Wafatnya Nabi Hārūn عليه السلام

Perjalanan Menuju Negeri yang Dijanjikan

Setelah keluar dari Mesir, Nabi Mūsā ‘alaihis-salām bersama Bani Israil menuju negeri Ariḥa — wilayah kaum Jabbārīn, orang-orang yang sangat kuat dan perkasa, yaitu tanah suci Baitul Maqdis.

Musa kemudian mengutus dua belas pemimpin dari tiap suku Bani Israil untuk menyelidiki keadaan negeri itu. Namun, dalam perjalanan, mereka berhadapan dengan sosok raksasa bernama ‘Awj bin ‘Ināq. Ia menangkap dua belas orang itu, mengangkat mereka, dan hendak menginjak mereka. Namun istrinya melarang dan memintanya membebaskan mereka agar mereka pulang membawa kabar tentang kekuatan kaum Jabbarin.

Ketika mereka kembali, sepuluh dari dua belas orang itu menyebarkan ketakutan kepada kaumnya, menceritakan betapa kuatnya kaum tersebut. Hanya dua orang yang tetap jujur dan beriman — yaitu Yusya‘ bin Nūn dan Kalab bin Yufannā, ipar Nabi Musa — yang menenangkan kaum mereka agar percaya kepada pertolongan Allah.

Namun Bani Israil menolak perintah Nabi Musa untuk maju. Mereka berkata dengan sombong:

“Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua, kami akan duduk menanti di sini saja.”
(QS. Al-Mā’idah: 24)


Hukuman Allah dan Kehidupan di Padang Tih

Karena keingkaran itu, Nabi Musa berdoa:

“Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku. Maka pisahkanlah kami dari kaum yang fasik ini.”
(QS. Al-Mā’idah: 25)

Allah pun menghukum mereka dengan menetapkan empat puluh tahun tersesat dan berkelana di padang Tih, sebuah dataran luas tanpa arah.

Namun kasih sayang Allah tetap bersama mereka.

  • Allah menurunkan manna (makanan manis seperti madu) dan salwa (burung puyuh) sebagai santapan setiap hari.

  • Ketika mereka kehausan, Musa memukul batu dengan tongkatnya hingga dua belas mata air memancar bagi setiap suku.

  • Awan menaungi mereka dari panas, dan pakaian mereka tumbuh bersama tubuhnya, tidak pernah robek ataupun usang.

Namun manusia tetaplah lemah. Mereka mengeluh bosan dengan makanan yang sama setiap hari dan meminta sayur-mayur, bawang, dan ketimun. Nabi Musa menegur mereka:

“Apakah kalian menukar yang baik dengan yang buruk? Pergilah ke kota, maka kalian akan mendapat apa yang kalian minta.”
(QS. Al-Baqarah: 61)


Pertemuan Nabi Musa dengan Raksasa ‘Awj bin ‘Ināq

Di antara kisah dalam pengembaraan itu, Nabi Musa bertemu kembali dengan raksasa ‘Awj bin ‘Ināq yang amat tinggi. Diriwayatkan bahwa Nabi Musa melompat sepuluh hasta, tongkatnya sepuluh hasta, dan tinggi badannya juga sepuluh hasta. Dengan kekuatan yang Allah berikan, Nabi Musa memukul mata kaki ‘Awj hingga tewas. Dikatakan bahwa raksasa itu hidup lebih dari tiga ribu tahun.


Wafatnya Nabi Hārūn ‘Alaihis-Salām

Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa bahwa waktu wafat saudaranya, Hārūn ‘alaihis-salām, telah tiba.
Allah memerintahkannya untuk membawa Harun menuju sebuah gunung yang telah ditentukan.

Saat mereka berdua tiba di puncak gunung, mereka melihat sebuah pohon yang indahsebuah rumah kecil yang harum, dan sebuah tempat tidur berhias permadani. Hārūn merasa kagum dan berkata:

“Wahai Musa, aku ingin tidur di atas tempat tidur ini.”

Musa menjawab lembut, “Tidurlah, saudaraku.”
Namun Harun khawatir, “Bagaimana jika pemilik rumah ini datang dan marah kepadaku?”
Musa menenangkan, “Jangan takut, aku akan menjaminnya.”

Harun pun berbaring, lalu berkata, “Tidurlah bersamaku.” Maka keduanya tertidur. Saat itulah malaikat maut datang dan mencabut nyawa Hārūn dengan penuh kelembutan.

Tubuh Harun diangkat oleh malaikat bersama tempat tidurnya menuju langit.


Klarifikasi dan Kesedihan Nabi Musa

Ketika Musa kembali kepada kaumnya, mereka menuduhnya:

“Engkau telah membunuh Harun karena engkau cemburu, sebab kami lebih mencintainya darimu.”

Musa terkejut dan sedih mendengar tuduhan itu. Ia berkata:

“Celaka kalian! Apakah kalian mengira aku membunuh saudaraku sendiri?”

Nabi Musa kemudian berdoa kepada Allah. Maka Allah memperlihatkan tempat tidur Hārūn yang membawa jasadnya menggantung antara langit dan bumi, sehingga seluruh Bani Israil dapat melihat bahwa Harun wafat dengan tenang dan tidak dibunuh.

Barulah mereka percaya, dan Musa pun menangis di hadapan Allah.
Wafatnya Nabi Harun terjadi di padang Tih, tempat mereka menjalani hukuman selama empat puluh tahun.


Sumber :“Al-Kāmil fī at-Tārīkh” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nabi Syamuil (Samuel) dan Nabi Dawud : Thalut vs Jalut, Ujian Sungai, dan Kembalinya Tabut Bani Israil

Nabi Ilyas عليه السلام

Saba’: Negeri Makmur yang Hilang