Raja Tubban As’ad dan Awal Mula Kiswah
Kisah Tubba’ Abu Karib dan Penghormatannya kepada Ka’bah
Pada masa lampau, di tanah Arab Selatan, hidup seorang raja besar bernama Tubba’ Abu Karib, juga dikenal sebagai Tubban As’ad, penguasa Yaman.
Saat itu, bangsa Arab memiliki kebiasaan memberi gelar khusus kepada para penguasa wilayah tertentu: siapa pun yang memerintah Yaman bersama Syihr dan Hadramaut disebut “Tubba’”, sebagaimana penguasa Romawi disebut “Qaisar”, penguasa Persia “Kisra”, penguasa Mesir “Fir’aun”, penguasa Habasyah “An-Najasyi”, dan penguasa India “Batlaymus”.
Tubba’ Abu Karib awalnya adalah seorang penyembah berhala, seperti kebanyakan kaumnya. Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari sebuah ekspedisi militer, ia melewati kota Yatsrib—yang kelak dikenal sebagai Madinah. Ia berniat menyerang penduduknya, namun tiba-tiba datang dua orang rabi Yahudi dari Bani Quraidhah—ulama yang alim dan berilmu mendalam. Mereka memperingatkan sang raja:
“Wahai raja, jangan engkau hancurkan kota ini! Sesungguhnya di akhir zaman kelak, dari tanah haram ini akan lahir seorang nabi dari keturunan Quraisy. Kota inilah yang akan menjadi tempat hijrah dan kediamannya.”
Mendengar itu, Tubba’ terperangah. Ia merasa perkataan mereka penuh hikmah dan kebenaran. Hatinya tergerak, lalu ia membatalkan niatnya menyerang Madinah. Bahkan, ia pun tertarik pada ajaran yang dibawa kedua rabi itu, lalu mengikuti agama mereka—meninggalkan penyembahan berhala.
Dalam perjalanan pulang ke Yaman, Tubba’ melintasi Makkah—kota suci yang menjadi jalur utama menuju negerinya. Di tengah jalan, antara ‘Usfan dan Amaj, sekelompok orang dari suku Hudhayl mendatanginya dengan tipu daya. Mereka berkata:
“Wahai raja, maukah kami tunjukkan padamu sebuah gudang harta karun yang terlupakan oleh raja-raja sebelummu? Di dalamnya penuh mutiara, zamrud, yaqut, emas, dan perak!”
Mereka lalu menunjuk Ka’bah di Makkah sebagai “gudang” itu, berharap Tubba’ akan menjarahnya—sebagaimana nasib raja-raja sebelumnya yang binasa karena berbuat jahat terhadap rumah suci tersebut.
Namun Tubba’ tidak gegabah. Ia segera mengutus utusan kepada kedua rabi Yahudi yang menyertainya, lalu bertanya tentang maksud perkataan orang-orang Hudhayl itu. Kedua rabi menjawab tegas:
“Mereka hanya ingin membinasakanmu! Ketahuilah, ini adalah rumah Allah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Tidak ada rumah di muka bumi yang lebih mulia di sisi-Nya selain ini. Jika engkau berani merusaknya, engkau dan seluruh pasukanmu pasti akan binasa!”
Lalu Tubba’ bertanya, “Lalu apa yang harus kulakukan saat tiba di sana?”
“Lakukanlah seperti yang dilakukan penduduk Makkah,” jawab mereka. “Thawaflah mengelilinginya, muliakan, hormati, cukurlah rambutmu di sana, dan rendahkan dirimu hingga engkau pergi darinya.”
“Kalau begitu, mengapa kalian sendiri tidak melakukannya?” tanya Tubba’.
“Demi Allah,” jawab mereka, “ini memang rumah bapak kami, Ibrahim ‘alaihis salam. Tapi penduduk Makkah telah menodainya dengan berhala di sekelilingnya dan darah kurban najis yang mereka tumpahkan. Mereka adalah kaum musyrik yang najis, sehingga kami tak bisa mendekatinya dengan layak.”
Tubba’ pun yakin akan kejujuran dan nasihat tulus kedua rabi itu. Ia murka pada orang-orang Hudhayl yang berusaha menjerumuskannya, lalu memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong sebagai hukuman.
Setibanya di Makkah, Tubba’ melakukan apa yang dianjurkan: ia berthawaf mengelilingi Ka’bah, menyembelih hewan kurban, mencukur rambutnya, dan tinggal di sana selama enam hari. Selama itu, ia membagikan daging kurban kepada penduduk, memberi mereka makan, bahkan menyuguhi mereka minuman madu—sebagai bentuk penghormatan dan kemuliaan terhadap rumah suci itu.
Menurut riwayat, Tubba’ juga bermimpi tiga kali tentang Ka’bah. Pertama, ia diperintahkan dalam mimpi untuk menutupinya, maka ia menutup Ka’bah dengan daun kurma kering (al-khasaf). Tak lama kemudian, ia bermimpi lagi agar Ka’bah ditutup dengan sesuatu yang lebih baik, maka ia menggantinya dengan kain Ma‘afir. Lalu dalam mimpi ketiga, ia diperintahkan lagi untuk menutupnya dengan kain yang lebih mulia, sehingga ia pun mengenakan kain Mula’ dan Wusail—jenis kain mewah kala itu.
Karena itulah, menurut banyak riwayat, Tubba’ Abu Karib dianggap sebagai raja pertama yang mengkiswahi (menutupi) Ka’bah dengan kain.
Sebelum pulang ke Yaman, Tubba’ juga mewasiatkan kepada para pemimpin suku Jurhum—penjaga Ka’bah saat itu—agar senantiasa menjaga kemurnian rumah suci itu: jangan sampai ada darah, bangkai, atau wanita haid yang mendekatinya. Ia bahkan membuatkan pintu dan kunci khusus untuk Ka’bah, sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan.
Setelah kembali ke Yaman, Tubba’ mengajak kaumnya meninggalkan penyembahan berhala dan mengikuti ajaran tauhid yang ia pelajari dari kedua rabi Yahudi. Namun sayang, kaumnya menolak ajakannya.
Dalam kekagumannya terhadap Nabi yang kelak akan lahir di Makkah, Tubba’ pernah bersyair:
Aku bersaksi atas Ahmad bahwa ia
Utusan dari Allah, Pencipta manusia.
Seandainya umurku dipanjangkan hingga masa hidupnya,
Niscaya aku jadi pembantunya dan saudara sepupunya.
Aku akan perangi musuh-musuhnya dengan pedang,
Dan hapuskan segala kesedihan dari dadanya.
Syair ini terus dijaga dan diwariskan oleh kaum Anshar, bahkan hingga sampai ke tangan Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu—salah satu sahabat Nabi yang paling setia.
Demikianlah kisah Tubba’ Abu Karib—seorang raja yang, meski hidup di zaman jahiliah, hatinya terbuka pada kebenaran, menghormati rumah Allah, dan bahkan merindukan kedatangan Nabi akhir zaman, meski ia tak sempat bertemu dengannya.
Sumber : al Bidayah wan Nihayah

Komentar
Posting Komentar