Hawātif al-Jān: Kisah Suara Jin, Dukun Jahiliah, dan Pertanda Diutusnya Nabi Muhammad SAW
Pendahuluan: Saat Langit Mengencang, Suara-Suara Jin Tiba-Tiba Berubah
Menjelang diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, alam gaib ternyata sudah lebih dulu “gempar”. Jin-jin yang biasa mencuri berita dari langit tiba-tiba dihalangi. Berhala-berhala yang dahulu diam membisu, tiba-tiba roboh dan mengeluarkan suara. Para dukun (kāhin) kehilangan sumber informasi mereka. Di masa itulah, tersebar berbagai kisah tentang suara-suara aneh yang terdengar dari jin dan berhala, seakan menjadi pembuka jalan bagi datangnya risalah terakhir.
Umar bin al-Khaththab dan Laki-Laki yang “Terbaca” Masa Lalunya
Abdullah bin Umar menceritakan bahwa ayahnya, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, punya kebiasaan unik: bila beliau menduga kuat sesuatu, hampir selalu tepat terjadi sebagaimana dugaannya.
Suatu hari Umar sedang duduk, lalu lewat seorang laki-laki Arab yang tampan. Umar memandangnya lama, lalu berkata di hadapan orang banyak bahwa prasangkanya bisa saja salah, namun menurutnya orang itu masih di atas agama jahiliah, atau dahulu ia adalah dukun di masa jahiliah. Umar meminta agar orang itu dibawa menghadap.
Laki-laki tersebut dipanggil. Umar bertanya langsung, tanpa basa-basi, apakah ia masih musyrik atau pernah menjadi dukun. Laki-laki itu terkejut dan merasa tersinggung. Ia memuji Allah dan berkata kepada Umar bahwa sang khalifah telah berprasangka buruk tentang dirinya dan menyambutnya dengan cara yang tidak pernah ia lihat Umar lakukan kepada rakyatnya sejak Umar menjadi khalifah.
Umar segera merendahkan diri dan berkata bahwa di masa jahiliah mereka lebih buruk dari itu, mereka menyembah patung-patung dan berpegang kepada berhala, sampai Allah memuliakan mereka dengan mengutus Rasul-Nya dan dengan Islam. Mendengar itu, laki-laki tersebut mengaku bahwa memang benar dulu ia adalah dukun di masa jahiliah.
Umar kemudian bertanya apa hal paling mengherankan yang pernah dibawa oleh pendamping jinnya. Laki-laki itu pun berkisah. Beberapa hari atau sebulan sebelum datangnya Islam, pendamping jinnya datang dalam keadaan takut dan melantunkan prosa berirama yang maknanya: jin sedang kebingungan, keputusasaan menyergap mereka setelah mereka “terjungkal”, dan mereka berlarian mengejar unta-unta dan pelana-pelananya, seakan kehilangan arah.
Umar yang mendengar itu menimpali bahwa jin itu berkata benar, lalu ia menceritakan pengalamannya sendiri.
Suara dari Perut Anak Sapi: “Laa ilaaha illallaah”
Umar menceritakan bahwa sebelum Islam, ia pernah tidur di dekat berhala-berhala Quraisy. Saat itu seseorang datang membawa seekor anak sapi, lalu menyembelihnya sebagai kurban untuk berhala. Umar dan beberapa orang Quraisy menunggu pembagian dagingnya.
Tiba-tiba dari dalam perut anak sapi itu terdengar suara yang belum pernah ia dengar sekeras itu. Suara itu berseru memanggil keluarga Dzarih, memberitakan bahwa telah datang sebuah urusan yang menang, seorang lelaki yang lantang berseru, mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah. Orang-orang pun melonjak kaget dan ketakutan.
Umar berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pergi sebelum mengetahui apa rahasia di balik suara itu. Tidak lama, suara itu mengulang lagi seruan yang sama. Umar pun bangkit. Tak lama sesudah itu, tersebar kabar di Makkah bahwa telah muncul seorang Nabi. Bertahun-tahun kemudian, barulah ia memahami bahwa suara dari perut anak sapi itu adalah salah satu tanda awal diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa jin-jin sudah mulai menyebarkan berita itu dengan cara-cara yang mengejutkan manusia.
Sawād bin Qārib: Dukun yang Dibangunkan Tiga Malam oleh Jinnya
Di antara kisah paling terkenal dalam bab ini adalah kisah Sawād bin Qārib al-Azdi (atau as-Sadusi), seorang dukun besar di Yaman yang kemudian menjadi sahabat Nabi.
Sawād bercerita kepada Umar, dan juga secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bagaimana ia pertama kali mendapat kabar diutusnya Nabi. Kisahnya datang dari beberapa jalur dengan redaksi yang mirip, namun intinya sama.
Ia berkata bahwa sebelum Islam, ia adalah seorang kahin (dukun) di tengah kaumnya. Pada suatu malam, ketika ia berada di antara tidur dan terjaga, pendamping rahasianya dari kalangan jin datang, menendang kakinya dan menyuruhnya bangun untuk mendengarkan ucapannya. Jinnya mengabarkan bahwa telah diutus seorang rasul dari kabilah Lu’ayy bin Ghalib yang menyeru kepada Allah dan ibadah hanya kepada-Nya. Setelah itu, ia melantunkan kalimat-kalimat berirama yang menggambarkan keheranannya terhadap jin yang berlarian, kebingungan dan putus asa, terjungkal dari tempat biasa mereka berkeliaran, lalu terbang menuju Makkah untuk mencari petunjuk. Ia menegaskan bahwa jin-jin yang beriman tidak sama dengan jin-jin yang kotor dan kafir, kemudian memerintahkan Sawād untuk berangkat menemui orang terpilih dari Bani Hasyim di Makkah.
Sawād yang sangat mengantuk saat itu justru menjawab agar dibiarkan tidur. Pada malam kedua, jinnya datang lagi dengan pesan yang sama, dengan susunan kalimat sedikit berbeda namun tetap menekankan bahwa seorang Nabi dari Lu’ayy bin Ghalib telah diutus, menyeru kepada Allah, dan para jin berbondong-bondong menuju Makkah untuk mencari petunjuk. Sawād masih juga minta dibiarkan tidur.
Pada malam ketiga, jinnya datang lagi, menendangnya dan kali ini menegur dengan keras, seakan bertanya apakah Sawād berakal atau tidak. Ia menjelaskan dengan tegas bahwa di Makkah telah muncul seorang Nabi yang menyeru kepada Rabb-nya, dan bahwa Sawād harus datang kepadanya untuk menerima ajarannya. Ia kembali melantunkan kalimat-kalimat berirama yang menggambarkan jin-jin yang berkeliling, mengendus-endus dan mengikat unta dengan pelana di punggungnya, lalu terbang menuju Makkah untuk mencari petunjuk, serta menegaskan bahwa jin-jin yang baik tidak sama dengan yang najis.
Pada titik itu, Sawād sadar bahwa Allah menghendaki kebaikan baginya. Ia bangkit dan berkata dalam hatinya bahwa Allah benar-benar sedang menguji hatinya. Ia segera memasang pelana di punggung untanya dan berangkat menuju Makkah. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia tiba dan mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di tengah para sahabatnya.
Sawād mendekat dan meminta izin kepada Rasulullah untuk melantunkan ucapannya. Nabi mempersilakan. Sawād pun membacakan rangkaian bait yang panjang. Di dalam syair itu ia menyatakan persaksiannya bahwa Allah adalah Tuhan yang esa, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya, dan bahwa Muhammad adalah rasul yang terpercaya, pemilik wasilah yang paling dekat kepada Allah. Ia menceritakan bagaimana pendamping rahasianya datang tiga malam berturut-turut membawa kabar tentang seorang rasul dari Lu’ayy bin Ghalib, sehingga ia menyingkap ujung kainnya, mengencangkannya, lalu menempuh padang-padang pasir berdebu di atas seekor unta betina yang kuat, demi tiba di hadapan Nabi. Ia juga memohon agar Rasulullah menjadi pemberi syafaat baginya pada hari ketika tidak ada seorang pun yang memiliki syafaat yang bisa mencukupi, kecuali syafaat yang Allah izinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sangat bergembira dengan ucapan Sawād. Kegembiraan itu tampak jelas di wajah-wajah mereka. Umar yang hadir saat itu pun melompat memeluk Sawād, dan berkata bahwa ia sudah lama ingin mendengar kisah itu langsung darinya.
Umar kemudian bertanya kepada Sawād apakah pendamping jinnya masih datang setelah ia masuk Islam dan membaca al-Qur’an. Sawād menjawab bahwa sejak ia membaca al-Qur’an, jinnya itu tidak datang lagi, lalu menutup dengan kalimat yang indah bahwa sebaik-baik pengganti bisikan jin adalah Kitab Allah.
Jin yang Mengabarkan di Madinah dan Negeri-Negeri Lain
Tidak hanya Sawād dan pendamping jinnya yang mengetahui kabar diutusnya Nabi. Banyak manusia yang dahulu memiliki qarin (pengikut) dari kalangan jin juga mendapatkan kabar serupa.
Di Madinah, Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa berita pertama yang sampai kepada penduduk Madinah tentang diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang melalui seorang wanita yang mempunyai qarin dari jin. Jin itu biasa datang dalam rupa seekor burung putih dan hinggap di tembok rumahnya. Suatu hari, wanita itu berkata kepada burung tersebut agar turun sehingga mereka bisa saling berbincang dan bertukar kabar. Burung putih itu, yang sebenarnya jin, menjawab dari atas tembok bahwa telah diutus seorang Nabi di Makkah, yang mengharamkan zina dan melarang para jin untuk tetap tinggal di langit seperti dahulu. Riwayat lain menyebut bahwa jin bernama Ibnu Lauzān, dan ketika wanita itu mengeluh karena jin lama menghilang, jin itu menjawab bahwa ia baru saja mendatangi Rasul tersebut, mendengar beliau mengharamkan zina, dan ia pergi mengucapkan salam perpisahan.
Di Syam, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu pernah pergi dalam kafilah dagang sebelum diutusnya Nabi. Di daerah Afwāh asy-Syām, ada seorang kahinah, dukun wanita yang terkenal. Ia menahan mereka lalu bercerita bahwa sahabatnya dari kalangan jin datang dan berdiri di depan pintunya. Saat ia mengajaknya masuk, jin itu menjawab bahwa tidak ada lagi jalan untuk itu, karena Ahmad telah muncul dan telah datang suatu urusan yang tak tertahankan. Ia pun pergi. Ketika Utsman kembali ke Makkah, ia mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan diri dan menyeru manusia kepada Allah.
Ada pula kisah seorang wanita Bani Asad bernama Su‘airah yang punya qarin dari jin. Jin itu biasa mencuri kabar dari langit. Ketika wahyu datang, langit dijaga, dan para jin tidak lagi bisa naik untuk mencuri dengar. Jin milik Su‘airah lalu datang dan masuk ke dalam dadanya. Akibatnya, wanita itu seperti hilang akal; ia menjerit-jerit, sementara dari dalam dadanya terdengar suara memaklumkan bahwa hubungan antara langit dan para jin telah diputus, sahabat-sahabat jin tidak lagi bisa berkumpul, sebuah perkara besar yang tak tertahankan telah datang, dan Ahmad telah mengharamkan zina. Dengan kata lain, jalur lama para jin untuk mendapatkan berita dari langit sudah ditutup oleh turunnya wahyu.
Dzul Khalashah dan Dukun Kabilah Daus: Jin yang “Putus Kontrak”
Kisah lain yang sangat mencolok diceritakan oleh Mirdas bin Qais as-Sadusi, langsung di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bagaimana Islam mengubah keadaan seorang “anak jin” di tengah kaumnya.
Di kalangan kabilah Daus, ada seorang gadis bernama al-Khalashah, yang tidak dikenal kecuali dengan kebaikan. Suatu hari ia datang kepada kaumnya dan berkata bahwa sesuatu yang menakjubkan telah menimpanya. Saat ia sedang berada di tengah kambing-kambingnya, tiba-tiba ia diliputi kegelapan dan merasakan gerakan seperti gerakan seorang lelaki bersama seorang wanita. Ia khawatir dirinya telah hamil. Waktu berlalu, dan ketika mendekati masa melahirkan, ia benar-benar melahirkan seorang bayi laki-laki dengan rambut lebat dan kedua telinga seperti telinga anjing.
Anak itu tumbuh bersama mereka, bermain dengan anak-anak lain. Suatu hari, ketika sedang bermain, ia tiba-tiba meloncat, melemparkan selendangnya dan berteriak dengan suara sangat keras. Ia menyebutkan kecelakaan yang akan menimpa kambing-kambing dan kabilah Fahm, menyinggung datangnya pasukan berkuda dari balik bukit dengan para pemuda tampan dan terhormat di atasnya. Mendengar itu, orang-orang Daus segera mempersiapkan kendaraan dan persenjataan.
Anak tersebut memerintahkan mereka untuk mencari seorang gadis yang sudah haid. Seorang lelaki tua mengatakan bahwa di rumahnya ada seorang gadis seperti itu. Gadis itu pun dibawa ke puncak gunung dan diperintahkan melepaskan pakaiannya dan menampakkan diri di hadapan musuh, sebagai bagian taktik. Anak itu memerintahkan seorang lelaki bernama Ahmar bin Hābis untuk menyerang penunggang kuda pertama. Ahmar melakukannya, menikam hingga penunggang itu roboh. Musuh pun lari, dan kabilah Daus mengalahkan mereka serta merampas harta.
Mereka begitu kagum dengan anak itu hingga membangun sebuah rumah khusus untuknya dan menamainya Dzul Khalashah. Ia tidak pernah mengabarkan sesuatu kecuali terjadi sesuai yang dikatakannya. Namun ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, keadaan berubah. Suatu hari Dzul Khalashah memerintahkan mereka menyerang Bani al-Harits bin Ka‘b. Namun kali ini, mereka kalah total dan dipermalukan. Mereka kembali memprotesnya. Mereka melihat kedua matanya merah, daun telinganya tegang, dan wajahnya mengerut marah.
Anak itu berkata bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi, karena sosok yang biasa membenarkan dan menguatkannya kini telah mendustakannya. Ia meminta agar dikurung selama tiga hari. Setelah tiga hari, mereka kembali membukakan kurungannya dan mendapati dirinya seperti bara api yang menyala. Ia berkata bahwa langit telah dijaga dan sebaik-baik Nabi telah keluar di Makkah. Ia menyatakan bahwa ia akan mati dan terbakar. Ia meminta agar mereka menguburnya di puncak gunung, lalu jika mereka melihatnya menyala dan berkobar, hendaknya mereka melemparkan tiga batu sambil mengucapkan, “Bismikallāhumma (Dengan nama-Mu, ya Allah),” maka ia akan padam dan tenang.
Anak itu benar-benar mati dan menyala menjadi api. Mereka pun melakukan apa yang dimintanya; melempar dengan tiga batu sambil mengucapkan Bismikallāhumma pada setiap lemparan, hingga api itu padam. Beberapa waktu kemudian, rombongan haji datang mengabarkan dengan jelas tentang diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barulah mereka mengerti bahwa “saluran” jin yang dahulu memberi berita kepada Dzul Khalashah telah tertutup, digantikan oleh wahyu yang turun kepada Nabi yang ummi itu.
Berhala-Berkala yang “Mengaku Kalah”
Di banyak kabilah Arab, berhala-berhala yang dahulu diagungkan tiba-tiba roboh atau bahkan “berbicara” menjelang atau setelah diutusnya Nabi. Ibnu Katsir menukil beberapa kisah unik tersebut.
Hammām: Berhala Bani ‘Udzrah
Bani ‘Udzrah mempunyai sebuah berhala bernama Hammām yang mereka agungkan, terletak di tengah Bani Hind bin Harām. Penjaga berhala itu seorang lelaki bernama Tāriq. Mereka biasa menyembelih kurban di sisinya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus, mereka mendengar suara yang memanggil Bani Hind bin Harām, mengabarkan bahwa kebenaran telah tampak, Hammām telah binasa, dan Islam telah menghalau kesyirikan. Mereka ketakutan dan gelisah. Beberapa hari kemudian, mereka mendengar lagi suara yang kali ini memanggil Tāriq. Suara itu menegaskan bahwa Nabi yang jujur telah dibangkitkan dengan wahyu yang fasih, bahwa seorang penyeru telah berseru di tanah Tihamah bahwa keselamatan bagi para penolongnya dan penyesalan bagi para penentangnya, lalu menutup dengan kalimat bahwa itulah salam perpisahan hingga hari Kiamat. Setelah itu, berhala Hammām roboh tertelungkup.
Seorang dari mereka bernama Zamil bin ‘Amr al-‘Udzri membeli tunggangan, menyiapkannya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa kaumnya. Ia melantunkan syair keislamannya di hadapan Nabi, menyatakan bahwa ia mengarahkan selendangnya dan menempuh padang gersang demi menolong sebaik-baik manusia, dan bersaksi bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang ia sembah. Mereka pun masuk Islam. Nabi menuliskan surat untuk mereka dan menyatakan bahwa siapa yang masuk Islam termasuk golongan Allah dan Rasul-Nya, sementara yang enggan diberi tenggat keamanan selama dua bulan.
Bājir: Berhala di ‘Uman dan Kisah Māzin bin al-Ghadūbah
Di sebuah kampung bernama Samāyā di wilayah ‘Uman, hidup seorang lelaki bernama Māzin bin al-Ghadūbah. Ia menjadi penjaga sebuah berhala besar yang diagungkan oleh beberapa kabilah. Suatu hari, saat mereka menyembelih kurban khusus, Māzin mendengar suara dari berhala itu yang memanggilnya, menyuruhnya mendengar kabar gembira. Suara itu mengabarkan bahwa kebaikan telah tampak dan keburukan tersembunyi, bahwa seorang Nabi dari keturunan Mudhar telah diutus dengan agama Allah yang agung, dan memerintahkannya meninggalkan patung batu agar selamat dari panasnya neraka Saqar.
Beberapa hari kemudian, saat mereka kembali menyembelih kurban, Māzin kembali mendengar suara dari berhala yang memintanya mendekat. Kali ini, suara itu menegaskan bahwa seorang Nabi telah diutus dengan kebenaran yang diturunkan, dan memerintahkannya beriman kepada Nabi tersebut agar berpaling dari api yang menyala dan bahan bakarnya batu besar.
Māzin sangat heran, namun hatinya juga yakin bahwa ini adalah kebaikan yang Allah kehendaki. Tak lama kemudian datang seorang lelaki dari Hijaz. Māzin bertanya apa kabar dari negerinya. Lelaki itu menjawab bahwa telah muncul seorang lelaki bernama Ahmad yang berkata kepada orang-orang: “Jawablah seruan Allah.”
Māzin segera menghubungkan berita itu dengan suara yang ia dengar dari berhala. Ia menghancurkan berhala yang ia jaga hingga menjadi serpihan, lalu berangkat ke Madinah. Di sana, Allah melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Ia mengadu kepada Nabi bahwa ia dulu sangat gemar nyanyian, zina, minum khamr, dan bahwa kemiskinan telah menimpanya serta ia belum memiliki anak. Ia meminta Nabi mendoakan agar Allah menghilangkan kebiasaan buruknya, menurunkan hujan, dan mengaruniakan anak kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar Allah menggantikan kegemarannya terhadap nyanyian dengan kecintaan membaca al-Qur’an, menggantikan yang haram dengan yang halal, menggantikan dosa dan zina dengan kehormatan, menurunkan hujan, dan memberinya anak. Doa itu terkabul. Māzin bercerita bahwa setelah itu Allah menghilangkan darinya sifat-sifat buruk tersebut, negeri ‘Uman menjadi subur, ia menikahi empat wanita merdeka, menghafal separuh al-Qur’an, dan dianugerahi seorang anak bernama Hayyān bin Māzin. Ia pun bersyair memuji perjalanan hijrahnya kepada Rasulullah, meninggalkan khamr dan zina, serta menggantinya dengan rasa takut kepada Allah, kekhusyukan, jihad, puasa, dan haji.
Ketika ia kembali kepada kaumnya, mereka mencelanya dan menugaskan seorang penyair untuk menghina dirinya. Māzin menahan diri dan tidak membalas dengan celaan, karena ia tahu bahwa bila ia membalas dalam bentuk syair, hakikatnya ia sedang mencela dirinya sendiri di hadapan orang-orang yang belum tahu kebenaran. Waktu berlalu, hingga akhirnya mereka menyadari perubahan pada diri Māzin. Mereka datang secara rombongan besar, mengakui kesalahan mereka, dan meminta bimbingan. Dengan izin Allah, mereka pun akhirnya masuk Islam.
Suara dari Langit, Burung Unta, dan Idola yang Terbakar
Kisah-kisah lain menunjukkan bagaimana kabar diutusnya Nabi sampai kepada manusia melalui tanda-tanda luar biasa.
Di antara kisah itu adalah kisah al-‘Abbās bin Mirdās as-Sulami yang memiliki berhala bernama adh-Dhimār. Suatu hari, ketika ia sedang di tengah unta-untanya pada waktu siang, ia melihat seekor burung unta putih muncul, dan di atasnya seorang penunggang berpakaian putih. Penunggang itu memanggilnya dan mengabarkan bahwa langit telah mencukupkan penjaganya, perang telah menelan napas terakhirnya, kuda-kuda telah menanggalkan pelananya, dan bahwa yang turun dengan kebajikan dan takwa pada hari Senin malam Selasa adalah pemilik unta betina al-‘Adhbā’. Al-‘Abbās ketakutan dan pulang kepada berhalanya, adh-Dhimār, untuk meminta perlindungan. Ia membersihkan dan mengusapnya. Namun dari dalam berhala itu terdengar suara yang memerintahkan agar al-‘Abbās menyampaikan kepada seluruh kabilah Sulaim bahwa adh-Dhimār telah binasa dan ahli masjidlah yang menang, bahwa adh-Dhimār yang dahulu disembah kini hancur di hadapan Kitab yang dibawa Nabi Muhammad, dan bahwa orang yang mewarisi kenabian setelah Isa putra Maryam adalah seorang yang mendapat petunjuk dari Quraisy.
Al-‘Abbās memutuskan untuk meninggalkan berhala itu, membawa tiga ratus orang dari kaumnya ke Madinah, dan masuk Islam di hadapan Nabi. Ia kemudian kembali dan membakar berhala adh-Dhimār hingga musnah, lalu bersyair mengisahkan penyesalannya karena dulu menjadikan adh-Dhimār sebagai sekutu Rabb alam semesta dan meninggalkan Rasulullah, hingga akhirnya ia datang untuk membaiat Nabi dan meninggalkan kesyirikan.
Jin yang Menyelamatkan Manusia dan Mengarahkan ke Madinah
Tidak semua jin dalam kisah-kisah ini buruk. Sebagian justru beriman dan menolong manusia untuk mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satunya adalah kisah Rāfi‘ bin ‘Umair, seorang lelaki Bani Tamim yang dijuluki Dū‘mūsh al-‘Arab karena keberanian dan keahliannya dalam perjalanan. Ia menceritakan bahwa ia pernah berjalan pada malam hari di padang pasir bernama Raml ‘Ālij. Karena mengantuk, ia menambatkan untanya, menjadikan lengannya sebagai bantal, dan tidur. Sebelum tidur, ia mengucapkan kalimat berlindung kepada penguasa lembah itu dari kalangan jin.
Dalam mimpinya, ia melihat seorang pemuda hendak menusuk leher untanya dengan tombak. Ia terbangun, tidak melihat apa-apa. Ia tidur lagi, mimpi yang sama berulang. Pada kali ketiga, ketika ia membuka mata, ia benar-benar melihat seorang pemuda dengan tombak dan seorang tua yang memegang tangan pemuda itu, mencegahnya. Orang tua itu menegurnya dengan kata-kata puitis yang menunjukkan bahwa tidak pantas mengganggu unta milik tetangga manusia dan menawarkan banteng-bantengnya sebagai tebusan. Tiga banteng liar pun muncul, dan pemuda itu mengambil salah satunya, lalu pergi.
Setelah itu, orang tua itu berbalik kepada Rāfi‘ dan mengajarkannya satu pelajaran penting. Ia berkata bahwa jika Rāfi‘ singgah di sebuah lembah dan merasa takut akan bahayanya, hendaklah ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah, Rabb Muhammad, dari keburukan lembah ini.” Ia melarang Rāfi‘ berlindung kepada jin, karena urusan dan kekuasaan mereka atas manusia telah batal.
Rāfi‘ bertanya, “Siapa Muhammad?” Orang tua itu menjawab bahwa ia adalah seorang Nabi Arab, bukan dari Timur atau Barat, diutus pada hari Senin, dan kini tinggal di Yatsrib, sebuah kota yang penuh pohon kurma. Saat fajar menyingsing, Rāfi‘ menunggangi untanya, memacunya hingga menembus padang pasir dan tiba di Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambutnya dengan menyebutkan kisah yang baru saja ia alami, sebelum Rāfi‘ sempat bercerita. Ia pun masuk Islam.
Sa‘id bin Jubair menyebut bahwa para ulama berpendapat, Rāfi‘ inilah orang yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:
قَوْلُهُ تَعَالَى:
﴿وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا﴾“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka mereka (jin-jin itu) menambah bagi mereka dosa dan kesesatan.”
(QS. al-Jinn: 6)
Ayat ini menggambarkan kebiasaan manusia di zaman jahiliah yang meminta perlindungan kepada jin, dan datangnya Islam mengajarkan bahwa perlindungan hanya layak diminta kepada Allah.
Kisah lain datang dari Khuraim bin Fātik al-Asadi, yang diceritakannya di hadapan Umar. Suatu hari ia mencari unta betinanya yang tersesat hingga ke sebuah tempat bernama Abraq al-‘Irāq. Ia menambatkan tunggangannya dan mengucapkan kalimat berlindung kepada penguasa lembah itu dan pemimpin negerinya. Tiba-tiba terdengar suara yang menegurnya agar berlindung hanya kepada Allah Yang Mahaagung, Pemilik kemuliaan dan keutamaan, dan menyuruhnya membaca beberapa ayat dari surah al-Anfāl serta mentauhidkan Allah tanpa mempedulikan selain-Nya.
Ketika Khuraim bertanya siapa yang berbicara, suara itu menjelaskan bahwa di Yatsrib ada Rasulullah yang memerintahkan manusia kepada kebaikan dan shalat serta melarang dari keburukan. Suara itu memperkenalkan dirinya sebagai Mālik bin Mālik, naqib Rasulullah di kalangan jin Nashibin, yang bahkan telah menolong mengumpulkan unta-unta Khuraim dan akan mengembalikannya kepada keluarganya. Khuraim berangkat ke Madinah, datang pada hari Jumat, shalat bersama kaum muslimin, dan menemui Nabi. Rasulullah membenarkan kisahnya dan memujinya, serta menjelaskan bahwa sahabat jinnya itu adalah jin yang amanah.
Najāsyi, Waraqah, dan Zaid bin ‘Amr: Isyarat dari Ahli Kitab
Bukan hanya jin dan berhala yang bereaksi. Para pencari kebenaran dari kalangan manusia, termasuk ahli kitab, juga menyaksikan isyarat-isyarat menjelang kelahiran dan diutusnya Nabi.
Waraqah bin Naufal dan Zaid bin ‘Amr bin Nufail, dua orang Quraisy yang mencari agama Ibrahim yang hanif, pernah pergi menemui Raja Najāsyi di Habasyah setelah Abrahah kembali dari Makkah. Najāsyi bertanya kepada mereka tentang seorang bayi yang dahulu hampir dikorbankan ayahnya dengan undian menggunakan azlām (anak panah), lalu diganti dengan tebusan berupa unta yang banyak, yaitu Abdullah bin Abdul Muththalib. Ia ingin tahu apakah bayi itu telah punya keturunan atau belum.
Mereka menjelaskan bahwa Abdullah telah menikah dengan Aminah binti Wahb, meninggalkannya dalam keadaan hamil, lalu wafat. Najāsyi bertanya apakah bayi dari Aminah sudah lahir. Waraqah lalu bercerita bahwa pada suatu malam ia tidur di sisi berhala Quraisy yang biasa mereka thawafi. Tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam berhala yang mengabarkan bahwa seorang Nabi telah lahir, para malaikat tunduk, dan kesesatan serta syirik telah mundur. Setelah mengucapkan kata-kata itu, berhala itu pun roboh tertelungkup.
Zaid bin ‘Amr turut menambahkan bahwa pada malam yang sama, ketika orang-orang membicarakan kehamilan Aminah, ia keluar dari rumah menuju Jabal Abi Qubais untuk menyendiri. Di sana ia melihat seorang lelaki turun dari langit dengan dua sayap hijau, berdiri di atas Abi Qubais menghadap Makkah dan berkata bahwa setan telah hina, berhala-berhala telah batal, dan al-Amīn (yang terpercaya) telah lahir. Lelaki bersayap itu kemudian membentangkan selembar kain yang menutupi timur dan barat, memancarkan cahaya yang hampir menyilaukan penglihatannya, lalu hinggap di atas Ka‘bah dan dari sana memancarkan cahaya yang menerangi Tihamah. Ia memberi isyarat kepada berhala-berhala di atas Ka‘bah, dan tiba-tiba semuanya jatuh.
Najāsyi tersentak dan menyatakan bahwa ia juga memiliki pengalaman pada malam yang sama. Ia tidur dalam sebuah kubah ketika tiba-tiba dari bumi muncul sesuatu seperti leher dan kepala, yang mengucapkan syair tentang turunnya azab atas pasukan bergajah, burung-burung Ababil yang melempari mereka dengan batu dari sijjīl, binasanya penguasa berhidung bengkok yang durhaka, serta lahirnya Nabi yang ummi dari Makkah, penduduk tanah haram. Leher itu juga mengatakan bahwa siapa yang memenuhi panggilan Nabi itu akan beruntung dan siapa yang menolaknya adalah orang keras kepala. Setelah itu, leher itu kembali masuk ke dalam bumi. Najāsyi mengaku lidah dan kakinya sempat lumpuh karena ketakutan, lalu kembali normal. Ia meruntuhkan kubahnya sendiri dan memerintahkan agar orang-orang Habasyah sementara dijauhkan darinya karena ia masih tertegun oleh peristiwa itu.
Ramalan Sathiḥ: Dari Datangnya Rasul sampai Fitnah-Fitnah Besar
Ibnu Katsir juga menukil kisah tentang seorang kahin termasyhur bernama Sathiḥ al-Ghassāni, yang tubuhnya sangat aneh: ia seolah-olah hanyalah daging yang diletakkan di atas papan, tanpa tulang dan urat kecuali tengkorak dan dua telapak tangan. Ia bisa dilipat seperti kain, dan yang benar-benar bergerak darinya hanya lisannya.
Beberapa orang Quraisy pernah mendatangi Sathiḥ. Mereka datang dengan berpura-pura sebagai Bani Jumah, padahal mereka sebenarnya dari keturunan Quraisy yang lain. Salah satu dari mereka, ‘Aqil bin Abi Waqqāsh, memberikan hadiah pedang India dan tombak Rudainiyyah. Perkakas itu diletakkan di pintu Ka‘bah dulu, untuk diuji apakah Sathiḥ mampu “melihatnya” atau tidak.
Sathiḥ memanggil ‘Aqil, menyuruhnya mengulurkan tangan, lalu bersumpah demi Allah yang mengetahui yang tersembunyi, mengampuni dosa, dan menepati janji, serta demi Ka‘bah yang dibangun, bahwa ‘Aqil datang membawa hadiah berupa pedang India dan tombak Rudainiyyah. Mereka membenarkannya, lalu Sathiḥ melanjutkan sumpah demi berbagai hal yang mereka agungkan di masa itu, sebelum akhirnya ia membongkar kedok mereka. Ia menyatakan bahwa burung gagak sekalipun seakan mengabarkan bahwa mereka bukan dari Bani Jumah, tetapi dari Quraisy yang tinggal di lembah Makkah.
Ketika mereka mengakui hal itu, Sathiḥ mulai menyampaikan ramalan panjang tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang. Ia mengatakan bahwa orang-orang Arab saat itu hidup di zaman kelemahan, tanpa ilmu dan pemahaman yang kuat. Dari keturunan mereka kelak akan muncul generasi yang cerdas, mencari berbagai jenis ilmu, menghancurkan berhala, dan memerangi bangsa-bangsa asing. Ia mengabarkan bahwa dari negeri Makkah akan muncul seorang pemuda yang menunjukkan manusia kepada petunjuk, meninggalkan penyembahan berhala, dan hanya menyembah Allah Yang Mahaesa. Pemuda itu akan diwafatkan dalam keadaan terpuji.
Setelahnya, urusan umat akan dipegang oleh seseorang yang ia sebut ash-Shiddiq, yang bila memutuskan urusan akan melakukannya dengan benar, tidak tergesa-gesa atau ceroboh dalam menunaikan hak. Lalu urusan dipegang oleh seorang hanif yang berpengalaman, terhormat, mencintai menjamu tamu, dan tetap di atas agama hanifiyyah. Kemudian para pemimpin silih berganti, di antaranya ada yang ia gambarkan mengajak manusia kepada agamanya, terkumpul banyak pengikut di sekelilingnya, namun kemudian dibunuh sebagai balas dendam dan kemarahan. Ada pula pemimpin yang disembelih menjadi potongan-potongan, dan sesudahnya urusan dipegang oleh lelaki-lelaki ahli pidato.
Ia terus melukiskan rentetan penguasa dan fitnah, termasuk munculnya penguasa-penguasa yang rakus, peperangan-peperangan besar, dan kerusakan agama. Sebagian isyarat itu oleh para sejarawan dihubungkan dengan kekuasaan Bani Umayyah, Bani Abbas, dan fitnah-fitnah di kemudian hari. Ibnu Katsir sendiri menyebut atsar ini sangat gharib dan menuliskannya karena keunikannya serta banyaknya disebut dalam literatur klasik.
Penutup: Dari Suara Jin ke Cahaya Al-Qur’an
Di masa jahiliah, manusia terbiasa mencari berita gaib melalui jin dan berhala. Mereka mengira di situlah jalan keluar masalah dan penentu nasib masa depan mereka. Menjelang diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seluruh sistem itu mulai retak. Jin-jin yang terbiasa mencuri berita langit dihantam dan diusir dengan lemparan bintang. Berhala-berhala roboh berjatuhan, sebagian bahkan terdengar seakan bersaksi bahwa mereka bukan tuhan dan membenarkan datangnya Nabi yang ummi. Para dukun kehilangan ketepatan ucapan mereka; perkataan mereka mulai meleset. Sebagian jin yang beriman justru berbalik mengarahkan manusia agar datang kepada Nabi dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan.
Semua kisah dalam bab ini berujung pada satu titik. Setelah Nabi diutus dan al-Qur’an turun, pintu-pintu lama menuju dunia jin ditutup rapat bagi mereka yang mencari petunjuk. Jalan keselamatan bukan lagi ditempuh melalui bisikan-bisikan gaib yang samar, tetapi melalui wahyu yang jelas, yang memerintahkan tauhid, menegakkan shalat, mewajibkan puasa, memerintahkan manusia meninggalkan zina dan syirik, serta tunduk hanya kepada Allah semata.
Sebagian riwayat dalam kisah-kisah ini dinilai lemah atau gharib oleh para ulama. Namun Ibnu Katsir menukilnya sebagai gambaran betapa besarnya perubahan kosmis yang terjadi ketika wahyu pertama kali turun, dan bagaimana kabar diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengguncang bukan hanya penduduk bumi, tetapi juga penduduk alam jin.
Sumber Kisah:
Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa an-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar