Boikot Quraisy Terhadap Bani Hasyim di Syi‘b Abu Thalib: Sejarah Pengepungan, Kelaparan, dan Keajaiban Shahifah yang Dimakan Rayap

 

Ilustrasi malam hari di Syi‘b Abu Thalib, lembah sempit berbatu di pinggiran Mekah. Tampak tenda-tenda lusuh, lelaki, perempuan, dan anak-anak Arab yang lemah dan kelaparan, serta seorang lelaki tua berjanggut berjaga di mulut lembah melindungi mereka, sementara sekelompok lelaki Quraisy mengawasi dari kejauhan dan memblokade jalan masuk, diterangi obor dengan suasana muram dan dramatis.

Masa Sulit di Mekah: Tekanan yang Semakin Menguat

Setelah beberapa tahun dakwah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di Mekah, kaum musyrik Quraisy semakin keras menentang Islam. Mereka menyiksa orang-orang yang telah masuk Islam dan menekan Nabi dengan berbagai cara.

Cobaan yang menimpa kaum muslimin kian berat, sampai-sampai mereka kelelahan dan hampir tidak sanggup menanggungnya. Pada satu titik, para pemuka Quraisy bersepakat dalam sebuah musyawarah gelap: mereka ingin membunuh Rasulullah صلى الله عليه وسلم secara terang-terangan.

Perlindungan Abu Thalib dan Masuknya Bani Hâsyim ke Syi‘b

Abu Thalib, paman Nabi dan pemuka Bani Hâsyim, mengetahui rencana jahat itu. Ia segera mengumpulkan seluruh keluarga besar Bani ‘Abdul Muththalib. Ia meminta mereka membawa Nabi ke tempat tinggal kabilah mereka di sebuah celah lembah di Mekah yang dikenal sebagai Syi‘b Abî Thâlib, lalu sepakat melindungi beliau dari siapa pun yang ingin membunuhnya.

Yang menarik, perlindungan ini datang bukan hanya dari anggota keluarga yang sudah beriman, tetapi juga dari yang masih musyrik. Sebagian membela karena iman dan keyakinan, sebagian lagi karena fanatisme kekerabatan dan kehormatan keluarga. Namun mereka semua sepakat: Muhammad tidak boleh disentuh.

Ketika para pemuka Quraisy menyadari bahwa Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib telah satu suara melindungi Nabi, mereka mencari cara lain: bukan lagi langsung membunuh, tapi mengepung dan mengisolasi.

Boikot Kejam: Memutus Jual Beli, Nikah, dan Pergaulan

Quraisy pun mengadakan pertemuan besar. Mereka menyepakati sebuah perjanjian bersama:
mereka tidak akan duduk bersama Bani Hâsyim, tidak akan bergaul dengan mereka, tidak akan menikahkan putri mereka kepada mereka, tidak akan menerima pinangan dari mereka, tidak akan melakukan jual beli dengan mereka, dan tidak akan membiarkan satu pun makanan atau barang dagangan sampai ke tangan mereka.

Semua ini berlaku sampai satu syarat terpenuhi: Bani Hâsyim harus menyerahkan Muhammad صلى الله عليه وسلم kepada Quraisy untuk dibunuh.

Kesepakatan itu tidak hanya diucapkan lisan, tetapi ditulis dalam sebuah naskah resmi (shahîfah), berisi sumpah dan ikatan bahwa mereka tidak akan pernah berdamai dengan Bani Hâsyim dan tidak akan menaruh belas kasihan sedikit pun, sampai Nabi diserahkan.

Naskah itu lalu digantung di dalam Ka‘bah, agar dianggap sakral dan mengikat semua kabilah yang menandatanganinya. Penulis naskah itu – menurut riwayat paling masyhur – adalah Manshur bin ‘Ikrimah. Disebutkan kemudian bahwa tangannya menjadi lumpuh sebagai hukuman dari Allah.

Sejak saat itu, Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib masuk ke Syi‘b Abî Thâlib dan hidup terkurung di sana. Boikot ini berlangsung sekitar dua hingga tiga tahun. Masa itu adalah di antara masa-masa paling getir dalam sejarah dakwah di Mekah.

Tiga Tahun dalam Kepungan: Lapar, Tangis Anak-Anak, dan Strategi Malam Hari

Selama boikot, orang-orang Quraisy mengontrol pasar. Setiap ada kafilah yang datang membawa makanan ke Mekah, mereka segera membelinya lebih dulu dengan harga tinggi agar tidak ada yang tersisa untuk Bani Hâsyim. Tujuan mereka jelas: menekan sampai batas akhir, berharap Bani Hâsyim menyerah dan mau menyerahkan Nabi.

Kelaparan menyiksa. Riwayat menyebutkan, dari balik celah-celah bukit di sekitar Syi‘b kadang terdengar suara anak-anak Bani Hâsyim yang menangis keras karena lapar. Pemandangan dan suara itu, lama-kelamaan, membuat sebagian Quraisy sendiri merasa tidak nyaman dan menyesal dengan perjanjian zhalim itu.

Di tengah kondisi ini, Abu Thalib tetap mengerahkan seluruh upayanya melindungi Nabi. Di malam hari, ketika orang-orang telah mengambil tempat tidur, ia memerintahkan Nabi صلى الله عليه وسلم berbaring di kasurnya sendiri, supaya para pembunuh bayaran yang mengintai menyangka bahwa Nabi ada di situ.

Jika malam sudah sangat larut dan orang-orang tertidur lelap, ia akan membangunkan salah seorang anaknya, saudara Nabi, atau sepupu beliau untuk berpindah ke kasur Nabi, sementara Nabi sendiri dipindahkan ke tempat tidur lain. Dengan cara ini ia membingungkan siapa pun yang berniat melakukan serangan mendadak di malam hari.

Penyesalan Sebagian Quraisy dan Munculnya Suara Nurani

Setelah berlalunya hampir tiga tahun, beberapa orang terhormat dari Quraisy mulai menyesali tindakan mereka. Di antara mereka adalah:

  • Sejumlah laki-laki dari Bani ‘Abd Manâf dan keturunan Qushayy,
  • Beberapa tokoh Quraisy yang ibu mereka berasal dari Bani Hâsyim,
    seperti Abul-Bukhturî, al-Muth‘im bin ‘Adî, Zuhair bin Abî Umayyah, Zam‘ah bin al-Aswad, dan Hisyâm bin ‘Amr.

Mereka melihat bahwa mereka telah memutus silaturahmi, menganiaya keluarga sendiri, dan melanggar nilai-nilai kehormatan Arab. Pada suatu malam, mereka sepakat untuk memutuskan perjanjian itu dan membatalkan shahifah yang digantung di Ka‘bah.

Mereka pun membuat rencana: besok pagi, mereka akan menyatakan di hadapan orang ramai bahwa mereka berlepas diri dari perjanjian tersebut.

Keajaiban Naskah yang Dimakan Rayap

Sementara itu, Allah menunjukkan sebuah tanda yang luar biasa.

Allah mengirimkan rayap (aradhah) yang memakan naskah perjanjian itu. Rayap tersebut memakan semua isi tulisan yang mengandung sumpah dan ikatan kezhaliman, dan tidak menyisakan kecuali kata-kata syirik, kezhaliman, dan pemutusan hubungan kekerabatan. Dalam sebagian riwayat disebutkan: rayap memakan semua nama Allah yang tertulis di dalam naskah itu, dan menyisakan tulisan-tulisan kebatilan mereka.

Allah lalu memberitahukan hal itu kepada Rasul-Nya. Nabi صلى الله عليه وسلم pun menceritakan kepada Abu Thalib bahwa naskah perjanjian yang digantung di Ka‘bah telah dimakan rayap, tinggal menyisakan kata-kata syirik dan kedzaliman.

Abu Thalib menjawab dengan penuh yakin, “Tidak, demi bintang-bintang yang bersinar, keponakanku tidak pernah berdusta kepadaku.” Ia pun melihat ini sebagai peluang.

Konfrontasi di Masjidil Haram: Terbongkarnya Shahifah

Keesokan harinya, Abu Thalib berangkat bersama rombongan besar Bani ‘Abdul Muththalib menuju Masjidil Haram. Kaum Quraisy yang melihat mereka datang dalam bentuk rombongan mengira: mungkin Bani Hâsyim sudah menyerah dan mau menyerahkan Muhammad.

Di hadapan para pemuka Quraisy, Abu Thalib berkata dengan tenang, “Telah terjadi beberapa urusan antara kami dan kalian yang belum kami ungkapkan. Bawalah naskah perjanjian kalian, barangkali kita bisa berdamai.”

Ia sengaja meminta agar shahifah itu dibawa terbuka di hadapan semua orang, tanpa lebih dulu dicek secara diam-diam oleh para pemuka Quraisy.

Orang-orang Quraisy – masih yakin perjanjian itu utuh dan kuat – segera membawa naskah itu dengan bangga. Mereka meletakkannya di hadapan Abu Thalib dan berkata, “Sudah saatnya kalian menerima, kembali pada persatuan kaum kalian. Hanya satu orang di antara kita yang memecah belah (Muhammad). Kalian menjadikannya sebab kebinasaan keluarga dan kabilah kalian.”

Abu Thalib berkata, “Aku datang menawarkan sesuatu yang adil bagi kalian. Keponakanku telah mengabarkan kepadaku – dan ia tidak pernah berdusta kepadaku – bahwa Allah telah berlepas diri dari naskah ini. Dia telah menghapus setiap nama-Nya yang tertulis di dalamnya, dan yang tersisa hanyalah pengkhianatan kalian, pemutusan hubungan kalian dengan kami, dan kezhaliman kalian terhadap kami.

Jika apa yang ia katakan benar, sadarlah kalian. Demi Allah, kami tidak akan pernah menyerahkannya sampai kami mati seluruhnya. Namun jika ternyata ia berdusta, kami akan menyerahkannya kepada kalian. Terserah, mau kalian bunuh atau kalian biarkan.”

Mereka menjawab, “Kami setuju dengan apa yang engkau katakan.”

Maka naskah itu pun dibuka di hadapan semua orang. Ternyata benar: tulisan yang mengandung nama-nama Allah telah lenyap, dan yang tersisa hanya isi perjanjian yang berisi syirik, kezhaliman, dan pemutusan silaturahmi. Terbukti bahwa kabar yang disampaikan Nabi صلى الله عليه وسلم adalah benar.

Sebagian Quraisy kagum dan terkejut. Namun para pemimpin keras kepala mereka justru berkata, “Demi Allah, ini tidak lain hanyalah sihir dari sahabat kalian (Muhammad).” Mereka pun kembali kepada kekafiran dan kebencian mereka yang terdahulu, tetap ingin memusuhi Nabi.

Di sisi lain, kelompok terhormat yang sejak malam sebelumnya menyesali shahifah itu berdiri dan berkata tegas di hadapan publik, “Kami berlepas diri dari apa yang tertulis di dalam naskah ini.” Orang-orang itu kelak dikenal sebagai di antara pembela kebenaran di tengah kaum musyrik, seperti al-Muth‘im bin ‘Adî dan Abul-Bukhturî.

Abu Jahl yang terbakar cemburu dan marah hanya bisa berkata sinis, “Ini urusan yang sudah diatur semalaman (konspirasi).”

Syair Abu Thalib: Membela Nabi dan Menggugah Quraisy

Abu Thalib, yang dikenal sebagai penyair, mengungkapkan sikap dan keyakinannya terhadap kebenaran Nabi melalui syair-syair yang menggetarkan. Dalam salah satu qashidahnya yang masyhur, ia menyatakan bahwa Muhammad adalah nabi seperti Musa, yang sudah tertulis dalam kitab-kitab terdahulu, bahwa Allah mencintainya, dan bahwa naskah perjanjian itu justru akan menjadi kesialan bagi Quraisy.

Inti pesan syair-syair itu:

  • Mengajak Quraisy sadar sebelum terlambat,
  • Mengingatkan bahwa memutus silaturahmi dan menzalimi kerabat bukanlah kehormatan,
  • Menegaskan bahwa Bani Hâsyim tak akan pernah menyerahkan Muhammad,
  • Menyatakan kesiapan berperang bila dipaksa, dan bahwa mereka adalah keturunan Hâsyim yang terkenal keberanian dan keteguhannya.

Dengan berakhirnya boikot ini, Bani Hâsyim keluar dari Syi‘b Abî Thâlib, meski permusuhan Quraisy terhadap Nabi belum mereda.

Hijrah ke Habasyah dan Perlindungan Najasyi

Sebelum dan sekitar masa boikot itu, sebagian sahabat telah hijrah ke Habasyah (Etiopia) untuk menyelamatkan agama mereka. Di sana, Raja Najasyi – seorang raja Nasrani yang adil – melindungi mereka dan menolak menyerahkan mereka kepada utusan Quraisy.

Sebagian ulama sirah menyebut bahwa hijrah ke Habasyah terjadi sebelum masuk ke Syi‘b, sebagian menyebut sesudahnya, dan ada riwayat yang menyebutkan bahwa hijrah Habasyah kedua terjadi setelah tekanan di Mekah semakin keras. Yang jelas, Habasyah menjadi tempat aman pertama bagi kaum muslimin di luar Mekah.

Abu Lahab Berpihak pada Quraisy dan Turunnya Surah al-Masad

Di tengah keluarga besar Bani Hâsyim, ada satu sosok yang justru berdiri di barisan lawan: paman Nabi sendiri, Abu Lahab.

Ketika Bani Hâsyim bergabung melindungi Nabi, Abu Lahab justru keluar dari barisan keluarga dan memihak kaum musyrik Quraisy. Dalam sebuah riwayat, ia bertemu dengan Hind binti ‘Utbah (istri Abu Sufyan) dan dengan bangga berkata, “Wahai putri ‘Utbah, aku telah menolong Lât dan ‘Uzzâ, dan meninggalkan orang yang meninggalkan keduanya (Muhammad).” Hind pun memujinya menurut ukuran jahiliyah.

Abu Lahab juga sering meremehkan janji-janji akhirat yang disampaikan Nabi. Ia pernah meniup kedua telapak tangannya sambil berkata, “Muhammad menjanjikanku perkara-perkara yang tak kulihat. Apa yang dipegang kedua tanganku setelah itu?” Lalu ia meniupnya sambil berkata, “Celaka bagi kalian berdua (wahai dua tangan), aku tak melihat sesuatu pun dari apa yang dikatakan Muhammad.”

Tentang dirinya, turun surat khusus yang sampai hari kiamat dibaca:

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasalah dia.”
(QS. Al-Masad: 1)

Surah ini menjadi pengumuman dari langit bahwa Abu Lahab akan mati dalam kekafiran dan celaka.

Ejekan dan Tantangan Kaum Musyrik, Jawaban Al-Qur’an

Semakin kuat dakwah Nabi, semakin banyak pula bentuk ejekan dan perlawanan dari para pemuka Quraisy. Al-Qur’an turun menjawab mereka satu per satu, terkadang dengan menyebut sikap mereka secara umum, terkadang dengan menyentuh pribadi mereka.

Umayyah bin Khalaf dan Surah al-Humazah

Salah satu tokoh yang sangat keras memusuhi Islam adalah Umayyah bin Khalaf. Ia terkenal suka mengumpat dan mencela. Tentang orang-orang seperti dia, Allah menurunkan:

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ
“Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela.”
(QS. Al-Humazah: 1)

Al-‘Âsh bin Wâ’il dan Angan-Angan Harta di Akhirat

Al-‘Âsh bin Wâ’il pernah dengan sombong berkata bahwa jika akhirat benar ada, ia pasti akan punya harta dan anak juga di sana. Maka Allah berfirman:

أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا
“Sudahkah engkau memperhatikan orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan berkata, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak (di akhirat)’?”
(QS. Maryam: 77)

Abu Jahl dan Larangan Memaki Sesembahan Mereka

Abu Jahl suatu ketika mengancam, “Jika engkau tidak berhenti mencela tuhan-tuhan kami, kami akan mencela Tuhanmu.” Maka Allah menurunkan adab berdakwah:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu …”
(QS. Al-An‘âm: 108)

Dakwah harus tegas, tetapi tetap beradab dan tidak memulai makian yang bisa mengundang makian kepada Allah.

An-Nadhr bin al-Hârith dan Tuduhan “Dongeng Orang Dulu”

An-Nadhr bin al-Hârith, seorang bangsawan yang pernah bepergian ke luar wilayah Arab dan mengenal kisah-kisah Persia, sering duduk di dekat majelis Nabi. Ketika Nabi membacakan Al-Qur’an, ia menunggu giliran, lalu membalas dengan membacakan kisah Rustum dan Isfandiyâr serta perang-perang Persia. Setelah itu ia berkata di hadapan orang-orang, “Demi Allah, Muhammad tidak lebih baik ceritanya daripada aku. Ceritanya hanyalah dongeng orang-orang dahulu yang ia minta tuliskan sebagaimana aku juga menulis.”

Allah membongkar tuduhan itu:

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُـمْلَىٰ عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Dan mereka berkata, ‘Dongeng-dongeng orang-orang dahulu, yang diminta untuk dituliskan, lalu dibacakan kepadanya setiap pagi dan petang.’”
(QS. Al-Furqân: 5)

Dan tentang sifatnya sebagai pendusta:

وَيْلٌ لِكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ
“Celakalah bagi setiap pendusta yang banyak dosa.”
(QS. Al-Jâtsiyah: 7)

Ubay bin Khalaf dan Tulang yang Lapuk

Ubay bin Khalaf pernah mendatangi Nabi sambil membawa tulang yang sudah rapuh. Ia meremukannya di tangan, lalu meniupkannya ke arah Nabi seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau mengatakan bahwa Allah akan menghidupkan ini kembali setelah hancur?”

Nabi menjawab, “Ya, Allah akan menghidupkannya, dan juga menghidupkanmu setelah engkau menjadi seperti ini, lalu memasukkanmu ke dalam neraka.”

Maka turunlah firman Allah:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami dan lupa terhadap kejadiannya; ia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur?’
Katakanlah, ‘Yang akan menghidupkannya ialah Dia yang menciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui setiap makhluk.’”
(QS. Yâ Sîn: 78–79)

Tawaran “Kompromi Ibadah” dan Turunnya Surah al-Kafirun

Sekelompok tokoh Quraisy – di antaranya al-Aswad bin al-Muththalib, al-Walîd bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf, dan al-‘Âsh bin Wâ’il – pernah mencoba ‘kompromi’ aneh. Mereka berkata kepada Nabi di dekat Ka‘bah, “Wahai Muhammad, mari kita saling berbagi: kami akan menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah; dengan begitu kita bersama-sama dalam urusan ini.”

Allah menurunkan jawaban yang sangat tegas:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

“Katakanlah, ‘Wahai orang-orang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah.’”
(QS. Al-Kafirûn: 1–2)

Sampai akhir surah, menegaskan bahwa agama mereka dan agama Nabi tidak akan pernah bercampur.

Zaqqûm dan Candaan Abu Jahl

Ketika Nabi mengabarkan tentang pohon zaqqûm di neraka, Abu Jahl mengejek, “Tahukah kalian apa zaqqûm itu? Itu hanyalah kurma yang dicampur dengan mentega. Mari kita makan zaqqûm itu!” Ia menjadikan ancaman neraka sebagai bahan olok-olokan.

Allah menjawab:

إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ
طَعَامُ الْأَثِيمِ

“Sesungguhnya pohon zaqqûm itu
adalah makanan orang yang banyak berdosa.”
(QS. Ad-Dukhân: 43–44)

Perdebatan Soal Ayat: “Kalian dan Apa yang Kalian Sembah…”

Dalam sebuah majelis, Nabi membaca ayat Allah:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
لَوْ كَانَ هَؤُلَاءِ آلِهَةً مَا وَرَدُوهَا وَكُلٌّ فِيهَا خَالِدُونَ

“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah bahan bakar Jahannam; kalian pasti mendatanginya.
Sekiranya mereka itu benar-benar tuhan, niscaya mereka tidak akan memasukinya, dan mereka semua kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Anbiyâ’: 98–99)

Setelah itu Nabi pergi. Datanglah ‘Abdullâh bin az-Zib‘arâ, lalu ia diberi tahu oleh al-Walîd bin al-Mughîrah tentang ayat itu. Ia berkata, “Kalau aku bertemu Muhammad, aku akan membantahnya. Tanyakan kepadanya: apakah semua yang disembah selain Allah masuk neraka? Padahal kami menyembah malaikat, orang Yahudi menyembah ‘Uzair, dan orang Nasrani menyembah ‘Isa.”

Mereka merasa telah menemukan celah, padahal alasan mereka lemah. Ayat tersebut dalam bahasa Arab menggunakan kata “مَا” yang biasa dipakai untuk sesuatu yang tidak berakal, seperti patung dan batu berhala. Jadi yang dimaksud adalah berhala-berhala mereka, bukan malaikat atau para nabi.

Sebagai penjelasan, Allah menurunkan:

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَىٰ أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
لَا يَسْمَعُونَ حَسِيسَهَا وَهُمْ فِي مَا اشْتَهَتْ أَنْفُسُهُمْ خَالِدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.
Mereka tidak akan mendengar sedikit pun suaranya, dan mereka kekal dalam apa yang diingini oleh diri mereka.”
(QS. Al-Anbiyâ’: 101–102)

Ini mencakup ‘Isa, ‘Uzair, dan para hamba saleh lain yang disembah secara salah oleh sebagian manusia, padahal mereka sendiri berlepas diri dari perbuatan itu.

Dan tentang malaikat yang mereka klaim sebagai “anak-anak perempuan Allah”, Allah berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا
سُبْحَانَهُ ۚ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ

“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.’ Maha Suci Dia. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.”
(QS. Al-Anbiyâ’: 26)

Tentang ‘Isa khususnya, Allah berfirman:

إِنْ هُوَ إِلَّا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ
وَجَعَلْنَاهُ مَثَلًا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dia tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami beri nikmat, dan Kami jadikan dia sebagai tanda bagi Bani Israil.”
(QS. Az-Zukhruf: 59)

Dan dalam surat Maryam:

وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِنَّا
“Dan agar Kami menjadikannya sebagai tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami.”
(QS. Maryam: 21)

Teman Buruk yang Menjerumuskan

Ada kisah lain: Uqbah bin Abî Mu‘ayth yang semula pernah duduk mendengar Nabi, lalu ditekan oleh sahabat buruknya, Ubay bin Khalaf. Ubay berkata, “Aku tak akan bicara denganmu kecuali jika engkau meludahi wajah Muhammad.” Uqbah pun melakukannya. Tentang orang seperti ini – yang diseret oleh teman buruk – Allah berfirman:

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا
يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا

“Dan (ingatlah) pada hari ketika orang zhalim menggigit dua tangannya (menyesal) seraya berkata, ‘Aduhai, sekiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul.
Celaka aku, sekiranya aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrabku.’”
(QS. Al-Furqân: 27–28)

Peristiwa “Abasa wa Tawalla”: Teguran Lembut kepada Nabi

Suatu hari, Nabi sedang berbicara dengan tokoh besar Quraisy – di antaranya disebut al-Walîd bin al-Mughîrah – dan dalam hati beliau ada harapan besar semoga orang itu masuk Islam.

Tiba-tiba datang seorang sahabat buta yang mulia, ‘Abdullâh bin Umm Maktûm رضي الله عنه. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang Allah ajarkan kepadamu.” Ia meminta agar dibacakan Al-Qur’an.

Nabi tengah berbicara dengan tokoh Quraisy itu. Permintaan Ibn Umm Maktûm berulang-ulang, sehingga pada satu saat Nabi merasa terganggu, lalu bermuka masam dan berpaling darinya, berharap dapat menyelesaikan pembicaraan dengan tokoh tadi, yang secara lahir tampak “penting” untuk masuk Islam.

Allah pun menegur kekasih-Nya dengan lembut namun jelas:

عَبَسَ وَتَوَلَّى
أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى

“Ia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena seorang buta telah datang kepadanya.”
(QS. ‘Abasa: 1–2)

Dan tentang Al-Qur’an yang mulia itu Allah berfirman:

فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ
مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ

“(Al-Qur’an itu) pada lembaran-lembaran yang dimuliakan,
yang ditinggikan lagi disucikan.”
(QS. ‘Abasa: 13–14)

Sejak saat itu, Nabi صلى الله عليه وسلم sangat memuliakan Ibn Umm Maktûm. Ketika beliau melihatnya, beliau menyapanya, “Selamat datang orang yang karenanya Tuhanku menegurku.”

Sujud Umum dalam Surah an-Najm dan Rumor “Quraisy Sudah Islam”

Pada satu hari yang lain, Nabi membaca surat an-Najm di hadapan kaum musyrik di dekat Ka‘bah:

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى

“Demi bintang ketika ia terbenam,
kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.”
(QS. An-Najm: 1–2)

Beliau terus membaca sampai akhir surat, yang diakhiri dengan ayat sajdah. Ketika beliau sujud, semua yang hadir – orang-orang beriman, orang-orang musyrik, bahkan jin dan manusia yang mendengar bacaan itu – ikut sujud karena dahsyatnya pengaruh bacaan tersebut. Hanya satu orang tua musyrik yang tidak benar-benar sujud; ia sekadar menempelkan segenggam kerikil ke dahinya sambil berkata, “Ini cukup bagiku.” Kelak, ia mati terbunuh dalam keadaan kafir.

Melihat adegan sujud massal itu, ada orang yang mengira bahwa “semua Quraisy telah tunduk kepada Muhammad” dan bahwa sudah terjadi perdamaian. Berita yang setengah benar ini menyebar cepat, sampai ke telinga para sahabat yang sedang berhijrah di Habasyah. Sebagian dari mereka pun pulang ke Mekah dengan harapan situasi sudah membaik. Ketika tiba, baru mereka sadari bahwa permusuhan masih tetap saja keras.

Perubahan Hukum: Tidak Lagi Berbicara dalam Shalat

Di masa awal Islam, para sahabat kadang berbicara ketika sedang shalat. Di antara riwayat yang menunjukkan masa peralihan itu adalah kisah sekelompok sahabat yang kembali dari Habasyah. Dahulu, ketika mereka mengucapkan salam kepada Nabi saat beliau shalat, beliau menjawab salam mereka. Namun setelah mereka pulang dari Habasyah, mereka mengucapkan salam lagi saat Nabi shalat, dan beliau tidak menjawab.

Setelah shalat, mereka bertanya. Nabi menjelaskan bahwa kini dalam shalat ada kesibukan yang khusus; tidak lagi boleh berbicara. Ayat yang menguatkan suasana khusyuk dalam shalat pun turun:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.”
(QS. Al-Baqarah: 238, bagian ayat)

Ini menjadi salah satu tonggak perubahan adab shalat dari masa awal kepada bentuk yang kita kenal sekarang.

‘Utsman bin Mazh‘ûn: Menolak Perlindungan Musyrik, Memilih Perlindungan Allah

Di tengah tekanan Quraisy, ada beberapa sahabat yang mendapat “jaminan perlindungan” dari tokoh musyrik, sehingga mereka tidak disakiti. Di antaranya adalah:

  • ‘Utsman bin Mazh‘ûn, dilindungi oleh al-Walîd bin al-Mughîrah,
  • Abû Salamah bin ‘Abd al-Asad, dilindungi oleh pamannya dari pihak ibu, yaitu Abu Thalib.

Suatu hari, ‘Utsman bin Mazh‘ûn melihat sahabat-sahabatnya disiksa dan diganggu, sementara ia bisa pergi pagi dan pulang sore dengan aman karena berada di bawah perlindungan seorang musyrik. Ia merasakan ada “kekurangan” pada dirinya. Ia berkata dalam hati, “Demi Allah, keadaanku aman di bawah perlindungan seorang musyrik, sementara sahabat-sahabatku disakiti di jalan Allah, ini kekurangan besar pada diriku.”

Ia pun mendatangi al-Walîd dan berkata, “Wahai Abâ ‘Abd Syams, aku mengembalikan jaminan perlindunganmu.” Al-Walîd heran, “Adakah seseorang dari kaumku menyakitimu?” Ia menjawab, “Tidak. Tetapi aku rida dengan perlindungan Allah. Aku tidak ingin berlindung kepada selain-Nya.”

Al-Walîd berkata, “Kalau begitu, mari kita ke masjid. Nyatakan secara terbuka sebagaimana dulu aku melindungimu secara terbuka.” Di depan banyak orang, ‘Utsman berkata, “Aku dapati al-Walîd tetangga yang jujur dan mulia, tetapi aku tidak ingin berlindung kepada selain Allah. Karena itu, aku kembalikan perlindungannya.”

Tak lama kemudian, ia duduk di majelis bersama penyair terkenal, Labîd bin Rabî‘ah. Labîd membacakan syair:

“Ketahuilah, segala sesuatu selain Allah adalah batil.”
‘Utsman berkata, “Benar.”

Labîd melanjutkan, “Dan setiap kenikmatan pasti lenyap.”
‘Utsman menjawab, “Engkau dusta; kenikmatan surga tidak akan lenyap.”

Labîd tersinggung: “Wahai Quraisy, sejak kapan teman duduk kalian ini diganggu seperti ini?” Seorang musyrik berkata, “Dia orang dungu yang telah meninggalkan agama kita, jangan hiraukan.” Perdebatan memanas, lalu orang itu menampar mata ‘Utsman hingga lebam.

Al-Walîd yang melihat berkata, “Wahai anak saudaraku, seandainya matamu yang sehat ini tidak perlu mengalami hal seperti yang menimpa matamu yang satu, sungguh engkau tadinya berada dalam perlindungan yang kuat.”

‘Utsman menjawab dengan kalimat yang menggetarkan, “Demi Allah, wahai Abâ ‘Abd Syams, sesungguhnya mataku yang sehat ini sangat butuh merasakan apa yang menimpa matanya yang lain di jalan Allah. Aku kini berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia dan lebih kuat daripada engkau.”

Ketika al-Walîd menawarkan agar ia kembali ke dalam perlindungannya, ‘Utsman menolak. Ia merasa cukup dengan perlindungan Allah.

Abu Salamah dan Sikap Tegas Abu Thalib

Abu Salamah bin ‘Abd al-Asad, keponakan Abu Thalib dari pihak ibu, juga mendapat perlindungan Abu Thalib. Ketika itu, beberapa tokoh dari Bani Makhzûm datang dan berkata, “Wahai Abâ Thalib, engkau sudah menghalangi kami dari keponakanmu Muhammad, sekarang apa urusanmu dengan sahabat kami ini (Abu Salamah), sehingga engkau pun melindunginya?”

Abu Thalib menjawab, “Ia telah meminta perlindungan kepadaku, dan ia anak saudara perempuanku. Jika aku tidak melindungi anak saudara perempuanku, niscaya aku tidak akan melindungi anak saudaraku.”

Mendengar orang-orang menekan pamannya, Abu Lahab – yang biasanya berada di barisan lawan – pada momen ini sempat berdiri dan berkata, “Wahai Quraisy, demi Allah, kalian telah berlebihan terhadap orang tua ini. Kalian terus-menerus menyerangnya karena perlindungan yang diberikannya, sementara kaumnya menyaksikan. Kalian akan berhenti, atau kami akan berdiri bersamanya dalam segala urusannya sampai cita-citanya tercapai.”

Mereka pun berkata, “Baiklah, kami akan meninggalkan apa yang engkau benci, wahai Abâ ‘Utbah.”

Abu Thalib berharap bahwa Abu Lahab benar-benar akan berdiri membelanya dan membela Rasulullah. Ia pun menggubah syair untuk menyemangati Abu Lahab agar teguh membantu:

Inti syair itu:

  • memuji kedudukan seseorang yang pamannya adalah Abu Lahab,
  • mengajaknya teguh berdiri,
  • melarangnya menerima kehinaan,
  • memotivasinya berani berperang bila diperlukan,
  • dan mengecam kabilah-kabilah yang memecah belah persatuan Bani Hâsyim.

Namun kita tahu dari lanjutan sejarah bahwa sikap “baik” Abu Lahab ini hanya sesaat. Tidak lama kemudian, ia kembali menjadi musuh keras dakwah Nabi hingga turun surat Al-Masad yang mengabadikan kebinasaannya.

Penutup: Sebuah Episode Besar dalam Perjalanan Dakwah

Rangkaian kisah di atas menggambarkan betapa berat perjalanan dakwah Rasulullah صلى الله عليه وسلم di Mekah:

  • Upaya pembunuhan terbuka,
  • Boikot sosial-ekonomi yang kejam hingga anak-anak menangis kelaparan,
  • Naskah perjanjian zhalim yang digantung di Ka‘bah lalu dimakan rayap dengan cara yang menakjubkan,
  • Paman-paman yang bermacam-macam: Abu Thalib yang membela sampai akhir, Abu Lahab yang memusuhi sampai akhir,
  • Ejekan, debat, dan fitnah dari pemuka-pemuka Quraisy,
  • Jawaban-jawaban Al-Qur’an yang menegakkan hujjah dan membersihkan nama para nabi dan hamba-hamba saleh,
  • Dan di tengah semua itu, pengokohan hati Rasulullah dan kaum beriman, sedikit demi sedikit mempersiapkan mereka untuk tahap berikutnya: hijrah ke Madinah.

Sumber Kisah :

  • Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil : Thalut vs Jalut, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang