka ditangkap kaum musyrikin, dipakaikan baju-baju besi, lalu dijemur di bawah terik matahari Mekah. Hampir semua akhirnya terpaksa mengikuti apa yang diminta para penyiksa —secara lahiriyah— kecuali Bilal.

Untuk Bilal, jiwanya terasa ringan baginya demi Allah, dan ia pun menjadi hina di mata kaumnya. Mereka menyerahkannya kepada anak-anak yang kemudian mengaraknya berkeliling lembah-lembah Mekah. Dalam keadaan demikian, ia terus berkata:

“Ahad, Ahad.”

Inilah kalimat yang menjadi semboyan keteguhan imannya.

Keluarga Yasir dan Syahid Pertama dalam Islam

Di antara rumah yang paling keras ujian imannya adalah rumah keluarga Yasir. Yasir, istrinya Sumayyah, dan putra mereka ‘Ammar, semuanya masuk Islam. Mereka berasal dari kalangan lemah, tanpa pelindung bangsawan Quraisy.

Bani Makhzum, yang berkuasa saat itu, biasa membawa mereka bertiga ke tengah panas terik Mekah. Mereka disiksa di atas pasir yang membakar kulit. Dalam kondisi itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati mereka. Dalam sebagian riwayat, Beliau berkata:

“Sabarlah, wahai keluarga Yasir. Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.”

Sumayyah, ibunda ‘Ammar, tidak mau kembali kepada kekafiran sedikit pun. Ia memilih tetap kokoh di atas Islam. Hingga akhirnya, Abu Jahal —musuh utama Islam ketika itu— menikam Sumayyah dengan tombak di kemaluannya. Ia pun wafat sebagai syahid.

Para ulama menyebut Sumayyah sebagai syahid pertama dalam Islam. Seorang wanita tua, lemah secara dunia, namun sangat agung kedudukannya di sisi Allah.

Abu Jahal dan Tekanan Sosial Quraisy

Abu Jahal bukan hanya memimpin penyiksaan fisik. Ia juga menjadi motor tekanan sosial dan penghinaan terhadap orang-orang terhormat yang masuk Islam.

Jika ia mendengar ada seorang tokoh Quraisy yang masuk Islam, ia akan mencelanya:

“Engkau tinggalkan agama ayahmu, padahal ayahmu lebih baik darimu! Kami akan menghina akalmu, melemahkan pendapatmu, dan menjatuhkan kehormatanmu!”

Jika orang itu pedagang, Abu Jahal mengancam:

“Demi Allah, kami akan merusak perdaganganmu dan membinasakan hartamu!”

Jika orang itu lemah, Abu Jahal memukulnya atau menghasut orang lain untuk menyiksanya.

Demikianlah berbagai bentuk tekanan: fisik, ekonomi, sosial, dan psikologis. Ibnu Katsir menutup penjelasan tentang Abu Jahal dengan doa: semoga Allah melaknat dan memburukkannya.

Ucapan Paksa dan Turunnya Ayat tentang Orang yang Dipaksa Kafir

Seorang tabi’in bernama Sa’id bin Jubair pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas:

“Apakah benar kaum musyrikin sampai menyiksa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedemikian berat, hingga mereka bisa dianggap punya uzur jika secara lahiriah meninggalkan agama mereka (karena dipaksa)?”

Ibnu ‘Abbas menjawab:

“Ya, demi Allah. Mereka memukul salah seorang dari sahabat, membiarkannya lapar dan haus, sampai ia tidak kuat duduk tegak karena beratnya penderitaan. Akhirnya, untuk menyelamatkan diri, ia mengucapkan apa yang mereka minta berupa kalimat kekufuran. Mereka berkata kepadanya, ‘Apakah al-Lata dan al-‘Uzza adalah tuhan-tuhanmu selain Allah?’ Maka ia menjawab, ‘Ya,’ sebagai tebusan untuk dirinya dari siksaan mereka, karena begitu kerasnya penderitaan yang mereka timpakan.”

Berkenaan dengan keadaan seperti ini, Allah menurunkan ayat yang agung:

مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَـٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًۭا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka mendapat azab yang besar.”
(QS. An-Nahl [16]: 106)

Allah dengan ayat ini memberikan keringanan kepada orang yang benar-benar dipaksa, sementara hatinya tetap mantap dalam iman. Namun orang yang secara sukarela melapangkan dadanya untuk kufur, ia tetap terkena murka dan azab Allah.

Khabbab bin Al-Aratt dan Orang yang Merasa Pasti Punya Harta di Akhirat

Di antara sahabat yang lemah secara dunia adalah Khabbab bin Al-Aratt. Ia seorang tukang besi (pandai besi) di Mekah. Suatu ketika ia membuat sebuah pedang untuk al-‘Ash bin Wa’il, salah satu pembesar musyrik Quraisy. Khabbab pun datang menagih upahnya.

Al-‘Ash berkata dengan sombong:

“Tidak, demi Allah, aku tidak akan membayar utangmu sampai engkau kafir kepada Muhammad!”

Khabbab menjawab tegas:

“Tidak, demi Allah, aku tidak akan kafir kepada Muhammad sampai engkau mati, lalu engkau dibangkitkan lagi!”

Dengan nada mengejek keyakinan Khabbab tentang hari kebangkitan, al-‘Ash menjawab:

“Kalau begitu, kalau aku mati lalu dibangkitkan, aku pasti memiliki harta dan anak di sana. Datanglah kepadaku, nanti aku bayar utangmu.”

Ucapan ini bukan sekadar ejekan, tapi juga bentuk kesombongan dan kebodohan terhadap hari akhir. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

أَفَرَءَيْتَ ٱلَّذِى كَفَرَ بِـَٔايَـٰتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًۭا وَوَلَدًا ۝ أَطَّلَعَ ٱلْغَيْبَ أَمِ ٱتَّخَذَ عِندَ ٱلرَّحْمَـٰنِ عَهْدًۭا ۝ كَلَّا ۚ سَنَكْتُبُ مَا يَقُولُ وَنَمُدُّ لَهُۥ مِنَ ٱلْعَذَابِ مَدًّۭا ۝ وَنَرِثُهُۥ مَا يَقُولُ وَيَأْتِينَا فَرْدًۭا
“Maka, apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak.’ Apakah dia melihat yang gaib atau dia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih? Sekali-kali tidak! Kami akan mencatat apa yang dia katakan itu dan akan Kami panjangkan baginya azab yang keras. Dan Kami akan mewarisi apa yang dia katakan itu, dan dia akan datang kepada Kami seorang diri.”
(QS. Maryam [19]: 77–80)

Ayat ini menjelaskan bahwa ucapan sombong seperti itu tidak akan dibiarkan begitu saja. Setiap kata akan dicatat, setiap kesombongan akan dibalas. Harta dan anak yang ia banggakan tidak akan menyelamatkan dirinya di hadapan Allah.

Aduan Khabbab kepada Nabi dan Kisah Umat-Umat Terdahulu

Beratnya siksaan yang dialami para sahabat membuat mereka pernah datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khabbab bin Al-Aratt menceritakan bahwa suatu hari ia datang kepada Nabi ketika Beliau sedang bertelekan di atas kain di bawah naungan Ka’bah.

Khabbab berkata, “Kami telah menghadapi kesulitan yang sangat berat dari kaum musyrikin. Tidakkah engkau berdoa kepada Allah (agar menolong kami)?”

Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk. Wajah Beliau memerah, lalu Beliau bersabda kira-kira maknanya:

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, ada yang sisir-sisir besi diletakkan di tubuhnya, hingga mengelupas daging dan urat dari tulangnya. Namun hal itu tidak memalingkannya dari agamanya.

Ada pula yang diletakkan gergaji di tengah kepalanya, lalu kepalanya dibelah menjadi dua. Namun hal itu tidak memalingkannya dari agamanya.

Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan urusan (agama) ini.
Sampai-sampai seorang pengendara bisa berjalan dari Shan’a ke Hadhramaut, ia tidak takut kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla…”

Dalam sebagian riwayat ditambahkan:

“…dan takut serigala terhadap dombanya.”

Dan di akhir sabdanya Beliau berkata:

“Tetapi kalian tergesa-gesa.”

Dengan kata lain, Rasulullah menghibur para sahabat: ujian berat ini bukan yang pertama di jalan iman. Umat-umat terdahulu pun diuji dengan sangat dahsyat. Namun, pada akhirnya Allah pasti menolong agama-Nya. Akan datang masa ketika keamanan dan keadilan Islam akan terasa, hingga perjalanan jauh di jazirah Arab pun menjadi aman.

Panas Ramdha’ dan Permohonan Keringanan

Dalam kesempatan lain, Khabbab dan beberapa sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang panas terik ramdha’ —yakni panas tanah yang membakar karena matahari menyengat. Mereka mengadu karena panas itu mengenai wajah dan telapak tangan mereka, terutama ketika mereka diseret dan disiksa, dan juga ketika mereka shalat di tengah terik siang.

Mereka berharap Nabi mendoakan keringanan segera atas mereka. Namun dalam sebagian riwayat disebutkan, Rasulullah tidak langsung mengubah keadaan saat itu juga. Beliau tidak serta-merta memindahkan waktu shalat atau mengubah tata cara mereka menyentuh tanah ketika sujud.

Para ulama, seperti Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa maksud pengaduan mereka bukan sekadar masalah panas ketika shalat, tetapi panas yang mereka alami dalam siksaan: mereka diseret di atas tanah, wajah mereka terbakar, tangan mereka digunakan untuk menahan diri di atas tanah yang sangat panas.

Para sahabat sebenarnya memohon dua hal sekaligus: agar Nabi berdoa kepada Allah untuk menghancurkan kaum musyrikin, atau agar pertolongan segera turun. Nabi menjanjikan kemenangan, tetapi tidak menjanjikan bahwa kemenangan itu turun seketika saat itu juga.

Hadis tentang panas ramdha’ ini kemudian dijelaskan oleh para ulama:

  • Ia bukan dalil bahwa tidak boleh mengakhirkan shalat Zuhur ketika cuaca sangat panas (karena ada hadis lain yang menganjurkan “ibraad”, yaitu mengakhirkan Zuhur hingga panas berkurang).
  • Ia juga bukan dalil yang pasti bahwa telapak tangan harus selalu langsung menyentuh tanah tanpa penghalang, apa pun keadaannya.

Makna utamanya adalah gambaran betapa berat penderitaan para sahabat, dan bahwa kesabaran adalah kunci, sementara kemenangan pasti datang pada waktunya, sesuai janji Allah dan sabda Rasul-Nya.

Penutup: Hikmah dari Ujian di Mekah

Dari rangkaian kisah ini tampak beberapa pelajaran besar:

  • Di awal Islam, fitnah (ujian) terhadap iman benar-benar nyata: pemukulan, pembunuhan, penghinaan, pemboikotan ekonomi, dan tekanan sosial.
  • Ada sahabat seperti Bilal, keluarga Yasir, dan Sumayyah yang memilih kokoh di atas iman meski harus menanggung siksaan, bahkan kematian.
  • Ada yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur karena tekanan luar biasa, namun hatinya tetap beriman; untuk mereka Allah turunkan keringanan melalui ayat An-Nahl ayat 106.
  • Abu Bakar menunjukkan bahwa harta terbaik adalah yang digunakan untuk membela orang lemah demi Allah, bukan untuk mencari pamrih dunia.
  • Khabbab dan sahabat lainnya mengajarkan bahwa keluh kesah boleh, asalkan tetap diiringi iman dan keyakinan bahwa janji Allah pasti benar, meski manusia sering ingin semuanya serba cepat.

Akhirnya, semua kisah ini menjadi saksi bahwa dakwah tidak pernah berjalan tanpa ujian. Namun, di balik setiap ujian, ada janji Allah yang pasti: bahwa agama ini akan dimenangkan-Nya, dan bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan balasan surga.


Sumber Kisah

  • Ibnu Katsiral-Bidâyah wa an-Nihâyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang