Bilal bin Rabah : Suaranya Menggetarkan Madinah
Bilal bin Rabah: Sang Muazin Rasulullah
Asal Usul dan Kepribadian
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat mulia Rasulullah ﷺ. Ia dikenal dengan julukan Abu Abdullah, dan merupakan maula (bekas budak yang dimerdekakan) Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Bilal berasal dari suku Sarah, dan ibunya bernama Hamamah.
Secara fisik, Bilal memiliki kulit yang sangat gelap, bertubuh tinggi dan kurus, sedikit bungkuk, berbibir tipis, dan berbulu lebat. Pipinya tidak tembam, dan rambutnya telah banyak beruban — uban yang tidak ia ubah warnanya. Namun, di balik penampilan sederhananya, tersimpan hati yang kokoh dan penuh cahaya iman.
Ujian Iman: “Ahad, Ahad!”
Bilal termasuk di antara golongan mustad‘afin — orang-orang lemah dan tertindas di Makkah. Ketika ia memeluk Islam, para pemuka Quraisy murka. Mereka ingin memaksanya kembali kepada kekafiran.
Orang yang paling kejam menyiksanya adalah Umayyah bin Khalaf. Di tengah panas terik gurun Makkah, Bilal dijemur di atas batu besar, dadanya ditekan dengan batu yang berat, lalu dicambuk dengan keras.
Namun dari bibirnya hanya keluar satu kalimat:
“Ahad, Ahad!” (Yang Maha Esa, Yang Maha Esa!)
Mereka berteriak, “Ucapkan seperti yang kami ucapkan!”
Bilal menjawab dengan tenang, “Lidahku tidak mampu mengucapkannya.”
Mereka menyeretnya di antara dua bukit dengan tali di lehernya, anak-anak ikut mencaci dan melemparinya. Tapi Bilal tetap teguh. Suaranya terus menggema:
“Ahad... Ahad...”
Kebebasan dari Abu Bakar
Melihat penderitaan Bilal, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu datang dengan hati yang pilu. Ia berkata kepada orang-orang Quraisy:
“Mengapa kalian menyiksa orang ini?”
Akhirnya, Abu Bakar membeli Bilal dengan harga tujuh uqiyah emas, lalu memerdekakannya.
Ketika kabar itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
“Bagaimana kalau kita berserikat, wahai Abu Bakar?”
Abu Bakar menjawab dengan rendah hati,
“Aku telah memerdekakannya karena Allah, wahai Rasulullah.”
Sejak saat itu, Bilal menjadi sahabat dekat Rasulullah ﷺ, dan kelak menjadi muazin pertama dalam Islam.
Bilal, Sang Muazin Rasulullah ﷺ
Bilal selalu bersama Nabi ﷺ dalam setiap peperangan, termasuk Perang Badar dan Fathu Makkah (Penaklukan Makkah).
Pada hari kemenangan itu, Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk mengumandangkan azan di atas Ka‘bah — sebuah momen bersejarah yang menunjukkan kemuliaan Islam dan kehancuran kesombongan jahiliah.
Setelah Wafatnya Rasulullah ﷺ
Ketika Rasulullah ﷺ wafat, kesedihan menyelimuti hati Bilal.
Abu Bakar berkata kepadanya,
“Kumandangkanlah azan, wahai Bilal.”
Namun Bilal menjawab dengan suara bergetar,
“Jika engkau memerdekakanku agar aku bersamamu, itu hakmu. Tapi jika engkau memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bersama Dia yang untuk-Nya engkau memerdekakanku.”
Abu Bakar tersenyum dan berkata,
“Aku memerdekakanmu hanya karena Allah.”
Bilal pun berkata,
“Kalau begitu, aku tidak akan mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah ﷺ.”
Sejak itu, Bilal berhenti mengumandangkan azan. Ia kemudian tinggal di Madinah, hingga suatu hari ia ikut berangkat berjihad ke negeri Syam (Suriah).
Mimpi dan Azan Terakhir di Madinah
Dikisahkan bahwa setelah sekian lama Bilal berada di negeri Syam, suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah ﷺ yang berkata:
“Wahai Bilal, kenapa engkau begitu jauh dariku? Bukankah sudah saatnya engkau mengunjungiku?”
Bilal pun terbangun dengan air mata berlinang. Ia segera menyiapkan kendaraannya dan berangkat menuju Madinah.
Setibanya di sana, cucu Nabi ﷺ, Hasan dan Husain, berkata kepadanya:
“Kami sangat ingin engkau azan pada waktu sahur.”
Bilal pun menaiki atap masjid dan mulai mengumandangkan azan:
Saat ia mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, seluruh Madinah bergemuruh.
Saat ia mengucapkan “Asyhadu an laa ilaaha illallah”, suara tangis makin terdengar.
Dan ketika ia mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, para wanita keluar dari rumah mereka, menangis tersedu.
Hari itu, Madinah tidak pernah dipenuhi tangisan sedalam hari itu. Semua rindu kepada Rasulullah ﷺ, mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal mereka merasa seolah-olah Rasulullah masih berada di tengah-tengah mereka.
Akhir Hayat di Negeri Syam
Beberapa waktu kemudian, Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar untuk berjihad di jalan Allah. Ia pun berangkat ke Syam, dan di sanalah ia menghabiskan sisa hidupnya.
Menurut riwayat, Bilal wafat pada tahun 20 Hijriah, meski sebagian ulama mengatakan tahun 18 Hijriah karena wabah Tha‘un. Ia dimakamkan di Babush-Shaghir, Damaskus, pada usia sekitar enam puluh tahun.

Komentar
Posting Komentar