Jejak Kabar Gembira tentang Nabi Terakhir
Kabar Gembira dari Taurat dan Injil
Jauh sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir, para ulama Yahudi (ahbār), rahib Nasrani, dan para kahin (dukun) Arab sudah membicarakan tentang akan munculnya seorang nabi terakhir. Mereka mengetahui bahwa masa kedatangannya sudah dekat.
Para ulama Yahudi dan rahib Nasrani mendapat berita itu dari kitab-kitab mereka. Di dalam Taurat dan Injil, mereka menemukan sifat-sifat nabi terakhir ini, zamannya, dan wasiat para nabi sebelumnya kepada umatnya agar beriman dan mengikutinya.
Allah Ta‘ala berfirman:
﴿ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ... ﴾
“(Yaitu) orang‑orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka melakukan yang makruf dan mencegah mereka dari yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban‑beban dan belenggu‑belenggu yang ada pada mereka. Maka orang‑orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al‑Qur’an), mereka itulah orang‑orang yang beruntung.”
(QS. al-A‘rāf [7]: 157)
Nabi Isa ‘alaihissalām bahkan secara jelas memberi kabar gembira akan datangnya seorang rasul setelah beliau, bernama Ahmad:
﴿ وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ... ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad.’ Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti‑bukti yang nyata, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’”
(QS. ash-Shaff [61]: 6)
Al-Qur’an juga menggambarkan sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan menyatakan bahwa sifat itu tertulis di Taurat dan Injil:
﴿ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ... ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ... ﴾
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang‑orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang‑orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Engkau melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan‑Nya. Pada wajah mereka tampak tanda‑tanda bekas sujud. Demikianlah sifat‑sifat mereka dalam Taurat dan sifat‑sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati para penanam‑nya. (Allah menjadikan mereka demikian) agar dengan mereka Dia menjengkelkan hati orang‑orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang‑orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS. al-Fath [48]: 29)
Perjanjian Para Nabi: Wajib Beriman kepada Nabi Terakhir
Allah telah mengambil perjanjian dari semua nabi: bila Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di masa hidup mereka, mereka wajib beriman dan menolongnya, dan mereka juga diwajibkan mengambil perjanjian yang sama dari umat mereka.
﴿ وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ ۚ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian pasti beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman, ‘Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian‑Ku terhadap itu?’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu saksikanlah, dan Aku bersama kalian termasuk para saksi.’”
(QS. Ali ‘Imrān [3]: 81)
Dalam sebuah riwayat, Ibnu ‘Abbas menjelaskan: tidak ada seorang nabi pun yang diutus, kecuali Allah mengambil janji darinya, bahwa kalau Muhammad diutus saat ia masih hidup, ia pasti beriman dan menolongnya, dan ia pun diperintah mengambil janji serupa dari umatnya. Dari sini dipahami: semua nabi memberi kabar gembira tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memerintahkan umat mereka agar mengikutinya.
Doa Nabi Ibrahim dan Kabar Gembira Nabi Isa
Nabi Ibrahim ‘alaihissalām pernah berdoa agar di tengah keturunan beliau di Makkah diutus seorang rasul:
﴿ رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴾
“Ya Tuhan kami, utuslah di tengah‑tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat‑ayat‑Mu dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah serta menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
(QS. al-Baqarah [2]: 129)
Dalam sebuah hadits, ketika Salman al-Farisi bertanya kepada Nabi tentang permulaan urusannya, beliau menjawab bahwa kenabiannya adalah:
“Doa ayahku Ibrahim, kabar gembira Isa, dan ibuku melihat (dalam mimpi) bahwa keluar dari dirinya cahaya yang menerangi istana-istana Syam.”
Artinya, di bumi, awal kemunculan nama beliau di tengah manusia dimulai dari doa Ibrahim – bapak bangsa Arab – dan kabar gembira Isa – penutup para nabi Bani Israil. Ini menunjukkan bahwa nabi-nabi di antara keduanya pun turut memberi kabar gembira tentang kedatangan beliau.
Kedudukan Nabi Muhammad sebelum Penciptaan Adam
Di langit, di al-Mala’ al-A‘lā, urusan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikenal bahkan sebelum Adam diciptakan. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan penutup para nabi, sedangkan Adam masih tergolek di tanah liatnya.”
Dalam riwayat lain, ketika seorang sahabat bertanya, “Sejak kapan engkau menjadi nabi?” beliau menjawab:
“Ketika Adam berada antara ruh dan jasad.”
Dalam riwayat lainnya tentang firman Allah:
﴿ وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ... ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
(QS. al-Ahzāb [33]: 7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku adalah yang pertama di antara para nabi dalam hal penciptaan, dan yang terakhir di antara mereka dalam hal diutus.”
Maksudnya, hakikat dan ketetapan kenabian beliau sudah ada dan dikenal di sisi Allah sebelum nabi-nabi lain, meski secara waktu pengutusan, beliau adalah yang terakhir.
Jin, Bintang-bintang, dan Kahin Arab
Sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, jin biasa mencuri dengar berita langit, lalu menyampaikannya kepada para kahin (dukun) di bumi. Dari potongan-potongan berita itu, terkadang muncullah ucapan kahin yang menyebut sebagian tanda-tanda akan datangnya Nabi terakhir.
Saat masa diutusnya Rasulullah semakin dekat, Allah menghalangi jin dari langit. Tempat-tempat mereka biasa duduk di langit dijaga, dan mereka dilempari dengan bintang-bintang. Jin pun sadar bahwa ada peristiwa besar yang baru terjadi di bumi.
Allah menceritakan pengakuan sekelompok jin yang mendengar al-Qur’an:
﴿ قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ ۖ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا ﴾
“Katakanlah (Muhammad), ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (Al‑Qur’an), lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengar Al‑Qur’an yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali‑kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.”’”
(QS. al-Jinn [72]: 1–2)
Dalam ayat lain, Allah menjelaskan:
﴿ وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ ۖ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami menghadapkan serombongan jin kepadamu untuk mendengarkan Al‑Qur’an. Maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya, mereka berkata, ‘Diamlah kalian (untuk mendengarkannya)!’ Maka ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Mereka berkata, ‘Wahai kaum kami! Sesungguhnya kami telah mendengar Kitab (Al‑Qur’an) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan kitab‑kitab yang ada sebelumnya, yang memberi petunjuk kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.’”
(QS. al-Ahqāf [46]: 29–30)
Orang-orang Arab yang Terkejut oleh Hujan Bintang
Ketika bintang-bintang mulai sering tampak seperti “dilemparkan” di langit, orang-orang Arab terkejut. Diceritakan bahwa kabilah Tsaqif adalah yang pertama kali merasakan kecemasan itu. Mereka pergi kepada seorang tokoh cerdas bernama ‘Amr bin Umayyah dan bertanya tentang fenomena tersebut.
‘Amr bin Umayyah berkata ringkas: jika bintang-bintang penunjuk arah dan musim yang biasa manusia gunakan itu yang berjatuhan, berarti dunia akan berakhir dan makhluk binasa. Tetapi jika bintang-bintang itu tetap teratur, dan yang berjatuhan adalah selainnya, maka pasti ada urusan besar yang Allah kehendaki bagi makhluk ini. Mereka diminta menunggu apa yang akan terjadi. Ternyata benar, itu adalah salah satu tanda dekatnya diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada pula kisah seorang kahinah (dukun perempuan) dari Bani Sahm, bernama al-Ghaithalah. Jin pendampingnya membacakan kalimat-kalimat samar tentang “hari penyembelihan dan peperangan” yang kemudian dipahami oleh orang Quraisy sebagai isyarat kepada perang-perang besar seperti Badar dan Uhud, namun mereka baru benar-benar memahaminya setelah peristiwa itu terjadi.
Dari Yaman, ada suku Jannb yang juga memiliki seorang kahin. Ketika berita tentang Nabi dari Makkah tersebar, mereka memintanya melihat urusan orang ini. Sang kahin keluar, menatap langit lama, lalu berkata di hadapan kaumnya:
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah memuliakan Muhammad, memilihnya, mensucikan hatinya dan batinnya. Masa tinggalnya di tengah kalian hanya sebentar.”
Kemudian ia kembali ke tempatnya di gunung.
Yahudi Yatsrib yang Menunggu Nabi Terakhir
Di Madinah (Yatsrib), hidup banyak kabilah Yahudi bersama kabilah-kabilah Arab Aus dan Khazraj. Sebelum masuk Islam, orang-orang Aus dan Khazraj adalah musyrik, penyembah berhala. Tetapi mereka hidup berdampingan dengan Yahudi yang memiliki kitab dan ilmu.
Sering terjadi perselisihan. Ketika orang-orang Aus atau Khazraj berhasil menyakiti Yahudi, orang Yahudi mengancam:
“Sesungguhnya sudah dekat masa munculnya seorang nabi yang akan diutus. Bila ia telah datang, kami akan memerangi kalian bersamanya seperti (Allah membinasakan) kaum ‘Ad dan Iram.”
Ucapan itu begitu sering mereka dengar, sehingga ketika Allah benar-benar mengutus Rasul-Nya dari Makkah, para sahabat Anshar segera beriman, menyadari bahwa inilah yang dulu Yahudi ancamkan. Tetapi justru banyak tokoh Yahudi yang menolak dan kafir.
Tentang mereka, Allah berfirman:
﴿ وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ﴾
“Dan ketika telah datang kepada mereka sebuah Kitab dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka selalu memohon kemenangan atas orang‑orang kafir, maka ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang‑orang kafir.”
(QS. al-Baqarah [2]: 89)
Diriwayatkan pula bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar, ketika perang melawan kabilah Ghathafān dan selalu kalah, berdoa dengan menyebut nama Nabi yang belum diutus:
“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad, Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan akan Engkau utus di akhir zaman; tolonglah kami melawan mereka.”
Dengan doa itu mereka mendapatkan kemenangan. Namun ketika Nabi benar-benar diutus, mereka justru mengingkarinya.
Seorang Yahudi Menggambarkan Hari Kiamat kepada Anak-anak Muda Aus
Salamah bin Salāmah bin Waqsy, salah seorang sahabat yang ikut perang Badar, menceritakan: di lingkungan Bani ‘Abdil-Asyhal, ada seorang tetangga Yahudi. Suatu hari ia keluar dan berdiri di hadapan mereka, yang ketika itu masih musyrik.
Ia bercerita panjang tentang hari kiamat, kebangkitan, hisab, mizan, surga, dan neraka. Orang-orang musyrik yang tidak percaya kepada kebangkitan bertanya dengan heran: “Apakah benar manusia akan dibangkitkan setelah mati, menuju negeri yang di sana ada surga dan neraka, lalu dibalas sesuai amalnya?”
Orang Yahudi itu bersumpah bahwa itu pasti terjadi, lalu berkata: seandainya ia bisa menebus diri dari neraka kelak hanya dengan dimasukkan ke tungku paling besar di dunia, itu masih ia pilih daripada siksa neraka akhirat.
Ketika mereka bertanya, “Apa tandanya semua itu akan terjadi?”, ia menjawab:
“Seorang nabi yang akan diutus dari arah negeri-negeri ini,” sambil menunjuk ke arah Makkah dan Yaman. Kemudian ia menoleh kepada Salamah – yang saat itu masih anak muda – dan berkata:
“Jika anak muda ini mencapai usia dewasanya, ia akan menjumpainya.”
Salamah berkata: tidak lama kemudian Allah benar-benar mengutus Rasul-Nya. Nabi tinggal di tengah mereka, dan orang Yahudi itu masih hidup. Kaum Anshar beriman, sementara orang itu kafir karena dengki. Mereka mengingatkannya atas ucapan-ucapannya dulu, ia mengakui pernah berkata demikian, namun dengan keras kepala menjawab, “Tapi dia bukan orang itu.”
Satu Yahudi di Bani ‘Abdil-Asyhal dan Bintang Kelahiran Nabi
Diriwayatkan bahwa di Bani ‘Abdil-Asyhal hanya ada satu orang Yahudi, namanya Yūsya‘. Seorang anak kecil saat itu mendengarnya berkata:
“Sesungguhnya telah dekat kepada kalian keluarnya seorang Nabi, yang akan diutus dari arah rumah ini,” sambil menunjuk ke Ka‘bah. “Siapa yang menjumpainya hendaklah ia membenarkannya.”
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul diutus di Makkah dan hijrah ke Madinah, kaum Anshar beriman, namun Yūsya‘ enggan masuk Islam karena hasad.
Dalam riwayat lain, para ulama Yahudi juga mengenal tanda-tanda kelahiran Nabi melalui munculnya bintang khusus pada malam hari beliau lahir. Sebagian mereka menyebutkannya, namun ketika nabi itu datang dari keturunan Ismail, bukan dari Bani Israil, banyak yang menolak.
Ibnu al-Hayyabān: Ulama Syam yang Pindah ke Madinah Menunggu Nabi
Seorang syaikh dari Bani Quraizhah menceritakan tentang tiga tokoh mereka yang masuk Islam: Tsa‘labah bin Sa‘yah, Usayd bin Sa‘yah, dan Asad bin ‘Ubaid.
Beberapa tahun sebelum Islam, seorang ulama Yahudi dari Syam bernama Ibnu al-Hayyabān datang dan tinggal di Madinah. Ia dikenal sangat rajin ibadah. Jika Madinah tertimpa kekeringan, orang Yahudi berkata kepadanya: “Keluarlah dan mintakan hujan untuk kami.”
Ia menolak sebelum mereka bersedekah: satu sha‘ kurma atau dua mud gandum. Setelah mereka mengeluarkan sedekah, ia keluar ke tanah lapang dan berdoa. Tidak sekali dua kali, setiap kali ia berdoa, hujan turun.
Menjelang wafatnya, ia berkata:
“Wahai kaum Yahudi, tahukah kalian mengapa aku keluar dari negeri khamar dan roti (negeri makmur) menuju negeri kemiskinan dan kelaparan ini?
Sesungguhnya aku datang ke negeri ini untuk menanti keluarnya seorang Nabi yang masanya telah dekat. Negeri inilah tempat hijrahnya. Dahulu aku berharap dapat menjumpainya dan mengikutinya, tetapi tampaknya ajalku telah dekat.
Masa kedatangannya telah hampir menyelimuti kalian. Maka jangan sampai kalian dikalahkan (didahului orang lain) untuk beriman kepadanya, wahai kaum Yahudi. Sesungguhnya ia akan diutus dengan menumpahkan darah dan menawan anak-anak dan wanita orang yang menentangnya. Jangan sampai hal itu menghalangi kalian untuk mengikutinya.”
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung Bani Quraizhah, tiga pemuda ini berkata kepada kaumnya:
“Demi Allah, dialah Nabi yang pernah diwasiatkan kepada kalian oleh Ibnu al-Hayyabān.”
Sebagian menolak, tetapi mereka menegaskan kesesuaian sifat-sifatnya. Mereka pun turun, masuk Islam, dan dengan itu selamatlah darah, harta, dan keluarga mereka.
Raja Yaman yang Diingatkan oleh Dua Habr Yahudi
Kitab-kitab sejarah juga menceritakan kedatangan Raja Yaman Tubba‘ al-Yamānī (Abu Karib As‘ad) ke Madinah jauh sebelum Nabi diutus. Ia bermaksud memerangi kota itu, tetapi dua ulama Yahudi (habr) menemuinya dan berkata:
“Engkau tidak akan mampu menguasai kota ini. Sesungguhnya ini adalah negeri hijrah seorang Nabi yang akan datang di akhir zaman.”
Raja pun mengurungkan niatnya dan memuliakan kota itu.
Kisah Zaid bin Su‘nah: Ulama Yahudi yang Tunduk kepada Akhlak Nabi
‘Abdullah bin Sallām – mantan rabbi Yahudi yang masuk Islam – menceritakan kisah sahabatnya, Zaid bin Su‘nah, seorang ulama Yahudi lainnya.
Zaid berkata: “Tidak ada satu pun tanda kenabian yang tidak aku lihat pada wajah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika aku memandangnya, kecuali dua hal yang belum aku pastikan langsung:
bahwa kesabarannya mendahului kemarahannya, dan bahwa semakin keras kebodohan orang terhadapnya hanya akan menambah kelembutan dan kesabarannya.”
Untuk menguji ini, Zaid meminjamkan sejumlah harta kepada Nabi, dengan janji akan dikembalikan pada waktu tertentu. Sebelum jatuh tempo, ia datang kepada Nabi saat beliau bersama para sahabat dalam sebuah jenazah. Ia menarik baju dan selendang Nabi dengan kasar, menatap tajam, dan berkata:
“Wahai Muhammad, tidakkah engkau membayar hutangku? Sesungguhnya aku tidak pernah mengenal kalian, Bani ‘Abdil-Muththalib, kecuali suka menunda-nunda.”
‘Umar bin Khaththab marah besar. Matanya berputar karena emosi, ia berkata:
“Wahai musuh Allah, apakah engkau mengatakan kepada Rasulullah apa yang aku dengar dan melakukan apa yang aku lihat? Demi Dzat yang mengutusnya dengan kebenaran, kalau bukan karena aku khawatir akan kehilangan beliau (karena keributan ini), pasti kepalamu sudah kutebas.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum, menahan ‘Umar, dan bersabda:
“Aku dan dia lebih berhak atas perlakuan lain darimu, wahai ‘Umar.
Engkau seharusnya memerintahkanku untuk membayar dengan baik, dan memerintahkannya untuk menagih dengan cara yang baik.
Pergilah bersamanya, bayarkan haknya, dan tambahkan kepadanya dua puluh sha‘ kurma.”
Melihat akhlak ini, Zaid bin Su‘nah berkata dalam hati: “Inilah dua tanda terakhir yang belum aku saksikan.” Ia pun menyatakan keislamannya dan ikut serta dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah hingga wafat pada tahun Tabuk.
Kisah Salman al-Farisi: Pencarian Panjang Menemukan Kebenaran
Di antara kisah paling menyentuh tentang kabar gembira akan datangnya Nabi terakhir adalah kisah Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu.
Dari Penjaga Api Majusi ke Gereja Nasrani
Salman lahir di Persia, di wilayah Ashbahān, sebuah desa bernama Jayy. Ayahnya adalah kepala desa dan sangat mencintainya, sampai-sampai Salman dikurung di rumah seperti gadis, agar tidak banyak bergaul keluar.
Salman dibesarkan dalam agama Majusi (penyembah api). Ia begitu tekun ibadah, sampai dipercaya sebagai penjaga api agar jangan pernah padam.
Suatu hari, ayahnya sibuk dengan urusan bangunan dan menyuruh Salman untuk memeriksa kebun mereka. Dalam perjalanan, Salman melewati sebuah gereja Nasrani dan mendengar suara-suara orang beribadah di dalamnya. Karena selama ini ia dikurung, ia tidak tahu-menahu tentang agama lain.
Ia masuk ke dalam gereja dan melihat cara ibadah mereka. Shalat mereka membuatnya kagum, hatinya tertarik. Ia berkata dalam hati:
“Demi Allah, agama ini lebih baik daripada agama kami.”
Hari itu ia tidak pergi ke kebun ayahnya. Ia tinggal di gereja sampai matahari terbenam.
Ketika pulang, ayahnya marah dan bertanya. Salman menceritakan apa yang ia lihat. Ayahnya berkata, “Tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik.”
Tapi Salman yang telah merasakan getaran kebenaran menjawab, “Tidak, demi Allah, agama mereka lebih baik daripada agama kita.”
Ayahnya ketakutan. Ia khawatir putranya keluar dari agama keluarga. Ia lalu membelenggu kaki Salman dan mengurungnya di rumah.
Salman diam-diam mengirim pesan kepada orang-orang Nasrani di gereja: bila ada rombongan dari Syam, kabarkan kepadanya. Ketika rombongan pedagang Nasrani dari Syam datang dan akan kembali, Salman melepaskan belenggunya dan pergi bersama mereka ke Syam.
Dari Uskup ke Uskup: Mencari Sisa-sisa Ajaran yang Lurus
Di Syam, Salman bertanya: “Siapa orang yang paling berilmu dalam agama ini?” Mereka menunjuk seorang uskup di gereja. Salman berkata kepadanya ia ingin belajar dan melayaninya di gereja. Uskup itu menerima.
Namun ternyata, uskup tersebut orang yang buruk. Ia memerintahkan umatnya bersedekah, tetapi harta sedekah itu ia timbun untuk dirinya. Ia mengumpulkan tujuh gentong besar berisi emas dan perak, tidak dibagikan kepada fakir miskin. Salman sangat membencinya karena kemunafikan itu.
Ketika uskup itu meninggal, orang-orang berkumpul hendak menguburnya. Salman berkata:
“Sesungguhnya ia adalah orang jahat. Ia memerintahkan kalian bersedekah, tapi semua itu ia simpan untuk dirinya, tidak diberikan kepada orang miskin.”
Mereka bertanya, “Apa bukti yang kau miliki?” Salman menunjukkan tempat harta itu dikubur. Setelah mereka temukan tujuh gentong penuh, mereka murka dan menyalib uskup itu serta merajamnya dengan batu. Mereka mengangkat uskup baru menggantikannya.
Salman berkata: “Aku tidak pernah melihat, di antara orang yang tidak mengerjakan shalat lima waktu seperti kita, seseorang yang lebih zuhud terhadap dunia, lebih rindu akhirat, dan lebih tekun siang malam seperti uskup yang baru ini.”
Salman pun sangat mencintainya, dan tinggal bersamanya beberapa waktu. Menjelang wafat, Salman bertanya, “Kepada siapa aku harus pergi setelah engkau?” Uskup itu berkata bahwa menurutnya hampir semua orang telah menyimpang, kecuali seorang laki-laki di al-Maushil (Irak sekarang), masih di atas ajaran yang lurus. Ia menyuruh Salman pergi kepadanya.
Salman pun pergi ke al-Maushil, tinggal dengan orang itu, dan mendapati ia benar-benar di atas ajaran uskup sebelumnya. Ketika orang itu mendekati ajal, ia menyuruh Salman pergi ke seorang lagi di Nashibin, lalu dari Nashibin ke ‘Ammūriyyah, wilayah Romawi.
Di setiap tempat, Salman menemukan segelintir orang lurus yang masih memegang sisa-sisa ajaran tauhid dan ibadah yang benar. Namun satu per satu mereka meninggal. Sampai akhirnya, guru terakhirnya di ‘Ammūriyyah berkata:
“Wahai anakku, aku tidak tahu lagi ada orang yang masih berada di atas ajaran kami. Tetapi telah dekat masa diutusnya seorang Nabi, yang membawa agama Ibrahim, muncul di tanah Arab.
Tempat hijrahnya adalah negeri di antara dua tanah berbatu (harrah), di antara keduanya banyak pohon kurma.
Ia memiliki tanda-tanda yang tidak samar:
ia menerima hadiah, tetapi tidak memakan sedekah; dan di antara kedua pundaknya ada khatam (tanda) kenabian.
Jika engkau mampu pergi ke negeri itu, maka lakukanlah.”
Tidak lama setelah itu, guru tersebut wafat.
Dijual sebagai Budak, Lalu Dibawa ke Madinah
Salman tetap tinggal di ‘Ammūriyyah hingga memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Suatu hari lewat rombongan pedagang dari kabilah Kalb. Salman berkata kepada mereka:
“Bawalah aku ke tanah Arab, aku berikan kepada kalian sapi dan kambingku ini.”
Mereka menyetujuinya. Namun ketika sampai di Wadi al-Qurā – suatu daerah sebelum Madinah – mereka berkhianat, menjual Salman kepada seorang Yahudi sebagai budak. Salman kini menjadi hamba sahaya.
Di Wadi al-Qurā, Salman melihat pohon-pohon kurma. Ia mulai berharap: “Mungkin inilah negeri yang disebut guruku.” Namun hatinya belum mantap.
Tak lama kemudian, seorang sepupu tuannya, dari Bani Quraizhah, datang dari Madinah dan membeli Salman. Ia membawanya ke Madinah.
Salman berkata:
“Demi Allah, begitu aku melihat Madinah, aku langsung mengenalinya dari sifat yang disebutkan guruku. Aku pun tinggal di sana sebagai budak.
Nabi diutus di Makkah, tinggal di sana beberapa waktu. Aku, sibuk sebagai budak, hampir tidak mendengar kabar tentang beliau.”
Hingga tibalah hari hijrah.
Getaran di Atas Pohon Kurma
Suatu hari, setelah Nabi hijrah ke Madinah, Salman sedang berada di puncak pohon kurma milik tuannya, mengerjakan pekerjaan. Tuannya duduk di bawah.
Datang seorang sepupu tuannya dan berkata:
“Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qilah (Aus dan Khazraj). Demi Allah, mereka kini sedang berkumpul di Quba’, bersama seorang laki-laki yang datang hari ini dari Makkah. Mereka mengklaim bahwa ia adalah nabi.”
Salman berkata:
“Ketika aku mendengar ucapan itu, tubuhku gemetar hebat, sampai aku mengira akan jatuh menimpa tuanku.”
Ia segera turun dan bertanya berulang-ulang kepada sepupu tuannya: “Apa yang engkau katakan tadi? Apa yang engkau katakan?” Tuannya marah, memukulnya, dan menyuruhnya kembali bekerja. Salman pura-pura tidak ada apa-apa, tapi di hatinya ia tahu: inilah saat yang ia tunggu seumur hidup.
Menguji Tanda Pertama: Tidak Memakan Sedekah
Malam harinya, Salman mengumpulkan sedikit makanan yang ia miliki – yang sebelumnya ia sisihkan sebagai sedekah – lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Quba’.
Ia berkata:
“Telah sampai kepadaku bahwa engkau adalah lelaki yang shalih, dan engkau memiliki sahabat-sahabat yang asing dan membutuhkan. Ini adalah sesuatu yang aku miliki untuk sedekah. Aku melihat kalian lebih berhak atasnya daripada yang lain.”
Ia mendekatkan makanan itu kepada Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat: “Makanlah.” Namun beliau sendiri tidak makan.
Salman berkata dalam hati: “Ini tanda pertama.”
Menguji Tanda Kedua: Memakan Hadiah
Beberapa hari kemudian, Salman kembali mengumpulkan sesuatu, lalu menemui Nabi yang sudah pindah ke Madinah. Ia berkata:
“Aku melihat engkau tidak memakan sedekah. Ini adalah hadiah yang aku berikan kepadamu.”
Kali ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan hadiah itu, dan memerintahkan para sahabat juga makan.
Salman berkata dalam hati: “Ini tanda kedua.”
Mencari Khatam Kenabian di Punggung Nabi
Masih tersisa satu tanda: khatam kenabian di antara dua pundak.
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke pemakaman Baqi‘ al-Gharqad, menghadiri pemakaman salah satu sahabat. Beliau duduk, memakai dua selendang.
Salman datang, memberi salam, lalu mengitari beliau dari belakang, berusaha melihat punggungnya tanpa menimbulkan kecurigaan. Rasulullah menyadari apa yang ia cari. Beliau menurunkan selendang dari punggungnya, sehingga khatam kenabian itu terlihat jelas.
Salman tidak kuasa menahan haru. Ia langsung memeluk punggung Nabi, mencium khatam itu sambil menangis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya duduk di hadapan beliau, lalu Salman menceritakan seluruh perjalanan panjangnya dari Persia sampai saat itu.
Nabi gembira mendengar kisah itu dan senang bila para sahabat lain ikut mendengarnya.
Dari Budak Menjadi Sahabat Mulia
Meskipun sudah beriman, Salman masih budak. Karena itu, ia tidak ikut perang Badar dan Uhud, dua perang besar di awal Islam.
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
“Buatlah perjanjian (mukatabah), wahai Salman.”
Salman pun membuat perjanjian dengan tuannya: ia harus menanam 300 pohon kurma untuk tuannya, dan membayar 40 uqiyah emas/perak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak para sahabat untuk membantunya:
“Bantulah saudara kalian.”
Setiap sahabat menyumbang bibit kurma sesuai kemampuan: ada yang tiga puluh, dua puluh, lima belas, sepuluh, sampai terkumpul tiga ratus bibit.
Nabi bersabda:
“Pergilah, wahai Salman, buatlah lubang-lubang tanam. Jika engkau sudah selesai, beritahu aku. Aku sendiri yang akan menanamnya dengan tanganku.”
Salman dan para sahabat menggali lubang. Setelah selesai, Nabi datang. Mereka mendekatkan setiap bibit kepada beliau, dan beliau menanam satu per satu dengan tangannya yang mulia.
Salman bersumpah:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun bibit dari 300 itu yang mati.”
Dengan itu, terpenuhilah bagian kurma dari perjanjian. Tinggal 40 uqiyah emas.
Allah kemudian mendatangkan kepada Nabi sepotong emas sebesar telur ayam dari salah satu tambang. Nabi memanggil Salman:
“Ambillah ini, dan bayarkan darinya kewajibanmu, wahai Salman.”
Salman merasa emas itu terlalu kecil untuk menutup hutang sebesar 40 uqiyah. Nabi bersabda:
“Ambillah. Sesungguhnya Allah akan melunasi darinya.”
Dalam satu riwayat, Nabi membalik-balikkannya di atas lidah beliau, lalu menyerahkannya kepada Salman.
Salman menimbang emas itu untuk tuannya. Ajaib, beratnya tepat 40 uqiyah. Dengan itu, lunaslah semua kewajibannya dan Salman merdeka.
Setelah itu, ia ikut Perang Khandaq sebagai orang merdeka, dan tidak ada satu pun peristiwa besar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia lewatkan.
Sumber kisah utama:
Ibn Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah,

Komentar
Posting Komentar