Bagaimana Turunnya Wahyu kepada Nabi Muhammad SAW dan Peran Khadijah
Cara Wahyu Datang kepada Rasulullah
Suatu hari, al-Harits bin Hisyam bertanya langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu datang kepada Anda?”
Beliau menjawab bahwa wahyu datang kepada beliau dalam dua bentuk utama.
Pertama, kadang wahyu datang seperti suara gemerincing lonceng. Suara itu sangat kuat dan berat dirasakan oleh beliau. Dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi bersabda:
“Kadang-kadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi gemerincing lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku. Setelah itu (wahyu) terputus dariku, sementara aku telah menghafal apa yang dikatakannya.”
Kedua, kadang malaikat Jibril datang dalam bentuk seorang laki-laki, berbicara langsung kepada beliau. Dalam bentuk ini, proses turunnya wahyu tampak “lebih ringan” secara lahir:
“Dan kadang-kadang malaikat menampakkan diri kepadaku dalam bentuk seorang laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku, dan aku memahami apa yang ia katakan.”
‘Aisyah menuturkan bahwa beratnya wahyu bukan sekadar ungkapan. Ia pernah menyaksikan sendiri bagaimana kondisi Rasulullah ketika wahyu turun:
Pada suatu hari yang sangat dingin, wahyu turun kepada beliau. Meskipun udara begitu sejuk, setelah wahyu selesai, keringat bercucuran dari kening beliau seperti butiran-butiran air yang deras. Hal itu menunjukkan betapa berat beban wahyu yang diterima.
Tanda-Tanda Fisik Saat Wahyu Turun
Para sahabat yang dekat dengan Rasulullah sering melihat perubahan pada diri beliau saat wahyu turun.
Sebagian sahabat menceritakan, ketika wahyu diturunkan, terdengar di sekitar wajah beliau suara seperti gemuruh lebah. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa saat turunnya ayat-ayat awal Surah Al-Mu’minun yang berisi kabar gembira bagi orang beriman, terdengar suara seperti dengung lebah di dekat wajah Rasulullah.
Wajah beliau pun sering berubah. ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa ketika wahyu turun, Rasulullah tampak sangat berat menanggungnya, wajah beliau berubah, memucat atau menggelap, dan dalam sebagian riwayat disebutkan beliau memejamkan kedua matanya. Para sahabat mengenali tanda-tanda ini dan langsung memahami bahwa wahyu sedang turun, sehingga mereka pun diam dan tidak mengganggu beliau.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga menceritakan, ketika wahyu turun kepada beliau, tubuh dan wajah beliau berubah, dan beliau berhenti berbicara dengan para sahabat sampai proses wahyu selesai. Tidak ada seorang pun yang berani mengajak bicara di saat itu.
Contoh Nyata: Wahyu dalam Peristiwa Ifk
Dalam kisah tuduhan dusta (ifk) terhadap ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia sendiri menceritakan saat-saat ketika Allah menurunkan ayat-ayat yang membebaskan dirinya dari tuduhan.
Ia berkata bahwa Rasulullah tidak beranjak dari tempat duduknya, dan tidak seorang pun dari penghuni rumah pergi, sampai wahyu turun kepada beliau. Saat itu, beliau diliputi keadaan yang biasa menimpa beliau ketika menerima wahyu: badan beliau sangat berat, dan dari tubuh beliau mengalir keringat seperti butiran mutiara, meskipun hari itu sedang dingin. Semua itu karena beratnya wahyu yang sedang turun.
Beratnya Wahyu Hingga Menekan Tubuh
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan satu peristiwa yang sangat jelas menggambarkan beratnya wahyu. Saat itu ia sedang duduk dekat Nabi, dan paha Rasulullah berada di atas pahanya, sementara ia menulis wahyu yang sedang turun.
Ketika wahyu turun, berat paha Rasulullah menjadi sedemikian rupa hingga Zaid merasa hampir remuk pahanya karena tertindih. Ini menunjukkan betapa nyata beban wahyu secara fisik.
Wahyu yang Berat, Namun Tidak Menghilangkan Kesadaran
Meski berat, wahyu tidak sampai menghilangkan kesadaran Nabi secara total. Hal ini tampak jelas dalam peristiwa turunnya ayat hijab.
Setelah ayat-ayat tentang hijab (penutup) istri-istri Nabi turun, Saudah radhiyallahu ‘anha suatu malam keluar rumah untuk suatu keperluan. Umar melihatnya dari kejauhan dan berkata, “Kami benar-benar telah mengenalmu, wahai Saudah.” Saudah merasa khawatir dan pulang menemui Rasulullah untuk menanyakan hal itu.
Ketika itu Rasulullah sedang duduk makan malam, dan di tangan beliau ada sepotong tulang (atau daging). Tiba-tiba wahyu turun kepada beliau, sementara tulang itu tetap berada di tangan beliau. Setelah wahyu selesai, beliau mengangkat kepala dan bersabda:
“Sesungguhnya kalian telah diizinkan untuk keluar (dari rumah) untuk memenuhi kebutuhan kalian.”
Dari kejadian ini dipahami, meskipun wahyu sangat berat, beliau tidak sampai jatuh pingsan atau kehilangan seluruh kesadaran. Beliau tetap duduk, tidak terguling, dan benda yang ada di tangannya tidak terjatuh.
Perasaan Nabi Saat Menerima Wahyu
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma pernah bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah Anda merasakan (secara fisik) turunnya wahyu?”
Beliau menjawab:
“Ya. Aku mendengar suara gemerincing (seperti suara rantai besi), kemudian aku tetap diam dan teguh saat itu. Dan tidaklah wahyu diturunkan kepadaku satu kali pun, melainkan aku mengira bahwa nyawaku akan lepas karenanya.”
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, ketika wahyu turun, beliau merasakan semacam “sakit kepala” atau beban berat di kepala, hingga kadang beliau membungkus kepala dengan sesuatu (dalam satu riwayat disebut daun pacar). Sebagian riwayat ini dinilai sangat asing (gharib) oleh para ulama, namun intinya menggambarkan adanya beban nyata pada diri beliau.
Beratnya Wahyu Hingga Berpengaruh pada Hewan Tunggangan
Beratnya wahyu tidak hanya terasa pada tubuh Rasulullah, tetapi kadang juga tampak pada hewan yang beliau tunggangi.
Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa ia pernah memegang tali kekang unta Nabi yang bernama al-‘Adhba’, ketika surah al-Ma’idah turun seluruhnya kepada beliau. Ia merasakan betapa beratnya kondisi itu, sampai-sampai hampir saja berat wahyu tersebut mematahkan lengan unta.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa ketika beliau sedang dalam suatu perjalanan, surah al-Ma’idah turun kepada beliau, dan karena beratnya wahyu, leher tunggangan itu sampai patah. Riwayat ini dinilai sangat gharib dari jalur yang disebutkan, namun intinya tetap mendukung gambaran bahwa turunnya wahyu bukan perkara ringan.
Dalam riwayat sahih lainnya, dijelaskan bahwa surah al-Fath turun kepada Rasulullah saat beliau dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah, ketika beliau berada di atas tunggangannya, dan tunggangan itu tetap mampu berdiri. Ini menunjukkan: terkadang pengaruh beratnya wahyu tampak sangat jelas pada lingkungan sekitar, dan terkadang lebih banyak dirasakan di dalam diri beliau sendiri. Semuanya sesuai dengan kehendak Allah dan kondisi saat itu.
Kerinduan Nabi Menghafal Wahyu dan Bimbingan Allah
Pada masa-masa awal, Rasulullah sangat bersemangat dan cemas agar tidak lupa sedikit pun dari wahyu yang dibacakan oleh Jibril. Karena itu, ketika wahyu dibacakan, beliau segera menggerak-gerakkan bibirnya, seakan ingin langsung mengulang bacaan malaikat sebelum selesai.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Rasulullah merasakan kesulitan besar saat turunnya wahyu, dan karena takut kehilangan satu huruf pun, beliau menggerakkan kedua bibirnya cepat-cepat. Lalu Allah menurunkan ayat-ayat berikut:
﴿لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ﴾
(QS. القيامة [75]: 16–19)“Janganlah engkau gerakkan lidahmu (wahai Muhammad) untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya).
Sesungguhnya atas (tanggungan) Kamilah pengumpulannya (di dadamu) dan (membuatmu) membacanya.
Maka apabila Kami telah selesai membacakannya (kepadamu), maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian sesungguhnya atas (tanggungan) Kamilah penjelasannya.”
Allah menjelaskan bahwa mengumpulkan Al-Qur’an dalam dada beliau dan memudahkan beliau membacanya adalah tanggungan Allah sendiri. Tugas Rasulullah saat wahyu turun hanyalah mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tergesa-gesa.
Sejalan dengan itu, Allah juga berfirman:
﴿فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا﴾
(QS. طه [20]: 114)“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya.
Dan janganlah engkau tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu, dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’”
Sejak turunnya ayat-ayat ini, Rasulullah tidak lagi menggerak-gerakkan lidahnya tergesa-gesa ketika wahyu turun. Ketika Jibril datang, beliau menundukkan kepala dan menyimak dengan tenang. Setelah malaikat pergi, barulah beliau membacakan ayat-ayat itu dengan lancar, sebagaimana telah dijanjikan Allah.
Wahyu yang Terus Mengalir dan Beratnya Beban Kenabian
Ibnu Ishaq, salah satu ulama besar sirah, menjelaskan bahwa setelah wahyu pertama, wahyu terus-menerus datang menyusul kepada Rasulullah. Beliau membenarkan sepenuhnya apa yang datang dari sisi Allah, menerimanya dengan hati yang lapang, dan memikul beban yang dibawanya.
Namun, beban kenabian bukanlah beban ringan. Kenabian membawa amanah, tanggung jawab, serta ujian dari manusia. Tidak semua orang kuat memikulnya. Hanya orang-orang yang diberi kekuatan dan keteguhan tekad oleh Allah di antara para rasul yang sanggup menanggungnya. Mereka menghadapi penentangan, ejekan, dan pendustaan, namun tetap teguh karena Allah menolong dan meneguhkan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan terus di atas perintah Allah, walaupun kaum beliau menentang dan menyakiti. Beliau sabar menghadapi semua itu demi menyampaikan risalah.
Khadijah: Pendamping Pertama dan Penguat Hati Nabi
Di tengah beratnya beban kenabian, Allah menyiapkan seorang pendamping yang istimewa: Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Ia adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia langsung membenarkan wahyu yang datang, tanpa ragu. Ia bukan hanya beriman, tetapi juga menjadi penolong pertama dalam dakwah Nabi. Ia menenangkan, menguatkan, dan menghibur beliau di saat-saat sulit.
Ibnu Ishaq menuturkan bahwa setiap kali Rasulullah mendengar sesuatu yang menyakitkan hati – penolakan, ejekan, atau pendustaan – beliau merasa sedih. Namun setiap kali beliau pulang menemui Khadijah, Allah melapangkan hati beliau melalui dirinya. Khadijah menyambut beliau dengan kata-kata yang meneguhkan, membenarkan risalah beliau, meringankan beban, dan memandang remeh hinaan manusia di hadapan janji Allah. Dengan itu, Allah meringankan beban Nabi.
Kabar Gembira untuk Khadijah di Surga
Kedudukan Khadijah begitu mulia, hingga Rasulullah sendiri diperintahkan khusus untuk menyampaikan kabar gembira kepadanya.
Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari qashab, di dalamnya tidak ada hiruk-pikuk dan tidak ada keletihan.”
Yang dimaksud qashab dalam hadis ini bukan bambu, tetapi mutiara besar yang berongga, bangunan yang utuh dari permata, tanpa kekurangan apa pun. Tidak ada suara bising, tidak ada kepayahan, sangat cocok untuk wanita yang sepanjang hidupnya menjadi penenang dan penguat bagi Rasulullah.
Awal Dakwah Secara Sembunyi-Sembunyi
Setelah wahyu turun secara berkelanjutan, Rasulullah mulai menceritakan nikmat kenabian ini secara pelan-pelan dan rahasia kepada orang-orang yang paling beliau percaya dari keluarga dan kerabat terdekat. Saat itu Islam masih disebarkan secara sembunyi-sembunyi.
Khadijah adalah yang pertama kali beriman, sebelum kewajiban shalat lima waktu diturunkan pada malam Isra’ Mi‘raj. Namun, itu tidak berarti beliau hidup tanpa shalat sama sekali; bentuk dasar shalat sudah disyariatkan sebelum Isra’, hanya saja kewajiban lima waktu dengan waktu-waktu tertentu baru ditetapkan kemudian.
Awal Disyariatkannya Shalat
Ibnu Ishaq menyebutkan sebuah kisah menarik tentang awal disyariatkannya shalat kepada Rasulullah dan bagaimana Jibril mengajarkannya.
Suatu ketika, setelah kenabian, Jibril datang kepada Rasulullah ketika shalat telah diwajibkan atas beliau (dalam bentuk awalnya). Jibril menghentakkan tumitnya di salah satu sisi lembah Makkah, lalu memancarlah sebuah mata air dari air Zamzam.
Di tempat itulah Jibril berwudhu, dan Rasulullah mengikuti beliau. Setelah itu, Jibril shalat dua rakaat dan melakukan empat kali sujud (dua sujud setiap rakaat). Dengan itu, Jibril menunjukkan tata cara shalat kepada Nabi.
Rasulullah kembali dari tempat itu dalam keadaan hatinya bahagia, tenang, dan matanya sejuk karena telah mendapatkan sesuatu yang beliau cintai dari Allah, yaitu ibadah shalat.
Beliau kemudian mengambil tangan Khadijah, membawanya ke mata air itu, lalu mengajarkannya wudhu sebagaimana yang diajarkan Jibril. Setelah itu, beliau shalat dua rakaat dengan empat sujud, dan Khadijah pun shalat bersama beliau. Sejak saat itu, Rasulullah dan Khadijah shalat secara sembunyi-sembunyi.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa shalat yang diajarkan Jibril di lembah ini berbeda dengan shalat yang diajarkan Jibril pada kesempatan lain di dekat Ka‘bah, ketika beliau menunjukkan waktu-waktu shalat lima waktu, awal dan akhirnya. Pengajaran waktu-waktu shalat lima waktu itu terjadi setelah peristiwa Isra’ Mi‘raj, ketika shalat lima waktu diwajibkan secara resmi.
Penutup
Demikianlah gambaran bagaimana wahyu turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
betapa berat beliau merasakannya, bagaimana Allah menenangkannya, bagaimana para sahabat menyaksikan tanda-tanda fisiknya, bagaimana Khadijah radhiyallahu ‘anha berdiri sebagai penolong pertama, dan bagaimana shalat mulai diperkenalkan sebagai ibadah utama dalam Islam.
Semua ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar bacaan yang ringan di lisan, tetapi amanah besar yang turun dengan penuh keagungan, rasa takut, cinta, dan pengorbanan, yang pertama kali dirasakan oleh Rasulullah dan orang-orang terdekat beliau.
Sumber :
Ibnu Katsir, al-Bidāyah wan-Nihāyah

Komentar
Posting Komentar